Rabu, 19 September 2012

BANTAHAN TERHADAP FAHAM PLURALISME


           
              “Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini.
                          Dia memilih jalan setapak masing-masing.
                          Semua jalan setapak itu berbeda-beda,
                         Namun menuju satu jalan yang sama
                         Dan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan.”
                                     (Fritjof Schouon, 1932)
Istilah pluralisme agama sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat, dan istilah ini merupakan simbol bagi mereka untuk menjalin, serta menyatukan agama-agama yang berbeda. Menurut Ninian Smart dalam bukunya yang berjudul The Religious Experience of Mankind faham ini muncul karena terjadi pergesekan antara agama-agama, maka terjadilah sinkretisme yang pada akhirnya menjadi pluralisme.[1]
Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi التعددية الدنية (al-ta’addudiyyah al-diniyah) dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Oleh karena itu pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikan secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralisme berarti “jama’ ” atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i)  sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.[2]
Sedangkan secara terminologi, pluralisme agama menurut john Hick adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar di dunia merupakan konsepsi dan persepsi yang berbeda, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural menusia yang bervariasi, dan bahwa wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut-- dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.[3]
Sedangkan definisi pluralisme agama yang cukup populer di tengah masyarakat, adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh MUI:
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain adalah salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.[4]
Gagasan pluralisme ini banyak disuarakan oleh masyarakat yang kagum dengan istilah toleransi beragama. Yang lebih mengherankan lagi, yang menyuarakan gagasan ini adalah orang-orang yang dianggap mapan dalam urusan agama. Mereka berdalil dengan Quran dan Sunnah didampingi dengan penafsiran yang terlalu dipaksakan.
 Banyak kalangan ulama yang mencoba menggunakan lidah mereka untuk memutar balikkan pilar-pilar agama islam. Mereka berkata tentang agama dengan  berpijak pada hawa nafsu yang mereka inginkan. Mereka mencoba menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal sehingga perkataan mereka banyak menyesatkan umat islam sendiri. Tidak hanya itu, perkataan mereka terkadang bernada melecehkan agama islam.
Orang-orang seperti ini sudah membuang jauh-jauh rasa keimanan dan ketundukkan mereka kepada Allah SWT. Mereka hanya mengikuti akal dan hawa nafsu mereka sebagai Tuhan. Kebenaran yang mereka dapat adalah kebenaran yang sifatnya semu, yang mana kebenaran tersebut hanya bisa dinikmati sementara waktu, dan untuk selanjutnya kebenaran tersebut akan membawa kehampaan pada diri mereka terutama dalam masalah spiritual. Allah menggambarkan sifat mereka dalam Q.S Al-Jatsiyah ayat 23 yang berbunyi:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىعِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُون (الجاثيه:23)
            “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
            Ketika banyak ulama yang menyuarakan gagasan-gagasan yang bertentangan dengan konsep islam, maka seketika itu pula banyak umat islam yang menentang gagasan tersebut dan tidak segan-segan memberikan bantahan yang cukup kuat. Sangat disayangkan bantahan tersebut tidak didengarkan oleh para cendikiawan yang menyuarakan gagasan tersebut. Apa yang disampaikan oleh umat islam seolah hanyalah angin lalu yang tidak perlu ditanggapi secara serius. Padahal seharusnya umat islam itu saling menasihati di dalam kebenaran dan kesabaran, ketika terjadi suatu tindakan yang tidak terpuji agar tidak menjadi orang yang merugi di dunia atau pun di akherat akibat perbuatannya sendiri. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Q.S Al-‘Ashr: 3:
     إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menaatai kesabaran.” (Al-‘Ashr: 3).
Para ulama adalah pewaris para Nabi, sehingga perlu menyampaikan sesuatu yang haq dan sesuatu yang dianggap bathil. Ketika ulama tidak menyampaikan sesuatu yang haq dan sesuatu yang bathil, maka ketika terjadi kerusakan di lingkungan masyarakat yang paling bertanggungjawab adalah ulama.
Tidak hanya itu, ulama juga berperan merusak umat ketika dia memberikan fatwa yang bertentangan dengan islam karena haus akan kekuasaan dan cinta dunia. Mereka memperjual belikan ayat-ayat Allah demi mendapatkan harta, kekuasaan, dan tahta. Maka, tidak diragukan lagi bahwa ulama seperti ini adalah ulama buruk yang akan menyesatkan  dan memecah umat islam, pada akhirnya umat islam akan mengalami kehancuran di dunia dan akherat. Seperti yang disabdakan oleh Nabi SAW: 
 “Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk, dan sebaik-baik manusia adalah manusia yang baik.” (H.R Ad-Darimi).
Beliau juga bersabda: “Termasuk di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafiq tentang Al-Quran.” (H.R Thabarani dan Ibn Hiban).
Nabi tidak segan-segan memberikan julukan kepada orang yang memainkan agama sebagai orang yang munafiq. Hal itu menunjukan bahwa dalam memutuskan hukum islam tidak bisa dilakukan dengan serampangan karena menyangkut persoalan aqidah, dan ibadah yang berhubungan dengan Allah SWT, dan hadist diatas juga memberikan petunjuk kepada umat muslim agar berhati-hati dalam memutuskan permasalahan agama.
Di bawah ini terdapat beberapa perkataan ulama (karena beberapa orang menganggapnya demikian) yang dianggap oleh masyarakat sebagai perkataan yang menyimpang karena menyatakan semua agama itu benar, dan menuju pada Tuhan Yang Esa. Beberapa ulama itu adalah:[5]
Ulil Abshar Abdalla mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi islam bukan yang paling benar.” (Majalah Gatra, 21 Desember 2002)
  Budhy Munawar Rahman menawarkan teologi pluralis sebagai berikut: “Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi kepada kebenaran semua agama, bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai orang yang beriman, dengan makana orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan. Karena itu sesuai dengan Q.S 49: 10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman.” Budhy menyimpulkan: “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antar-agama yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman-tanpa harus melihat agamanya apa- adalah sama dihadapan Allah. Karenanya, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu (Lihat artikel Budhy Munawar Rahman berjudul “Basis Teologi Persaudaraan antar-agama”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia [Jakarta: JIL, 2002], hlm 51-53).
Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan berpendat: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri dari banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga adalah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan, dan ketaukutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini keja sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”
Pror. Dr. Nurcholish Majid menulis: “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirnya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama”.
Dr. Alwi Shihab menulis: “Prinsip lain yang digariskan oleh Al-Quran adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain, eksklusivisme kegamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Quran. Sebab, Al-Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.”
Sukidi (alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama) Ia menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): “Dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths)  dalam tradisi dan agama-agama. Nietzche menegasikan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama-entah hiduisme, Budhaisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya-adalah benar. Dan konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama.”
Dr. Luthfie Assyaukani menulis: “Seorang fideis Muslim misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dikukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkap dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, Nabi, Malaikat, dll tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.”
Nuryamin Aini (dosen Fak. Syariah UIN Jakarta) menulis: “Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki.”
Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11, tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Ditulis sebagai berikut:
“Filosofi pendidikan islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik, untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-non muslim,  dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang islam terhadap agama lain mesti dibongkar agar umat islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan kselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi-eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama lain. Kegagalan dalam mngembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan islam akan mengembangkan sayap radikal islam”.
Tanggapan Pernyataan diatas:
الاسلام ان تعبد الله ولا تشرك به وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة المفرروضة وتصوم رمضان .رواه البخار و مسلم
“Islam, ialah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Engkau mengerjakan shalat, membayar zakat yang wajib, dan puasa pada bulan Ramadhan”. [6]  
Agama islam itu meyakini hanya Allah sajalah Dzat yang patut disembah, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, serta menjalankan syariat islam yang telah ditentukan oleh Quran dan Sunnah Shahihah. Hadist ini merupakan bantahan telak bagi orang-orang yang mendukung faham pluralisme. Menurut mereka, bahwa yang namanya beragama islam itu yang tepenting meyakini secara hati dan lisan, tanpa harus mengamalkan ibadah yang sudah diwajibkan Allah, sehingga orang bergama Kristen,  Yahudi, dan sebagainya bisa disebut beragama islam ketika sudah yakin kepada Allah tanpa mengamalkan ajaran islam.
Para pengusung faham pluralisme telah telah memberikan doktrin bahwa islam itu penyerehan diri pada Tuhan, tidak lebih dari itu. Maka siapapun yang menyerahkan diri kepada Tuhan meskipun secara formal ia berada di luar agama islam, boleh disebut muslim.[7]
Lebih jauh lagi Nurcholis Majid menulis bahwa dalam menjalani kehidupan beragama terbagi dalam level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.[8] Pernyataan Cak Nur terlihat menekankan pada aspek batin saja, dan tidak mementingkan pada dimensi lahir (amal shalih) seseorang.
Pada kenyataannya, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan sebagianya yang mengaku beriman kepada Allah, tetapi mempersekutukan-Nya tidak akan berhasil membawa keimanannya kepada Allah. Lebih jauh lagi ketika di akherat akan dijerumuskan ke dalam lembah kehancuran.[9]
 Dalam ajaran agama islam, antara iman dan amal itu tidak ada pemisahan. Apabila seseorang disebut beriman, seharusnya ia melakukan amal shalih. Karena pembeda antara orang muslim dan orang non muslim dari aspek dzahir adalah amalannya.
Faham beiman tanpa mengamalkan sebenarnya telah diusung pada zaman-zaman terdahulu melalui sekte Murjiah. Doktrin yang paling terkenal dari sekte ini adalah, seseorang tetap disebut beriman apabila ia mengucapkan dua kalimat syahadat tetapi tidak pernah melakukan perbuatan kebajikan. Lebih ekstrim lagi bahwa orang yang mengatakan dirinya kafir secara lisan, belum tentu disebut kafir. Karena masalah iman dan kafir adalah urusan hatinya sendiri, maka yang bisa mengklaim kafir atau tidaknya seseorang adalah dirinya sendiri. Faham ini sudah tidak ada lagi pada zaman ini karena pendapatnya dianggap menyimpang dari ajaran agama islam oleh jumhur ulama, bahkan telah dianggap sesat.
Faham Pluralisme juga telah dainggap menyimpang oleh mayoritas ulama di dudunia, sehingga faham ini dicap sebagai pendapat yang sesat.
Dalam ajaran agama islam telah dijelaskan pula bahwa agama yang diterima oleh Allah adalah agama islam sebagaimana yang tertulis dalam Surah Ali Imran: 19
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ وَمَا اخْتَلَف َالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
            “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Ali Imran: 19).
            Dalam tafsir Al Maraghi dijelaskan bahwa:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلام
“Sesungguhnya, agama dan syariat yang didatangkan oleh para Nabi, ruh atau intinya adalah islam (menyerahkan diri), tunduk, dan menurut. Meskipun dalam beberapa kewajiban dan bentuk amal agak berbeda, hal ini pulalah yang selalu diwasiatkan oleh para Nabi. Orang muslim hakiki adalah orang yang bersih dari kotoran syirik, berlaku ikhlas dalam amalnya, dan disertai keimanan, tanpa memandang dari agama mana dan dalam zaman apa ia berada.”[10]
  Jadi, yang dimaksud agama islam adalah agama sejak dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW walau syariat dan amal berbeda, tetapi sama-sama mengajak untuk menyembah pada Allah SWT. Tidak berlaku agama selain islam, karena didalamnya terdapat penyimpangan oleh kaumnya.
Ibnu Jarir meriwayatkan sebuah hadist dari Qatadah, Rasulullah SAW mengatakan:
الاسلام شهاده ان لا اله الا الله و الاقرار بما جاء من عند الله, وهو دين
 الله تعا لي شرع لنفسه وبعث به رسله ودل عليه اولياءه لا يقبل غيره, ولا يجري الا به 
“Yang dinamakan islam adalah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan mengakui apa-apa yang datang dari sisi Allah. Islam merupakan agama Allah SWT yang disyariatkan oleh diri-Nya, ia juga mengutus para Rasul, dibuktikan oleh kekasih-kekasih-Nya, dan Allah tidak akan menerima agama selain islam, serta tidaklah memberi agama kecuali melaluinya.”
Ali R.A juga pernah berkhutbah:
“Agama islam adalah menyerahkan diri, menyerahkan diri adalah keyakinan, dan keyakinan adalah percaya. Percaya ialah berikrar, berikrar adalah melaksanakan, dan melaksanakan adalah mengamalkan.” Selanjutnya beliau mengatakan: “Sesungguhnya orang mukmin mengambil agama dari Tuhan-Nya, bukan mengambil dari pendapatnya sendiri. Orang yang beriman diketahui keimanannya dari amal perbuatannya, dan orang kafir diketahui kekafirannya dari keingkarannya. Wahai umat manusia, berhati-hatilah terhadap agamamu, sesungguhnya kejelekan di dalam agama ini (islam) adalah lebih baik daripada kebaikan yang lainnya. Sebab kejelekan di dalamnya akan diampuni, sedang kebaikan selain di dalamnya tidak akan diterima.”[11]
Sedangkan Imam Syafi’ menafsirkan Surat Ali Imran ayat 19 sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ar-rabi’ bin Suliaman: “Ini adalah surat ditulis oleh Muhammad bin Idris bin Abbas asy-Syafi’ pada bulan Sya’ban tahun 203 H.”
“Aku bersaksi kepada Allah Yang Mengetahui segala pandangan yang berkhianat dan segala sesuatu yang disembunyikan hati. Cukuplah Dia Yang Maha Mulia sebagai saksi. Kemudian orang yang memperdengarkan bahwa dia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, maka dia tetap beragama demikian sampai Allah mewafatkan dan membangkitkannya, Insya Allah”[12] 
Imam Syafii memberi nasehat kepada umat islam, apabila mereka sudah mengucapkan dua kalimat Syahadat hendaknya mereka senantiasa menjaga keimanan mereka kepada Allah dari berbagai macam tipuan yang ada di dunia sampai malaikat maut mencabut nyawanya. Dapat difahami bahwa ketika orang sudah memeluk agama islam, ia harus mengingkari berbagai macam sesembahan selain Allah.
Jalaludin Al-Mahalli dan Jalaludin Al-Suyuti memberikan penfasiran bahwa kata islam pada Surat Ali Imran ayat 19 adalah syariat yang dibawa oleh para Rasul dan dibina atas dasar ketauhidan.[13] Tauhid yang dimaksud disini adalah mengesakan Allah, tanpa ada keinginan untuk menduakannya dalam masalah kepercayaan. 
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)
            Menurut Al-Maraghi, kata ‘Al-Islam’ pada ayat diatas maksudnya adalah tauhid kepada Allah dan ikhlas dalam beribadah. Juga membenarkan apa yang disampaikan oleh lisan para Rasul-Nya.[14] Sehingga ketika seseorang menyekutukan, bahkan mengingkari Allah, maka  amalannya tidak bisa diterima oleh Allah SWT.
            وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
Mujahid As-Sudi mengatakan bahwa ayat ini turun menceritakan tentang Harits bin Suwaid, saudara Al Julas bin Suwaid yang termasuk kaum Ashar. Dia bersama dua belas orang lainnya murtad dari islam dan menjadi orang-orang kafir di Makkah. Lantas, turunlah firman Allah tersebut. Kemudian, dia pergi menemui saudaranya untuk meminta taubat. Riwayat itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan yang lainnya. Ibnu Abbas mengatakan bahwa selanjutnya orang itu (Harits) kembali memeluk islam setelah turun ayat yang berbunyi: “Dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi.” Hisyam mengatakan bahwa dia merugi di akherat dan tergolong orang yang merugi.[15]
Al-Maraghi berpendapat:
“Sesungguhnya, agama itu bila tidak mengantarkan pemeluknya pada ketaatan dan menurut kepada Allah, maka agama itu hanyalah gambaran dan tradisi yang tidak berarti. Bahkan, bisa menambah rusaknya jiwa dan menambah gelapnya hati. Kala itu, agama bisa jadi sumber pertikaian dan permusuhan antara umat manusia dunia, dan merupakan sumber kerugian di akherat kelak, dengan terhalangnya orang yang bersangkutan dari mereguk kenikmatan yang abadi, dan mendapatkan siksaan yang pedih”[16]
Agama yang seperti ini tidak didapati di dalam ajaran islam, karena islam dibentuk oleh Allah dan dibagun bukan berdasarkan tradisi yang ada di masyarakat. Selain islam, semuanya dibangun berdasarkan tradisi yang berlangsung di masyarakat atau mungkin penuh dengan perubahan ajaran yang dilakukan oleh petinggi-petinggi agama.
Imam Syafii’ mengatakan: “Orang baligh yang yang beralih dari kemusyrikan kepada keimanan, kemudian berpindah dari keimanan kembali pada kemusyrikan, baik laki-laki maupun perempuan, hendaknya dihimbau untuk bertaubat. Jika dia mau bertaubat, maka taubatnya diterima. Jika ia tidak mau bertaubat, dia dihukum mati berdasarkan ayat diatas.[17]
 Ketika orang islam murtad, dan ia enggan untuk bertaubat dan kembali pada agama islam, maka ia wajib untuk dibunuh karena termasuk perbuatan yang melanggar hukum Allah.
Imam Syafii’ berkata: “Sufyan bin Uyainah menyampaikan hadist kepada kami dari Ibnu Abi Najih dari Ikrimah, dia berkata:
‘Ketika ayat  وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ (Siapa yang mencari agama selain islam, dia tidak akan diterima). Orang-orang Yahudi berkata: “Kami adalah orang-orang islam”. Allah berfirman kepada Nabi-Nya agar beliau menyuruh mereka menunaikan haji.
Nabi bersabda kepada mereka: “Tunaikan haji”. Mereka menjawab: “Kami tidak diwajibkan untuk itu”. Mereka pun menolak untuk menunaikan ibadah haji. Allah berfirman: وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (Siapa mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya Allah Maha Kaya [tidak memerlukan sesuatu] dari semesta alam).[18]
 Riwayat Ibnu Abi Najih menjelaskan bahwa orang islam dan orang yahudi tidaklah sama. Ketika ada yang mengatakan antara islam dan yahudi itu sama, maka dapat dipastikan itu hanyalah ucapan belaka karena pada ranah ibadah antara satu agama dengan agama yang lain tidak bisa dicampur adukkan seperti halnya riwayat diatas.
Sedangkan kalimat,
وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
       Ditafsirkan sebagai berikut:
            “Sebab, ia telah menyia-nyiakan fitrah yang telah diberikan padanya, yakni fitrah sehat yang mengarah kepada tauhid dan meyakini pada Allah,[19] karena tidak bertauhid pula ia diberi tempat tinggal di neraka di mana ia akan menetap disana untuk selamanya.”[20]
            Pada dasarnya manusia itu hatinya selalu tertuju pada agama islam, namun karena pengaruh lingkungan yang buruk dan kurangnya bimbingan rohani,[21] akhirnya merubah kecenderungan hatinya pada selain agama islam. Maka orang yang seperti ini akan merugi di akhirat akibat berpaling dari agama islam, padahal Allah SWT telah memberikan akal untuk membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Tidak hanya itu, bagi siapa saja yang beragama selain islam, maka amalannya sia-sia karena Allah tidak menerima amalannya disebabkan ia mengingkari atau menyekutukan Allah. Rasulullah SAW bersabda:
                كل مولود يولد علي الفطره فا بواه يهودا نه او ينصرا نه او ىمجسانه
            “Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang (kemudian) membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R Al-Bukhari)[22]
            Berdasarkan uraian hadist diatas, merupakan bukti ilmiah dari kebenaran aqidah dan ajaran islam. Empat-belas abad yang lalu Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada manusia bahwa kepercayaan dasar manusia adalah Tauhid kepada Allah (monotheisme). Aqidah tauhid itulah yang menjadi fitrah manusia, sampai-sampai ketika manusia berada di dalam kandungan ibunya sudah mengucapkan dua kalimat syahadat dan terlahir secara suci. Maka risalah Nabi ialah memperbaiki dan meluruskan penyelewengan manusia dalam aqidah itu agar kehidupan manusia tetap serasi dengan fitrahnya.[23] Nabi Muhammad diutus oleh Allah kepada umat manusia agar mereka kembali kepada fitrah agama yang dahulu. Jangan sampai manusia memeluk agama yang bukan fitrahnya (agama selain islam).
            Jadi menurut islam, kepercayaan asli manusia ialah tauhid. Ajaran tauhidlah yang yang menjadi aqidah manusia pertama (Adam A.S) yang diterimanya dari Tuhan mulai saat penciptaannya, dan aqidah itulah yang kemudian diajarkan kepada anak cucunya. Kemudian diantara anak cucunya itu ada yang menyimpang dari ajaran tauhid sehingga timbul keonaran dan kemaksiatan.[24]
            Dalam surat Al-Baqarah ayat 213 Allah menjelaskan bahwa manusia itu semuanya adalah kesatuan umat, sebagaimana firman-Nya:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً
            “Manusia itu adalah umat yang satu” (Al-Baqarah: 213).
            Maksud umat yang satu dalam ayat ini adalah pada dasarnya manusia itu satu dalam masalah aqidah, namun pada realitasnya berpecah belah dalam beragama. Maka, dengan adanya ayat ini diharapkan antara satu manusia dengan manusia lain saling mendakwahkan ajaran agama islam agar orang yang belum memeluk agama islam bisa segera memeluknya demi mewujudkan ketentraman dan kesatuan umat.
            Tidak hanya itu, Allah juga berfirman dalam ayat lain:
            يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
            “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujarat: 13).
            Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar manusia bisa bersatu. Ketika manusia ingin bersatu, maka ia harus memeluk agama islam. Sangat mustahil jika manusia ingin bersatu tetapi tidak memeluk agama islam. Jadi, ayat ini menjelaskan bahwa berbangsa dan bersuku itu sangat dianjurkan jika sama-sama beragama islam, karena dengan keduanya manusia bisa saling tolong-menolong dalam kebaikan, dan dengan kebaikan itu sehingga manusia bisa masuk ke dalam surga.
            Semua dalil diatas menunjukan bahwa hanya agama islam yang diterima di sisi Allah SWT, sedangkan agama lain tidak bisa disamakan dengan agama islam karena berbeda dari aspek historis maupun tata cara beribadah.
            Munculnya faham pluralisme di Indonesia, telah banyak membuat sebagaian umat islam secara terang-terangan menyatakan bahwa agama islam itu bukan satu-satunya agama yang haq. Agama lain seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, Konghucu, dan sebagainya juga layak disebut agama yang benar karena sama-sama mengajak pada kebaikan. Faham pluralisme juga syarat dengan isu toleransi dan HAM yang terlalu berlebihan, dimana ketika ada orang yang pindah agama harus dilindungi, orang yang tidak menjalankan ajaran islam tidak boleh dinasehati dengan alasan kebebasan berekpresi dan urusan individu yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah publik.
               Umat islam bisa hidup berdampingan dengan orang non muslim tanpa harus melepaskan doktrin kebenaran yang ada pada diri mereka sebagaimana yang dikatakan oleh K.H Kholil Ridwan Ketua MUI Pusat Bidang Budaya:
            “Toleransi tetap bisa terjalin tanpa harus mengorbankan keyakinan agama masing-masing, karena kerukunan umat beragama dapat terwujud bila masing-masing pemeluk agama tetap pada klaimnya masing-masing.”[25]
Selain itu, beliau juga menambahkan bahwa faham pluralisme ini juga bertentangan dengan cara pandang Nabi Muhammad SAW: “Saat Rasulullah SAW diutus (menyampaikan wahyu) sudah ada orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kaum Musyrik Arab. Tapi Nabi menyeru mereka semua agar kembali pada prisnsip yang sama (Kalimatin Sawa), yaitu prinsip Tauhid hanya menyembah Allah semata.” Ia mengutip Surat Ali Imran: 64, Maryam: 88-91, Al-Maidah: 73, dan Al-Shaff: 6).[26]
            Sangat jelas bahwa kerukunan umat antar agama itu bisa dibangun dalam hal muamalah duniawiyah, sedangkan pada permasalahan tauhid dan aqidah umat islam tidak ada kata toleransi, apalagi menyatakan bahwa agama lain juga menuju surga yang satu dengan jalan yang berbeda-beda. Q.S Ali Imran ayat 19 dan 85 sudah cukup jelas bahwa hanya agama islamlah yang haq. Apabila dua ayat ini bertentangan dengan logika kerukunan umat beragama dan semangat toleransi, maka hal itu tidak perlu dipertentangkan. Karena tidak semua ayat di dalam Quran itu harus disesuaikan dengan akal manusia. Ada beberapa hal yang hanya bisa diketahui oleh Allas semata, tetapi mungkin hikmahnya bisa diketahui oleh manusia di waktu mendatang. Tidak dipungkiri juga ketika seseorang melepas klaim kebenaran agamanya, maka akan tercipta konflik baru yang lebih merisaukan dari pada seseorang tidak melepaskan klaim kebenarannya. 
            Oleh karena itu, berdasarkan musyawarah MUI Pusat Nomor: 7/ Munas VII/ MUI/ II/ 2005, memutuskan bahwa haram bagi umat islam untuk mempelajari dan menganut faham pluralisme karena bisa merusak ajaran agama islam. MUI Pusat juga menghimbau kepada umat islam yang telah membenarkan dan menganut faham ini agar segera bertaubat kepada Allah serta meniggalkannya.
            Untuk itu, sebagai penerus ajaran agama islam, sudah selayaknya bagi kita untuk terus mempelajari ajaran agama islam sesuai dengan Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Karena dengan mempelajari keduanya, maka kita akan selamat baik itu di dunia, maupun di akhirat.  Dengan berpegang pada keduanya pula kita bisa terhindar dari perpecahan yang diakibatkan karena sudut pandang manusia yang berbeda-beda. Semoga Allah SWT selalu memeberi taufiq dan hidayahnya kepada kita sehingga kita bisa tetap teguh menegakkan kalimat tauhid hingga maut datang mencabut roh kita, serta terhindar dari syirik akbar yang bisa menjerumuskan ke dalam neraka.
الهم انى اعوذ بك ان اشرك بك وانا اعلم واستغفرك لما لا اعلم 
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu, agar tidak menyekutukan kepada-Mu, sedang aku mengetahuinya dan minta ampun terhadap apa yang tidak aku ketahui.”[27]
Wallahu a’lam bisshawab. 


[1]  Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005)., hlm 102
[2]  Ibid., hlm 11-12
[3]  Ibid., hlm 15
[4] Mahmud Sutarwan Waffa, Menguak Pluralisme dan Komunisme Di Balik Film-Film Hanung Bramantyo, (Sarang Rembang: Toko Kitab Al-Anwar I)., hlm 173

[5]  Ibid., 144-147
[6]  Nasrudin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT Al Maarif, 1982)., hlm 76
[7]  Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008)., hlm 83
[8]  Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008)., hlm 271)
[9]  Departemen Agama, Al-Quran dan Tafsirnya Jilid 1, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990)., hlm 535. Lihat pula Departemen Agama, Al-Quran dan Tafsirnya: Edisi yang Disempurnakan, (Jakarta: Departemen Agama, 2009)., hlm 472

[10] Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Jilid 3 , Penerjemah Bahrun Abubakar, (Semarang: CV Toha Putra)., hlm 214-215. Lihat pula Departemen Agama, Al-Quran......., hlm 535. Departemen Agama, Al-Quran dan Tafsirnya: Edisi yang......., hlm 472

[11]  Ibid., hlm 215-216
[12]  Syaikh Ahmad Mustafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafii Jilid 1, Penerjemah: Ali sultan, dan Fedrian Hasmand,  (Jakarta: Almahira, 2007)., hlm 539).
[13]  Jalaludin Al-Mahalli dan Jalaludin Al-Suyuti, Terjemah Tafsir Jalalain Jilid 1, Penerjemah Mahyudin Syaf, dan Bahrun Abubakar, (Bandung: Sinar Baru, 1990)., hlm 225
[14]  Mustafa Al-Maraghi, Terjemah...., hlm 361
[15] Syaikh Imam Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi Jilid 4, Penerjemah: Dudi Rosyadi, Nashirul Haq,dan  Fathurrahman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008)., hlm 336-337
[16]   Mustafa Al-Maraghi, Terjemah...., hlm 364
[17]  Imam Syafii’, Tafsir....., hlm 555
[18]  Ibid., hlm 555
[19]  Ibid., hlm 555
[20]  Jalaludin Al-Mahalli dan Jalaludin Al-Suyuti, Terjemah......, hlm 252
[21]  Nasrudin Razak, Dienul...., hlm 75-76
[22]  (Lihat Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid I, Penerjemah Agus Hasan Bashari (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia)., hlm 13. Lihat pula Abdullah Al-Muslih dan Salah Al-Sawi, Untuk Setiap Muslim: Memahami Aqidah, Syariat dan Adab, penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Amir Hamzah, dan Hanif Yahya (Yogyakarta: Islamic Fondation, 2009)., hlm 21)
[23]  Nasrudin Razak, Dienul...., hlm 76
[24]  Ibid., hlm 76
[25]  Mahmud Sutarwan Waffa, Menguak......, hlm 44
[26]  Ibid., hlm 44
[27]  Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Hisnul Muslim: Panduan Doa dan Dzikir dari Al-Quran dan Sunnah, Penerjemah Qosdi Ridlwanullah, (Solo: Pustaka Arafah, 2007)., hlm 191