Minggu, 15 Juli 2018

Senyum Kota Berlin di Sore Hari


Image result for kota berlin
            Masih teringat dalam benakku. Saat SD, SMP, SMA. Bapak dan emak selalu membangunkanku pukul 03.00 WIB untuk melaksanakan shalat tahajud bersama. Awalnya, aku ogah-ogahan, terutama saat kelas 3 SD. Lama-kelamaan karena biasa dibangunkan, akhirnya aku terbiasa bangun malam. Setelah melaksanakan shalat tahajud, aku membantu ibu membuat kue donat sampai pukul 04.30 WIB dan istirahat sejenak untuk melaksanakan shalat Subuh kemudian kembali membuat kue donat sampai pukul 06.00 WIB.
            Itulah kegiatan sehai-hariku. Membantu ibu membuat kue donat untuk dijajakan di warung sekolah sekitar rumahku. Aku dilahirkan di desa dari keluarga sederhana. Bapak bekerja sebagai petani dan emak bekerja sebagai pembuat kue donat. Aku merupakan anak tunggal, maka dari itu kedua orang tua begitu memperhatikanku. Mereka selalu mengingatkanku untuk rajin belajar.
            “Nduk, koe kudu sregep sinau men pinter, dadi wong sukses. Ojo koyo bapak lan emakmu wong bodo, ora ngerti opo-opo. Ngertine mung sawah karo pari.”[1]
            Aku hanya tersenyum dan mengiyakan apa yang dikatakan oleh bapak. Nasehat bapak ku perhatikan baik-baik dan kulakukan. Saat di sekolah, aku berusaha sebaik mungkin mendengarkan penjelasan dari guru. Ketika ada pembahasan atau soal yang kurang kupahami, aku segera bertanya kepada guru. Di rumah, aku belajar segiat mungkin, mempelajari apa yang sudah disampaikan oleh guru. Tidak hanya itu, akupun punya kelompok belajar. Seminggu sekali kita belajar bersama. Tempatnya bergantian secara bergilir, kadang di rumahku kadang di rumah temanku. Sesekali kita belajar bersama di masjid desa. Semua hal itu aku lakukan dengan senang dan gembira, alhasil ketika penerimaan hasil belajar, nilaiku selalu memuaskan. Bapak dan ibu guru kadang menyanjungku dihadapan bapak dan emak saat penerimaan hasil belajar. Hal ini terus berlajut hingga aku lulus SMA. Semua guru memberikan selamat atas kelulusanku. Pak Wito, wali kelasku menyalami dan berkata:
            “Yasmin, kamu sudah lulus SMA. Bapak berharap kamu bisa melanjutkan kuliah dan semoga kelak kamu bisa menjadi orang sukses, karena kesuksesanmu itulah yang bisa membuat kedua orang tuamu bahagia.”
            Tanpa diduga setelah aku lulus SMA, aku mendapat beasiswa kuliah di Universitas Indonesia. Aku ambil jurusan sosiologi. Kegiatanku disini cukup beragam, mulai dari kuliah, diskusi dan berorganisasi. Aku sering diminta mengisi dikusi lintas organisasi. Biasanya aku diminta menanggapi berita-berita terkini dari perspektif sosiologi. Misalnya hal-hal yang berkaitan dengan isu korupsi, tawuran pelajar, drugs, dan berbagai macam masalah sosial lain.
            Dalam suatu diskusi, aku pernah menyampaikan gagasanku mengenai fenomena narkoba pada pelajar SMA.
            “Para teman-teman lintas organisasi yang saya banggakan. Fenomena narkoba telah menjalar kepada sebagian kalangan anak SMA. Tentunya ini merupakan suatu hal yang sangat meresahkan, tidak hanya bagi kita, namun juga meresahkan bagi negara kita. Berbagai macam upaya dan daya telah dilakukan oleh aparat pemerintahan, namun para pengguna narkoba terus saja ada, bahkan bisa jadi mengalami peningkatan. Terlalu naif jika kita hanya berharap  kepada pemerintah. Yang perlu dilakukan saat ini adalah kerja sama antara pemerintah dan berbagai elemen masyarakat, salah satunya adalah keluarga. Mengapa keluarga? Karena keluarga pada dasarnya adalah pendidikan awal seorang anak. Ketika anak lahir, maka proses pendidikan lingkup mikro sudah dimulai. Proses ini terus berlanjut hingga anak dewasa, bahkan selama orang tuanya masih hidup, proses tersebut masih berjalan. Disinilah peluang bagi orang tua untuk memberikan berbagai informasi mengenai penyimpangan sosial di dunia remaja, salah satunya ialah fenomena maraknya narkoba. Orang tua setidaknya bisa menjelaskan apa itu narkoba dan bahayanya bila dikonsumsi, serta memberikan berbagai macam alternatif kegiatan agar anak menghindari narkoba. Apabila setiap orang tua memberikan pengarahan kepada anak-anaknya di rumah mengenai dampak dan bahaya narkoba, tentunya ini akan meminimalisir para pengguna narkoba di kalangan pelajar SMA.”
             Itu merupakan salah satu contoh opini yang kusampaikan saat diskusi lintas organisasi. Merupakan suatu hal yang wajar jika ada yang setuju atau tidak setuju dengan opiniku. Ada yang mengiyakan dan ada pula yang protes. Tinggal bagaimana aku menyikapinya.
                                                                        ****
            Cuaca di Berlin cukup cerah pagi ini. Aku tersadar dari lamunanku. Ku tutup laptop dan ku tuju kamar Hisako yang dari tadi asyik membaca buku di kamar. Hisako adalah seorang mahasiswi dari Jepang. Dia satu jurusan bersamaku di Free University of Berlin atau dalam bahasa Jerman disebut Freie Universitat Berlin.
            “Hisako, kamu mau ikut aku keluar?” Aku bertanya padanya.
             “Ngapain?” Hisako menutup buku.
            “Cari sarapan.”
            “Ayo.”
            Kita berdua keluar bersama dan menuju ke restoran Halal wa Thayiban food. Satu-satunya restoran milik orang Mesir yang tinggal di Berlin. Hisako dan aku sering kesini jika makan bersama. Dia memahami bahwa aku adalah seorang muslimah, tentunya tidak bisa sembarangan cari restoran, apalagi disini banyak yang suka mengkonsumsi daging babi.
             Sambil menunggu makanan yang telah dipesan kita berdua saling bertanya.
            “Bagaimana persiapan ujian besok Yas?”
            “Sampai saat ini aku masih membaca buku Max Weber yang berjudul etika protestan. Aku masih ingin mempelajari bagian “peran agama untuk bisa memajukan sektor industri.” Jujur ada beberapa bab dalam buku itu yang belum aku kuasai . Persiapanmu gimana?”
            “Aku juga belum mengusai materi, terlebih materi tentang ideologi dan agama.”
            Aku hanya tersenyum. Hisako mengeluh seperti itu karena dia sempat sakit demam yang lumayan parah. Akibatnya jarang masuk kuliah dan sempat keteteran mengejar ketertinggalan materi. Sebulan sebelum ujian, dia mengurung diri di perpustakaan atau di kamar untuk mempersiapkan ujian, dan hanya keluar saat ingin makan atau ketika ingin buang air.
            “Sehabis ini kita ke perpustakaan yuk? Cuacanya juga lagi cerah.” Ajakku kepada Hisako.
            “Ide bagus Yas, jujur aku lebih suka belajar di perpustakaan dari pada di kamar. Biasanya kalo belajar di kamar aku gampang... Tiduuuur.” Ucapnya sambil memperagakan pose tidur.
            Aku tertawa sambil memakan sop berisi olahan daging sapi.
            “Semester ini aku agak cemas Yas. Takut ada beberapa mata kuliah yang enggak lulus.”
            “Ya elah. Hisako, Hisako.  Kamu harus yakin sama diri kamu. Gimana mau lulus ujian kalo belum apa-apa kamu udah pesimis? Yang penting, sekarang kamu berusaha dan berdoa. Urusan lulus apa enggak itu nanti.”
            Hisako tersenyum dan melanjutkan makannya.
            Siang sampai sore kita berada di perpustakaan kampus. Selama empat jam kita habiskan untuk membaca buku. Hisako tampak asyik membolak-balik buku yang dia baca. Dia juga asyik mencatat bagian-bagian mana saja yang penting. Aku hanya meneruskan bacaan Etika Protestan milik Max Weber yang sebentar lagi selesai kubaca. Kita benar-benar larut dalam suasana membaca. Orang-orang di sekitar kamipun juga asyik membaca. Tidak ada suara, dan kata. Bahkan ketika membuka lembaran bukupun semuanya berhati-hati agar tidak mengganggu ketenangan orang lain saat membaca.
            “Yasmin, kamu shalat ashar dulu. Ini udah masuk waktu ashar lho.” Hisako membisikkan sesuatu ke telingaku.
            Aku melihat jam tanganku. Ternyata sudah masuk waktu ashar. Aku ambil mukena dan sajadah lalu masuk ke ruang ibadah untuk melaksanakan shalat. Ku niatkan shalat untuk Sang Pencipta bukan untuk yang lain. Aku larut bermunajat kepada-Nya dan setelah sahalat tak lupa ku doakan orang tuaku agar selalu diberi kesehatan. Akupun berdoa agar aku bisa berhasil di negeri ini. Tak terasa, air mata menetes di pipiku. Sejujurnya aku rindu dengan orang tuaku di Solo, namun untuk sementara ini aku hanya bisa mendoakan mereka.
                                                                        ****
            Keesokan hari, ujian dilaksanakan. Semua mahasiswa mengerjakan soal yang diberikan dosen. Semuanya tampak asyik mengerjakan soal. Buku yang kubaca kemarin banyak memberikan pencerahan, sehingga ujian kali ini begitu mudah bagiku untuk kukerjakan. Bagaimana dengan Hisako? Apakah dia kesulitan? Aku tak bisa melihatnya dengan jelas karena dia duduk dibangku depan sedangkan aku duduk dibangku belakang, tak ada kesempatan untuk menoleh kanan atau ke kiri karena sekali menoleh akan diberi peringatan oleh pengawas ujian sampai dua kali. Jika masih tolah-toleh akan dikeluarkan dan dicatat dalam berita acara. Biasanya oleh dosen yang bersangkutan akan dinyatakan tidak lulus dan harus mengulang ujian di semester depan. Makannya, selama tiga hari ini siap-siap sakit leher karena harus terus menghadap ke depan saat ujian dan tidak diperbolehkan menoleh.
                                                                        ****
            Setelah beberapa bulan diumumkan hasil ujian, Hisako terus mengurung diri di kamar. Dia gagal dalam mata kuliah agama, ideologi, dan ilmu pengetahuan.
            “Hisako... Hisako... Tolong buka pintunya.” Aku memanggil sambil mengetuk pintu.
            Hening tak ada jawaban. Ku ketuk pintu sekali lagi. Sama saja tak ada suara.
            “Hisako... buka pintunya sebentar aja, aku mau ngomong.”
            Tetap tak ada suara.
            “Hisako... sebentar aja please. Aku mau ngomong. Habis itu kamu ngurung diri lagi enggak apa-apa deh.
            “Klek.”
            Suara pintu dibuka. Terlihat wajah kumal Hisako akibat menangis seharian. Aku masuk ke kamarnya dan duduk diatas kasur bersamanya.
            “Kamu kenapa sih nangis terus? Masih kecewa gara enggak lulus ujian?”
            Pertanyaanku hanya dijawab dengan anggukkan.
            “Hisako, aku tahu perasaanmu. Manusiawi ketika kamu sedih, kecewa dan kesal karena gagal ujian, tapi jangan berlebihan. Sebenarnya ketika kamu gagal ujian, kamu bisa ikut ujian di semester mendatang atau tahun depan. Jadi, kesempatan untuk lulus masih terbuka lebar. Yang perlu kamu lakukan sekarang adalah belajar dan terus belajar. Apapun masih bisa terjadi jika kita mau bangkit dan terus belajar. Enggak masalah tahun ini gagal, masih ada tahun besok. Jika tahun besok masih gagal berarti kita diberi kesempatan oleh Tuhan untuk belajar mengenai arti sabar, perjuangan dan ketabahan.” 
             Hisako manatapku dalam-dalam matanya secara perlahan kembali berbinar.
            “Ambil saja hikmahnya Hisako. Menurutku, kamu itu sudah sukses kok.”
            “Loh kok bisa?” Hisako tampak bingung.
            “Ya. Menurutku, orang sukses itu adalah orang yang mau bangkit dan belajar dari kegagalan. Berusaha dan berjuang agar tidak mengulang kegagalannya kembali.”
            Hisako menangis dan memelukku erat-erat.
            “Terima kasih Yas. Kamu memang sahabat terbaikku. Aku tidak akan menyerah. Akan kubuktikan ke kamu Yas, kalo aku bakalan lulus dengan predikat memuaskan.”
            Aku tersenyum dan membisikkan sesuatu ke telinga Hisako.
            “Habis ini kamu mandi ya? Soalnya kamu mau aku traktir makan.”
            “Serius? Dalam rangka apa e kamu traktir aku makan?”
            “Dalam rangka syukuran.”
            “Syukuran apa? Emangnya kamu ulang tahun? Apa jangan-jangan kamu udah dilamar seseorang?”
            Aku menggelengkan kepala,
            “Syukuran dalam rangka berhasil membahagiakan teman yang galau gara-gara enggak lulus ujian mata kuliah agama, ideologi, dan ilmu pengetahuan.”
            Hisako mencubit pipiku sambil memanyunkan kedua bibirinya, lalu beranjak pergi ke kamar mandi. Aku hanya tertawa geli melihatnya.
Sore itu, kita makan bersama. Sepanjang makan kita saling bercanda. Hisako sudah kembali ceria dan tidak mengungkit lagi masalah ujian yang gagal. Cuaca di Berlin sangat sejuk. Banyak orang berlalu-lalang menghabiskan waktu untuk berbelanja dan menikmati pemandangan. Semua orang tampak bahagia, bahkan mungkin kota Berlin ikut tersenyum bahagia melihat mereka yang berbahagia.
                                                            ****
Empat tahun kemudian
Sekarang aku sedang menempuh pendidikan S3. Alhamdulillah aku mendapatkan rekomendasi dari salah seorang profesor disini untuk melajutkan kembali studyku di Free University of Berlin. Oh ya, sebentar lagi aku juga akan menikah dengan seorang pria yang bernama Arie. Saat ini dia juga sedang kuliah S3, tapi di Australia.
Sore ini aku duduk manis mengerjakan artikel yang akan kukirim ke kampus. Iseng-iseng kubuka email, ternyata ada pesan masuk dari Hisako. Isinya berbunyi:
Dear Yasmin.
Apa kabarmu Yas? Semoga dimanapun kamu berada, kamu selalu dalam lindungan-Nya. Puji Tuhan kabarku baik. Setelah lulus dari Berlin aku kembali ke Jepang dan mencoba mendaftar beasiswa study S3 di Italia, Prancis, dan Australia. Sayang, semuanya gagal Yas, tapi aku enggak menyerah begitu saja. Aku coba daftar lagi beasiswa dari berbagai negara, tapi masih gagal. Saat itu ingin rasanya aku berhenti mencari beasiswa, namun aku teringat kata-katamu Yas untuk bisa bangkit dari kegagalan dan kucoba sekali lagi akhirnya... dua minggu yang lalu aku dapat pengumuman bahwa... bahwa aku diterima...diterima di... HARVARD UNIVERSITY. Orang tuaku senang sekali aku bisa keterima dan aku sedang mempersiapkan semuanya untuk pindah kesana. Ternyata kamu benar Yas. Dibalik kegagalan, pasti terdapat hikmah indah yang akan terungkap tepat pada waktunya. Kayaknya itu dulu yang bisa keceritakan padamu. Ku tunggu balasanmu ya? I Love You.
From: Hisako Nakamura
                                                                                    Hokaido, 23 September 2020
Berita itu membuatku senang sekaligus kaget. Ku teguk susu coklat hangat dan kubalas email dari Hisako. Hari ini aku kembali mendapatkan pelajaran dari Hisako. “Ketika kita gagal, jangan pernah berhenti mencoba dan terus berharap bahwa suatu saat kita akan berhasil manggapai apa yang diimpikan pada waktu yang tepat.”
 Sekejap kutatap jendela apartemen dan kulihat orang-orang yang berlalu lalang di trotoar. Semuanya tampak bahagia, persis seperti empat tahun lalu saat aku menemani Hisako makan setelah seharian menangis. Lagi-lagi kota Berlin tersenyum di sore hari. Bahkan kali ini rekahan senyumnya lebih indah dari pada empat tahun yang lalu.
                                                                        TAMAT


[1] Nak (panggilan untuk perempuan), kamu harus rajin belajar biar pinter, jadi orang sukses. Jangan kayak bapak dan emak kamu, orang bodoh enggak tahu apa-apa. Tahunya hanya sawah dan padi.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda