Mencegah Kemunkaran Tak Harus dengan Kekerasan
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Tak hanya mengatur urusan-urusan ritual kepada Tuhan, namun juga mengatur prinsip-prinsip muamalah dengan seluruh umat manusia di bumi, baik kepada sesama muslim maupun non muslim.
Oleh karena itu, sungguh aneh jika ada sebagian orang yang mengaku muslim, berbuat kejahatan kepada sesama muslim maupun kepada non muslim dengan tujuan-tujuan bermuatan politis keagamaan. Orang yang melakukan kejahatan tersebut, telah melanggar aturan-aturan dasar dalam agama, sebagaimana yang tertuang dalam maqashid syariah, yaitu hifd al nafs (menjaga jiwa).
Saat ini, banyak sekali aksi-aksi kejahatan politis keagamaan melalui tindakan-tindakan ekstrem yang dilakukan sebagian umat muslim. Melakukan perusakan fasilitas umum maupun pribadi secara ilegal karena dipandang tidak sesuai dengan keyakinan tertentu. Tanpa prosedur yang benar, mereka melakukan penggrebekan layaknya aparat keamanan.
Meski tujuan mereka adalah memberantas kemunkaran dan kemaksiatan, namun jika dilakukan dengan cara-cara kasar, tentu akan menjadi kontraproduktif. Bukan itu saja, citra Islam yang mengusung spirit rahmatan lil ‘alamin akan pudar dengan aksi-aksi tersebut.
Ibarat pepatah mengatakan:
“Karena nila setitik, rusak susu sebelangga.”
Hanya karena beberapa oknum yang beragama Islam melakukan tindakan kekerasan, akan berakibat pada citra Islam itu sendiri. Tak heran jika banyak yang memberikan label kepada agama Islam sebagai agama pro kekerasan.
Dalam kasus ini, penulis sepakat dengan statment yang pernah dilontarkan oleh Muhammad Abduh, seorang pembaharu dari Mesir:
“Al Islamu Mahjubun bil Muslimin.”
Artinya, keindahan Islam ditutupi oleh kaum muslim itu sendiri. Jelas-jelas Islam melarang tindakan kekerasan tanpa dasar hukum yang jelas. Agama samawi ini selalu mengedepankan prinsip musyawarah (syura) dalam setiap masalah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kehidupan akan selalu menimbulkan masalah. Sadar atau tidak, masalah akan selalu menemani manusia dalam setiap hembusan nafasnya. Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah, yaitu dengan mengedepankan prinsip syura.
Ketika prinsip syura telah ditegakkan dan tawakal menjadi pendampingnya, tetapi tak mendapat titik temu alias buntu, malah berujung pada peperangan. Maka bolehlah mengambil pilihan tersebut dengan dasar mempertahankan diri.
Perang (war), merupakan jalan terakhir dan digunakan sebagai alternatif darurat (emergency exit). Perang yang dilakuan di sini bukan perang dalam artian barbarisme, tanpa aturan dan melegalkan segala cara.
Dalam sejarah Islam, perang adalah upaya penegakkan keadilan, pengembalian hak-hak yang hilang, pemberantasan diskriminasi, dan pemihakan terhadap kelompok marginal. Tentu terdapat etika-etika yang menyertainya, seperti tidak diperbolehkannya membunuh anak-anak, orang tua, wanita, kaum agamawan. Kemudian juga tidak diperkenankan merusak fasilitas milik pribadi maupun umum.
Salah Menafsirkan Hadist Kemunkaran
Adanya aksi-aksi kekerasan yang ilegal dan kontraproduktif tak dapat dilepaskan dari kesalahpahaman dalam menafsirkan hadist berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49]
Banyak kalangan muslim yang menganggap bahwa cara mencegah kemunkaran terbaik dilakukan dengan tangan (biyadihi), dalam artian perbuatan. Tahapan kedua dilakukan dengan perkataan (fabilisanihi), sedang yang terakhir dengan hati (fabiqalbihi). Jadi, cara menafsirkan hadist tersebut secara tartib, tingkatan, dan urutan paling baik ke buruk.
Secara eksplisit, dikatakan dalam hadist tersebut bahwa orang yang paling lemah imannya akan memberantas kemunkaran dengan hati dan secara implisit, manifestasi tertinggi iman ialah ketika memberantas kemunkaran dengan dengan perbuatan. Celakanya, kata “perbuatan” kadang diartikan sebagai tindakan kekerasan dan cenderung main hakim sendiri.
Ibarat kerumunan massa yang menangkap seorang pencuri, bukannya dilaporkan ke polisi, tapi malah menghajar pencuri tersebut hingga meninggal. Itulah fenomena sekelompok umat muslim saat ini, tak mengenal prosedur dan hanya berdasar ghirah yang salah.
Menurut hemat penulis, hadist tersebut seharusnya tidak ditafsirkan secara tartib, urutan, dan tingkatan dari yang paling baik hingga paling buruk, namun ditafsirkan dengan membaca realita sekitar dan sama-sama pilihan baik bagi umat muslim yang melaksanakannya.
Kalimat ad’aful iman tidak diartikan secara harfiah “selemah-lemahnya iman”, namun sebagai motivasi bahwa kemunkaran harus dicegah dengan berbagai cara baik tiga cara di atas, maupun di luar tiga cara tersebut. Mengingat banyaknya bahasa hadist yang multi interpretasi, majazi dan sarat makna ganda, maka menafsirkannya pun harus sesuai kondisi dan relevansi tanpa harus kehilangan esensi.
Sebagai contoh, seseorang yang melihat beberapa orang yang sedang menegak cairan haram di suatu tempat tidaklah harus ditindak dengan pemukulan atas dasar agama. Bisa jadi nesehat dengan tutur kata yang baik dan lembut akan lebih bisa diterima oleh mereka. Tutur kata (dakwah bil lisan) akan menjadikan mereka sebagai objek dakwah, bukan sebagai iblis yang perlu dibunuh.
Dalam konteks ini, mencegah kemunkaran dengan lisan lebih baik ketimbang perbuatan tergantung pilihan dan kemampuan masing-masing. Tidak terpaku pada urutan, tartib, dan tingkatan pada hadist di atas.
Reinterpretasi Nash? Mengapa Tidak?
Bisa disimpulkan bahwa kekerasan dengan tendensi politis keagamaan terjadi karena miskonsepsi terhadap nash-nash keagamaan, seperti hadist kemunkaran di atas. Perlu adanya reinterpretasi terhadap sejumlah nash-nash keagamaan, seperti nash jihad, perang, hubungan antara muslim dan non muslim, dan lain-lain.
Reinterpretasi menjadi kunci utama dalam meminimalisir kekerasan bermuatan politis keagamaan. Tentu dalam reinterpretasi bukan nash yang dirubah, melainkan penafsiran dalam nash tersebut agar sesuai dengan kondisi kekinian dan tak terjadi kembali miskonsepsi.
Sesuai dengan prinsip ulama salaf dan khalaf bahwa nash dalam Islam sudah sempurna dan mutlak, tak membutuhkan perubahan, sedang penafsiran akan selalu berubah sesuai dengan perubahan tempat dan waktu.
Sama halnya dengan kaidah fiqih yang berbunyi:
تغير الأحكام بتغير الزمان والمكان
Hukum berubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Wallahu a’lam.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda