Hukuman Mati Tidak Bertentangan Dengan HAM
Pada saat ini, terdapat perbedaan pendapat untuk penerapan hukuman mati. Sebagian orang sepakat, dan sebagiann orang yang lain tidak sepakat. Bagi orang-orang yang sepakat ada tiga alasan yang mereka kemukakan: Pertama, hukuman mati merupakan hukuman yang tepat bagi pelaku pembunuhan berencana retribution, atonement or vegeance yang memiliki sifat menakutkan. Kedua, hukuman mati masih tercantum dalam kitab UU. Ketiga, hukuman mati lebih bersifat ekonomis. Adapun yang tidak setuju ada tiga pendapat yang mereka kemukakan: Pertama, secara historis hukuman mati tidak tertera pada Pancasila, dan KUHP di Indonesia merupakan peninggalan Belanda, sedangkan Belanda sudah meninggalkan hukuman mati. Kedua, hukuman mati merupakan suatu pembunuhan berencana, sehingga tidaka ada sifat memperbaiki moral pelaku. Ketiga, menghargai pribadi, martabat, dan pendekatan ilmiah bagaimana memahami seseorang melakukan tindak pidana.
Tidak hanya itu para aktivis HAM ada yang setuju dan adapula yang tidak setuju. Bagi yang tidak setuju, ada argumen yang membuat mereka memperkokoh keyakinannya, yaitu mereka mengacu pada pasal 28 ayat 1 butir UUD 1945, hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Artinya, semua pasal yang menyebutkan pidana mati harus dihapuskan. Bagi aktivis HAM yang setuju, mereka mengacu pada UUD 45 pasal 28 J, yang menyatakan pembatasan terhadap hak dan kebebasan: " Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatsan yang telah ditetapkan UU".
Pada hukum pidana islam, sanksi yang ditetapkan kepada pelaku berupa hukuman mati yaitu, riddah, pembunuhan senagaja (qatl al-amd), perampokkan (hirabah), pemberontakakkan (bughah), dan zina bagi yang sudah menikah.
Lagi-lagi hukum pidana islam diklaim sebagai tindakkan melanggar HAM. Menurut Orientalis Barat yang bernama David de Santialana hukum islam itu identik dengan balas dendam, karena nyawa harus dibayar dengan nyawa, telinga harus dibayar dengan teling, dll. Kemudian seorang reformis bernama abdullah an-Na'imi mengatakan, hukum islam itu primitif dan antagonis.
Ketika orang awam mendengar pendapat itu, maka mereka akan terpengaruh. Padahal dalam Al-Quran disebutkan
....و لكم في القصا ص حياةٌ
Artinya: di dalam penerapan qishas ada kehidupan (manusia) bagi kalian (al Ayat...)
Didalam al-Quran menjelsakan bahwa manusia adalah makhluk mulia, tapi pada ayat lain al-Quran menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang hina. Hal ini menjelaskan kepada manusia untuk mensikapi mereka sesuai batas-batas kewajaran yang ada. Ketika ada orang yang melaksanakan kewajiban yang ditentukan oleh Allah, maka dia perlu diberi penghargaan setinggi-tingginya, semisal mengerjakan shalat, shadaqah, dll. Jika ada seseorang yang mengerjakan maksiat, maka dia telah menjadi hina. Karena ia hina, maka harus mendapatkan hukuman atas kehinaannya. Jika yang menjadi acuan adalah HAM versi barat, maka sifatnya individualistik, dan sangat memanjakan hak orang, kemudian cenderung mengesampingkan kepentingan umum. Jika kita lihat, HAM cebderung mebahas hak-hak manusia, dan tidak membahas kewajiban manusia. Berbeda dengan HAM versi islam yang mempunyai corak theosentris, hak terkait dengan Allah, dan bersifat jamaah. Sebagai manusia yang baik, seharusnya masyarakat barat memahami pendirian yang ada pada umat islam, dan tidak memaksakan umat islam untuk mengikuti apa yang mereka fahami dan yakini. Ini jelas bertolak belakang dengan apa yang sering mereka kemukakan yaitu
sikap toleransi terhadap orang lain yang punya beberapa pendapat yang berbeda dengan kita.
Hukum pidana islam mempunyai tujuan retributif, yaitu keadilan pada hukuman mati bagi masyarakat dan keluarga korban. Jika tidak dilaksanakan hukuman mati, maka akan terjadi keadilan bagi masyarakat, dan korban mempunyai tujuan preventif, yaitu pencegahan sebelum melaksanakan tindak pidana, ketika tidak ada hukuman mati, maka tidak ada sifat pencegahan bagi masyarakat agar tidak melakukan perbuatan tersebut, seperti pada saat ini, banyak narapidana yang ketagihan keluar masukpenjara karena tidak ada efek menjerakan.
Sebagai penutup, ada dua statment yang sering diungkapkan mayoritas orang terhadap hukuman mati: Pertama, bertentangan dengan hak hidup. Kedua, yang berhak mematikan orang hanya Allah SWT.
Maka sebagai bantahan tersebut, beberapa orang orang menyatakan, ketika tidak menjalankan hukuman mati tidak ditegakkan dengan alasan HAM bagi pelaku, maka ada banyak hak hilang dari korban dan masyarakat (keamanan, kenyamanan, dll). Untuk bantahan kedua, justru Allah sendiri yang memerintahkan untuk membunuh bagi pelanggar jarimah baik Al-Quran dan as-Sunnah. Dan juga kita dapat mengajukan pertanyan, siapakah yang yang punya wewenang pelaku untuk membunuh korban?
Dengan adanya artikel ini mudah-mudahan dapat memberikan kepada kita suatu wacana, bahwa pada saat ini hukuman mati masih diperlukan, dan banyak permasalahan pidana muncul karena tidak ada efek jera bagi pelaku. Serta bagi umat muslim tidak dengan segera membenarkan apa yang dikatak oleh para orientalis, karena banyak pendapat mereka yang subjektif dan tidak ilmiah. Waallahu a'lam bi as-Shawab.
1 Komentar:
iya silahkan, semoga bisa membantu
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda