Tahkim dan Mediasi
BAB I
PENDAHULUAN
Hakam dan mediasi mempunyai tujuan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan mencapai ishlah atau yang sering disebut dengan proses perdamaian bagi para pihak-pihak yang berselisih. Pada awalnya, pihak yang mendamaikan suatu perselisihan hanya seorang, maka disebut hakam. Ketika ada dua pihak yang mendamaikan suatu perselisihan, maka disebut hakamain.
Proses mendamaikan para pihak yang berselisih telah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW dengan adanya pertengkaran yang menimpa para sahabat. Nabi sebagai khalifah, mempunyai kewenangan untuk mendamaikan berbagai macam perselisihan yang terjadi pada saat itu.
Dapat diakui bahwa proses mendamaikan pihak yang berselisih telah ada pada zaman Nabi Muhammad SAW, tetapi untuk penamaan hakamain atau mediasi, itu merupakan hasil dari ijtihad para ulama-ulama yang hidup setelahnya. Oleh karena itu, pada masa Nabi Muhammad dapat disebut dengan masa pembentukan dan pewahyuan.
Sama halnya dengan proses perdamaian yang terjadi di Pengadilan Agama. Di sana tidak disebut dengan hakam/hakamain, namun lebih sering disebut dengan mediasi. Perbedaan antara hakamain dan mediasi yaitu, terletak ada atau tidaknya akta perdamaian. Pada saat Nabi atau para sahabat berhasil mendamaikan para pihak yang berperkara, tidak ada akta perdamaian, namun di Pengadilan Agama saat ini apabila pihak-pihak yang bersengketa berhasil mendamaikan pihak yang bersengketa, maka dibuatkanlah akta perdamaian. Jika para pihak masih belum sepakat untuk berdamai, maka dilanjutkan proses persidangan oleh hakim.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hakam
A. Definisi Tahkim dan Hakam
Diantara masalah yang dihubungkan oleh para fuqaha dengan lembaga peradilan ialah tahkim. Tahkim yaitu menyerahkan diri atau urusan kepada orang yang dianggap cakap dan pandai menyelesaikan sesuatu dengan menyenangkan kedua belah pihak.
Secara bahasa, tahkim berasal dari bahasa Arab yang berarti menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu. Selain itu, tahkim digunakan sebagai istilah bagi orang atau kelompok yang ditunjuk untuk mendamaikan sengketa yang terjadi di antara dua belah pihak atau lebih. Tahkim yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa para pihak, dengan memberi kebebasan untuk memilih seorang hakam (mediator) sebagai penengah atau sebagai orang yang dianggap netral yang mampu mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa itu,sedangkan tahkim menurut penetapan hukum fiqih adalah mengangkat seseorang menjadi hakim yang berfungsi sebagai hakam antara kedua belah pihak yang sedang bertengkar atau yang sedang berkhusumat.
Orang yang diserahkan hukum kepadanya disebut hakam atau muhakam. Hakam atau muhakam adalah orang yang diminta untuk memberi putusan. Syariat islam membenarkan penyerahkan putusan hukum kepada seorang muhakam.
Lebih lanjut, Nurnaningsih Amriani menjelaskan bahwa hakam mempunyai arti yang sama dengan mediasi. Dalam sistem hukum islam hakam biasanya berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan perkawinan yang disebut syiqaq. Mengenai pengertian hakam, para ahli berbeda-beda. Namun, dari pengertian yang berbeda-beda tersebut dapat disimpulkan bahwa hakam merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri ke dalam konflik yang terjadi di antara suami-istri sebagai pihak yang akan menegahi atau menyelesaikan sengketa diantara mereka.
B. Orang yang Dapat Dijadikan Hakam
Ahli Fiqih berkata: “orang yang boleh dijadikan hakam untuk menyelesaikan perkara ialah orang yang menjadi qadhi. Artinya seseorang yang terdapat syarat-syarat sah menjadi qadhi.”
Hakam tidak boleh menyerahkan pekerjaan yang diserahkan kepada orang lain, kecuali pada dua puluh empat masalah yang telah dijelaskan oleh Ibnu ‘Abidin.
C. Perkara-Perkara yang Boleh Diserahkan Kepada Hakam
Perkara yang boleh diserahkan kepada hakam adalah segala perkara yang dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak yang bertengkar. Adapun perkara yang dapat diselesaikan yaitu haqqul ibad (hak hamba). Tidak boleh mentahkimkan diri terhadap haqqullah (hak Allah). Hak Allah harus disampaikan yang berwajib, amir atau qadhinya. Karena itu sah mentahkimkan diri pada urusan harta, thalaq, nikah, ‘itq, qisahash, memberi jaminan dalam pencurian. Tidak sah mentahkimkan diri pada urusan had zina, mencuri, dan menukas.
1. Al Khasaf berkata: “Tidak boleh mentahkimkan diri dalam masalah had atau qishash”.
2. Pengarang Mu’inul Hakim berkata: “Hukum muhakam berlaku dalam segala hal yang diijtihadkan.”
3. Ibnu Qudamah dalam Al Mughni berkata: “Tidak sah mentahkim diri pada pada seorang hakam dalam empat hal:
a. Urusan Nikah.
b. Li’an.
c. Qadzaf.
d. Qishash.
Keempat urusan ini yang harus memutuskan ialah penguasa negara, naib, atau qadhi.
Apabila para para hakam telah memutuskan, maka qadhi tidak dapat menggugat karena tahkim ini dibenarkan oleh syara’. Syariat islam memperbolehkan adanya muhakam atau hakim yang diangkat sendiri oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan perkara yang diperselisihkan. Syariat islam juga telah menetapkan hukum-hukum yang wajib dibawa ke Pengadilan Negeri atau Hakim Pemerintah.
Prof. Dr. Syahrizal Abbas menegaskan bahwa proses mediasi telah ditetapkan dalam Al-Quran dalam permasalahan perkawinan dan waris.
Adapun permasalahan nikah yang dapat dimediasi diantaranya proses perceraian, nusyuz, dan syiqaq.
Tiga permasalahan di atas dapat ditangani oleh mediator. Oleh karena itu, peran mediator sangat urgen karena peran mediator memperbaiki hubungan suami istri akan menentukan kelanggengan suatu rumah tangga. Al-Quran menjelaskan beban dan tanggung jawab mediator dalam sengketa keluarga cukup penting, terutama ketika suatu keluarga sudah menunjukan tanda-tanda adanya perselisihan, maka pihak keluarga dari pihak suami istri sudah dapat mengutus mediator. Pihak keluarga tidak perlu menunggu terjadinya sengketa suami istri, sudah dapat diutus hakam untuk menyelesaikan atau melakukan mediasi terhadap sengketa syiqaq. Jika sejak awal mediator sudah diutus oleh para pihak keluarga suami atau istri, mediator dapat lebih awal mengantisipasi dan mencarikan penyebab terjadinya persengketaan keluarga tersebut, sehingga sudah tidak terlalu jauh terlibat persengketaan. Mediator dalam sengketa keluarga dapat mengidentifikasi setiap persoalan, dan mencari jalan keluar serta menawarkan kepada pihak suami istri yang bersengketa. Tindakan yang ditempuh mediator harus sangat hati-hati, karena persoalan keluarga dianggap persoalan sensitif, dan membutuhkan konsentrasi penuh, demi untuk merekatkan hubungan emosional yang retak. Memahami suami istri merupakan kewajiban mediator dalam rangka menciptakan damai dan rekonsiliasi dalam keluarga yang bersengketa. Dengan demikian, mediator dapat menciptakan situasi yang menyebabkan kedua belah pihak percaya dan tumbuh keinginan untuk bersatu kembali mempertahankan rumah tangga.
Sedangkan dalam permasalahan waris menurut Abdul Rahim dalam bukunya The Principles Muhammad Jurisprudence, menyebutkan bahwa penyebab utama terjadinya sengketa waris adalah situasi dimana ahli waris tidak secara cepat menyelesaikan masalah harta warisan setelah pewaris meninggal dunia. Situasi yang berlarut-larut telah menyebabkan pihak-pihak yang menguasai harta atau mendominasi pemanfaatan harta warisan, dapat melakukan tindakan tasharuf (jual beli, hibah, sewa, gadai, dan lain-lain) terhadap harta warisan. Tindakan sepihak oleh salah satu ahli waris tanpa ada persetujuan ahli waris lain telah menyebabkan munculnya sengketa waris. Oleh karenanya, islam menganjurkan setelah seseorang meninggal dunia, maka segeralah menyelesaikan persoalan pembagian harta warisan, karena harta yang ditinggalkan si mayit dapat menjadi penyebab konflik dalam keluarga bila tidak diselesaikan dengan baik.
Mediator dalam melakukan mediasi sengketa waris dapat melakukan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mediator meyakinkan para pihak yang bersengketa bahwa ia benar-benar ingin membantu ahli waris dalam menyelesaikan sengketa dan tidak ada kepentingan apa pun terhadap sengketa tersebut. Hal ini penting dalam rangka menumbuhkan kepercayaan ahli waris terhadap mediator. Kepercayaan (trust) yang dimiliki mediator akan memudahkan baginya melakukan upaya mediasi lanjut.
2. Mediator memetakan faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa waris. Pemetaan ini dilakukan setelah para pihak yang bersengketa duduk dan betemu satu sama lain yang difasilitasi oleh mediator. Pada pertemuan tersebut mediator meminta pihak yang bersengketa mengungkapkan dengan jelas dan lengkap faktor peyebab terjadinya sengketa waris semestinya diketahui oleh mediator, guna menyusun langkah-langkah selanjutnya dalam mediasi.
3. Berdasarkan faktor penyebab terjadinya sengketa waris, mediator dapat menyusun pertemuan lanjutan dengan meminta para pihak mengungkapkan keinginan dan kepentingan yang ingin diperoleh dari penyelesaian sengketa waris. Dalam pertemuan ini mediator dapat meminta ahli waris untuk menyampaikan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian sengketa waris yang mereka alami. Pada posisi ini, mediator tidak menawarkan jalan keluar bagi penyelesaian sengketa, tetapi memberi kebebasan bagi para pihak yang bersengketa menemukan jalan tersendiri, sehingga kesepakatan damai terwujud.
4. Bila mediator menemukan salah satu pihak tidak bersedia menyampaikan keinginan dan kepentingannya, maka mediator dapat mengadakan kaukus. Dalam kaukus mediator dapat bertemu secara terpisah dengan masing-masing pihak yang bersengketa akan leluasa mengungkapkan keinginan dan kepentingan masing-masing.
5. Mediator yang telah mendapatkan informasi lengkap tentang keinginan dan kepentingan masing-masing pihak dari pertemuan kaukus, maka tugas mediator selanjutnya adalah mengomunikasikan keinginan dan kepentingan tersebut dari satu pihak kepada pihak lain. Jika tuntutan ini sangat sulit dipenuhi oleh salah satu pihak atau kedua pihak untuk mengurangi atau membatasi keinginan, sehingga memudahkan terwujudnya kesepakatan damai.
6. Jika keinginan dan kepentingan masing-masing pihak sudah saling dipahami satu sama lain, maka mediator dapat mengajak para pihak untuk membuat kesepakatan-kesepakatan. Mediator berperan mengajak dan membantu para pihak secara terbuka membuat kesepakatan yang muncul dari keinginan mereka sendiri. Bila para pihak yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan-kesepakatan, maka mediator dapat mengajukan tawaran kesepakatan kepada para pihak yang bersengketa. Keputusan akhir menerima atau menolak kesepakatan yang ditawarkan mediator secara penuh tergantung kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam masalah kewarisan.
D. Dasar Hukum Mediasi dalam Al-Quran
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءوَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (An Nahl: 90)
Yang dimaksud keadilan dalam ayat tersebut tidak hanya keadilan mengadili dalam persidangan saja, termasuk adil dalam masalah mediasi yang membutuhkan ijtihad dari hakam maupun hakamain.
Ibn Khaldun berpendapat bahwa keadilan bisa diperoleh dari wahyu, akal, dan kebiasaan sosial. Kriteria keadilan terdiri atas: 1) akal dan wahyu, 2) Perwujudan tinggi dari perbuatan manusia dan emanasi Tuhan, 3) Tuhan sebagai subjek keadilan dan yang lain adalah objek baginya, 4) Standar keadilan adalah akal dan wahyu.
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوافَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. (Al Hujarat: 9)
Walaupun pranata hakam dalam sistem hukum islam digunakan untuk menyelesaikan masalah perceraian, hal ini dapat diterapkan juga pada bidang-bidang sengketa yang lainnya.
E. Sejarah dan Dasar Hukum Mediasi di Masa Nabi dan Sahabat
Secara historis, penyelesaian sengketa melalui cara mediasi telah lama dikenal dalam praktek hukum islam. Hukum islam yang dimaksud disini adalah hukum yang sumbernya dari wahyu Allah. Penegasan ini dimaksudkan untuk membedakan hukum lainnya yang sumberya bukan wahyu dari Allah, tetapi dari hasil pemikiran manusia. Karena itu, hukum islam tidak terbatas pada hukum yang diberlakukan di negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah, tetapi juga yang berlaku di negara yang ada di luar kawasan tersebut, yakni negeri-negeri muslim seperti di Indonesia, Malaysia, Brunei dan lainnya asal ia bersumber dari wahyu Allah, walaupun tidak menggunakan nama “hukum islam”.
Tahkim sebenarnya telah dipraktikkan sejak masa awal islam. Rasulullah sendiri telah mempraktikkannya, misalnya ketika Rasulullah SAW menerima putusan Sa’ad ibn Muadz mengenai Bani Quraidhah. Demikian juga pertengkaran antara Umar ibn Khattab ra dengan Ubay ibn Ka’ab tentang kebun kurma, perkaranya ditahkimkan oleh Zaid ibn Tsabit. Semua sahabat sepakat menerima keputusan hakam dan membenarkannya. Praktik penyelesaian sengketa melalui tahkim ini diabadikan dalam Al-Quran dalam Surah An-Nisa ayat 35 dan ayat 128, Surah Al-Hujarat ayat 9 dan 10. Dalam kasus perselisihan antara suami istri dan kasus lain yang terjadi di kalangan umat islam.
Di samping ayat-ayat yang menunjuk pada kasus mediasi untuk mendamaikan para pihak yang terlibat sengketa, juga terdapat hadist yang menjelaskan tentang tahkim dalam suatu kasus persengketaan. Di antaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Sa’id ibn Manshur dan Ibnu Jarir dari Abu Malik yang menyatakan bahwa: “Dua orang lelaki muslim saling memaki dan menghina yang menyebabkan dua kelompok bertengkar. Lalu terjadi saling memukul di antara mereka dengan menggunakan tangan dan terompah mereka.” Hadist ini sesungguhnya menceritakan tentang sebab-sebab turunnya ayat 9 dan 10 Surah Al-Hujarat di atas.
Praktik tahkim ini juga pernah dilakukan dalam kasus yang terjadi antara Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyah ibn Sufyan dalam perang Shiffin. Mediasi tersebut dikenal dengan Majlis Tahkim Daumatul Jandal. Walaupun dalam mediasi ini kelompok Ali ibn Abi Thalib yang diwakili Abu Musa Al Asy’ary, seorang sahabat yang sangat wara’ dan sangat lurus, menederita kekalahan karena tipu muslihat yang dilakukan pihak Muawiyah ibn Abi Sufyan yang diwakili ahli siasat dalam peperangan, yakni Amru bin Ash.
Praktik mediasi itu lebih jelas lagi apabila mencermati kasus-kasus perselisihan, percekcokan, dan petengkaran (syiqaq) dalam lingkup kehidupan keluarga yang secara tekstual dinyatakan dalam Surah An-Nisa ayat 35 dan 128. Teknis mengenai proses mediasi dalam masalah tersebut sangat jelas dan rinci sebagaimana diatur dalam Surah An Nisa tersebut.
Menurut Prof. Dr. Syahrizal Abbas Rasulullah SAW telah melakukan praktik mediasi pada peristiwa peletakan kembali Hajar Aswad dan perjanjian Hudaibiyah. Kedua peristiwa tersebut memiliki nilai dan strategi resolusi konflik dan negosiasi, sehingga kedua peristiwa ini memiliki perspektif yang sama yaitu mewujudkan perdamaian.
Kejadian pertama berupa peletakan kembali Hajar Aswad (batu hitam) berlangsung sebelum pewahyuan Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika itu ia hanya dipandang sebagai manusia biasa yang secara potensial mengarah kepada kekerasan dan pertumpahan darah. Peristiwa kedua berupa perjanjian Hudaybiyah terjadi ketika Nabi Muhammad SAW kembali Ke Mekkah sebagai pemenang dan pemimpin poilitik yang berkuasa setelah pengasingan yang lama di Madinah. Kejadian ini dapat dipandang sebagai tahap akhir dari konflik keras dan berkepanjangan yang dialami Nabi Muhammad SAW. Nilai dan strategi penyelesaian sengketa dapat diidentifikasikan dari tindakan Nabi Muhammad SAW pada kedua peristiwa tersebut. Peristiwa pertama dilakukan Nabi Muhammad dalam kapasitas sebagai individu yang tidak memiliki kekuasaan politik, sedangkan dalam peristiwa kedua, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai pemimpin politik yang berkuasa.
2. Mediasi di Pengadilan Agama
F. Pengertian Mediasi
Menurut bahasa, mediasi berasal dari bahasa latin, mediare, yang berarti berada di tengah. Pengertian ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pada pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. Berada ditengah juga bermakna bahwa mediator harus ada pada posisi yang netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama sehingga menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa.
Dalam bahasa lain, mediasi dapat diartikan sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa di luar lembaga peradilan. Dengan kata lain, mediasi merupakan salah satu bentuk negoisasi antar dua individu atau kelompok dengan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistik. Good Paster, salah seorang pegiat resolusi konflik menyatakan bahwa “mediasi” adalah proses negoisasi penyelesaian masalah dimana suatu pihak luar tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan pihak yang bersengketa, membantu mereka mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. Sementara menurut Laurenc Boulle, mediation is a decision making process in wich the parties are assisted by mediator, the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties the reach an out come to wich of them can assent. Dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang diatur pada Pasal 1 angka 7 Perma Nomor 1 Tahun 2008, mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Dengan memperhatikan beberapa rumusan tentang definisi mediasi tersebut, dapat dipahami bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian persengketaan dengan menggugah kesadaran hukum para pihak untuk mencari kesepakatan melalui bantuan mediator yang netral.
G. Sejarah dan Dasar Hukum Mediasi di Indonesia
Di Indonesia, pranata sosial hukum islam dalam menyelesaikan sengketa orang-orang yang beragama islam di luar pengadilan itu sudah dikenal sejak islam berkembang (sekitar abad ke-13). Karena itu, sampai saat ini penyelesaian sengketa bagi komunitas Muslim dikenal melalui 2 (dua) saluran, yakni: penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) dan penyelesaian sengketa di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan antara lain melalui cara: negosiasi, mediasi, konsiliasi, persidangan mini, dan ombudsman.
Prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya murah sebagaimana menjadi perintah undang-undang, tampaknya masih menghadapi kendala sehingga kerap terjadinya penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan. Salah satu langkah yang dilakukan Mahkamah Agung guna mengurangi terjadinya penumpukan perkara itu adalah dengan memaksimalkan upaya damai, baik di dalam proses pengadilan maupun di luar peradilan, yaitu dengan mengkombinasikan dan mengintegrasikan 2 (dua) saluran penyelesaian tersebut, yakni dengan memaksimalkan proses mediasi.
Secara efektif, hal itu dimulai sejak lahirnya Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang perubahan atas Perma Nomor 2 Tahun 2003. Di sini mediasi diposisikan sebagai salah satu upaya menyelesaikan sengketa para pihak dengan menghadirkan pihak ketiga yang independen guna bertindak sebagai mediator. Kehadiran mediasi dan bersinergi dengan pengadilan itu memiliki litigasi yang sangat kuat, karena secara spesifik didukung oleh UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006, UU No. 50 Tahun 2009, UU No. 48 Tahun 2009.
Meskipun penyelesaian melalui mediasi itu tidak akan menuntaskan seluruh persoalan yang dihadapi pengadilan, tetapi paling tidak diharapkan dapat mengurangi persoalan yang krusial yang terjadi selama ini. Kehadiran mediasi di Pengadilan, termasuk dalam lingkungan peradilan agama, setidaknya dapat memberikan beberapa keuntungan, antara lain sebagai berikut.
a. Dapat mengurangi penumpukan perkara di pengadilan, sehingga penyelesaian perkara tidak berlarut-larut.
b. Dapat meningkatkan peran dan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara.
c. Memperlancar saluran keadilan pada masyarakat.
d. Memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak secara sukarela.
e. Percepatan penyelesaian perkara dengan menekan biaya semurah mungkin.
f. Lebih meungkinkan untuk terjadinya kesepakatan, sehingga jalinan kekeluargaan di antara pihak-pihak dapat dipelihara.
g. Mengurangi terjadinya makelar kasus (markus) dalam pengadilan.
H. Proses Mediasi di Pengadilan Agama
Pada prinsipnya, prosedur mediasi yang diberlakukan di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 tidak berbeda dengan perkara-perkara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan lainnya, yaitu sebagai berikut.
a. Tahap Pra-Mediasi
1. Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak hakim mewajibkan kapada para pihak untuk menempuh mediasi.
2. Hakim menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak yang bersengketa.
3. Para pihak memilih mediator dari nama-nama yang telah tersedia, pada hari sidang pertama atau paling lama dua hati kerja berikutnya.
4. Apabila telah terdapat kesepakatan, maka para pihak menyempaikan mediator terpilih kepada ketua majelis hakim. Selanjutnya, hal itu diberitahukan kepada mediator yang bersangkutan untuk segera melaksanakan tugas.
5. Majelis hakim menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan proses mediasi paling lama 40 hari kerja.
6. Dalam hal para pihak gagal menyepakati mediator terpilih, maka wajib selanjutnya menunjuk hakim bukan pemeriksa perkara yang telah memiliki sertifikat. Apabila ternyata pengadilan tidak memiliki hakim bersertifikat, maka hakim pemeriksa perkara dengan atau tanpa memiliki sertifikat yang ditunujuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator.
b. Tahap Proses Mediasi
1. Dalam waktu paling lama lima (5) hari kerja sejak mediator disepakati, para pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada masing-masing pihak dan kepada mediator atau kepada hakim mediator yang ditunjuk.
2. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh majelis hakim.
3. Mediator wajib mempersiapkan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk disepakati.
4. Apabila dianggap perlu mediator dapat melakukan “kaukus”.
5. Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal, apabila salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah 2 (dua) kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal yang telah disepakati tanpa alasan yang jelas dan setelah dipanggil secara patut.
c. Tempat Penyelenggaraan Mediasi
1. Mediator hakim menyelenggarakan mediasi di dalam lingkungan pengadilan. Dengan kata lain, mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan.
2. Penyelenggaraan mediasi yang diselenggarakan pada salah satu ruang pengadilan agama yang tidak dikenakan biaya.
d. Terdapat Kesepakatan dalam Mediasi
1. Apabila dicapai kesepakatan perdamaian dalam mediasi, para pihak dan mediator menandatangani rumusan kesepakatan.
2. Apabila dalam mediasi itu para pihak atau salah satu pihak diwakili oleh kuasa hukum maka para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atau kesepakatan yang dicapai.
3. Selanjutnya para pihak wajib menghadap majelis hakim dan menyampaikan hasil kesepakatan dalam sidang yang ditentukan, dan dapat menyampaikan permintaan agar kesepakatan perdamaian tersebut dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
4. Apabila terdapat salah satu pihak tidak menghendaki kesepakatan itu dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan harus memuat klausula pencabutan gugatan atau yang menyatakan bahwa perkara telah selesai.
e. Mediasi Tidak Mencapai Kesepakatan
1. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan perdamaian, maka mediator wajib menyatakannya secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukannya kepada ketua majelis hakim. Karena itu, majelis hakim akan segera melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
2. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara majelis hakim tetap berwenang untuk terus mengupayakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Apabila para pihak berkeinginan untuk berdamai, maka upaya perdamaian dapat berlangsung paling lama 14 hari kerja sejak penyampaian keinginan tersebut. Apabila para pihak berkeinginan untuk berdamai, maka upaya perdamaian dapat berlangsung paling lama 14 hari kerja sejak penyampaian keinginan tersebut.
3. Apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan, maka pernyataan dan pengakuan para pihak selama proses mediasi tidak dapat dijadikan bukti dalam proses persidangan perkara.
4. Seluruh catatan dan notula mediator wajib dimusnahkan. Begitu pula mediator tidak dapat menjadi saksi dan tidak dapat dikenai pertanggung jawaban, baik pidana maupun perdata.
f. Perdamaian di Tingkat Banding, Kasasi, dan Penijauan Kembali
1. Para pihak yang bersepakat menempuh perdamaian di tingkat banding/kasasi/peninjauan kembali wajib menyampaikan secara tertulis kepada ketua pengadilan agama yang mengadili.
2. Ketua Pengadilan Agama yang mengadili segera memberitahukan kepada ketua pengadilan tinggi agama (bagi perkara banding) atau Ketua Mahkamah Agung (bagi perkara kasasi dan peninjauan kembali) tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.
3. Majelis hakim banding/kasasi/peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 hari sejak menerima pemberitahuan tersebut.
4. Para pihak melalui ketua pengadilan agama dapat mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim banding/kasasi/peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam akta perdamaian.
5. Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis hakim banding/kasasi/peninjauan kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak dicatat dalam register induk perkara.
I. Kesepakatan di Luar Pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 telah memberikan ruang yang luas kepada para pihak yang bersengketa untuk berdamai dan menyelesaikannya di luar pengadilan (non-litigasi). Selanjutnya, untuk mendapatkan kekuatan hukum yang dapat menjadi pegangan dan dapat mengikat para pihak, maka terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan.
a. Para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat, yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian, dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh Akta Perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
b. Pengajuan gugatan sebagaimana disebutkan di atas harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.
c. Di hadapan para pihak, majelis hakim hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian, apabila kesepakatan tersebut memenuhi syarat-syarat:
1. Sesuai kehendak para pihak.
2. Tidak bertentangan dengan hukum.
3. Tidak merugikan pihak ketiga.
4. Dapat dieksekusi.
5. Dengan itikad baik.
BAB III
PENUTUP
Mediasi adalah salah satu fasilitas yang diberikan oleh Pengadilan, guna mendapatkan jaminan perdamaian dengan mengutamakan rasa keadilam dari kedua belah pihak.
Dasar hukum mediasi di Indonesia meliputi:
1. HIR pasal 130 dan Rbg pasal 154 telah mengatur lembaga perdamaian. Hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa.
2. SEMA No 1 tahun 2002 tentang pemberdayaan lembaga perdamaian dalam pasal 130 HIR/154 Rbg.
3. PERMA No 02 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan.
4. PERMA No 01 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan.
5. Mediasi atau APS di luar Pengadilan diatur dalam pasal 6 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Adapun beberapa keutamaan dari mediasi:
1. Untuk mengatasi masalah penumpukan perkara.
2. Proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat,dan murah dibandingkan proses memutus oleh hakim.
3. Pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan.
4. Institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2009
Amriani, Nurnaningsih, Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pegadilan, Jakarta: Rajawali, 2011
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Ash Shiddieqy, T.M Hasbi, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970
Mukhlas, Sunaryo, Perkembangan Peradilan Islam: Dari Kahin di Jazirah Arab ke Pengadilan Agama di Indonesia, Bogor: Ghaila Indonesia, 2011
Musthofa, Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda