Minggu, 15 Juli 2018

Kenyataan Yang Tertukar


Related image
#Aku adalah seorang pria berusia 65 tahun. Sore hari yang cerah selalu menjadi waktu terfavoritku untuk berjalan-jalan bersama anak perempuanku tercinta. Mengapa? Karena sore hari selalu mengingatkanku pada masa  dimana aku dan dua sahabat dekatku yang bernama Atha dan Nino bersama. Dua sahabatku yang selalu ada dalam suka dan duka. Dua sahabat yang akan setia menemani dalam keadaan senang maupun susah.
            “Yah.”
            “Ada pa Put?”
            “Kenapa ayah suka jalan-jalan sore ke tempat ini?”
            “Ayah punya kenangan indah bersama dua sahabat disini Put.”
            “Bisa diceritakan ke Putri yah?”
            “Bisa. Kali ini ayah akan menceritakan kenangan yang paling indah ketika duduk bersama mereka.”
            Aku mulai meceritakan kisah hidupku kepada Putri.
                                                                        ****
            Sore hari yang indah selalu menampakkan guratan senja dilangit sana. Masa-masa SMA memang selalu memberikan makna tersendiri untukku. Ketika masa itu datang, aku duduk dipinggir lapangan bola bersama dua sahabatku untuk saling berbicara, bersenda gurau, bahkan pernah suatu ketika tempat ini menjadi saksi bahwa kita bertiga pernah bersama-sama menggenggam asa disini.
            “Nino,  Alif.” Suara Athaya memecah kebisuan.
            “Kenapa Ya?” Tanyaku.
“Kalian pernah enggak sih ngebayangin, saat dewasa nanti kalian jadi apa?”          
            Semuanya terdiam, pertanyaan Athaya membuat aku dan Nino terdiam. Pertanyaan sepele namun cukup sulit untuk dijawab karena ini menyangkut masa depan.
            “Gimana kalau sore ini kita merenung sebentar? Masing-masing dari kita sejenak bermimpi tentang masa depan, terus kita ceritain apa yang sudah direnungkan.”
            “Mmm. Boleh tuh.” Jawab Nino
            Akupun sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Athaya. Tanpa berlama-lama, kita bertiga segera merenung. Tak ada suara, semuanya membisu dan asyik dengan mimpi masing-masing. Sekitar sepuluh menit kemudian akhirnya kita saling tersenyum dan siap menceritakan mimpi kita. Dimulai dari Athaya.
            “Teman-teman, suatu saat kelak aku akan menjadi seorang penyanyi solo terkenal. Aku akan menyanyikan lagu yang akan membuat semua orang tertawa bahagia seperti berada di surga, tapi terkadang aku juga dapat menyanyikan lagu yang bisa membuat semua orang menangis seperti berada di lautan derita.”
            Aku dan Nino bertepuk tangan. Terkagum dengan bahasa Athaya yang puitis sekaligus bombastis. Sekarang giliran Nino menceritakan harapan dan mimpinya.
            “Kalau aku ingin jadi seorang penulis novel. Akan kusihir para pembaca dengan untaian kata-kata indahku. Akan kusulap para pembaca yang tadinya bermuram durja, menjadi manusia paling bahagia sedunia setelah membaca novelku, dan yang paling penting, para pembaca bisa memaknai apa yang disebut cinta, kasih sayang, dan cinta saat mata mereka tertuju pada tulisanku.”
            Kini giliran aku dan Athaya yang terkagum-kagum dengan pemaparan Nino. Benar-benar menginspirasi. Aku jadi semangat menceritakan mimpiku kepada mereka berdua.
            “Aku ingin jadi guru. Kenapa aku ingin jadi guru? Karena guru adalah sosok yang berjasa. Mampu mengubah manusia dari tidak tahu menjadi tahu. Selain itu, guru merupakan sosok teladan yang mengubah peradaban tidak hanya lewat lisan dan tulisan, tetapi juga melalui perbuatan. Menurutku, seorang guru adalah sesosok manusia mulia karena mampu membawa manusia dari zaman pra aksara ke zaman aksara.”
            Nino dan Athaya standing applause mendengar penjelasanku. Mata kedua sahabatku berbinar seolah baru saja melihat seorang guru berorasi. Mungkin dalam hati mereka mengatakan:
            “Luar biasa.”
            Kita bertiga berharap pada Tuhan agar mendengar dan mengabulkan mimpi dan harapan yang kita renungkan bersama-sama di sore ini. Kita bertiga meyakini bahwa “apa yang telah terucap oleh lisan, maka akan kami lakukan, dan pada suatu saat nanti akan menjadi kenyataan”
                                                                        ****
            “Terus akhirnya gimana? Apakah mimpi-mimpi ayah dan para sahabat ayah berhasil terwujud?”
            Aku menggeleng.
            “Enggak Put.”
            “Wah sayang banget yah.”
            “Maksud ayah, terkadang apa yang kita impikan tak selalu sama dengan kenyataan.”
            “Mmm. Putri masih belum paham apa yang ayah maksud.”
            “Saat SMA ayah bermimpi menjadi seorang guru, ternyata setelah dewasa ayah menjadi seorang penulis novel, sedangkan Athaya yang bermimpi menjadi seorang penyanyi malah menjadi seorang guru, dan Nino yang bermimpi menjadi seorang penulis novel akhirnya menjadi seorang penyanyi.”
            “Itu serius yah? Berarti bisa dikatakan ‘kenyataan yang tertukar’ ya yah? Hehe.”
            “Ya bisa dibilang begitu. Asal kamu tahu put, kedua sahabat ayah sekarang sudah meninggal semua. Hanya ayah satu-satunya yang masih hidup.”
            Putri agak terkejut mendengar jawabanku. Kini dia mulai paham mengapa aku selalu senang ketika diajak berjalan-jalan di tempat ini, karena tempat ini mengingatkan pada sebuah kenangan yang tak akan lekang oleh zaman. Kenangan yang akan terus aku ingat. Selamat jalan sahabat. Semoga kalian tenang dan diterima di sisi-Nya.#

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda