Minggu, 18 November 2012

PENGARUH KONSEP THALAQ TERHADAP ILA’, DZIHAR, DAN NUSYUZ, SERTA STABILITAS DAN KONTINUITAS HUKUM PERKAWINAN ISLAM DALAM MASALAH PERCERAIAN


                                                                             BAB I
                                                                    PENDAHULUAN
Secara umum, hukum islam terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi syariat dan fiqih. Syariat bersifat transendental, global, universal, normatif dan tekstual, sehingga tidak dimungkinkan untuk direinterpretasi. Adapun fiqih bersifat lokal, kontekstual, elastis, dan fleksibel selalu mengikuti perkembangan zaman.
Dalam konsepnya, Syahrur membagi sifat hukum islam ada dua macam. Pertama, Mustaqimun. Artinya disatu sisi hukum islam itu bersifat lurus tanpa ada bengkokan sedikitpun terhadap ajarannya. Kedua, Hanafiyyun. Artinya ada kalanya disatu sisi hukum islam bersifat lurus, tetapi tidak selalu lurus dimungkinkan terdapat bengkokan pada bagian ujung ataupun tengahnya, sehingga diasana terdapat perubahan-perubahan konsep, tetapi masih tetap berpegang pada dasar yang sama.
Permasalahan pernikahan, khususnya konsep thalaq merupakan konsep yang sering dijumpai dalam permasalahan rumah tangga. Permasalahan tersebut juga telah dilegalkan dalam al-Quran maupun as-Sunnah yang secara nyata terbungkus oleh hasil interpretasi para ulama terdahulu. Dengan adanya asumsi demikian, maka sangat dimungkinkan konsep pernikahan, khususnya konsep thalaq mengalami rekonstruksi secara radikal dengan mengikuti isu HAM dan gender, namun demikian bukan berarti segala nash yang terkait dengan konsep thalaq diabaikan dan dibuang begitu saja tanpa merujuk kembali padanya. Nash yang terkait tersebut tetap dipakai sebagai acuan dan dasar dalam melakukan interpretasi, tetapi pada kenyataannya dapat dilakukan reinterpretasi terhadap nash yang mungkin menghasilkan pendapat baru mengenai konsep thalaq yang berbeda dengan pendapat sebelumnya. 
            Dengan adanya maind set tersebut dapat diketahui bahwa dalam melakukan proses interpretasi tidak semata-mata mengacu pada dzahir nash, namun yang terlebih penting mengacu pada esensi, tujuan, dan semangat yang ada pada nash tersebut.



                                                            BAB II
                                                    PEMBAHASAN
A.    Definisi Thalaq
Secara etimologi Thalaq (الطلاق) berasal dari kata  (طلق-يطلق-طلقا) yang bermakna ارسال و الترك yaitu melepas, mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat perkawinan.[1] Dihubungkannya arti ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas.[2] Dalam mengemukakan kata thalaq secara terminologi, terdapat perbedaan secara lafdiyah, namun pada substansinya sama.
Secara terminologi ada rumusan yang dipakai oleh para ulama, antara lain:
Menurut As-Sayid Sabiq:
حل رابطة الزواج وانها العلاقة الزوجية
“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.”
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri:
ازالة النكاح نقصان حله بلفظ مخصوص
“Menghilangkan tali perkawinan atau mengurangi tali pelepasan ikatannya dengan lafadz khusus.”
            Menghilangkan akad perkawinan maksudnya mengangkat akad perkawinan sehingga setelah diangkat akad perkawinan tersebut istri tidak halal bagi suami, seperti thalaq yang sudah tiga kali. Mengurangi pelepasan ikatan perkawinan maksudnya berkurangnya hak thalaq yang berakibat berkurangnya pelepasan istri , yaitu thalaq raj’i, karena thalaq raj’i mengurangi pelepasan istri.[3]
Menurut Al-Mahalli:
حل قيد النكاح بلفظ طلاق و نحوه   
“Melepas hubungan pernikahan dengan menggunakan lafadz tahalaq dan sejenisnya.”
Dalam rumusan yang lebih sederhana dikatakan:
حل عقد الكاح
“Melepaskan ikatan perkawinan.”
            Tertulis dalam pasal 38 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan putusan pengadilan.[4]
Kemudian telah dijelaskan pula pada pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa:
“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalaq atau berdasarkan gugatan perceraian.”
Pasal 113 dijelaskan lebih lanjut pada pasal 117 KHI yang menyebutkan bahwa definisi thalaq adalah:
            “Thalaq adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan sebagiamana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 139.”
            Berdasakan macam-macam definisi thalaq secara terminologi diatas, dapat difahami bahwa pada intinya, thalaq itu merupakan suatu perkataan secara langsung atau majazi (kiasan) dari suami kepada istrinya yang menyatakan bahwa dengan jatuhnya perkataan tersebut, maka tidak berlaku lagi hubungan suami istri bagi keduanya.
            Adapun perkataan thalaq secara langsung dapat berupa “anti thaaliq” (engkau telah tertalak), “Muthallaqah” (engkau wanita yang tertalak), atau Kamu saya cerai, sedangkan perkataan thalaq secara tidak langsung dapat berupa “Alhiqi bi ahliki” (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya.
B.     Prinsip dan Hukum Thalaq
Pada dasarnya, islam membolehkan thalaq tetapi islam juga tidak serta-merta meperbolehkannya, tetapi terdapat syarat-syarat yang dapat mempersulit terjadinya perceraian. Dalam istilah lain, thalaq disebut sebagai emergency exit atas problematika yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Artinya, thalaq itu diperbolehkan oleh agama islam tetapi hal itu dilakukan karena sebagai alternatif terkahir dan tidak ada solusi lain yang dapat merukunkan kembali kehidupan rumah tangga. Sehingga dapat ditetapkan bahwa thalaq itu adalah perbuatan yang diperbolehkan agama, namun sangat dibenci (dimakruhkan) oleh Allah sebagaimana sabda Nabi SAW yang tertera pada hadist Ibnu Umar riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim:[5]
ابغض الحلال علي الله الطلاق
 “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq”
Nabi SAW bersabda pula:[6]
ليس منا من خبب امرئة علي زوجها او عبدا علي سيده (رواه ابو داود)  :عن ابي هريرة قال رسول الله ص.م
“Tidak termasuk golonganku orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau merusak hubungan seorang hamba dengan tuannya.”
عن ثوبان, قال رسول الله ص.م: لا يحل تسئل طلق اختها لتستفرغ صحفتها....(رواه البخاري)  
“Tidak halal seorang wanita meminta saudarinya diceraikan untuk dapat menggantikan kedudukannya (sebagai istri)...”(H.R Bukhari)
ايما ائمرئة سئلت زوجها طلقا من غير بئس فحرام عليها رائحة الجنة (رواه الترمذي)
“Siapa saja wanita yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan maka haram baginya bau sorga.” (H.R At-Tirmidzi)
لعن الله كل ذواق مطلاق
“Allah melaknat suami yang suka mencicipi wanita dan suka menthalaq istrinya”
Apabila ditelaah lebih lanjut, thalaq dapat berdampak buruk bagi kehidupan keluarga, terutama bagi keturunan, anak, dan para kerabat suami atau istri. Maka, dengan adanya hadist-hadist diatas dapat disimpulkan bahwa thalaq itu sebisa mungkin harus dijauhi karena memiliki dampak yang negatif bagi keluarga besar (extended family) maupun kelurga kecil (nuclear family). Islam memperbolehkan thalaq jika kehidupan antara suami dan istri tidak dapat dipertahankan lagi.
Seorang pria yang menikahi perempuan pada dasarnya ingin agar pernikahannya dapat bersifat kekal dan abadi. Oleh karena itu, stabilitas rumah tangga dan kontinuitas kehidupan suami istri adalah tujuan utama dari perkawinan. Dalam rumah tangga suami istri dapat menikmati khidupannya, keduanya dapat menciptakan rumah tangga yang memungkinkan terpeliharanya keturunan dengan baik. Untuk itu islam menjadikan ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh, seperti yang disebutkan dalam Q.S An-Nisa ayat 21:[7]
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
 Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.
Hal senada juga dapat dijumpai dalam pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan didefisikan sebagai berikut:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[8]
Apabila pertalian suami istri sedemikian kokoh dan kuat, maka tidak baik dan tidak selayaknya merusak tali perkawinan. Hal-hal yang bersifat meremehkan hubungan suami istri, melemahkan kedudukannya, semuanya itu dibenci oleh hukum islam. Sekalipun suami diberi hak menjatuhkan thalaq, tetapi tidak dibenarkan menggunakan haknya itu dengan gegabah dan sesuka hati, apalagi kalau hanya menurutkan hawa nafsu.[9]
Menjatuhkan thalaq tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah termasuk perbuatan tercela dan dibenci Allah dan Rasulullah SAW. Perceraian dengan ada alasanpun sedapat mungkin dihindari.[10]
Pada dasarnya perceraian atau thalaq adalah sesuatu yang tidak disenangi, dalam istilah ushul fiqih disebut makruh. Walaupun  hukum asal thalaq adalah makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum thalaq itu adalah sebagai berikut:[11]
a.       Nadab atau sunnah, yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan akan terjadi kemadaratan yang lebih banyak, dimungkinkan pula ketika perempuan teledor terhadap hak Allah SWT atau ia membenci suaminya dengan meminta khulu’.[12]
b.      Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga terlihat. Hal ini terjadi apabila suami istri melihat diri mereka sudah tidak bisa saling memahami dan mencintai, dan masing-masing takut melalaikan hak pasangannya, sedangkan keduanya tidak punya kesiapan untuk berusaha mencari solusi, atau sudah berusaha tapi usahanya tidak bermanfaat[13]
c.       Wajib atau mesti dilakukan. Yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakan itu memudaratkan istrinya.
d.      Haram. Pertama, apabila menjatuhkan thalaq tanpa adanya alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid. Kedua, menjatuhkan thalaq sewaktu suci  yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.[14]  
C.    Hikmah Disyariatkannya Thalaq
Pada dasanya, thalaq itu sangat dibenci Allah, namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh dilakukan. Hikmah dibolehkannya thalaq itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga. Dalam keadaan seperti ini, apabila kehidupan rumah tangga tetap dikukuhkan akan menimbulkan madharat kepada kedua belah pihak dan orang disekitarnya. Dalam rangka menolak madharat yang lebih jauh, lebih baik ditempuh perceraian dalam bentuk thalaq. Dengan demikian, thalaq dalam islam hanyalah untuk satu tujuan atau maslahat.[15]
Syaikh Ahmad Al-Jarjawi menyebutkan bahwa thalaq itu terjadi dikarenakan dua sebab: Pertama, dikarenakan suami impotensi atau pihak istri tidak bisa melahirkan. Pada kenyataannya memang banyak orang yang bisa bertahan dalam menghadapi situasi rumah tangga yang seperti ini, tapi umumnya mereka merasakan kegelisahan karena tujuan awal pernikahan salah satunya untuk melestarikan keturunan. Dengan adanya syariat thalaq, maka pihak suami atau istri diberikan pilihan untuk melanjutkan atau memutus tali pernikahan. Sebab terjadinya perceraian yang kedua yaitu, adanya pertengkaran suami istri yang tidak berujung pada penyelesaian dan berujung pada rasa benci. Sering terjadi kasus yang menceritakan bahwa banyak individu yang tidak bisa melaksanakan perceraian dikarenakan alasan agama maupun alasan lainnya, sehingga ia mencari jalan keluar dengan cara pindah keluar negeri demi meninggalkan pasangannya yang tidak lagi sepaham dengannya. Atau ada pula yang memilih untuk bunuh diri, bahkan pindah agama atau keyakinan ia lakukan sebagai bentuk pelarian dari rumah tangganya yang sangat kacau dan bisa berdampak buruk bagi keturunan mereka.[16]
Patut disyukuri bahwa islam mengakui dan melegalkan tentang adanya syariat thalaq, walaupun itu merupakan emergency exit. Masyarakat Barat yang notabenenya adalah negara  maju telah mengakui adanya hikmah yang terdapat dalam syariat thalaq. Terbukti dengan adanya pelegalan status perceraian yang dipelopori oleh Negara Amerika Serikat.[17]   
D.    Aplikasi Thalaq pada Ila’, Dzihar, dan Nusyuz
1.      Ila’  (الايلاء)
Ila’ adalah sumpah, mashdar dari kata kerja الي-يولي-ايلاء dan kata الالية yang berarti اليمين ‘sumpah’. Sebagaima bila dikatakan, الي من امرئته ايلاء yaitu, ‘jika bersumpah untuk tidak menggauli istrinya’ karena arti ungkapan tersebut ialah, “Dia bersumpah dengan benar-benar untuk tidak menyetubuhi istrinya.”[18]
Oleh karena itu, didefinisikan oleh para ahli fiqih bahwa ila’ adalah sumpah seorang suami yang memungkinkannya melakukan persetubuhan, dengan nama Allah atau dengan salah satu dari sifat-sifat-Nya untuk tidak menyetubuhi istri pada kemaluan untuk selamanya atau lebih dari empat bulan.[19]
Dari definisi tersebut dapat difahami bahwa thalaq karena Ila’ terjadi apabila suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya jika dalam masa lebih dari 4 bulan si suami tidak memberikan kepastian apakah kembali dengan istrinya atau menthalaq, maka menurut Hanafiyah, terjadi thalaq bain, tetapi jika suami kembali pada istrinya dan membayar kaffarah ila’ yang disandarkan pada Q.S Al-Maidah ayat 89 berupa menjamu makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian kepada 10 orang miskin, atau membebaskan budak, tidaklah terjadi thalaq.[20]
2.      Dzihar   (ظهار)
Kata dzihar berasal dari kata “dzahr” yang berarti “punggung”.[21]Maksudnya ketika suami berkata kepada istrinya ketika enggan menyetubuhinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku, atau saudara perempuanku”, atau siapa saja perempuan yang haram baginya karena hubungan nasab, susuan, atau karena pernikahan. Kapan saja suami menyerupakan istrinya dengan perempuan mana saja yang haram dinikahi, maka ia telah melakukan dzihar.[22]
Adapun implikasi thalaq terhadap konsep dzihar apabila suami yang mendzihar istrinya dalam jangka waktu 120 hari atau 4 bulan tidak menceraikan atau merujuk kepada istrinya maka hakim  berhak menceraikan keduanya dan perceraian keduanya adalah thalaq bain.
Apabila suami yang mendzihar istrinya kembali dan membayar kaffarah dzihar sebagimana yang ditetapkan Q.S Al-Mujadalah ayat 4, kaffarah tersebut berupa:
a.       Memerdekakan seorang budak sahaya yang beriman. Apabila ia tidak bisa melakukannya, maka is harus
b.      Puasa dua bulan berturut-turut, tanpa diselingi berbuka dalam satu haripun. Apabila suami tidak mampu melakukannya, maka ia harus
c.       Memberi makana secukupnya kepada 60 orang miskin.[23]
Jika kaffarah tsersebut telah dilaksanakan, maka tidaklah terjadi thalaq.
3.      Nusyuz   (نشوز)
Nusyuz berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti ارتفاع yang berarti meninggi atau terangkat,[24] membangkang.[25] Menurut Slamet Abidin dan H. Aminudin, nusyuz berarti durhaka. Maksudnya, seorang istri melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’. Ia tidak menaati suaminya atau menolak diajak ke tempat tidurnya.[26]
Dalam Kitab Fath Al-Mu’in disebutkan termasuk perbuatan nusyuz, jika istri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami, sekalipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu.[27]
Definisi secara terminologi diatas menujukan bahwa nusyuz adalah suatu perbuatan dari istri menentang suaminya tanpa ada penjelasan bahwa pihak suami juga bisa melakukan tindakan nusyuz, tetapi Amir Syarifudin membagi nusyuz menjadi dua kategori yaitu nusyuz yang dilakukan istri dan nusyuz yang dilakukan suami.
a.      Nusyuz Istri:
Apabila istri melakukan suatu pembangkangan, terdapat cara untuk meghilangkan nusyuz istri berdasarkan Q.S An-Nisa: 34 yaitu dengan cara:
Pertama, memberikan pengajaran dan peringatan terhadap mereka bahwa tindakan mereka itu adalah salah menurut agama dan berisiko dapat menghilangkan haknya.
Kedua, apabila istri tidak mengalami perubahan dalam sikapnya, maka suami diperbolehkan melakukan pisah ranjang terhadapnya dalam artian tidak melakukan hubungan suami istri dan memutuskan komunikasi dengannya. Dengan adanya hal itu, diharapkan istri akan melakukan muhasabah dan memperbaiki akhlaqnya.
Ketiga, apabila pisah ranjang tidak mengalami perbaikan, dan istri masih tetap dalam keadaan nusyuz, maka suami diperbolehkan memukul istri pada bagian-bagian yang tidak vital. Tentunya tidak menimbulkan istri luka-luka demi kebaikan sang istri.
Keempat, jika dengan pukulan istri masih melakukan pembangkangan, maka dalam hal ini suami diperbolehkan untuk melakukan menempuh jalan lain berupa penjatuhan thalaq kepada istri dan menjelaskan sebab-sebab terjadinya perceraian dihadapan hakim.[28]
b.      Nusyuz Suami
Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meniggalkan kewajiban terhadap istrinya.
Nusyuz suami terjadi apabila suami tidak melaksanakan kewajiban terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah dan meninggalkan kewajiban yang bersifat non materi diantaranya muasyarah bil ma’ruf, seperti berkata kasar, menggauli istri dengan cara yang buruk, meyakiti fisik dan mental istri, dan sebagainya. Tindakan suami yang nusyuz tertera dalam Q.S An-Nisa ayat 128.
Apabila terjadi tindakan nusyuz terhadap suami, maka pihak istri dianjurkan untuk melakukan shulh (perundingan) yang akan menciptakan perdamaian antara suami dan istri agar tidak menyakiti istri secara permanen. Diantaranya dengan kesedian istri untuk dikurangi hak materi dalam bentuk nafqah atau dalam bentuk non materi seperti kesedian untuk memberikan giliran bermalamnya untuk suami kepada istrinya yang lain.
Jika nusyuz suami masih berkelanjutan, maka dapat dimungkinkan untuk meminta khulu’ (thalaq tebus) kepada suami dengan disertai iwadh (ganti rugi) yang akan berakibat pada perceraian dimana suami tidak diperbolehkan rujuk kembali.[29]
E.     Perbedaan Fasakh dan Thalaq
Secara etimologi fasakh ialah seperti yang dikemukakan oleh Al-Abu Luwi Ma’lufi:
الفسخ هو نقض الامر او العقد
“Fasakh adalah merusakkan pekerjaan atau aqad”[30]
Menurut terminologi Fasakh berarti:
فسخ العقد نقضه و حل الربطة التي تربط بين الزوجين
“Fasakh aqad (perkawinan) adalah membatalkan aqad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat tali penghubungan yang mengikat antara suami istri”[31]
Dalam KHI fasakh disebut sebagai batalnya perkawinan yang diatur dalam pasal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 37, 38, 73, 74, 75, dan pasal 76.
Secara sepintas fasakh mirip dengan thalaq karena sama-sama berimplikasi pada putusnya hubungan kekeluargaan antara suami-istri, namun sebenarnya terdapat beberapa hal yang mendasar pada keduanya. Adapun perbedaan tersebut adalah:
a.       Fasakh tidak mengurangi jatah jumlah thalaq, seandainya fasakh satu kali lalu akad lagi, fasakh lagi kedua kalinya dan seterusnya maka ia tidak akan mendapati haram kubra. Berbeda jika ia menthalaq sampai tiga kali maka ia akan mendapati haram kubra dan tidak bisa halal kecuali dengan perantaraan muhallil.”
b.      Fasakh ketika dilakukan sebelum disetubuhi tidak berdampak apapun. Berbeda dengan thalaq yang berakibat hukum separuh mahar.
c.       Fasakh ketika dilakukan setelah disetubuhi dikarenakan dijumpainya aib akan berdampak kewajiban mahar mitsli. Berbeda dengan thalaq yang berakibat mahar musamma.[32]
d.      Fasakh ketika dilakukan bersamaan dengan akad maka tidak ada hak nafkah untuk pihak wanita meskipun sedang hamil. Berbeda dengan thalaq yang mewajibkan nafkah. Adapun hak tempat tinggal maka wajib adanya entah pada fasakh maupun thalaq ketika dilakukan setelah disetubuhi.
e.       Berdasarkan konsep fiqh klasik, proses penjatuhan thalaq tidak harus diadakan di pengadilan, sedangkan fasakh harus diadakan di pengadilan.[33]
f.       Thalaq terjadi atas inisiatif suami, sedangkan fasakh terjadi atas inisiatif pihak ketiga yaitu hakim.[34]
g.      Thalaq terjadi karena sudah tidak dimungkinkan lagi tercipta kerukunan antara suami dan istri,[35] sedangkan fasakh terjadi karena terdapat sesuatu yang dapat merusak aqad perkawinan mungkin karena syarat dan rukun tidak terpenuhi pada saat aqad atau mungkin pula ada perbuatan yang diharamkan oleh agama.[36]
F.     Khulu’ Termasuk Fasakh atau Thalaq?
Khulu’ berasal dari kata “khul’ Al-Tsawb” yang berarti melepaskan atau mengganti pakaian dari badan (pakaian yang dipakai), karena perempuan merupakan pakaian bagi laki-laki, dan sebaliknya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Q.S Al-Baqarah: 187[37]
 Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”
Secara istilah khulu’ adalah suami berpisah dengan istrinya dengan memberikan ganti rugi kepadanya dan menggunakan lafadz-lafadz khusus.[38]
Menurut KHI pasal 1 ayat (I) mendefinisikan khulu sebagai berikut:
“Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebus atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.”
Terdapat perbedaan pendapat mengenai khulu’ apakah sebagai thalaq ataukah sebagai fasakh.
Pendapat yang menyatakan bahwa kuhlu’ adalah adalah thalaq dikemukakan oleh Said bin al-Musayab, al-Hasan, ‘Atha’, Qubaishah, Syureih, Mujahid, al-Nakhaiy, al-Sya’biy, Malik, al-Awzaiy’, al-Tsaury, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa perceraian dengan khulu’ itu adalah thalaq dan diucapkan oleh suami, meskipun atas permintaan istri dengan memberikan iwadh.[39]   
Sementara pendapat yang menyatakan bahwa khulu’ itu adalah fasakh dikemukakan Ahmad bin Hanbal, Dawud ad-Dahiri, Thawus, Ikrimah, Ishaq, Abu Tsaur, Imam Syafii dan dari kalangan sahabat seperti: Abu Bakar, Utsman bin Affan, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar.
Menurut Ibnul Qayim ada tiga lasan yang menunjukkan khulu’ itu bukan thalaq:
Pertama, dalam thalaq, suami berhak merujuk istrinya, sementara dalam khulu’ suami tidak boleh merujuk istrinya.
Kedua, Jika suami menjatuhkan thalaq yang ketiga kalinya ia tidak boleh kembali pada istrinya, kecuali setelah istri nikah dengan laki-laki lain. Menurut nash bahwa khulu’ boleh dilakukan setelah thalaq yang kedua kali dan sesudah itu masih bisa menjatuhkan thalaq yang ketiga. Dengan demikian khulu’ bukanlah thalaq.
Ketiga, iddah thalaq itu tiga kali quru’, sementara iddah khulu’ adalah satu kali haid.[40]
Lebih lanjut, Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan bahwa ayat tentang khulu’ bersamaan datangnya dengan ayat tentang thalaq dua kali dan kemudian disusul dengan perceraian. Bila khulu’ diartikan dengan thalaq perceraiannya menjadi empat kali. Hal itu tidaklah mungkin.[41]
Sangat jelas bahwa khulu’ itu adalah fasakh bukan thalaq karena pendapat yang menyatakan bahwa khulu’ adalah fasakh itu lebih rajih dari pada khulu’ adalah thalaq.   
Adanya perbedaan diatas yang cukup kontras  antara khulu’ dan thalaq membawa akibat hukum yang berbeda, misalnya akibat hukum dalam hal berapa kali boleh dilakukan khulu’. Atas dasar pendapat yang mengatakan bahwa khulu’ itu adalah fasakh, boleh melakukan khulu’ berapa kalipun tanpa memerlukan muhallil. Sedangkan menurut pendapat yang menyatakan khulu, itu adalah thalaq, khulu’ tidak boleh lebih dari tiga kali. Bila suami yang melakukan khulu’ sebanyak tiga kali, ia baru dapat kembali pada istrinya itu setelah adanya muhallil sebagaimana yang berlaku dalam thalaq.[42]  
G.    Rekonstruksi dalam Hukum Perceraian Islam
Sesuai dengan majunya perkembangan zaman, konsep perceraian bisa berubah karena adanya perbedaan konteks dan budaya. Masalah perceraian merupakan permasalahan yang bersifat dzanni bukan qath’i sehingga dimungkinkan untuk mengalami perubahan.
           Dapat diketahui bahwa dalam al-Quran dan al-Hadist terdapat nash yang bersifat normatif-universal dan praktis temporal. Maksud dari nash normatif universal adalah nash yang memuat prinsip-prinsip atau nash yang memuat aturan yang bersifat umum, yang dalam aplikasinya perlu diformatkan dalam bentuk nash praktis-temporal. Adapun nash praktis-temporal, sebagian orang menyebutnya sebagai nash kontekstual, adalah nash yang turun (diwahyukan) untuk menjawab secara langsung (respon) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat muslim Arab pada saat masa pewahyuan. Pada kelompok ini islam dapat menjadi fenomena sosial atau islam aplikatif atau islam praktis. Dengan ungkapan lain, sebagian dari syariat islam (teks nash) adalah ajaran yang berlaku sepanjang masa (nash prinsip atau normatif-universal), misalnya syariat tentang shalat, zakat, puasa, dan haji. Adapun sebagian lain yang merupakan respon terhadap fenomena sosial Arab di masa pewahyuan. Nash praktis-temporal ini dapat pula disebut nash normatif yang sudah diformatkan/dipraktiskan di zaman Nabi Muhammad SAW. Misalnya konsep tentang thalaq, ruju’, fasakh, iddah, dan sebagainya.[43]
  Adapun ciri dari  nash normatif-universal adalah mempunyai sifat:
a.       Universal,
b.      Prinsip,
c.       Fundamental,
d.      Tidak terikat dengan konteks; konteks wahyu, tempat, situasi dan semacamnya.[44]
Sementara ciri nash praktis-temporal mempunyai sifat:
a.       Detail,
b.      Rinci,
c.       Bersifat terapan,
d.      Terikat dengan konteks; konteks ruang, waktu, kondisi, dan budaya.[45]
Dengan maksud yang sama, tapi diungkapkan dalam bahasa yang berbeda Nasr Hamid Abu Zaid membagi nash menjadi dua yaitu pertama,  text asli sumber ajaran islam berupa al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kedua, islam pada level praktek yang dilakukan kaum Muslim dalam berbagai macam latar belakang, sosial, budaya, dan tradisi.[46]
Dengan adanya pembagian nash diatas dapat difahami bahwa tidak semua nash baik yang ada pada al-Quran dan as-Sunnah harus diterapkan secara tekstual begitu saja tanpa melihat latar belakang kondisi sosial dan budaya. Pada dasarnya memang ada ayat yang harus diterapkan secara tekstual dan berlaku secara universal tanpa terikat dengan perubahan zaman dan tempat, seperti yang telah dikemukakan diatas, tetapi tidak dipungkiri pula bahwa terdapat beberapa ayat yang perlu direinterpretasi agar dapat mengikuti perkembangan zaman dan tempat, terutama dalam bidang muammalah duniawiyah yang bersifat dinamis, karena sifat itulah sehingga umat islam selalalu merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah tanpa harus sibuk mencari hukum dan aturan lain yang berasal dari agama yang berbeda.






BAB III
     PENUTUP  
Sebagaiamana yang telah dipaparkan diatas, bahwa hukum-hukum dalam masalah perkawinan umumnya merupakan hasil ijtihad yang bisa direkonstruksi sesuai dengan kebutuhan manusia.
Sebagai contoh dalam permasalahan ini adalah jumlah bilangan dalam menjatuhkan thalaq. Pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khalifah Abu Bakar, ketika ada seseorang yang menjatuhkan bilangan thalaq sekaligus tiga dalam satu waktu, maka thalaq tersebut sudah dianggap thalaq yang ketiga. Lain halnya pada saat Umar bin Khatab menjadi khalifah, beliau menetapkan bahwa bilangan thalaq yang dijatuhkan seseorang tiga kali sekaligus, maka thalaqnya dianggap satu.
Adanya perbedaan jumlah thalaq pada masa Nabi dan Umar menandakan bahwa hukum itu berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Sebagaimana yang termaktub dalam qaidah fiqih ”تغير الاحكام بتغير الازمنة والاكنة “. Oleh karena itu dimungkinkan dalam masalah hukum perkawinan lain seperti masalah wali, mahar,  iddah bagi wanita yang ditinggal mati suami atau karena dicerai, dan sebagainya mengalami perubahan yang sangat berbeda dengan konsep fiqih yang sebelumnya.
Pada intinya, dalam melaksanakan hukum muammalah duniawiyah tidak harus mengambil bentuk yang mirip sebagaimana yang terjadi di Arab, namun yang terpenting adalah bagaimana caranya mengambil semangat suatu dalil dalam melakukan proses ijtihad dari waktu ke waktu agar tercipta kemaslahatan bagi para manusia yang hidup di bumi-Nya ini.






DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mun’im Salim, Amru, Fikih Thalak: Berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2005)
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan, Ringkasan Fikih Lengkap, Terj. Asmuni, (Jakarta: PT Darul Falah, 2008)
Al-Jarjawi, Syaikh Ali Ahmad, Indahnya Syariat Islam, Terj. Faisal Saleh, (Jakarta: Gema Insani, 2006)
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan: Karena Ketidak-Mampuan Suami Menunaikan Kewajibannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989)
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003)
Kompilasi Hukum Islam
M. Tihami, A, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2010)
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2005)
Nasution, Khoiruddin, Pengantar dan Pemikiran: Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2007)
Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, (Yogykarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009)
Rahman Doi, A, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954)
Supriatna, Fatma Amilia, dan Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II: Dilengkapi dengan UU No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2008)
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006)
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974




[1] Supriatna, Fatma Amilia, dan Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II: Dilengkapi dengan UU No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2008)., hlm 19
[2] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006)., hlm 198
[3]  Supriatna, Fatma Amilia, dan Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II......, hlm 20
[4]  Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003)., hlm 199
[5]  Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., hlm 200
[6]  Supriatna, Fatma Amilia, dan Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II......, hlm 22-24
[7]  Ibid., hlm 22
[8]  Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2005)., hlm 18
[9]  Supriatna, Fatma Amilia, dan Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II......, hlm 22
[10]  Ibid., hlm 22
[11]  Ibid., hlm 201
[12]  Amru Abdul Mun’im Salim, Fikih Thalak: Berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2005)., hlm 116
[13]  Ibid., hlm 116
[14]  Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954)., hlm 380
[15]  Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., hlm 201
[16]   Syaikh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, Terj. Faisal Saleh, (Jakarta: Gema Insani, 2006)., hlm 353-354
[17]  Ibid., hlm 354
[18]  Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Ringkasan Fikih Lengkap, Terj. Asmuni, (Jakarta: PT Darul Falah, 2008)., hlm 904
[19]  Ibid., hlm 904
[20]  Supriatna, Fatma Amilia, dan Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II......, hlm 31
[21]  A. Rahman Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)., hlm 334
[22]  Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Ringkasan Fikih....., hlm 208
[23]  Supriatna, Fatma Amilia, dan Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II......, hlm 44-45
[24]  Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., hlm 190
[25]  M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2010)., hlm 185
[26]  Ibid., hlm 185
[27]  Ibid., hlm 185
[28]  Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., hlm 192-193
[29]  Ibid., hlm 193-194
[30]  Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan: Karena Ketidak-Mampuan Suami Menunaikan Kewajibannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989)., hlm 52
[31]  Ibid., hlm 52
[32]  http://www.piss-ktb.com/2012/04/1459-perbedaan-fasakh-nikah-dengan.html diakses pada tangga l 8 November 2012 pada pukul 12.01 WIB
[33]  Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., hlm 242
[34]  Ibid., hlm 243
[35]  Ibid., hlm 228
[36]  Ibid., hlm 242
[37]  A. Rahman Doi, Karakteristik Hukum Islam., hlm 347
[38]  Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Ringkasan Fikih....., hlm 881
[39]  Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., hlm 239
[40]  Supriatna, Fatma Amilia, dan Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II......, hlm 56-57
[41]   Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., hlm 239
[42]  Ibid., hlm 239
[43]  Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran: Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2007)., hlm 112-113
[44]  Ibid., hlm 113
[45]  Ibid., hlm 114                                                                     
[46]  Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogykarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009)., hlm 19