Rabu, 05 September 2012

Urgensi Khusuk Dalam Shalat


Salah satu kewajiban seorang muslim adalah menegakkan shalat lima waktu, kemudian disempurnakan dengan shalat nafilah atau yang sering disebut shalat sunnah. Shalat nafilah terbagi macam-macam dan tata cara pelaksanaannya sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.
Shalat juga merupakan rukun islam ke dua setelah seorang muslim membaca syahadat. Ketika seorang muslim enggan melaksanakan, bahkan mengingkari rukun islam yang ke dua tersebut, maka ia bisa disamakan dengan golongan kafir, karena Nabi SAW pernah bersabda bahwa pembeda antara seorang muslim dan kafir adalah shalatnya, ketika ia meninggalkan secara sengaja maka ia termasuk golongan orang kafir.
Beberapa ulama berijtihad bahwa jika ada orang muslim yang sengaja meninggalkan shalat ia dianggap telah kafir. Apabila ia akan mengerjakan shalat dan ibadah lainnya (zakat, puasa, haji, dan ibadah lain), maka ia harus bersyahadat kembali karena ia dianggap telah keluar dari agama islam. Persaksian tersebut tidak harus disaksikan oleh orang lain, cukup baginya bersaksi secara pribadi.
Begitu pentingnya ibadah shalat, sehingga apabila ada yang meninggalakan secara sengaja dianggap telah keluar dari agama islam (murtad). Tidak hanya itu, shalat ternyata mampu mencegah dari melakukan perbuatan keji dan munkar. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”
Suatu pertanyaan besar, apakah setiap shalat yang dilakukan seseorang secara otomatis mendapatkan pahala dari Allah? Apakah ada syarat-syarat yang harus dilakukan?
Salah satu syarat mendapat pahala dalam shalat yaitu dengan menghadirkan rasa khusuk dalam qalbu. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya diantara kamu ada orang yang shalat dan tidak ditulis baginya pahala shalatnya kecuali hanya sepertiganya, seperempatnya, seperlimanya, seperenamnya, atau sepersepuluhnya saja. Tidaklah ditulis bagi shalatnya kecuali apa diangan-angankannya. Barang siapa yang shalat dua rakaat saja dalam keadaan menghadap Allah dengan hatinya (khusuk), maka selamatlah dia dari dosa-dosanya, seperti pada hari dilahirkan ibunya.” (Hadist)
Berdasarkan hadist tersebut, tidak setiap shalat seseorang bisa mendapatkan pahala secara penuh, melainkan tergantung khusuk atau tidaknya seseorang. Allah SWT juga berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengigat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi” (Q.S Al-Munafiqun: 9)
Yang dimaksud melalaikan kamu dari mengigat Allah ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama ialah lalai dari apa yang diperintahkan Allah karena terlalu sibuk mengurusi kepentingan dunia. Kemungkinan kedua ialah melaksanakan shalat, tetapi hatinya tidak mengingat Allah SWT atau tidak khusuk.
Lebih jauh lagi Syaikh Muhammad Abduh membagi dua golongan orang yang khusuk. Pertama khusuk munafiq, artinya seseorang melaksanakan ibadah shalat secara dzahirnya khusuk dari segi bacaan dan gerakan, tetapi hatinya melayang-layang entah kemana. Mungkin sibuk memikirkan dunia atau hal-hal lain diluar shalat. Kedua, khusuk iman, artinya seseorang melaksanakan shalat secara fisik maupun non fisik ia selalu menghadirkan hatinya kepada Allah, seperti ungkapan berikut:
“Beribadahlah kamu kepada Allah seakan-akan kamu melihatnya, maka jika kamu tidak mampu melihatnya, sesungguhnya Allah melihatmu”
Abu Al-Aliyah  seorang ulama besar pernah ditanya tentang firman Allah SWT:
“Celakalah orang-orang yang shalat” (Q.S Al-Ma’un:5)
Lalu ia menjawab: “Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya dan tidak mengetahui genap atau ganjilkah rakaatnya.” Ulama lain yang bernama Hasan berkata: “Yaitu orang yang dari waktu shalatnya, sehingga shalat itu keluar” Kedua penafsiran tersebut sama-sama bisa diterima, karena penafsiran Abu al-Aliyah Q.S Al-Ma’un ayat 5 menurut penulis dijelaskan dengan ayat 6, kemudian ayat 6 dijelaskan dengan ayat 7 yang berbunyi:
“(Orang-orang celaka adalah) orang-orang yang lalai shalatnya (6) Yaitu orang-orang yang riya dalam shalatnya” (7) (Q.S Al-Ma’un:6-7)
Sedangkan Penafsiran Hasan terhadap Q.S Al-Ma’un ayat 5 ditafsirkan dengan ayat 6 berdasarkan artian secara dzahirnya.
“(Orang yang celaka adalah) orang-orang yang lalai shalatnya (Q.S Al-Maun:6)
Dalam Q.S Al-Mu’minun ayat 1 sampai 2 dijelaskan bahwa orang beriman yang beruntung salah satunya adalah orang yang menegakkan shalat secara khusu’. Apabila ia bisa melaksanakan shalat secara khusu’, maka ia dijanjikan masuk ke dalam surga Firdaus. Sebagaima yang disabdakan oleh Nabi SAW:
“Telah diturunkan kepadaku sepuluh ayat. Barang siapa yang mengamalkannya, niscaya dia akan masuk surga”. Kemudian beliau menyebut Surah Al-Mu’minun ayat satu sampai sepuluh.
Q.S Al-Mu’minun Ayat 1-2 berbunyi:
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman (1) Yaitu orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya (2)” (Q.S Al-Mu’minun: 1-2)  
Berdasarkan Asbab An-Nuzul  riwayat Abu Hurairah R.A, dahulu Rasulullah SAW memandang ke langit apabila shalat. Maka, Allah menurunkan ayat ini. Setelah itu, beliau shalat dengan menundukkan kepalanya. (Hadist shahih riwayat Hakim)
Adapun khusu’ yang dimaksud dalam ayat diatas adalah mengosongkan hati (dari hal-hal duniawi) dan menegakkan anggota badan (saat melaksanakan shalat).
Pada dasarnya, semua manusia yang tinggal di bumi mengakui bahwa shalat dengan khusu’ itu sangat sulit. Para sahabat nabi pun sampai berjuang mati-matian melawan hawa nafsu dan godaan setan yang selalu menggodanya dimana dan kapan pun berada. Ada suatu kisah bahwa dulu Rasulullah SAW pernah menjajanjikan suatu hadiah berupa sorban dalam suatu perlombaan bagi para sahabatnya yang bisa melaksankan shalat secara khusu’. Dimulai dari Abu Bakar sampai dengan Ali Ibn Thalib untuk menegakkan shalat secara khusu’, namun tidak ada satu sahabat pun yang bisa shalat khusu’ secara keseluruhan dalam perlombaan itu, sehingga tidak ada yang bisa memiki sorban yang telah dijanjikan oleh Rasulullah SAW.
Kesulitan manusia untuk melakukan shalat secara khusu’ memang sangat dirasakan, tetapi bukan berarti hal tersebut tidak bisa dilakukan, banyak kisah-kisah orang yang sangat khusu’ dalam menegakkan shalatnya, sehingga apa yang terjadi disekitarnya tidak dirasakan olehnya. Dibawah ini ada beberapa kisah teladan orang-orang yang khusu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Khalaf Ibn Ayyub pernah berdiri dalam shalat. Tiba-tiba ada lebah yang menyengatnya sehingga dia terluka dan mengalirkan banyak darah, sedangkan ia tidak merasakan hal itu, hingga pada akhirnya Ibn Sa’id keluar dan memberi tahukan hal itu. Dia lalu membasuh pakaiannya yang terkena darah, kemudian ditanyakan hal itu padanya: “Kamu disengat lebah dan berdarah, mengapa kamu tidak merasakannya? Maka dia balik bertanya: “Adakah merasakan seperti itu bila aku sedang dihadapan Tuhan Raja Maha Perkasa, sedangkan malaikat maut berada di tengkuk-Nya dan Sirat di bawah telapak kaki-Nya.”
Amir Ibn Zarr terserang sakit yang dapat melumpuhkan tangannya. Dia adalah seorang yang tinggi zuhudnya. Para dokter berkata padanya: “Tangan ini harus dipotong”. Dia menjawab: “Potonglah”. Mereka berkata: “Kami tidak bisa memotongnya kecuali kamu kamu diikat dengan tali”. Dia berkata: “Jangan sekarang! Tetapi potonglah tanganku nanti ketika aku sedang shalat”. Ketika masuk dalam waktu shalat maka dipotonglah tangannya dan ia tidak merasakannya.
Muslim Ibn Yasar adalah seorang dari orang-orang yang terkenal khusu’. Ketika ia sedang shalat, ia tidak menyadari bahwa salah satu tiang penyangga masjid roboh sehingga ia tertimpa bengunan masjid.
Amir Ibn Abdullah dikenal sebagai orang yang sangat khusu’ dalam shalatnya. Sehingga adakalanya putrinya memainkan rebana dihadapannya, tetapi ia sama sekali tidak merasa terganggu. Kaum wanita bercakap-cakap sekehendak hati mereka namun ia tidak merasa terganggu karena ia tidak mendengar semua itu, Suatu hari ditanya padanya: “Adakah hatimu membisikkan sesuatu ketika sedang shalat?”. Jawabnya: “Ya aku dingatkan bahwa aku ini sedang berdiri dengan Allah SWT dan kelak aku pasti menuju akherat.” Mereka bertanya lagi: “Apakah terlintas dalam hatimu sesuatu urusan dunia, seperti yang kami alami?”. Jawabnya: ”Seandainya tubuhku dicabik-cabik oleh sejumlah tombak, lebih kusukai dari pada mengalami seperti yang kalian alami”. Kemudian diriwayatkan pula, ia sering berkata: “Seandainya tirai ghaib tersingkap bagiku, niscaya tidak sedikit pun keyakinanku akan berubah”.
Ali Ibn Abi Thalib suatu ketika berperang dan pada akhirnya ia tertembus panah tangannya. Ia dan para sahabat disekitarnya sudah berusaha mencabut panah tersebut, namun tidak berhasil karena setiap kali panahnya dicabut ia merasa kesakitan, sehingga membuat para sahabat yang ada disekitarnya tidak tega untuk mencabut panah tersebut dari tangannya. Kemudian Ali mencoba memberikan permintaan pada para sahabatnya untuk mencabut panah yang ada ditangannya pada saat shalat, dan akhirnya panah tersebut bisa lepas dari tangannya pada saat ia sedang melaksanakan shalat.
Itulah kisah teladan para ulama-ulama genarasi dahulu. Mereka senatiasa menjaga kekhusu’an pada setiap shalat fardhu atau shalat sunnah. Fikiran dan hati mereka selalu tertuju pada Allah SWT, dan senantiasa menjauhkan keduanya dari urusan duniawi ataupun godaan setan. Sebagai generasi penerus ulama, sudah selayaknya bagi seorang mukmin untuk mengakkan shalat secara khusu’. Sudah dijelaskan pada hadist diatas bahwa besar atau kecilnya pahala yang diterima seseorang tergantung pada khusu’ atau tidaknya ia dalam melaksanakan shalat.    

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda