Sabtu, 21 September 2013

Khasiat Buah Delima, Buah Tin, dan Kurma Kering



                       
Agama islam adalah agama yang haq, artinya agama yang benar-benar berasal dari Allah SWT dan tidak ada penyimpangan sedikit pun didalamnya. Tidak hanya itu, agama islam selalu relevan dengan perkembangan waktu dan tempat tanpa harus direvisi ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya.
Dua hujah bagi agama islam yang menjadi pedoman hidup di dunia adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Keduanya menempati posisi yang sentral dalam ajaran agama islam. Ketika ada seseorang yang mengingkari salah satunya, maka dianggap mengingkari keduanya.
Al-Quran dan As-Sunnah tidak hanya mencakup aspek ritual semata, namun juga mencakup aspek sosial, sosial, budaya, sastra, sejarah, dan aspek lainnya. Dewasa ini banyak penelitian dan temuan-temuan ilmiah yang apabila dicocokan dengan Al-Quran dan As-Sunnah selalu bersesuaian dan tidak bertentangan, sehingga semakin mengokohkan agama islam sebagai agama yang benar-benar berasal dari Allah dan bukan agama yang dibuat berdasarkan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat.
Di dalam As-Sunnah terdapat  berbagai macam keajaiban dan mu’jizat yang terdapat pada makanan yang sering dikonsumsi oleh manusia, sebagai contoh buah tin, buah delima, buah tamr (kurma kering). Amat disayangkan banyak manusia yang hanya sekedar mengkonsumsi tiga buah tersebut tanpa mengetahui khasiat yang ada pada tiga buah tersebut. Maka, di bawah ini akan sedikit diuraikan tentang khasiat buah tin, delima dan tamr secara medis yang diperkuat dengan sabda Nabi SAW.
1.      Buah Delima
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada satu delima pun kecuali di dalamnya terdapat satu biji dari delima surga” (Al-Jami’ Al-Kabir 1/719).
Hadist tersebut diriwayatkan dengan berbagai macam lafadz yang berbeda dengan makna (substansi) yang sama. Artinya, walaupun lafadz berbeda tapi sama-sama menunjukan keutamaan dan manfaat buah delima yang tidak dimiliki oleh buah lain yang diciptakan Allah di bumi ini.
Adapun khasiat dari buah delima yang telah diteliti oleh ilmuwan adalah:
Setiap buah delima dan kulitnya terdapat kandungan yang berguna untuk membantu memperlancar pencernaan makanan secara umum dan sebagai obat gosok secara khusus, sebagaimana juga keduanya memiliki fungsi yang efektif untuk melawan kuman-kuman dan parasit. Oleh karena itu, buah dan kulit delima dapat digunakan untuk mengobati mencret dan disentri, sebagaimana juga dapat digunakan untuk mengusir cacing, khususnya rendaman kulit buah delima yang didinginkan setelah direbus sampai mendidih.
Isi buah delima dapat menenangkan batuk dan juga dapat digunakan untuk mewarnai kain celup karena keistimewaannya yang tidak luntur dan tidak mudah berubah warnanya.
Salah satu manfaat kulit dan lemak buah delima yang banyak diketahui adalah setelah dikeringkan, keduanya dapat digunakan mengobati kelebihan asam lambung. Keduanya juga dapat digunakan untuk mengobati luka organ pencernaan dan luka pinggang yang biasa diderita orag yang sering duduk di tempat tidur (duduk miring/lesehan). Ketika tidak ada obat, orang yang hamil dan menyusui diperciki air rendaman kulit dan daging delima.
Berbagai macam manfaat pohon dan buah delima telah diringkas oleh Rasulullah SAW, dalam hadist yang telah disebutkan diatas. 

2.      Buah Tin   
Rasulullah SAW bersabda:
“Seandainya aku boleh berkata tentang buah yang turun dari surga, maka aku akan mengatakan (itu) adalah buah tin. (Al-Qurtubi)
Buah tin mempunyai enzim khusus yang dikenal dengan nama “enzim tin” atau “enzim ficim”. Enzim ini terbukti memiliki peranan (khasiat) besar membantu proses pencernaan makanan. Para peneliti Jepang telah melakukan percobaan untuk mendapatkan senyawa kimiawi lain dalam tin, yaitu senyawa benzaldehyde. Senyawa ini diketahui (terbukti) mampu melawan beberapa penyebab penyakit kanker, dengan izin Allah senyawa ini mampu menyembuhkannya.
Pada buah tin terdapat sekumpulan senyawa tepung yang terbukti dapat secara efektif membantu menjaga darah dari berbagai bakteri, virus, dan parasit yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit darah seperti virus radang hati. Komposisi tepung ini dikenal dengan nama senyawa surlenz. Senyawa ini melimpah banyak dalam buah tin, sirupnya, ekstrak tin, dan berbagai tin yang diawetkan pabrik.
Demikian juga pada buah tin terdapat manfaat besar dalam mengobati wasir, sembelit, encok, penyakit dada, gangguan haid, epilepsi, borok mulut, radang gusi, amandel tenggorokan, mengobati penyakit balak, menghilangkan kutil, menyembuhkan luka dan borok, karena dalam buah tin terdapat unsur yang dapat memperlancar susu.
Keberadaan tin yang dapat menyembuhkan wasir sebagaimana yang disebutkan Nabi pada umumnya merujuk pada kandungannya sebagai  zat pencahar dan pengontrol. Adapun manfaatnya untuk sakit encok, merujuk pada kemapuan buah tin mencairkan garam asam urik yang mengendap dalam sendi, dan juga akibat yang ditimbulkan dari terlalu berlebihan mengonsumsi daging merah yang dapat menyebabkan perubahan kseimbangan asam dalam sel-sel dalam tubuh.
 
3.      Tamr (Kuma Kering)  
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak akan kelaparan sebuah keluarga yang memiliki persediaan buah kurma kering di rumah mereka” (H.R Muslim)
Kemudian Rasulullah SAW bersabda:
“Berilah makan istri-istri kalian semasa nifas dengan kurma. Sesungguhnya seseorang wanita yang makanannya kurma seamasa nifas, maka bayinya akan keluar dengan lancar. Sebab kurma adalah makanan Bunda Maryam saat ia akan melahirkan. Seandainya ada makanan yang lebih baik, bergizi, dan lebih bermanfaat tentu ia akan mengonsumsinya” (H.R Tirmidzi).
Kurma banyak memiliki manfaat medis. Kurma merupakan makanan yang penting untuk sel-sel saraf, pembasmi racun, dan bermanfaat untuk orang yang mengalami gagal ginjal, cholcyftitis, darah tinggi, encok (sengal), dan wasir (ambeien). Selain itu buah kurma juga merupakan pelembut alami, penguat pendengaran, pemberi sinyal aktifitas rahim, dan pengencang otot-otot rahim sehingga mempernudah proses kelahiran secara alami.
Itulah penjelasan singkat tentang manfaat buah delima, buah tin, dan tamr. Sangat mengherankan, karena hadist-hadist diatas sudah ada sejak empat belas abad yang lalu ditengah masyarakat Arab yang notabene adalah masyarakat buta huruf dan tidak banyak wacana dalam khazanah keilmuan, namun baru berpuluh-puluh abad kemudian fakta ilmiah baru terungkap oleh para ilmuwan.
Sebagai penutup, Quraisy Shihab dalam kitab tafsirnya (Al-Misbah) pernah mengatakan: “Apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, pasti mengandung manfaat, dan apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, pasti mengandung bahaya yang besar.
  Buah delima, buah tin, dan tamr memiliki khasiat yang sangat baik karena tiga buah tersebut dianjurkan oleh Nabi SAW, sedangkan daging babi, jalalah (hewan pemakan kotoran), binatang buas, dan lain-lain dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya dikerenakan membawa bahaya yang sangat besar.


 




Keajaiban Dua Sayap Lalat




Lalat adalah hewan kecil yang hidup ditempat yang dianggap menjijikan oleh manusia, diamana ada tempat kotor, disanalah lalat berkembang biak. Tidak heran jika banyak manusia yang membenci lalat, disamping hidup ditempat kotor, lalat juga bisa menyebarkan berbagai macam penyakit lewat makanan yang dihinggapinya.
Banyak orang sakit perut atau mengalami gangguan pencernaan karena hewan kecil ini, tapi tahukah anda bahwa racun yang dibawa lalat mempunyai obat penawar yang bisa menetralkan racun tersebut? Tanpa harus bersusah payah mencari dan menemukannya, ternyata salah satu sayap yang ada pada lalat bisa menetralkan racun yang dibawa dan dihasilkan pada sayap yang satunya.
Ketika ada lalat yang masuk ke dalam minuman, hendaknya ditenggelamkan ke dalam minuman tersebut, kemudian setelah lalat ditenggelamkan baru diangkat darinya. Karena pada salah satu sayapnya tedapat racun dan pada sayap yang lain terdapat obat penawar. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Nabi SAW:
“Jika seekor lalat jatuh dalam minuman disalah seorang di antara kamu maka hendaklah ia membenamkannya (sekalian untuk) kemudian mengangkatnya. Sesungguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat penyakit dan disayap lain terdapat obat penawar”
Maksud dari  hadist ini, pada salah satu sayap lalat terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat obat penawar untuk penyakit tersebut. Ketika lalat terjatuh dalam makanan atau minuman, ia akan otomatis mengepakkan sayapnya yang mengandung racun sebagai bentuk pertahanan diri.
Imam Ibn Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa lalat melindungi dirinya dengan sayap sebelah kiri. Keterangan ini merupakan isyarat bahwa sayapnya yang sebelah kanan adalah sayap yang mengandung obat penawar, hal ini menguatkan pandangan salah seorang peneliti. Ketika lalat sudah dibenamkan seluruhnya maka unsur-unsur obat akan menyerang unsur-unsur penyakit dengan izin Allah.
Hadist ini mengisyaratkan untuk mencelupkan lalat dalam minuman hingga obat yang ada pada salah satu sayap lalat tersebut dapat menyingkirkan penyakit yang dibawa pada sayap yang lain. Orang yang keberatan dengan hadist ini tidak bisa serta-merta meragukan kebenaran hadist ini, sebab hadist ini memiliki sanad yang shahih sebagaimana yang ditetapkan Imam Bukhari. Selain itu, hadist ini juga shahih secara matan. Pertama, karena dinisbatkan kepada Nabi. Kedua, karena telah teruji keshahihannya dari dua sisi yaitu secara ilmiah dan praktis.
Dari segi pengalaman empirik, sekelompok peneliti muslim Mesir dan Kerajaan Arab Saudi telah melakukan percobaan terhadap sejumlah gelas yang mengandung air, madu, dan beberapa macam jus, dalam kadar yang sama antar gelas. Gelas-gelas itu dibiarkan terbuka bagi lalat supaya mereka terjatuh kedalamnya. Pada sebagian gelas itu lalat yang terjatuh ditenggelamkan dan pada gelas yang lain tidak ditenggelamkan. Hasil uji coba menunjukkan bahwa pada minuman yang tidak ditenggelamkan lalatnya penuh dengan kuman dan mikroba. Sedangkan pada minuman yang ditenggelamkan lalatnya hampir-hampir bersih dari kuman dan mikroba.
Kemudian sekelompok pakar biologi di Universitas Malik Abdul Aziz dan Universitas Kairo telah melakukan uji coba untuk meneliti perbedaan pengaruh penjatuhan dan penenggelaman lalat perumahan pada tingkat kontaminasi mikroba dan bakteri di dalam air, susu, dan makanan-makanan lain (yang dijatuhi lalat). Dari penelitian yang telah diulang-ulang berpuluh kali ini diketahui bahwa lalat yang dicelupkan ke dalam cairan seperti seperti air, susu, jus, dan makanan, menunjukkan penurunan jumlah mikroba secara drastis dibanding dengan cairan dan makanan sejenis yang lalatnya tidak ditenggelamkan, melainkan hanya dibiarkan atau diambil. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa lalat yang dicelupkan dalam cairan yang diteliti telah menampakkan unsur atau kerja melawan mikroba.
Demikianlah keajaiban dua sayap lalat. Satu berfungsi menawarkan racun, dan yang satu membawa racun yang berbahaya. Maha Suci Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya secara berpasang-pasangan, ada siang, ada malam. Ada baik, dan ada pula buruk. Begitu pula dengan sayap lalat yang berpasangan, tetapi mempunyai fungsi yang berbeda. Satu sayap untuk menawarkan racun sebagai obat kesembuhan bagi manusia yang meminum bekas minuman yang tercebur lalat, sedangkan satu sayapnya lagi membawa racun yang  berbahaya bagi tubuh manusia.
Manusia tidak perlu lagi mencari kesana-kemari obat penawarnya, melainkan sudah disediakan Allah pada bagian lain. Maha Besar Allah yang telah menciptakan penyakit sekaligus obatnya sesuai sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, serta menciptakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah kalian namun jangan berobat dengan yang haram” (H.R Abu Daud)


Urgensi Khusuk Dalam Shalat




Salah satu kewajiban seorang muslim adalah menegakkan shalat lima waktu, kemudian disempurnakan dengan shalat nafilah atau yang sering disebut shalat sunnah. Shalat nafilah terbagi macam-macam dan tata cara pelaksanaannya sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.
Shalat juga merupakan rukun islam ke dua setelah seorang muslim membaca syahadat. Ketika seorang muslim enggan melaksanakan, bahkan mengingkari rukun islam yang ke dua tersebut, maka ia bisa disamakan dengan golongan kafir, karena Nabi SAW pernah bersabda bahwa pembeda antara seorang muslim dan kafir adalah shalatnya, ketika ia meninggalkan secara sengaja maka ia termasuk golongan orang kafir.
Beberapa ulama berijtihad bahwa jika ada orang muslim yang sengaja meninggalkan shalat ia dianggap telah kafir. Apabila ia akan mengerjakan shalat dan ibadah lainnya (zakat, puasa, haji, dan ibadah lain), maka ia harus bersyahadat kembali karena ia dianggap telah keluar dari agama islam. Persaksian tersebut tidak harus disaksikan oleh orang lain, cukup baginya bersaksi secara pribadi.
Begitu pentingnya ibadah shalat, sehingga apabila ada yang meninggalakan secara sengaja dianggap telah keluar dari agama islam (murtad). Tidak hanya itu, shalat ternyata mampu mencegah dari melakukan perbuatan keji dan munkar. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”
Suatu pertanyaan besar, apakah setiap shalat yang dilakukan seseorang secara otomatis mendapatkan pahala dari Allah? Apakah ada syarat-syarat yang harus dilakukan?
Salah satu syarat mendapat pahala dalam shalat yaitu dengan menghadirkan rasa khusuk dalam qalbu. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya diantara kamu ada orang yang shalat dan tidak ditulis baginya pahala shalatnya kecuali hanya sepertiganya, seperempatnya, seperlimanya, seperenamnya, atau sepersepuluhnya saja. Tidaklah ditulis bagi shalatnya kecuali apa diangan-angankannya. Barang siapa yang shalat dua rakaat saja dalam keadaan menghadap Allah dengan hatinya (khusuk), maka selamatlah dia dari dosa-dosanya, seperti pada hari dilahirkan ibunya.” (Hadist)
Berdasarkan hadist tersebut, tidak setiap shalat seseorang bisa mendapatkan pahala secara penuh, melainkan tergantung khusuk atau tidaknya seseorang. Allah SWT juga berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengigat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi” (Q.S Al-Munafiqun: 9)
Yang dimaksud melalaikan kamu dari mengigat Allah ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama ialah lalai dari apa yang diperintahkan Allah karena terlalu sibuk mengurusi kepentingan dunia. Kemungkinan kedua ialah melaksanakan shalat, tetapi hatinya tidak mengingat Allah SWT atau tidak khusuk.
Lebih jauh lagi Syaikh Muhammad Abduh membagi dua golongan orang yang khusuk. Pertama khusuk munafiq, artinya seseorang melaksanakan ibadah shalat secara dzahirnya khusuk dari segi bacaan dan gerakan, tetapi hatinya melayang-layang entah kemana. Mungkin sibuk memikirkan dunia atau hal-hal lain diluar shalat. Kedua, khusuk iman, artinya seseorang melaksanakan shalat secara fisik maupun non fisik ia selalu menghadirkan hatinya kepada Allah, seperti ungkapan berikut:
“Beribadahlah kamu kepada Allah seakan-akan kamu melihatnya, maka jika kamu tidak mampu melihatnya, sesungguhnya Allah melihatmu”
Abu Al-Aliyah  seorang ulama besar pernah ditanya tentang firman Allah SWT:
“Celakalah orang-orang yang shalat” (Q.S Al-Ma’un:5)
Lalu ia menjawab: “Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya dan tidak mengetahui genap atau ganjilkah rakaatnya.” Ulama lain yang bernama Hasan berkata: “Yaitu orang yang dari waktu shalatnya, sehingga shalat itu keluar” Kedua penafsiran tersebut sama-sama bisa diterima, karena penafsiran Abu al-Aliyah Q.S Al-Ma’un ayat 5 menurut penulis dijelaskan dengan ayat 6, kemudian ayat 6 dijelaskan dengan ayat 7 yang berbunyi:
“(Orang-orang celaka adalah) orang-orang yang lalai shalatnya (6) Yaitu orang-orang yang riya dalam shalatnya” (7) (Q.S Al-Ma’un:6-7)
Sedangkan Penafsiran Hasan terhadap Q.S Al-Ma’un ayat 5 ditafsirkan dengan ayat 6 berdasarkan artian secara dzahirnya.
“(Orang yang celaka adalah) orang-orang yang lalai shalatnya (Q.S Al-Maun:6)
Dalam Q.S Al-Mu’minun ayat 1 sampai 2 dijelaskan bahwa orang beriman yang beruntung salah satunya adalah orang yang menegakkan shalat secara khusu’. Apabila ia bisa melaksanakan shalat secara khusu’, maka ia dijanjikan masuk ke dalam surga Firdaus. Sebagaima yang disabdakan oleh Nabi SAW:
“Telah diturunkan kepadaku sepuluh ayat. Barang siapa yang mengamalkannya, niscaya dia akan masuk surga”. Kemudian beliau menyebut Surah Al-Mu’minun ayat satu sampai sepuluh.
Q.S Al-Mu’minun Ayat 1-2 berbunyi:
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman (1) Yaitu orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya (2)” (Q.S Al-Mu’minun: 1-2)  
Berdasarkan Asbab An-Nuzul  riwayat Abu Hurairah R.A, dahulu Rasulullah SAW memandang ke langit apabila shalat. Maka, Allah menurunkan ayat ini. Setelah itu, beliau shalat dengan menundukkan kepalanya. (Hadist shahih riwayat Hakim)
Adapun khusu’ yang dimaksud dalam ayat diatas adalah mengosongkan hati (dari hal-hal duniawi) dan menegakkan anggota badan (saat melaksanakan shalat).
Pada dasarnya, semua manusia yang tinggal di bumi mengakui bahwa shalat dengan khusu’ itu sangat sulit. Para sahabat nabi pun sampai berjuang mati-matian melawan hawa nafsu dan godaan setan yang selalu menggodanya dimana dan kapan pun berada. Ada suatu kisah bahwa dulu Rasulullah SAW pernah menjajanjikan suatu hadiah berupa sorban dalam suatu perlombaan bagi para sahabatnya yang bisa melaksankan shalat secara khusu’. Dimulai dari Abu Bakar sampai dengan Ali Ibn Thalib untuk menegakkan shalat secara khusu’, namun tidak ada satu sahabat pun yang bisa shalat khusu’ secara keseluruhan dalam perlombaan itu, sehingga tidak ada yang bisa memiki sorban yang telah dijanjikan oleh Rasulullah SAW.
Kesulitan manusia untuk melakukan shalat secara khusu’ memang sangat dirasakan, tetapi bukan berarti hal tersebut tidak bisa dilakukan, banyak kisah-kisah orang yang sangat khusu’ dalam menegakkan shalatnya, sehingga apa yang terjadi disekitarnya tidak dirasakan olehnya. Dibawah ini ada beberapa kisah teladan orang-orang yang khusu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Khalaf Ibn Ayyub pernah berdiri dalam shalat. Tiba-tiba ada lebah yang menyengatnya sehingga dia terluka dan mengalirkan banyak darah, sedangkan ia tidak merasakan hal itu, hingga pada akhirnya Ibn Sa’id keluar dan memberi tahukan hal itu. Dia lalu membasuh pakaiannya yang terkena darah, kemudian ditanyakan hal itu padanya: “Kamu disengat lebah dan berdarah, mengapa kamu tidak merasakannya? Maka dia balik bertanya: “Adakah merasakan seperti itu bila aku sedang dihadapan Tuhan Raja Maha Perkasa, sedangkan malaikat maut berada di tengkuk-Nya dan Sirat di bawah telapak kaki-Nya.”
Amir Ibn Zarr terserang sakit yang dapat melumpuhkan tangannya. Dia adalah seorang yang tinggi zuhudnya. Para dokter berkata padanya: “Tangan ini harus dipotong”. Dia menjawab: “Potonglah”. Mereka berkata: “Kami tidak bisa memotongnya kecuali kamu kamu diikat dengan tali”. Dia berkata: “Jangan sekarang! Tetapi potonglah tanganku nanti ketika aku sedang shalat”. Ketika masuk dalam waktu shalat maka dipotonglah tangannya dan ia tidak merasakannya.
Muslim Ibn Yasar adalah seorang dari orang-orang yang terkenal khusu’. Ketika ia sedang shalat, ia tidak menyadari bahwa salah satu tiang penyangga masjid roboh sehingga ia tertimpa bengunan masjid.
Amir Ibn Abdullah dikenal sebagai orang yang sangat khusu’ dalam shalatnya. Sehingga adakalanya putrinya memainkan rebana dihadapannya, tetapi ia sama sekali tidak merasa terganggu. Kaum wanita bercakap-cakap sekehendak hati mereka namun ia tidak merasa terganggu karena ia tidak mendengar semua itu, Suatu hari ditanya padanya: “Adakah hatimu membisikkan sesuatu ketika sedang shalat?”. Jawabnya: “Ya aku dingatkan bahwa aku ini sedang berdiri dengan Allah SWT dan kelak aku pasti menuju akherat.” Mereka bertanya lagi: “Apakah terlintas dalam hatimu sesuatu urusan dunia, seperti yang kami alami?”. Jawabnya: ”Seandainya tubuhku dicabik-cabik oleh sejumlah tombak, lebih kusukai dari pada mengalami seperti yang kalian alami”. Kemudian diriwayatkan pula, ia sering berkata: “Seandainya tirai ghaib tersingkap bagiku, niscaya tidak sedikit pun keyakinanku akan berubah”.
Ali Ibn Abi Thalib suatu ketika berperang dan pada akhirnya ia tertembus panah tangannya. Ia dan para sahabat disekitarnya sudah berusaha mencabut panah tersebut, namun tidak berhasil karena setiap kali panahnya dicabut ia merasa kesakitan, sehingga membuat para sahabat yang ada disekitarnya tidak tega untuk mencabut panah tersebut dari tangannya. Kemudian Ali mencoba memberikan permintaan pada para sahabatnya untuk mencabut panah yang ada ditangannya pada saat shalat, dan akhirnya panah tersebut bisa lepas dari tangannya pada saat ia sedang melaksanakan shalat.
Itulah kisah teladan para ulama-ulama genarasi dahulu. Mereka senatiasa menjaga kekhusu’an pada setiap shalat fardhu atau shalat sunnah. Fikiran dan hati mereka selalu tertuju pada Allah SWT, dan senantiasa menjauhkan keduanya dari urusan duniawi ataupun godaan setan. Sebagai generasi penerus ulama, sudah selayaknya bagi seorang mukmin untuk mengakkan shalat secara khusu’. Sudah dijelaskan pada hadist diatas bahwa besar atau kecilnya pahala yang diterima seseorang tergantung pada khusu’ atau tidaknya ia dalam melaksanakan shalat.    

Senin, 01 April 2013

Analisis Perceraian Berikut Dampak atau Akibatnya


                                               Analisis Perceraian Berikut Dampak atau Akibatnya
A. Definisi Perceraian
Dalam islam, perceraian sering disebut dengan thalaq (طلاق). Secara bahasa thalaq diartikan dengan melepaskan ikatan, sedangkan secara istilah talak menurut istilah hukum syara’ adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan. Artinya suami istri yang tadinya bersatu, dengan adanya perceraian memisahkan hubungan yang telah dibina dalam waktu yang relatif lama atau sejenak.
B. Macam-Macam Kekacauan Keluarga
Kekacauan keluarga dapat ditafsirkan sebagai “pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya strukutur peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban mereka secukupnya”. Menurut definisi ini maka macam utama kekacauan keluarga adalah sebagai berikut.
1. Ketidaksahan. Ini merupakan unit keluarga yang tak lengkap. Dapat dianggap sama dengan bentuk-bentuk kegagalan peran lainnya dalam keluarga, karena sang “ayah-suami” tidak ada dan karenanya tidak menjalankan tugasnya seperti apa yang ditentukan oleh masyarakat atau oleh sang ibu. Tambahan pula, setidak-tidaknya ada satu sumber ketidaksahan dalam dalam kegagalan anggota-anggota keluarga baik ibu maupun bapak untuk menjalankan kewajiban peranannya.
2.  Pembatalan, Perpisahan, perceraian, dan meninggalkan. Terputusnya keluarga di sini disebabkan karena salah satu atau kedua pasangan itu memutuskan untuk saling meninggalkan, dan dengan demikian berhenti melaksanakan kewajiban perannya.
3. “Keluarga Selaput Kosong”. Di sini anggota-anggota keluarga tetap tinggal bersama tetapi tidak saling menyapa atau bekerjasama satu dengan yang lain dan terutama gagal memberi dukungan emosional satu kepada yang lain.
4. Ketiadaan seorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan. Beberapa keluarga terpecah karena sang suami atau istri telah meninggal, dipenjarakan, atau terpisah dari keluarga karena peperangan, depressi, atau malapetaka yang lain.
5. Kegagalan peran penting yang ‘tak diinginkan’. Malapetaka dalam keluarga mungkin mencakup penyakit mental, emosional, atau badaniyah yang parah. Seorang anak mungkin terbelakang mentalnya atau seorang anak, seorang suami, istri mungkin menderita penyakit jiwa. Penyakit yang parah dan terus-menerus mungkin juga menyebabkan kegagalan dalam menjalankan peran utama.
C. Perubahan Sosial Yang Berpengaruh Terhadap Perceraian 
Di antara indikasi perubahan sosial yang cukup berpengaruh terhadap perceraian adalah:
1. Perubahan pada makna yang terkandung dalam perceraian. Beberapa waktu lalu, hampir setiap orang yang bercerai akan kehilangan kehormatan dalam lingkungan sosialnya atau terkucilkan dari kehidupan sosial. Pada masa itu, perceraian dianggap sebagai kegagalan dalam rumah tangga. Suatu konflik di tengah-tengah keluarga yang berujung pada perceraian dianggap sebagai kegagalan dalam membina kerukunan keluarga. Status sebagai janda dianggap memalukan dan menimbulkan kecurigaan dalam masyarakat. Namun seiring berubahnya waktu, status ini tidak lagi dipersoalkan, apalagi di kota besar status janda atau duda merupakan hal yang biasa bahkan bukan lagi menghambat suatu aktivitas. Hal ini karena tekanan yang ditonjolkan pada masyarakat kota adalah peran, bukan status individunya.
2. Perubahan pada longgarnya pengawasan kerabat, teman, dan lingkungan tetangga terhadap keutuhan keluarga. Kepedulian terhadap keutuhan keluarga barangkali hanya bisa dirasakan pada masa dulu. Pada masa itu, keutuhan keluarga menjadi tanggung jawab bersama. Dalam keluarga luas, krisis yang dihadapi keluarga melibatkan diri untuk mempertahankan perkawinan bagi keluarga yang sedang mengalami kritis. Kini, semuanya telah bergeser, sebuah perkawinan dipandang sebagai milik seseorang. Idealisme individual melihat bahwa perkawinan merupakan sebuah kegiatan praktis yang harus dilalui oleh seseorang. Seseorang dapat memilih untuk melanjutkan kegiatan yang praktis tersebut atau mencari kegiatan yang lebih dianggap praktis. Oleh karena itulah, dukungan dan tetangga terhadap keutuhan keluarga menjadi berkurang.
3. Tersedianya pilihan diluar keluarga. Saling bergantung antara suami istri merupakan indikasi keutuhan keluarga. Namun dewasa ini kebutuhan yang biasanya dipenuhi keluarga telah menyebabkan ketergantungan suami istri menjadi berkurang. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan biologis yang biasanya dipenuhi dalam keluarga, kini dapat dicari di luar keluarga. Rumah makan, panti pijat, hotel, tempat hiburan dan sebagainya memungkinkan hilangnya ketergantungan antara suami dan istri. Kebutuhan yang bisa dipenuhi di luar keluarga dapat memberikan kesempatan bagi pasangan suami istri yang sedang mengalami krisis  untuk lebih tertarik pada berada di rumah.
4. Lahirnya tuntutan persamaan hak laki-laki dan wanita. Dalam masyarakat modern, perbedaan jenis kelamin tidak lagi menjadi kecenderungan bagi seseorang untuk memperoleh jabatan tertentu. Seseorang bisa menempati posisi tertentu bukan didasarkan atas gender, melainkan pada keahlian yang dimilikinya. Oleh karena itulah, kesempatan untuk merebut peluang karir bagi wanita semakin terbuka. Di sinilah letak masalahnya bagi hubungan antara suami dan istri yang sedang mengalami gangguan. Orientasi membangun keluarga pun bergeser dari orientasi untuk memperoleh keturunan menjadi orientasi meningkatkan karier. Di samping itu, perubahan orientasi ini juga mempengaruhi pasangan suami istri untuk mempertahankan perkawinan. 
D. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian.
Secara singkat, ketidakbahagiaan perkawinan telah berkembang sehingga kesediaan untuk menggunakan perceraian sebagai salah satu jalan keluar meningkat pesat.
Tidak diketahui secara pasti faktor yang menyebabkan naiknya tingkat perceraian yang terjadi pada suatu keluarga, apakah dikarenakan ketidakbahagiaan perkawinan atau adanya anggapan bahwa perkawinan hanya sebuah formalitas kebersamaan antara suami istri. Akan tetapi, yang benar-benar diketahui adalah sebagai berikut:
1. Perubahan pada cita rasa dan tata nilai yang sama antara suami istri. Kehidupan yang mendorong seseorang memiliki keahlian dan mobilitas modern yang makin meningkat, telah menjadikan tata nilai dalam keluarga antara suami dan istri yang menjadi berubah.
2. Tingkat ketergantungan secara ekonomis bagi istri terhadap suami semakin menurun. Para istri tempo dulu yang perkawinannya tidak bahagia, tidak mempunyai pilihan lain untuk menyelesaikan kemelut rumah tangga, kecuali tetap hidup bersama suaminya. Pada masa sekarang, para istri yang tidak bahagia bisa melakukan banyak pilihan, antara lain mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Dalam keluarga yang istrinya bekerja di luar rumah, tingkat ketergantungan dengan suami menjadi kurang dan hal ini memungkinkan rumah tangga menjadi rapuh.
3. Perceraian berkembang dengan sendirinya karena meningkatnya seseorang yang mempunyai orang tua, kakak, dan kerabat lainnya yang bercerai. Seseorang yang sedang mengalami krisis sering melakukan komunikasi dan kontak sosial, baik langsung atau tidak langsung dengan orang yang pernah bercerai. Hal itu sering diikuti oleh keyakinan bahwa perceraian sebagai pola yang wajar diterima dari sebuah mimpi buruk yang menakutkan menjadi pilihan yang rasional.
Sebuah survey yang dilakukan oleh Geotge Lavinger pada tahun 1966 menyebutkan 12 alasan keluarga yang mengajukan permohonan cerai, yaitu: 
1. Karena pasangannya sering mengabaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangannya.
2. Masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi keluarga dan kebutuhan rumah tangga).
3. Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan.
4. Pasangannya sering berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta menyakitkan.
5. Tidak setia, seperti punya kekasih lain, dan sering berzina dengan orang lain.
6. Ketidakcocokan dalam masalah hubungan seksual dengan pasangannya, seperti adanya keengganan atau sering menolak melakukan senggama, dan tidak bisa memberi kepuasan.
7. Sering mabuk.
8. Adanya keterlibatan/campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya.
9. Sering muncul kecurigaan, kecemburuan serta ketidak percayaan dari pasangannya.
10. Berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian dan kebersamaan di antara pasangan.
11. Adanya tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak sabar, tidak ada toleransi, dan dirasakan terlalu “menguasai”.
12. Kategori lain yang tidak termasuk 11 tipe keluhan diatas.
Dari kategori keluhan-keluhan tersebut, para suami menempatkan proporsi tertinggi pada dua macam keluhan yaitu:
1. Adanya campur tangan dan tekanan dari pihak kerabat istri.
2. Masalah ketidakcocokan dalam hubungan seksual.
Sedangkan para istri menempatkan proporsi menempatkan proporsi yang tertinggi pada tiga macam keluhan yaitu:
1. Suami sering melalaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak.
2. Suami sering melakukan penyiksaan fisik.
3. Masalah keuangan.
Hal lain yang menarik untuk dicatat dan diperhatikan adalah bahwa perbandingan suami dan istri yang menyatakan faktor ketidaksetiaan pasangannya sebagai penyebab perceraian, sangat kecil dan hampir sebanding yaitu 20% : 24%.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa perbedaan kelas sosial juga menunjukkan adanya perbedaan persentase keluhan para istri. Dibandingkan dengan kelas bawah, para istri kelas menengah menempatkan persentase terbesar hanya pada 4 dari 11 tipe keluhan yang dijadikan alasan oleh mereka untuk mengajukan perceraian yaitu:
1. Karena suami sering melalaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak.
2. Adanya tuntutan yang berlebihan dari suami.
3.  Suami tidak setia.
4. Berkurangnya perasaan cinta dari suami.
Namun di kalangan suami, hampir tidak terdapat perbedaan persentase tipe keluhan/alasan untuk mengajukan perceraian menurut kelas sosial yang ada di dalam masyarakat.
 Menurut Hilman, tingkat perceraian tertinggi berada pada kategori pekerja kasar, seperti buruh, pembantu rumah tangga, dan pelayan disektor jasa. Tingkat perceraian ini semakin menurun pada pasangan suami istri yang bekerja sebagai kerah putih yang berada pada lapisan menengah. Adapun pada tingkat orang-orang profesional, direktur dan manager sebuah perusahaan, tingkat perceraiannya sangat rendah.
Selain itu, Goode melihat tingkat percaraian juga terjadi pada tingkat pendidikan dan penghasailan. Hal ini menunjukkan adanya konsistensi antara status pekerjaan dengan tingkat pendidikan yang menjadi pemicu perceraian.
Lamanya usia perkawinan dapat dijadikan indikator penyebab terjadinya perceraian. Studi yang dilakukan Kephart menunjukkan bahwa perceraian banyak terjadi pada usia perkawinan dibawah lima tahun. Dalam kelompok ini, tingkat tertinggi perceraian dialami oleh kelompok usia perkawinan tiga tahun. Godaan pada pasangan suami istri yang mengakibatkan pisah ranjang lebih banyak terjadi pada tahun pertama perkawinan. Tingkat perceraian turun secara signifikan ketika usia perkawinan memasuki usia tujuh tahun.
Tingginya tingkat perceraian juga bisa diakibatkan status dalam perkawinannya apakah pasangan suami istri memiliki anak atau tidak. Bagi pasangan yang tidak memiliki anak, perceraian lebih banyak terjadi. Diantara pasangan suami istri yang yang tidak mempunyai anak, 71% berakhir dengan perceraian dan 8% pasangan suami istri yang memiliki anak berakhir dengan perceraian.
E. Penyesuaian Seksual Dan Perceraian
Salah satu faktor kebahagiaan perkawinan dan perceraian adalah penyesuaian seksual pasangan. Para analisis modern mengenai masalah peceraian telah menyetujui bahwa suatu perubahan mengenai manfaat hubungan seks dalam perkawinan telah terjadi selama generasi yang lalu. Setelah PD I, tuntutan seksual para wanita telah menjadi naik. Selama beberapa dekade yang lalu , para suami telah menyempurnakan teknik seks mereka dalam usaha untuk lebih memuaskan istri mereka, dan para istri sudah tidak lagi bersikap dingin (frigid), lebih mudah untuk dipuaskan. Sebaliknya, banyak pasangan yang bercerai mengeluh mengenai problem seksual. Tafsiran para analisa perkawinan ialah bahwa persoalan itu bukanlah merupakan hal yang utama, dan bahwa semua itu lebih disebabkan karena adanya pertentangan dan ketegangan perkawinan, Karena itu, hubungan seksual yang tidak memuaskan sebagai penyebab perceraian relatif kecil artinya.
Yang tidak kalah penting bahwa laki-laki lebih banyak kemungkinan daripada wanita untuk mengeluhkan persoalan hubungan seks, tetapi karena semua itu lebih penting bagi laki-laki dalam mengevaluasi perkawinan dibandingkan dengan kepuasan wanita akan keseluruhan hubungan perkawinan mereka.
F. Peran Seks Dan Perceraian
Data dari berbagai survey mengungkapkan bahwa wanita lebih banyak mengeluh mengenai perkawinannya daripada laki-laki. Sebabnya, mungkin terletak pada arti perkawinan yang lebih besar bagi wanita, ketergantungan mereka dan kepuasan untuk penyesuaian diri terhadap kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu kira-kira ¾ dari semua perceraian di A.S, diberikan kepada wanita.
Meskipun demikian, satu penelitian telah mengembangkan sebuah teori yang lebih sering ingin melakukan perceraian daripada pihak istri. Kebanyakan tenaga suami, perhatian dan urusannya, terpusat pada hal-hal di luar rumah. Ia dapat saja terlibat dalam tingkah laku yang mungkin dianggap kurang wajar atau tak berdosa jika umpamanya dilakukan pada istrinya. Ia boleh, tanpa celaan, mengadakan lebih banyak persahabatan dengan lawan jenisnya. Akibatnya, ia kurang terikat kepada rumahnya sebagaimana halnya, istrinya, dan lebih banyak kemungkinan untuk memperoleh kegembiraan, hiburan, dan juga kesibukan di luar rumah.
Sebailknya, di bawah norma-norma persamaan hak modern kelakuan itu mungkin membuat sang istri tidak bahagia. Tetapi, justru karena kehidupan di luar rumah itu demikian pentingnya bagi sang suami, istrinya tidak mempunyai banyak kekuasaan untuk memaksa agar mengikuti kemauannya. Sang istri pada permulaan, sedikit kemungkinan menginginkan perceraian, sedangkan sang suami kemungkinan merasa bersalah untuk menuntut hal itu. Hasilnya ialah bahwa si laki-laki mungkin mengembangkan pola tingkah laku yang menibulkan celaan, kutukan, dan ketidak hormatan bagi sang istri sebagai bagian dari memuncaknya pertentangan antara keduanya. Yaitu, membuat dirinya tidak disukai, ia menimbulkan dalam diri istrinya (dengan sengaja atau tidak) keinginan untuk memutuskan perkawinan itu. Kritik yang dialaminya dalam proses itu mungkin juga meredakan perasaan yang bersalah yang mungkin harus ia derita.      
G. Dampak Terjadinya Perceraian
Dampak terjadinya perceraian, hubungan suami istri mungkin berakhir dengan suatu permusuhan. Hubungan semacam ini merupakan penderitaan yang berat. Tak ada seorang pun yang mengharapkan hal ini terjadi.
Karena adanya unsur-unsur yang merusak dalam perceraian, para sosiolog menyatakan bahwa penyesuaian perceraian sama dengan kematian dalam arti sosial, bukan kematian dalam arti biologis. Kematian itu sangat menyakitkan dan tidak ada seoarng pun yang dapat menggantikan orang yang telah mati.
Perceraian dan kematian memiliki segi-segi kesamaan, antara lain:
1. Penghentian kepuasan seksual.
2. Hilangnya persahabatan, kasih, dan rasa aman.
3. Peran orang dewasa menjadi hilang untuk diikuti oleh anak-anaknya.
4. Beban rumah tangga bertambah berat bagi pasangan yang ditinggalkan dalam mengurusi anak-anak.
5. Beban ekonomi menjadi tanggungan sendiri.
6. Pembagian tugas dan tanggungjawab baru dalam mengurusi rumah tangga.
Menurut Scanzoni dan Scanzoni, setelah perceraian, seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu mengharapkan kebali mantan pasangannya. Ini dikarenakan perceraian itu sendiri menandakan adanya rasa benci di kalangan suami istri. Pandangna lain Scanzoni dan Scanzoni didasarkan pada tulisan Krantzler tang berjudul “Creative Divorce”. Menurut Krantzler, perceraian telah memberikan peluang yang cukup luas kepada seseorang untuk memperoleh pengalaman dan kreativitas baru guna menempuh hidup yang lebih baik dan menyenangkan dari sebelumnya.  
Hasil penelitian yang menggunakan 41 sampel orang tua yang bercerai menunjukkan adanya suatu hubungan yang berkesinambungan setelah perceraian. Hubungan ini bergerak dari perasaan paling benci terhadap pasangan dan hubungan yang menganggap pasangannya sebagai teman. Para responden banyak yang tidak menganggap mantan pasangannya sebagai teman, tetapi sebagai musuh.
Hubungan yang berlangsung antara mantan pasangan suami dan istri sebagai sahabat ditandai oleh adanya rasa kebersamaan dalam mendidik anak-anaknya. Mereka hidup rukun dengan tempat tinggal yang berjauhan. Kontak dengan anak dilakukan dengan cara memberikan nasihat dan bahkan tidak jarang mengadakan bisnis.
Hubungan antara mantan pasangan suami istri bukan sebagai teman dan bukan pula sebagai musuh ditandai dengan adanya hubungan seperlunya. Komunikasi dengan anak dilakukan hanya pada saat-saat tertentu, sepertidalam merayakan ulang tahun atau pada waktu libur. Hubungan keduanya terlihat sangat kaku dan bahkan tidak menyenangkan.
Adapun hubungan antara mantan pasangan yang menganggap musuh terhadap mantan pasangannya berusaha untuk tidak melakukan komunikasi satu sama lain. Dalam forum resmi, apabila mereka hadir dalam resepsi perkawinan anak, diupayakan untuk tidak saling menyapa satu sama lain.
Para sosiolog lainnya, melihat dampak perceraian terhadap anak sangat bergantung pada kondisi tertentu, yakni kondisi perkawinan orang tuanya. Bagi seorang anak yang berasal dari keluarga tidak bahagia dalam perkawinan, menganggap perceraian sebagai pilihan terbaik, sedangkan bagi anak yang hidup di tengah-tengah lingkungan keluarga yang harmonis, perceraian seperti mimpi buruk yang menakutkan, yang mendatangkan trauma dan kebingungan mengahadapinya.  
 Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak perceraian terhadapa anak selalu buruk. Anak yang orang tuanya bercerai akan hidup menderita. Secara mental, dia kehilangan rasa aman. Perasaan iri dan sedih selalu menyelimuti jiwanya apabila mengahadapi teman sebaya bersama orang tua mereka.
Lebih buruk lagi, ia akan menjadi pendiam, tidak bergairah, dan kehilangan masa depan. Apabila ia tinggal bersama paman atau bibinya, ia akan berfikir bahwa orang tuanya tidak lagi menyayanginya , namun adakalanya ia sering berkhayal agar orang tuanya rujuk lagi.
H. Mengatasi Perceraian
Bagi orang Amerika, upaya menurunkan derajat tingkat perceraian dilakukan dengan empat cara yaitu berikut ini:
1. Tidak terlalu menekankan cinta dalam sebuah perkawinan. Bagi yang setuju dengan pernyataan ini, mereka mengartikan sebuah perkawinan sebagai kesatuan kerja antara suami istri dalam membina rumah tangga. Pada masyarakat barat, orang-orang terlalu menguntungkan romantisme dan ada cinta dalam perkawinan. Kemudian mereka kecewa jika yang ditemukan bukanlah romantisme, melainkan pertentangan yang mendalam karena bagi mereka tidak lain sebaik-baiknya tempat menemukan kepuasan yang menjemukan dan sejelek-jeleknya tempat menemukan kepusingan yang menjengkelkan. Oleh karena itulah, bagi orang Amerika menempatkan cinta dan perkawinan dalam dua pisisi yang yang berbeda.
2. Memisahkan cinta dan perkawinan. Ini adalah kelanjutan dari penyelesaian pertama. Cinta berkaitan dengan masalah suka atau tidak suka terhadap seseorang, sedangkan perkawinan merupakan bagian di luar itu. Pasangan suami istri yang memisahkan cinta dan perkawinan berupaya sekuat tenaga bahwa perkawinan hanyalah sebuah ikatan kerja antara seorang suami istri dengan statusnya yang sah. Mereka boleh melakukan apa saja dalam mewujudkan ikatan kerja sama itu, termasuk hubungan seksual. Namun, urusan cinta secara tegas tidak masuk dalam rangkaian ikatan kerja sama itu. Pasangan suami istri secara wajar bisa berhubungan dengan laki-laki atau perempuan lain yang dia suka. Oleh karena itulah, perkawinan akan tetap terjaga.
3. Masyarakat dituntut untuk menyosialisasikan para anggotanya untuk memiliki kepribadian dan harapan yang hampir sama bahwa semua perkawinan akan berhasil secara memuaskan.
4. Kepentingan terhadap keluarga dan perkawinan ditempatkan pada urutan pertama di antara urutan pertama urusan lainnya sehingga perceraian tidak lagi bisa diterima. Dengan kata lain sebanyak mungkin kepentingan dalam kehidupan, maka keluarga dan perkawinan  jauh lebih penting. Memutuskan perkawinan berarti memtuskan seluruh segi kehidupan. 
Namun demikian, menurut Goode, cara utama menghidarkan diri dari perceraian ialah dengan mengsosialisasikan terhadap para remaja bahwa harapan yang diletakkan pada sebuah perkawinan bukanlah semata-mata kebahagiaan yang diberikan pada pasangan suami istri, melainkan pada intensifnya suami istri memberikan pelayanan dan penghormatan semestinya pada pasangannya. Oleh karena itu, apabila pasangan suami istri tidak bahagia dalam perkawinan tidak dapat melakukan perceraian karena dasarnya bukan hanya kebahgiaan semata.
Mengatasi perceraian, dapat pula dilakukan dengan menggunakan kerangka pemikiran bahwa manusia diciptakan dengan kodrat yang berbeda. Keperibadian, kebudayaan, kepentingan, dan sopan-santun merupakan hal-hal yang dimiliki manusia manapun dengan tingkat perbedaan yang mencolok. Apabila mengharapkan adanya kesamaan kodrat manusia dalam perkawinan, perkawinan tidak lebih dari sandiwara, film, dan cerita-cerita roman yang indah.
     
        DAFTAR PUSTAKA  
Goode, William J, Sosiologi Keluarga, Terj. Laila Hanoum Hasyim, Jakarta: Bumi Aksara, 2002
Ihromi, T.O, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999
Shon’ani, Imam, Terjemah Subulussalam, Terj. Abu Bakar Muhammad, Surabaya: Al-Ikhlas, 1991
Suhendi, Hendi dan Ramdani Wahyu, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2001