Sabtu, 09 Juni 2012

Warisan Bagi Saudara/i Sekandung, Seayah, & Seibu


          BAB I
    Pendahuluan
Ilmu waris adalah suatu ilmu yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan dari pewaris kepada para ahli waris yang ditinggalkannya, dan proses pembagiannya dilakukan setelah pewaris meninggal. Konsep waris yang masyhur dikalangan masyarakat Indonesia yaitu: kewarisan menurut golongan Sunni, Syiah, dan konsep waris menurut Hazairin.
            Golongan ahli waris dibagi menjadi tiga, yaitu ahli waris Ashab al-Furud, Ashabah, dan Dzawil Arham. Golongan Ashab al-Furud adalah ahli waris yang sudah ditetapkan pembagiannya dalam nash Quran atau Hadist. Golongan Ashabah adalah ahli waris yang baru mendapatkan harta warisan apabila terdapat kelebihan harta, sedangkan golongan Dzawil Arham adalah hukum kerabat yang lain dari pada Ashab al-Furud dan Ashabah, yaitu anggota keluarga perempuan dari garis bapak dan anggota keluarga dari garis ibu, baik laki-laki maupun perempuan.
            Salah satu golongan Ashabul Furud adalah saudara-saudari seibu. Mereka mempunyai dua bagian dalam hal pewarisan menurut Ulama Sunni. Apabila saudara-saudari seibu sendiri, maka baginya mendapat 1/6 dari harta warisan, tetapi apabila mereka mewarisi secara bersama baik laki-laki atau perempuan maka mereka mendapatkan 1/3 dari harta warisan.      
             Hazairin dan Ulama Syiah mempunyai pendapat yang berbeda dari Ulama Sunni yang mana konsep kewarisannya dipakai oleh mayoritas umat islam di berbagai negara. Maka, dalam konsep kewarisan di Indonesia hendaknya bisa mengambil konsep yang bisa membawa kemaslahatan bagi seluruh masyarakat muslim di seluruh wilayah Indonesia, tanpa harus melihat dari golongan mana pendapat tersebut diambil.

          BAB II
      Pembahasan
A.    Definisi
Saudara-saudari tunggal seibu adalah anak-anak ibu si mati. Jika dinisbatkan kepada si mati, mereka itu sebagai saudara tiri si mati yang lahir (bawaan) dari ibu. Mereka mempunyai 2 macam bagian dalam hal pewarisan harta yakni:
1.      Seperenam, bila mereka tunggal, baik laki-laki maupun perempuan.
2.      Sepertiga, bila mereka banyak, baik laki-laki maupun perempuan ataupun campuran.
Mereka tidak dapat memiliki dua ketentuan ini bila si mati yang diwarisi tidak dalam keadaan kalalah, yakni tidak beranak turun yang berhak mewarisi (far’u warits) baik laki-laki maupun perempuan dan tidak mempunyai leluhur laki-laki yang berhak waris (ashlu warits mudzakkar). Jika mereka tidak mewarisi dalam keadaan kalalah , mereka terhijab oleh far’u warits, dan ashlu warits mudzakkar.[1]
B.     Dasar Hukum
Saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu, masing-masing mendapatkan bagian seperenam dengan ketentuan  jumlahnya tidak lebih dari satu orang (tunggal). Firman Allah SWT:
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta” (An Nisa:12)
Syarat bagi mereka untuk mendapatkan hak pewarisan sebesar seperenam bagian dari harta peninggalan adalah jika tidak ada orang tua laki-laki (bapak) dan anak (baik laki-laki maupun perempuan).[2]
Beberapa saudara (baik laki-laki maupun perempuan) seibu dapat memperoleh warisan sebesar sepertiga bagian dengan syarat-syarat:
a.       Tidak ada “asal” atau “fara” (orang tua atau anak) yaitu kalalah.
b.      Jumlahnya harus dua atau lebih, baik terdiri dari laki-laki maupun perempuan atau gabungan antara laki-laki dan perempuan.
Firman Allah SWT yang melandasi ketentuan tersebut adalah:
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta” (An Nisa:12)
Sebagai peringatan dapat dike mukakan bahwa yang dimaksud di dalam firman Allah: ”dan ia mempunyai saudara” adalah saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan). Sebab di akhir surat An Nisa, Allah telah meyebutkan secara terpisah mengenai ketentuan hukum  saudara sekandung dan saudara seayah.
Peringatan kedua, tentang firman Allah SWT: “Maka mereka bersekutu di dalam memperoleh bagian sepertiga”Kata”bersekutu (bersama-sama)” dalam ayat ini menunjukkan adanya persamaan. Oleh karena itu, bagian sepertiga ini dibagikan secara sama berdasarkan jumlah orang, tanpa membedakan  antara yang laki-laki dan perempuan. Telah diketahui, bahwasannya lafadz anak melengkapi anak laki-laki dan perempuan, sebagai mana lafadz ayah (walid) mencakup ayah dan kakek.[3] Dalam hal ini, bagian antara saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu adalah sama. Ketentuan ini berbeda dengan hukum pembagian waris untuk beberapa saudara sekandung atau seayah (baik laki-laki maupun perempuan), dimana bagian saudara laki-laki dua kali lipat dibandingkan saudara perempuan.[4]
Kata kalalah pada ayat diatas banyak artinya. Yang dimaksud dengan kalalah menurut jumhur ulama ialah orang meninggal yang tidak meninggalkan ayah dan tidak pula meninggalkan anak.[5]
Perkataan anak mencakup anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana perkataan ayah (walid) mencakup ayah dan kakek.[6]
Dalam kitab An-Nihayah karya Ibnu Katsir menerangkan bahwa ayah dan anak laki-laki, adalah dua tepi dari seseorang. Maka apabila seorang meninggal dengan tidak meninggalkan ayah dan anak, maka berarti orang itu meninggal tanpa meninggalkan ahli waris. Karena itu dinamakan “kalalah”. [7]
Ada yang mengatakan, bahwasannya kalalah itu adalah nama bagi waris-waris selain dari ayah dan anak, yang mengelilingi si yang meninggal itu. Apabila si yang meninggal tidak meninggalkan ayah dan anak, maka keluarga-keluarga yang lainnya dinamakan “kalalah”.[8]
C.    Bagian Waris Saudara Atau Saudari Seibu
Saudara laki-laki dan perempuan seibu tidak mendapat mewarisi bersama bapak, ibu, kakek sebapak, anak laki-laki dan perempuan dan anak perempuan dari anak laki-laki-Menurut golongan Sunni, anak perempuan menghijab saudara laki-laki dan perempuan seibu, tetapi ia tidak menghijab saudara laki-laki dan perempuan sekandung atau sebapak. Hanya saja mereka berpendapat, jika berkumpul antara ashabul furud dan ashobah, maka didahulukan ashabul furud, sisanya untuk ashabah. Anak ibu adalah termasuk dzawul wurud, sedang anak kandung atau bapak termasuk ashabah. Oleh karena itu, anak perempuan tidak menghijab anak ibu, atau ia menghijab anak ibu dan bapak, sebagaimana pendapat golongan Syiah Imamiyah-. [9]
Maksudnya, saudara laki-laki dan perempuan seibu gugur untuk mendapatkan harta warisan, karena adanya ibu, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Sebagaimana yang tertera dalam warisan ibu dan warisan anak perempuan, bahwa saudara laki-laki dan perempuan kandung, atau sebapak berhak mewarisi bersama ibu dan anak perempuan, tetapi seandainya saudara laki-laki dan perempuan sekandung atau sebapak itu berkumpul dengan anak laki-laki dari anak perempuan (cucu laki-laki dari anak perempuan), maka saudara laki-laki dan perempuan sekandung tersebut mewarisi dengan sendirinya, dan anak laki-laki dari anak perempuan menjadi terhalang untuk mendapatkan harta warisan , sehingga ada orang laki-laki diantara mereka. Demikian menurut golongan Sunni. Saudara laki-laki dan perempuan seibu tidak bisa gugur untuk mendapatkan warisan karena adanya saudara laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak. Untuk seorang diantara mereka mendapatkan 1/6, baik ia laki-laki atau perempuan. Untuk yang lebih dari satu mendapat 1/3, baik mereka itu laki-laki atau perempuan. Atau mereka itu bersama-sama, ( maksudnya, ada pada keduanya antara yang laki-laki dan perempuan) maka mereka membagi seluruh harta sama rata, yaitu perempuan mendapat bagisan yang sama dengan bagian yang laki-laki. Demikian menurut ijma’ ulama.[10]
Pengarang kitab “Al-Mughni” berkata: ”Jika ada seorang saudara perempuan sekandung  saudara perempuan sebapak dan saudara seibu, maka saudara perempuan sekandung mendapat 1/2, saudara perempuan sebapak mendapat 1/6. Sisanya diradkan kepada mereka menurut besar kecilnya saham mereka masing-masing. Maka jadilah bagian itu menjadi lima bagian. 3/5 untuk saudara perempuan sekandung, 1/5 untuk saudara perempuan sebapak dan 1/5 untuk saudara perempuan seibu.”[11]
Untuk mempermudah pemahaman sistem pewarisan saudara-saudari seibu (anak-anak ibu), maka T.M Hasbi Ash Shiddieqy membaginya dalam tiga keadaan, yaitu:[12]
Pertama, seperenam untuk seorang saudara-saudari seibu. Maka jika seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan: seorang saudara laki-laki sekandung dan seorang saudara laki-laki seibu, atau seorang saudara perempuan seibu, maka saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu mendapat seperenam dengan jalan ashabul furud. Sedang sisa harta, diambil oleh saudara laki-laki sekandung dengan jalan ashabah.
Kedua,  sepertiga bagi dua orang atau lebih saudara atau saudari seibu. Mereka bersekutu dalam hal pewarisan tersebut dan membaginya sama rata, tidak ada kelebihan bagi saudara laki-laki atas saudari perempuan ketika mewarisi bersama, sebagaimana tidak ada kelebihan bagi laki-laki apabila mewarisi secara sendiri.
Ketiga, saudara-saudari seibu tidak mendapat warisan atau terhijab ketika ada anak laki-laki atau perempuan, ayah, kakek, dan cucu. Terhijab disini artinya mereka tidak mendapatkan sama sekali dari harta warisan, baik saudara seibu sendiri ataupun berkumpul bersama.
Golongan Syiah Imamiyah berpendapat: ”saudara perempuan sekandung mendapat ½, saudara perempuan sebapak mendapat 1/6. Sedangkan saudara perempuan seibu tidak mendapat apa-apa sebab ia digugurkan oleh saudara perempuan sebapak. Mengenai sisanya diradkan kepada saudara perempuan sebapak-Golongan Syiah Imamiyah tidak menradkan kepada anak ibu, jika ia berkumpul bersama dengan anak sekandung atau anak bapak. Mereka menradkan kepada anak sekandung atau sebapak saja-. Maka masalah menjadi enam bagian, 5 untuk saudara perempuan sekandung dan yang 1 untuk saudara perempuan sebapak. Secara global maka saudara laki-laki dan perempuan dari berbagai jurusan, tidak mewarisi jika ada bapak dan anak laki-laki. Saudara perempuan seibu juga tidak mewarisi jika ada anak perempuan. Saudara laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak mewarisi jika ada anak perempuan. Dan mereka mendapatkan sisa dari baguian anka perempuan. Begitu juga mereka bersama beberapa anaka perempuan.[13]
D.    Pendapat Ulama
Imam Syafii berpendapat:[14]
1.      Saudara perempuan seibu mendapat bagian 1/6 apabila ia sendirian (termasuk apabila ia laki-laki) tanpa meninggalkan far’u warits mudzakkar atau mu’annats ataupun leluhur pewaris (ayah, kakek dan seterusnya).
2.      Saudara perempuan seibu mendapat 1/3 apabila ia dua orang atau lebih (termasuk yang laki-laki) tanpa meninggalkan far’u warits mudzakkar/ mu’annats maupun leluhur pewaris (ayah, kakek, dan seterusnya).
3.      Saudara perempuan terhijab oleh:
a.       Anak-anak pewaris baik laki-laki maupun perempuan.
b.      Cucu laki-laki dan perempuan garis laki-laki.
c.       Ayah.
d.      Kakek Shahih.
Hazairin berpendapat:[15]
1.      Saudara perempuan seibu sebagaimana halnya saudara perempuan shahihah, atau saudara perempuan seayah.
2.      Saudara perempuan seibu memperoleh dzu al-faraidh dan sebagai dzu al-qarabat.
3.      Saudara perempuan seibu berada dalam martabat para saudara tanpa dibedakan dari jurusan manappun shahih, seayah, dan seibu, hanya antara laki-laki dan perempuan berbanding 2:1.
4.      Ayah mempengaruhi perolehan mereka dari saham 2/3 menjadi 1/3 jika berbilang.
5.      Ia terhijab oleh far’u warits mudakkar dan muannats sterusnya kebawah.
Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar terdapat kasus musyarakah (himariyah, hajariyah, atau jammiyah). Saat itu terdapat ahli waris seorang saudara laki-laki sekandung, seorang saudara laki-laki seibu, dan saudara perempuan sebapak. Berdasarkan keputusan hukum waris islam pada saat itu (golongan ahlu sunnah wal jamaah), maka saudara laki-laki sekandung tidak mendapat bagian sedikitpun. Akhirnya Umar memberi keputusan yang berbeda dari keputusan sebelumnya, yaitu saudara laki-laki kandung mendapatkan bagian bersama-sama dengan saudara seibu dan dibagi pula sama rata. Keputusan Umar diikuti oleh Zaid, Usman, Imam Syafii, dan Malik.[16]
Dalam masalah musyarakkah dapat diketahui bahwa Umar memasukkan saudara laki-laki kandung dalam pengertian saudara diayat 12 dan dengan demikian cara berpikirnya sudah ke arah sistem bilateral. Sedangkan Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mus’ud berpendapat tidak turut mendapat pusaka bersama-sama dengan saudara seibu; yang dapat hanya saudara seibu saja, sesuai dengan peraturan yang bisa dilakukan. Pendapat yang terakhir ini diikuti oleh Madzhab Hanafi dan Hanbali.[17] 
E.     Contoh Pembagian
            Seorang ibu terlah meninggal dunia dengan ahli waris istri A, seorang saudara perempuan seibu B, seorang saudara laki-laki sayah C
Pembagian menurut Hazairin:
A= L’ x hp
B= dq = 1/3 x I’
C= 2/3 x I’
Jumlah : A + BC = L’ + I’ + 4/4= 1 (seluruh harta)
B dan C memperoleh I’ berbagai dengan perbadingan 2:1, sebagai berikut:
B = 1/3 x I’ = 3/12
C = 2/3 x I’ = 6/12
Jumlah A+B+C = L’ + 3/12 + 6/12
 = 3+3+6 = 12/12 = 1 (seluruh harta)
       12 
            Seorang telah meninggal dunia dengan ahli waris dua orang saudara perempuan shahihah (A dan B), dua orang saudara perempuan seayah (C dan D), dan dua orang saudara perempuan seibu (E dan F).
Pembagian menurut Hazairin:
A = dq 1/6 x hp
B = dq 1/6 x hp
C = dq 1/6 x hp
D = dq 1/6 x hp
E = dq 1/6 x hp
F = dq 1/6 x hp
Jumlah seluruh : A + B + C + D + E + F = 1/6 + 1/6 +1/6 +1/6 +1/6 +1/6
= 6/6 = 1 (seluruh harta)
Menurut Ulama Sunni:
a.       Penerimaannya 1/6
1.      Harta peninggalan si mati berupa sawah 12 ha. Ahli warisnya terdiri dari: isteri, saudara seibu dan saudara seayah, maka:
Ahli waris        : fardh : dari a.m 2: dari peninggalan seluas 12 ha. Sahamnya: penerimanya
1.      Isteri                      : 1/4 ; ¼ x 12 = 3 ; 3 x 12 ha   : 3 ha
                                                                     12
2.      Saudara seibu        : 1/6 ; 1/6 x 12= 2 ; 2 x 12 ha  : 2 ha
                                                                     12
3.      Saudara seyah       : ‘u ;    12 – 5  = 7 ; 7 x 12 ha  : 7 ha
                                                                      12 
b.      Penerimaannya 1/3
2.      Harta peninggalan si mati  sejumlah Rp 120.000,-
Ahli warisnya terdiri dari : isteri dan saudara-saudaara seibu, maka:
Ahli waris = fardl : dari a.m 12 ; dari peninggalan sejumlah Rp 120.000,-
                                Sahamnya  : penerimanya.
1.      Isteri                      : ¼ ; ¼ x 12 = 3 ; 3 x Rp 120.000,- = Rp 30.000,-
                                                            12
2.      Saudara seibu        : 1/3 + rd ; 4 + 5 = 9 ; 9 x Rp 120.000,- =  Rp 90.000,-
                                                                                 12


BAB III
Penutup
Pembagian waris saudara-saudari seibu yaitu:
Pertama, seperenam untuk seorang saudara-saudari seibu. Maka jika seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan: seorang saudara laki-laki sekandung dan seorang saudara laki-laki seibu, atau seorang saudara perempuan seibu, maka saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu mendapat seperenam dengan jalan ashabul furud. Sedang sisa harta, diambil oleh saudara laki-laki sekandung dengan jalan ashabah.
Kedua,  sepertiga bagi dua orang atau lebih saudara atau saudari seibu. Mereka bersekutu dalam hal pewarisan tersebut dan membaginya sama rata, tidak ada kelebihan bagi saudara laki-laki atas saudari perempuan ketika mewarisi bersama, sebagaimana tidak ada kelebihan bagi laki-laki apabila mewarisi secara sendiri.
Ketiga, saudara-saudari seibu tidak mendapat warisan atau terhijab ketika ada anak laki-laki atau perempuan, ayah, kakek, dan cucu. Terhijab disini artinya mereka tidak mendapatkan sama sekali dari harta warisan, baik saudara seibu sendiri ataupun berkumpul bersama.
Dasar dari pewarisan saudara-saudari seibu yaitu Q.S An-Nisa:12 yang berbunyi:
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta” (An Nisa:12)
Golongan Syiah Imamiyah berpendapat: ”saudara perempuan sekandung mendapat ½, saudara perempuan sebapak mendapat 1/6. Sedangkan saudara perempuan seibu tidak mendapat apa-apa sebab ia digugurkan oleh saudara perempuan sebapak. Mengenai sisanya diradkan kepada saudara perempuan sebapak-Golongan Syiah Imamiyah tidak menradkan kepada anak ibu, jika ia berkumpul bersama dengan anak sekandung atau anak bapak. Mereka menradkan kepada anak sekandung atau sebapak saja-. Secara global maka saudara laki-laki dan perempuan dari berbagai jurusan, tidak mewarisi jika ada bapak dan anak laki-laki. Saudara perempuan seibu juga tidak mewarisi jika ada anak perempuan
Sedangkan pembagian menurut Hazairin yaitu:
6.      Saudara perempuan seibu sebagaimana halnya saudara perempuan shahihah, atau saudara perempuan seayah.
7.      Saudara perempuan seibu memperoleh dzu al-faraidh dan sebagai dzu al-qarabat.
8.      Saudara perempuan seibu berada dalam martabat para saudara tanpa dibedakan dari jurusan manappun shahih, seayah, dan seibu, hanya antara laki-laki dan perempuan berbanding 2:1.
9.      Ayah mempengaruhi perolehan mereka dari saham 2/3 menjadi 1/3 jika berbilang.
10.  Ia terhijab oleh far’u warits mudakkar dan muannats sterusnya kebawah.
Daftar Pustaka
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT Al Maarif, 1971
Mughniyah, Jawad, Perbandingan Hukum Waris Syiah Dan Sunnah, terj. Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Surabaya: Al-Ikhlas, 1988
Ali Ash-Shabuni, Muhammad, Hukum Waris, terj. Abdul Hamid Zahwan.  Solo: CV Pustaka Mantiq, 1994
Anshori, Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2005
Ash Shiddieqy,  T.M. Hasbi, Fiqhul Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam, Jakarta: Widjaya, 1984


[1]  Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al Maarif, 1971), hlm 320-321
[2]  Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, Diterjemahkan oleh Abdul Hamid Zahwan,  (Solo: CV Pustaka Mantiq, 1994), hlm 58-59
[3]  T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),  hlm 118
[4]   Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum..., hlm 52-53
[5]  Ibid., hlm 117
[6]   Ibid., hlm 117
[7]  Ibid., hlm 117
[8]  Ibid., hlm 117
[9]  Jawad Mughniyah, Perbandingan Hukum Waris Syiah Dan Sunnah, Diterjemahkan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1988), hlm 89
[10]  Ibid., hlm 89-90
[11]  Ibid., hlm 90
[12]  T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul....., hlm 114-115
[13]  Jawad Mughniyah, Perbandingan Hukum ....., hlm 90-90
[14]  Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm 121
[15]   Ibid., hlm 121-122
[16]  Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Widjaya, 1984),  hlm  95
[17]  Ibid., hlm 95-96