Mengandung Nikel, Tanah Adat Jadi Sengketa
Desa Lelilef
Sawai dan Gemaf, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng) adalah wilayah yang kaya
akan sumber daya alam. Hal itu terbukti dengan masuknya sejumlah perusahaan
dari dalam dan luar negeri yang melakukan eksplorasi tambang Nikel. Salah
satunya adalah PT Weda Bay Nikel. Persoalannya, sekitar 195 Kepala Keluarga
(KK) yang tinggal di dua desa tersebut merisaukan rencana perluasan eksplorasi
perusahaan tambang yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh negara Perancis
itu.
Perluasan
itu akan mengambil alih lahan yang secara turun temurun sudah digunakan warga
untuk tinggal dan bercocok tanam. Selain bekerja sebagai nelayan, sebagian
warga menggantungkan hidup dari bertani dan berkebun di tanah yang disebut sebagai tanah adat itu. Sehingga
perluasan yang dilakukan WBN akan berpengaruh signifikan terhadap kehidupan
warga.
Pada intinya
warga di dua desa itu tidak mempersoalkan perluasan tersebut, tapi dengan
syarat warga harus diberi kompensasi yang sesuai. Salah satu warga desa Lelilef
Sawai, Yosepus Burnama, mengatakan sudah terdapat tanah warga yang diratakan
oleh perusahaan, padahal tanah itu belum dibebaskan. Menurutnya, sudah ada
delapan warga yang tanahnya diambil alih perusahaan tanpa ganti rugi.
Yosepus
melanjutkan, WBN akan membangun pabrik untuk melakukan pengolahan serta
eksplorasi di atas lahan adat milik warga kedua desa itu. Sayangnya, nominal
ganti rugi yang ditawarkan harganya terlalu murah, yaitu Rp8 ribu/meter
persegi. Pria yang sempat bekerja di WBN itu mengatakan sebagian warga menerima
penawaran itu, sebagian lagi menolak dan menuntut ganti rugi dengan nominal
Rp50 ribu/meter persegi.
Tuntutan
tersebut sudah disuarakan oleh warga di kedua desa itu sejak 2009, namun tidak
ditanggapi dengan baik oleh WBN dan pemerintah daerah (Pemda) setempat. Bahkan,
kata Yosepus, sejumlah aparat desa terlihat berpihak kepada WBN ketimbang
membela warganya. Ditambah lagi Bupati Halteng, Yasin Ali, selalu mengklaim
bahwa lahan yang selama ini digunakan warga adalah tanah negara.
“Padahal tanah itu tanah leluhur, tanah nenek moyang kami, tanah
adat,” kata Yosepus kepada hukum online di kantor Walhi Jakarta, Jumat (25/5).
Lantaran
Pemda setempat dinilai tidak dapat menuntaskan persoalan, warga mengadu kepada
Komnas HAM di Jakarta. Komnas HAM sudah melakukan investigasi secara langsung
di kedua desa itu pada 19–21 Juni 2011. Sayangnya, rekomendasi yang diterbitkan
Komnas HAM tidak diindahkan oleh pihak yang bersangkutan sehingga penyelesaian
persoalan ini berlarut.
Tak
menyerah, warga melaporkan permasalahan ini kepada DPD. Pada Kamis (24/5),
Komite II DPD menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk menindaklanjuti
laporan warga. Rapat yang dipimpin Ketua Komite II, Bambang Susilo, dihadiri
oleh perwakilan warga, WBN, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Bupati Halteng, Al Yasin Ali.
Komite II
DPD akhirnya menerbitkan sejumlah kesimpulan yakni mengimbau agar pihak
berkepentingan bermusyawarah untuk membahas persoalan ini. Pihak berkepentingan
juga diimbau untuk tidak hanya terpaku pada besaran kompensasi, namun lebih
kepada perihal yang realistis serta mempertimbangkan solusi lain seperti
Community Social Responsibility (CSR) atau Community Development (CD).
Terkait
status tanah, Komite II DPD akan melakukan cross check dengan Kementerian
Kehutanan dan BPN, serta melakukan pengawasan agar ada kepastian yang jelas
terkait lahan yang disengketakan. Selain itu, Komite II DPD meminta kepada WBN untuk tidak melakukan
kegiatan di tanah warga yang belum mempunyai status pembebasan lahan. Kegiatan
yang dilakukan WBN diperbolehkan jika sudah terdapat bukti status pengalihan
lahan yang jelas. Komite II DPD juga berjanji turun langsung ke lokasi untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada.
Yosepus
berharap pemerintah dan anggota dewan mampu membantu menyelesaikan masalah ini.
Bagi Yosepus, berdirinya WBN akan berpengaruh besar terhadap kehidupan warga,
terutama faktor ekonomi. Soalnya, warga yang lahannya diserobot tanpa ganti
rugi sudah tidak dapat lagi bercocok tanam. “Lahan saya sendiri yang
telah digunakan secara turun-temurun terancam digusur,” keluhnya.
Di
kesempatan yang sama, salah satu anggota tim yang mengadvokasi warga dari LBH
Projustisia, Ferry J Mainassy, mengatakan upaya penyelesaian ini akan ditempuh
dengan cara litigasi dan non litigasi. Namun, upaya yang telah dilakukan sampai
saat ini untuk menyelesaikan persoalan baru pada tingkat non litigasi. Bagi
Ferry, tidak menutup kemungkinan jika nanti upaya litigasi dilakukan.
Secara
hukum, Ferry melihat persoalan pembebasan lahan warga seharusnya mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang ada,
salah satunya adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria. Dalam ketentuan itu, ia melihat pembebasan lahan yang
diperuntukkan bukan untuk kepentingan umum maka mekanisme yang dilalui adalah
musyawarah–mufakat, yaitu dilakukan negosiasi antara pihak yang mau menggunakan
dengan pemilik lahan.
Sayangnya,
Ferry melihat pembebasan lahan yang ditawarkan kepada warga menggunakan
mekanisme untuk kepentingan umum. Baginya, hal itu merugikan warga. “Pembebasan
lahan itu harusnya dilakukan bukan berdasarkan pendekatan kepentingan umum,”
ujarnya.
Ferry
melanjutkan, tuntutan ganti rugi sebesar Rp50 ribu/meter persegi sebagaimana
keinginan warga bukan tanpa sebab. Pasalnya, harga tersebut sudah
dipertimbangkan dengan matang oleh warga dari berbagai macam aspek. Misalnya,
perusahaan akan menggunakan lahan dalam kurun waktu sangat lama, ada tanaman
umur panjang milik warga yang digusur dan lainnya.
Analisis:
Berdasarkan pemaparan berita diatas bahwa pada intinya, berita tersebut
menjelaskan adanya konflik antara badan hukum (PT Weda Bay Nikel) dan masyarakat setempat yang berada di Kabupaten Halmahera
Tengah.
Apabila dilihat
dari sudut pandang masyarakat adat, maka PT Weda Bay Nikel melakukan berbagai
perbuatan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat hukum adat setempat.
Diantara perbuatan tersebut adalah: Pertama, pemberian kompensasi yang tidak
sesuai dengan keinginan masyarakat. Diatas dijelaskan bahwa masyarakat
menginginkan ganti rugi sebesar Rp 50 ribu/meter, tetapi PT Weda Bay Nikel
hanya memberikan ganti rugi sebesar Rp 8 ribu/meter.
Pada dasarnya jual beli tanah diperbolehkan, asalkan sama-sama
menguntungkan kedua belah pihak, dan sesuai dengan kesepakatan. Pada
kenyataannya masyrakat di Halmahera mengalami banyak kerugian, diantaranya
kehilangan pekerjaan dan tidak mendapatkan ganti rugi yang layak.
Kedua, pada saat pembayaran tanah belum lunas, PT Weda Bay Nikel sudah
menggusur 8 kepala keluarga, sehingga beberapa orang telah kehilangan lapangan
pekerjaan yang sudah digunakan secara turun-temurun, seharusnya PT Weda Bay Nikel
memahami karakteristik hukum adat yang berlaku di masyarakat setempat.
Budi Harsono mengatakan bahwa dalam hukum adat perbuatan hukum
pemindahan hak (jual-beli, tukar-menukar, dan hibah) merupakan pernbuatan hukum
yang bersifat tunai. Sebenarnya proses pembelian tanah dalam masyarakat adat diperbolehkan
untuk membayar sebagian dahulu (di Jawa disebut panjer atau istilah lainnya
disebut persekot) sebagai tanda jadi membeli, dan selebihnya dibayar pada saat
pelunasan. Yang perlu difahami, ketika pembayaran belum lunas, maka pihak
pembeli tidak diperbolehkan menggunakan tanah tersebut, terlebih sampai
menggusur pihak yang menjual tanah.
Ketiga, pembebasan lahan
tersebut bukan berdasarkan kepentingan umum, tetapi hanya untuk kepantingan
pribadi. Pasal 6 UUPA No. 50 Tahun 1960 meyatakan bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial. Artinya, setiap tanah diperbolehkan dijual untuk
kepentingan negara, seperti untuk membangun jembatan, jalan, dan berbagai
fasilitas umum yang lain. Ketika ada beberapa pihak yang tidak mau menjualnya,
maka negara diperbolehkan untuk memaksa pihak tersebut untuk melepaskan
tanahnya.
Hal ini juga dijelaskan dalam pasal 5 UUPA, bahwa hukum agraria
yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang yang berdasarkan
pada hukum agama.
Pada dasarnya sosialisme merupakan teori politik dan ekonomi yang
menganjurkan hak milik umum, akan tetapi kata-kata sosialisme Indonesia yang
dimaksud yaitu, bahwa seluruh air, bumi, dan ruang angkasa apabila dibutuhkan
oleh negara, maka masyarakat harus menyerahkan untuk negara. Tentunya
mendapatkan kompensasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya
ketentuan diatas maka PT Weda Bay Nikel yang hanya mementingkan kepentingan
pribadi jelas sangat bertentangan dengan ketentuan yang berlaku (pasal 5 dan 6
UUPA).
Azas prinsip dasar hukum tanah nasional juga mengatur, pertama
tidak diperkenankan merugikan kepentingan umum, penguasaan dan pemilikan tanah
yang melampaui batas tidak diperkenankan. Kedua, azas prinsip dasar hukum tanah
menyatakan bahwa, negara mencegah penguasaan atas pekerjaan dan penghidupan
orang di bidang pertanahan yang melampaui batas, perbedaan keadaan masyarakat,
golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional. Berdasarkan hal demikian, maka kegiatan perusahaan yang membuat
rakyat merasa dirugikan dapat dicegah dan dihalangi oleh negara. Sekiranya
diperlukan, negara dapat memberikan sanksi kepada perusahaan tersebut.
Ketiga, hukum agraria mengatur bahwa segala usaha di bidang
pertanahan (agraria) didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka
kepentingan nasional serta menjamin bagi setiap WNI derajat hidup yang sesuai
dengan martabatnya. Artinya setiap tanah yang berada di Indonesia memberikan
jaminan dan hak milik kepada rakyat, bukan atas dasar kepentingan pribadi yang
bisa merugikan rakyat banyak.
Keempat, dalam permasalahan
tanah, pemerintah pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria
dari organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
Semakin jelas
bahwa dengan adanya peraturan dan prinsip hukum tanah, serta peraturan hukum
adat nasional semakin membuktikan tindakan PT Weda Bay Nikel merugikan
masyarakat hukum adat. Negara dapat memberikan peringatan agar perusahaan
tersebut bisa memberikan kompensasi sesuai dengan permintaan masyarakat, dan
bisa memberikan ganti rugi kepada beberapa pihak keluarga yang tanahnya
dirampas, walaupun pembayarannya belum lunas.
Berdasarkan sifat
nasional materiil hukum tanah, tindakan PT Weda Bay Nikel tidak dibenarkan.
Salah satu sifat nasional materiil hukum adat menyatakan bahwa bumi, air, dan
ruang angkasa dioptimalkan semata-mata untuk kepentingan Indonesia. Hal senada
juga dipaparkan dalam hierarki hak-hak penguasaan atas tanah terutama didalam
penjelasan Hak Menguasai Negara. Pada intinya Hak Menguasai Negara digunakan
untuk mendapatkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya dan pelaksanaannya
dapat dikuasakan pada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Penjelasan
tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa kepentingan masyarakat umum selalu
diutamakan, agar tercipta masyarakat yang mempunyai solidaritas yang tinggi
kepada sesama WNI.
Untuk itu, diharapkan kepada Bupati Halmahera
agar bisa memberikan solusi dan tindakan tegas kepada perusahaan yang melanggar
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Masalah tersebut jangan sampai
menimbulkan kerugian pada salah satu pihak, terutama masyarakat adat setempat
yang hanya bisa menggantungkan pekerjaan pada tanah yang diwariskan secara
turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Pemerintah Pusat seharusnya juga dapat
memberikan tindakan yang tegas karena berbagai prinsip, aturan, dan dasar
negara telah mengaturnya. Oleh karena itu, permasalahan tersebut jangan sampai
berlarut-larut karena dapat membuat masyarakat resah dan terganggu. Pemerintah
wajib memelihara ketertiban masyarakat agar bisa tercapainya kesejahteraan bagi
seluruh elemen yang ada di suatu negara.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda