Senyum Kota Berlin di Sore Hari

Masih teringat
dalam benakku. Saat SD, SMP, SMA. Bapak dan emak selalu membangunkanku pukul
03.00 WIB untuk melaksanakan shalat tahajud bersama. Awalnya, aku ogah-ogahan,
terutama saat kelas 3 SD. Lama-kelamaan karena biasa dibangunkan, akhirnya aku
terbiasa bangun malam. Setelah melaksanakan shalat tahajud, aku membantu ibu
membuat kue donat sampai pukul 04.30 WIB dan istirahat sejenak untuk
melaksanakan shalat Subuh kemudian kembali membuat kue donat sampai pukul 06.00
WIB.
Itulah kegiatan
sehai-hariku. Membantu ibu membuat kue donat untuk dijajakan di warung sekolah
sekitar rumahku. Aku dilahirkan di desa dari keluarga sederhana. Bapak bekerja
sebagai petani dan emak bekerja sebagai pembuat kue donat. Aku merupakan anak
tunggal, maka dari itu kedua orang tua begitu memperhatikanku. Mereka selalu
mengingatkanku untuk rajin belajar.
“Nduk, koe kudu
sregep sinau men pinter, dadi wong sukses. Ojo koyo bapak lan emakmu wong bodo,
ora ngerti opo-opo. Ngertine mung sawah karo pari.”[1]
Aku hanya
tersenyum dan mengiyakan apa yang dikatakan oleh bapak. Nasehat bapak ku perhatikan
baik-baik dan kulakukan. Saat di sekolah, aku berusaha sebaik mungkin
mendengarkan penjelasan dari guru. Ketika ada pembahasan atau soal yang kurang
kupahami, aku segera bertanya kepada guru. Di rumah, aku belajar segiat
mungkin, mempelajari apa yang sudah disampaikan oleh guru. Tidak hanya itu,
akupun punya kelompok belajar. Seminggu sekali kita belajar bersama. Tempatnya
bergantian secara bergilir, kadang di rumahku kadang di rumah temanku. Sesekali
kita belajar bersama di masjid desa. Semua hal itu aku lakukan dengan senang
dan gembira, alhasil ketika penerimaan hasil belajar, nilaiku selalu memuaskan.
Bapak dan ibu guru kadang menyanjungku dihadapan bapak dan emak saat penerimaan
hasil belajar. Hal ini terus berlajut hingga aku lulus SMA. Semua guru
memberikan selamat atas kelulusanku. Pak Wito, wali kelasku menyalami dan
berkata:
“Yasmin, kamu
sudah lulus SMA. Bapak berharap kamu bisa melanjutkan kuliah dan semoga kelak kamu
bisa menjadi orang sukses, karena kesuksesanmu itulah yang bisa membuat kedua
orang tuamu bahagia.”
Tanpa diduga
setelah aku lulus SMA, aku mendapat beasiswa kuliah di Universitas Indonesia.
Aku ambil jurusan sosiologi. Kegiatanku disini cukup beragam, mulai dari
kuliah, diskusi dan berorganisasi. Aku sering diminta mengisi dikusi lintas
organisasi. Biasanya aku diminta menanggapi berita-berita terkini dari
perspektif sosiologi. Misalnya hal-hal yang berkaitan dengan isu korupsi,
tawuran pelajar, drugs, dan berbagai macam masalah sosial lain.
Dalam suatu
diskusi, aku pernah menyampaikan gagasanku mengenai fenomena narkoba pada
pelajar SMA.
“Para teman-teman
lintas organisasi yang saya banggakan. Fenomena narkoba telah menjalar kepada
sebagian kalangan anak SMA. Tentunya ini merupakan suatu hal yang sangat
meresahkan, tidak hanya bagi kita, namun juga meresahkan bagi negara kita.
Berbagai macam upaya dan daya telah dilakukan oleh aparat pemerintahan, namun
para pengguna narkoba terus saja ada, bahkan bisa jadi mengalami peningkatan.
Terlalu naif jika kita hanya berharap kepada
pemerintah. Yang perlu dilakukan saat ini adalah kerja sama antara pemerintah
dan berbagai elemen masyarakat, salah satunya adalah keluarga. Mengapa
keluarga? Karena keluarga pada dasarnya adalah pendidikan awal seorang anak.
Ketika anak lahir, maka proses pendidikan lingkup mikro sudah dimulai. Proses
ini terus berlanjut hingga anak dewasa, bahkan selama orang tuanya masih hidup,
proses tersebut masih berjalan. Disinilah peluang bagi orang tua untuk
memberikan berbagai informasi mengenai penyimpangan sosial di dunia remaja,
salah satunya ialah fenomena maraknya narkoba. Orang tua setidaknya bisa
menjelaskan apa itu narkoba dan bahayanya bila dikonsumsi, serta memberikan
berbagai macam alternatif kegiatan agar anak menghindari narkoba. Apabila setiap
orang tua memberikan pengarahan kepada anak-anaknya di rumah mengenai dampak
dan bahaya narkoba, tentunya ini akan meminimalisir para pengguna narkoba di
kalangan pelajar SMA.”
Itu merupakan salah satu contoh opini yang
kusampaikan saat diskusi lintas organisasi. Merupakan suatu hal yang wajar jika
ada yang setuju atau tidak setuju dengan opiniku. Ada yang mengiyakan dan ada
pula yang protes. Tinggal bagaimana aku menyikapinya.
****
Cuaca di Berlin
cukup cerah pagi ini. Aku tersadar dari lamunanku. Ku tutup laptop dan ku tuju
kamar Hisako yang dari tadi asyik membaca buku di kamar. Hisako adalah seorang
mahasiswi dari Jepang. Dia satu jurusan bersamaku di Free University of Berlin
atau dalam bahasa Jerman disebut Freie Universitat Berlin.
“Hisako, kamu mau
ikut aku keluar?” Aku bertanya padanya.
“Ngapain?” Hisako menutup buku.
“Cari sarapan.”
“Ayo.”
Kita berdua keluar
bersama dan menuju ke restoran Halal wa Thayiban food. Satu-satunya restoran
milik orang Mesir yang tinggal di Berlin. Hisako dan aku sering kesini jika
makan bersama. Dia memahami bahwa aku adalah seorang muslimah, tentunya tidak
bisa sembarangan cari restoran, apalagi disini banyak yang suka mengkonsumsi
daging babi.
Sambil menunggu makanan yang telah dipesan
kita berdua saling bertanya.
“Bagaimana
persiapan ujian besok Yas?”
“Sampai saat ini
aku masih membaca buku Max Weber yang berjudul etika protestan. Aku masih ingin
mempelajari bagian “peran agama untuk bisa memajukan sektor industri.” Jujur
ada beberapa bab dalam buku itu yang belum aku kuasai . Persiapanmu gimana?”
“Aku juga belum
mengusai materi, terlebih materi tentang ideologi dan agama.”
Aku hanya tersenyum. Hisako mengeluh seperti itu karena
dia sempat sakit demam yang lumayan parah. Akibatnya jarang masuk kuliah dan
sempat keteteran mengejar ketertinggalan materi. Sebulan sebelum ujian, dia mengurung
diri di perpustakaan atau di kamar untuk mempersiapkan ujian, dan hanya keluar
saat ingin makan atau ketika ingin buang air.
“Sehabis ini kita
ke perpustakaan yuk? Cuacanya juga lagi cerah.” Ajakku kepada Hisako.
“Ide bagus Yas,
jujur aku lebih suka belajar di perpustakaan dari pada di kamar. Biasanya kalo
belajar di kamar aku gampang... Tiduuuur.” Ucapnya sambil memperagakan pose
tidur.
Aku tertawa sambil
memakan sop berisi olahan daging sapi.
“Semester ini aku
agak cemas Yas. Takut ada beberapa mata kuliah yang enggak lulus.”
“Ya elah. Hisako,
Hisako. Kamu harus yakin sama diri kamu.
Gimana mau lulus ujian kalo belum apa-apa kamu udah pesimis? Yang penting,
sekarang kamu berusaha dan berdoa. Urusan lulus apa enggak itu nanti.”
Hisako tersenyum
dan melanjutkan makannya.
Siang sampai sore
kita berada di perpustakaan kampus. Selama empat jam kita habiskan untuk
membaca buku. Hisako tampak asyik membolak-balik buku yang dia baca. Dia juga
asyik mencatat bagian-bagian mana saja yang penting. Aku hanya meneruskan
bacaan Etika Protestan milik Max Weber yang sebentar lagi selesai kubaca. Kita
benar-benar larut dalam suasana membaca. Orang-orang di sekitar kamipun juga
asyik membaca. Tidak ada suara, dan kata. Bahkan ketika membuka lembaran
bukupun semuanya berhati-hati agar tidak mengganggu ketenangan orang lain saat
membaca.
“Yasmin, kamu
shalat ashar dulu. Ini udah masuk waktu ashar lho.” Hisako membisikkan sesuatu
ke telingaku.
Aku melihat jam
tanganku. Ternyata sudah masuk waktu ashar. Aku ambil mukena dan sajadah lalu
masuk ke ruang ibadah untuk melaksanakan shalat. Ku niatkan shalat untuk Sang
Pencipta bukan untuk yang lain. Aku larut bermunajat kepada-Nya dan setelah
sahalat tak lupa ku doakan orang tuaku agar selalu diberi kesehatan. Akupun
berdoa agar aku bisa berhasil di negeri ini. Tak terasa, air mata menetes di
pipiku. Sejujurnya aku rindu dengan orang tuaku di Solo, namun untuk sementara
ini aku hanya bisa mendoakan mereka.
****
Keesokan hari,
ujian dilaksanakan. Semua mahasiswa mengerjakan soal yang diberikan dosen.
Semuanya tampak asyik mengerjakan soal. Buku yang kubaca kemarin banyak
memberikan pencerahan, sehingga ujian kali ini begitu mudah bagiku untuk
kukerjakan. Bagaimana dengan Hisako? Apakah dia kesulitan? Aku tak bisa
melihatnya dengan jelas karena dia duduk dibangku depan sedangkan aku duduk
dibangku belakang, tak ada kesempatan untuk menoleh kanan atau ke kiri karena sekali
menoleh akan diberi peringatan oleh pengawas ujian sampai dua kali. Jika masih
tolah-toleh akan dikeluarkan dan dicatat dalam berita acara. Biasanya oleh
dosen yang bersangkutan akan dinyatakan tidak lulus dan harus mengulang ujian
di semester depan. Makannya, selama tiga hari ini siap-siap sakit leher karena
harus terus menghadap ke depan saat ujian dan tidak diperbolehkan menoleh.
****
Setelah beberapa
bulan diumumkan hasil ujian, Hisako terus mengurung diri di kamar. Dia gagal
dalam mata kuliah agama, ideologi, dan ilmu pengetahuan.
“Hisako...
Hisako... Tolong buka pintunya.” Aku memanggil sambil mengetuk pintu.
Hening tak ada
jawaban. Ku ketuk pintu sekali lagi. Sama saja tak ada suara.
“Hisako... buka
pintunya sebentar aja, aku mau ngomong.”
Tetap tak ada
suara.
“Hisako...
sebentar aja please. Aku mau ngomong. Habis itu kamu ngurung diri lagi enggak apa-apa
deh.
“Klek.”
Suara pintu
dibuka. Terlihat wajah kumal Hisako akibat menangis seharian. Aku masuk ke
kamarnya dan duduk diatas kasur bersamanya.
“Kamu kenapa sih
nangis terus? Masih kecewa gara enggak lulus ujian?”
Pertanyaanku hanya
dijawab dengan anggukkan.
“Hisako, aku tahu
perasaanmu. Manusiawi ketika kamu sedih, kecewa dan kesal karena gagal ujian,
tapi jangan berlebihan. Sebenarnya ketika kamu gagal ujian, kamu bisa ikut
ujian di semester mendatang atau tahun depan. Jadi, kesempatan untuk lulus
masih terbuka lebar. Yang perlu kamu lakukan sekarang adalah belajar dan terus
belajar. Apapun masih bisa terjadi jika kita mau bangkit dan terus belajar.
Enggak masalah tahun ini gagal, masih ada tahun besok. Jika tahun besok masih
gagal berarti kita diberi kesempatan oleh Tuhan untuk belajar mengenai arti
sabar, perjuangan dan ketabahan.”
Hisako manatapku dalam-dalam matanya secara
perlahan kembali berbinar.
“Ambil saja
hikmahnya Hisako. Menurutku, kamu itu sudah sukses kok.”
“Loh kok bisa?”
Hisako tampak bingung.
“Ya. Menurutku,
orang sukses itu adalah orang yang mau bangkit dan belajar dari kegagalan.
Berusaha dan berjuang agar tidak mengulang kegagalannya kembali.”
Hisako menangis
dan memelukku erat-erat.
“Terima kasih Yas.
Kamu memang sahabat terbaikku. Aku tidak akan menyerah. Akan kubuktikan ke kamu
Yas, kalo aku bakalan lulus dengan predikat memuaskan.”
Aku tersenyum dan
membisikkan sesuatu ke telinga Hisako.
“Habis ini kamu
mandi ya? Soalnya kamu mau aku traktir makan.”
“Serius? Dalam
rangka apa e kamu traktir aku makan?”
“Dalam rangka
syukuran.”
“Syukuran apa?
Emangnya kamu ulang tahun? Apa jangan-jangan kamu udah dilamar seseorang?”
Aku menggelengkan
kepala,
“Syukuran dalam
rangka berhasil membahagiakan teman yang galau gara-gara enggak lulus ujian
mata kuliah agama, ideologi, dan ilmu pengetahuan.”
Hisako mencubit
pipiku sambil memanyunkan kedua bibirinya, lalu beranjak pergi ke kamar mandi.
Aku hanya tertawa geli melihatnya.
Sore itu, kita makan bersama. Sepanjang makan kita saling bercanda.
Hisako sudah kembali ceria dan tidak mengungkit lagi masalah ujian yang gagal.
Cuaca di Berlin sangat sejuk. Banyak orang berlalu-lalang menghabiskan waktu
untuk berbelanja dan menikmati pemandangan. Semua orang tampak bahagia, bahkan
mungkin kota Berlin ikut tersenyum bahagia melihat mereka yang berbahagia.
****
Empat tahun kemudian
Sekarang aku sedang menempuh pendidikan S3. Alhamdulillah aku
mendapatkan rekomendasi dari salah seorang profesor disini untuk melajutkan
kembali studyku di Free University of Berlin. Oh ya, sebentar lagi aku juga
akan menikah dengan seorang pria yang bernama Arie. Saat ini dia juga sedang
kuliah S3, tapi di Australia.
Sore ini aku duduk manis mengerjakan artikel yang akan kukirim ke
kampus. Iseng-iseng kubuka email, ternyata ada pesan masuk dari Hisako. Isinya
berbunyi:
Dear Yasmin.
Apa kabarmu Yas? Semoga dimanapun kamu berada, kamu selalu dalam
lindungan-Nya. Puji Tuhan kabarku baik. Setelah lulus dari Berlin aku kembali
ke Jepang dan mencoba mendaftar beasiswa study S3 di Italia, Prancis, dan
Australia. Sayang, semuanya gagal Yas, tapi aku enggak menyerah begitu saja.
Aku coba daftar lagi beasiswa dari berbagai negara, tapi masih gagal. Saat itu
ingin rasanya aku berhenti mencari beasiswa, namun aku teringat kata-katamu Yas
untuk bisa bangkit dari kegagalan dan kucoba sekali lagi akhirnya... dua minggu
yang lalu aku dapat pengumuman bahwa... bahwa aku diterima...diterima di...
HARVARD UNIVERSITY. Orang tuaku senang sekali aku bisa keterima dan aku sedang
mempersiapkan semuanya untuk pindah kesana. Ternyata kamu benar Yas. Dibalik
kegagalan, pasti terdapat hikmah indah yang akan terungkap tepat pada waktunya.
Kayaknya itu dulu yang bisa keceritakan padamu. Ku tunggu balasanmu ya? I Love
You.
From: Hisako Nakamura
Hokaido,
23 September 2020
Berita itu membuatku senang sekaligus kaget. Ku teguk susu coklat
hangat dan kubalas email dari Hisako. Hari ini aku kembali mendapatkan
pelajaran dari Hisako. “Ketika kita gagal, jangan pernah berhenti mencoba dan
terus berharap bahwa suatu saat kita akan berhasil manggapai apa yang diimpikan
pada waktu yang tepat.”
Sekejap kutatap jendela apartemen
dan kulihat orang-orang yang berlalu lalang di trotoar. Semuanya tampak
bahagia, persis seperti empat tahun lalu saat aku menemani Hisako makan setelah
seharian menangis. Lagi-lagi kota Berlin tersenyum di sore hari. Bahkan kali
ini rekahan senyumnya lebih indah dari pada empat tahun yang lalu.
TAMAT
[1] Nak (panggilan
untuk perempuan), kamu harus rajin belajar biar pinter, jadi orang sukses.
Jangan kayak bapak dan emak kamu, orang bodoh enggak tahu apa-apa. Tahunya
hanya sawah dan padi.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda