Kenyataan Yang Tertukar
#Aku adalah
seorang pria berusia 65 tahun. Sore hari yang
cerah selalu menjadi waktu terfavoritku untuk berjalan-jalan bersama anak
perempuanku tercinta. Mengapa? Karena sore hari selalu mengingatkanku pada
masa dimana aku dan dua sahabat dekatku
yang bernama Atha dan Nino bersama. Dua sahabatku yang selalu ada dalam suka
dan duka. Dua sahabat yang akan setia menemani dalam keadaan senang maupun
susah.
“Yah.”
“Ada pa Put?”
“Kenapa ayah suka
jalan-jalan sore ke tempat ini?”
“Ayah punya
kenangan indah bersama dua sahabat disini Put.”
“Bisa diceritakan
ke Putri yah?”
“Bisa. Kali ini
ayah akan menceritakan kenangan yang paling indah ketika duduk bersama mereka.”
Aku mulai
meceritakan kisah hidupku kepada Putri.
****
Sore hari yang
indah selalu menampakkan guratan senja dilangit sana. Masa-masa SMA memang
selalu memberikan makna tersendiri untukku. Ketika masa itu datang, aku duduk dipinggir
lapangan bola bersama dua sahabatku untuk saling berbicara, bersenda gurau,
bahkan pernah suatu ketika tempat ini menjadi saksi bahwa kita bertiga pernah
bersama-sama menggenggam asa disini.
“Nino, Alif.” Suara Athaya memecah kebisuan.
“Kenapa Ya?”
Tanyaku.
“Kalian pernah enggak sih ngebayangin, saat dewasa nanti kalian
jadi apa?” “
Semuanya terdiam,
pertanyaan Athaya membuat aku dan Nino terdiam. Pertanyaan sepele namun cukup
sulit untuk dijawab karena ini menyangkut masa depan.
“Gimana kalau sore
ini kita merenung sebentar? Masing-masing dari kita sejenak bermimpi tentang
masa depan, terus kita ceritain apa yang sudah direnungkan.”
“Mmm. Boleh tuh.”
Jawab Nino
Akupun sepakat
dengan apa yang disampaikan oleh Athaya. Tanpa berlama-lama, kita bertiga
segera merenung. Tak ada suara, semuanya membisu dan asyik dengan mimpi
masing-masing. Sekitar sepuluh menit kemudian akhirnya kita saling tersenyum
dan siap menceritakan mimpi kita. Dimulai dari Athaya.
“Teman-teman,
suatu saat kelak aku akan menjadi seorang penyanyi solo terkenal. Aku akan
menyanyikan lagu yang akan membuat semua orang tertawa bahagia seperti berada
di surga, tapi terkadang aku juga dapat menyanyikan lagu yang bisa membuat
semua orang menangis seperti berada di lautan derita.”
Aku dan Nino
bertepuk tangan. Terkagum dengan bahasa Athaya yang puitis sekaligus bombastis.
Sekarang giliran Nino menceritakan harapan dan mimpinya.
“Kalau aku ingin
jadi seorang penulis novel. Akan kusihir para pembaca dengan untaian kata-kata
indahku. Akan kusulap para pembaca yang tadinya bermuram durja, menjadi manusia
paling bahagia sedunia setelah membaca novelku, dan yang paling penting, para
pembaca bisa memaknai apa yang disebut cinta, kasih sayang, dan cinta saat mata
mereka tertuju pada tulisanku.”
Kini giliran aku
dan Athaya yang terkagum-kagum dengan pemaparan Nino. Benar-benar
menginspirasi. Aku jadi semangat menceritakan mimpiku kepada mereka berdua.
“Aku ingin jadi
guru. Kenapa aku ingin jadi guru? Karena guru adalah sosok yang berjasa. Mampu
mengubah manusia dari tidak tahu menjadi tahu. Selain itu, guru merupakan sosok
teladan yang mengubah peradaban tidak hanya lewat lisan dan tulisan, tetapi
juga melalui perbuatan. Menurutku, seorang guru adalah sesosok manusia mulia
karena mampu membawa manusia dari zaman pra aksara ke zaman aksara.”
Nino dan Athaya standing
applause mendengar penjelasanku. Mata kedua sahabatku berbinar seolah baru
saja melihat seorang guru berorasi. Mungkin dalam hati mereka mengatakan:
“Luar biasa.”
Kita bertiga
berharap pada Tuhan agar mendengar dan mengabulkan mimpi dan harapan yang kita
renungkan bersama-sama di sore ini. Kita bertiga meyakini bahwa “apa yang
telah terucap oleh lisan, maka akan kami lakukan, dan pada suatu saat nanti
akan menjadi kenyataan”
****
“Terus akhirnya
gimana? Apakah mimpi-mimpi ayah dan para sahabat ayah berhasil terwujud?”
Aku menggeleng.
“Enggak Put.”
“Wah sayang banget
yah.”
“Maksud ayah,
terkadang apa yang kita impikan tak selalu sama dengan kenyataan.”
“Mmm. Putri masih
belum paham apa yang ayah maksud.”
“Saat SMA ayah
bermimpi menjadi seorang guru, ternyata setelah dewasa ayah menjadi seorang
penulis novel, sedangkan Athaya yang bermimpi menjadi seorang penyanyi malah
menjadi seorang guru, dan Nino yang bermimpi menjadi seorang penulis novel
akhirnya menjadi seorang penyanyi.”
“Itu serius yah?
Berarti bisa dikatakan ‘kenyataan yang tertukar’ ya yah? Hehe.”
“Ya bisa dibilang
begitu. Asal kamu tahu put, kedua sahabat ayah sekarang sudah meninggal semua.
Hanya ayah satu-satunya yang masih hidup.”
Putri agak
terkejut mendengar jawabanku. Kini dia mulai paham mengapa aku selalu senang
ketika diajak berjalan-jalan di tempat ini, karena tempat ini mengingatkan pada
sebuah kenangan yang tak akan lekang oleh zaman. Kenangan yang akan terus aku
ingat. Selamat jalan sahabat. Semoga kalian tenang dan diterima di sisi-Nya.#
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda