Pertanyaan Yang Tak Terjawab

Suasana di ruang
itu begitu sejuk, tidak terlalu panas, tapi juga tidak terlalu dingin, semuanya
berjalan dengan normal tanpa hambatan apapun. Seorang moderator wanita memimpin
jalannya acara talk show siang hari itu. Aku terduduk disebelahnya dengan jarak
sekitar 1 meter. Aku menggunakan balutan baju hem lengan panjang dan celana
jeans panjang. Sepuluh menit aku dan moderator saling bercakap panjang.
“Bang Heri, dalam
tulisan di buku novel anda yang berjudul ‘Menghimpun Harmoni’, anda menjelaskan
bahwa setiap makhluk Tuhan hadir di bumi untuk saling mencintai bukan memusuhi,
mengapa demikian?” Moderator bertanya kepadaku dengan suara yang mantap.
“Pertanyaan
menarik. Kutipan tadi sesungguhnya membahas cinta dari sisi idealita, bukan
realita. Menurut saya, cinta adalah suatu anugerah terindah yang diberikan
Tuhan kepada manusia. Hidup manusia akan terasa hampa bila di bumi tidak
terjalin cinta kasih antara sesama manusia. Menurut Kahlil Gibran: ‘Keabadian
tidak menyisakan apa-apa kecuali cinta, karena cinta adalah keabadian itu
sendiri.’ Dari pernyataan tadi secara tersirat dapat disimpulkan bahwa cinta
adalah naluri setiap manusia, tidak ada manusia yang tidak membutuhkan cinta.
Sebagai contoh, kita bisa hidup sampai saat ini
juga karena cinta...”
“Kok bisa?” Sang
moderator tampak kebingungan.
“Ya. Kita
dilahirkan di bumi ini karena bapak dan ibu kita saling mencintai. Coba
bayangkan jika mereka berdua tidak saling mencintai, tentunya mereka tidak akan
menikah dan kita pun tidak akan lahir.”
Semua yang hadir
menganggukkan kepala, suatu tanda sepakat atas penjelasanku.
“Contoh lain, saat
ini kita hidup tidak lain dan tidak bukan karena cinta. Betul bukan? Jika bukan
karena cinta, pastilah kita sudah tiada dikarenakan orang tua akan begitu
mudahnya membunuh kita dengan satu kali tebasan pedang di leher. Hal itu tidak
terjadi karena orang tua mencitai dan menyayangi cinta.”
“Luar biasa sekali
pemaparannya.”
Seluruh hadirin
bertepuk tangan dengan riuh. Ruangan itu dipenuhi dengan lautan muda-mudi yang
sangat mengagumi karya-karyaku. Tentunya kebanyakan dari mereka adalah kaum
hawa.
“Bang Heri, saya
kan follow instagram anda. Tadi iseng-iseng stalking...”
Ruangan tiba-tiba
riuh. Ada yang bertepuk tangan, ada yang bilang “cie”, dan ada juga yang
tersenyum nyiyir. Aku hanya tersenyum.
“Hadirin kayaknya
salah paham nih. Begitu denger saya stalking langsung pada heboh. Sebenernya
saya tadi iseng stalking karena waktu bang Heri upload foto novel kelima di
instagram ada yang tanya: ‘Bang Heri, sebenarnya abang pujangga apa novelis
sih?’ Mungkin pertanyaan ini bisa dijawab sekarang. Silahkan dijawab Bang...”
“Saya bukan
pujangga, bukan juga novelis. Saya hanyalah seorang manusia yang sedang
berusaha mengungkapkan perasaan hati dan diri melalui goresan pena. Seorang
manusia biasa yang sedang melihat dunia dengan berbagai realita dengan
perspektif berbeda.”
Riuh suara tepuk
tangan kembali menggema di ruangan itu.
“Anda sungguh
rendah hati bang Heri. Saya jujur merinding dengerin anda jawab gitu.”
Lagi-lagi
moderator membuatku malu di depan umum.
“Bang, ini ada
pertanyaan lagi dari salah seorang penggemar di instagram. Dia nanya: ‘Kenapa
sih di dunia ini ada yang bilang sayang, ujung-ujungnya menghilang. Berjanji
untuk sehidup semati ujung-ujungnya mengkhianati? Itu kan sakit banget. Apa
bang Heri pernah disakiti dan dikhianati?’”
Pertanyaan itu
membuatku terdiam. Sekujur tubuhku kaku, bahkan bibirku kelu dan membisu.
Seketika keringat dingin keluar dari ujung kepala hingga ujung kaki.
2 Tahun Lalu Saat Aku dan Dia Menjalin Cinta
Sebuah malam yang indah. Kuberikan sebuah cincin emas kepada Dinda
di restoran tempat biasa kita bertemu. Kukatakan kepadanya,
“Din, maukah kamu menjadi istriku?”
Malu-malu tapi mau, dia tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku
begitu mencintainya, begitu pula dia mencintaiku setulus hati. Aku amat yakin
dia akan medampingiku dikala sedih maupun senang. Karena itulah, beberapa bulan
lagi aku berniat melamarnya. Kukatakan kapadanya, bahwa dengan segera aku akan
pergi menemui orang tuanya bersama keluargaku. Lagi-lagi dia hanya tersenyum
dan mengangguk malu menatap wajahku.
****
Malam itu, semuanya
berkumpul. Rasa haru dan bahagia benar-benar terasa di dalam dadaku. Bagaimana
tidak, aku baru saja melamar Dinda. Orang yang sangat kucintai setelah ayah dan
ibuku. Prosesi lamaran begitu singkat, intinya dua bulan lagi aku akan menikah.
Aku akan menjadi suami dari seseorang yang sangat kukagumi.
Segala macam hal aku siapkan, mulai dari maskawin sampai hal-hal
yang berkaitan dengan konsep pernikahan. Semuanya terlaksana dengan rapi sesuai
dengan perencanaan tanpa suatu halangan apapun.
1 bulan lamanya telah berlalu. Jantungku
berdetak semakin cepat. Aku benar-benar tak sabar ingin memiliki cinta Dinda
seutuhnya. Ingin kumiliki segala senyumnya. Ingin kurenggut hatinya, dan ingin
kubelai wajah cantiknya.
Suara Hpku
berdering kencang. Ternyata Dinda menelponku
“Bang, besok
Minggu jalan-jalan ke pantai yuk?”
“Pantai?
Boleh-boleh. Kebetulan aku juga lagi luang.”
“Oke, kamu jemput
aku jam 09.00 WIB pagi ya bang? Kita berangkat pagi aja.”
“Oke Din.”
Suara Hp ditutup.
Benar-benar suatu kebetulan. Biasanya aku dulu yang mengajaknya pergi. Mungkin
saja dia rindu denganku karena sudah dua minggu tidak bertemu. Itu hanya
dugaanku, tapi yang jelas aku sangat merindukannya. Rindu yang tak akan
terobati dengan dengan untaian kata, karena hanya pertemuanlah yang dapat
mengiobati kerinduan tersebut.
Hari Minggu Di
Pantai
Sekian jam lamanya aku menempuh perjalan menuju pantai. Di
mobil aku banyak bercerita tentang persiapan-persiapanku jelang pernikahan. Aku
juga bercerita bahwa semuanya akan berjalan lancar sesuai dengan perencanaan.
Sekian lama bercerita, Dinda tidak komentar satu kalimat pun. Dia hanya sibuk
menatap pemandangan lewat jendela kiri mobil. Lalu dia bercerita bahwa saat
kecil, ayahnya sering mengajak jalan-jalan ke pantai ketika liburan panjang.
Apa yang dia ceritakan tidak sesuai dengan harapanku. Sebenarnya, aku bercerita
panjang tentang persiapan pernikahan agar dia memberikan saran dan masukan,
namun semuanya terlihat begitu janggal. Apakah semuanya baik-baik saja? Ataukah
ini hanyalah firasatku saja?
****
Ombak pantai
menderu dengan indahnya. Pohon kelapa menari indah di tepian pantai. Puluhan
orang tampak bahagia bermain disana.
“Bang, apakah kau
benar-benar mencintaiku?”
Pertanyaan macam
apa ini? Seolah selama aku dekat dengannya, aku adalah orang yang tidak bisa
dipercaya.
“Ya aku
mencintaimu Din. Kenapa tiba-tiba tanya gini?”
Dinda membalik
badan. Matanya tertuju pada birunya pantai. Tangan kanannya memegang jari manis
kirinya. Secara perlahan dia melepaskan cincin yang kuberikan.
“Bang. Aku terjebak
dimasa lalu.”
“Maksud kamu?” Aku
bingung dengan perkataannya.
“Aku pernah bilang
ke kamu kan bang. Sebelum kamu memiliki hatiku, aku pernah bersama orang lain.”
“Lantas?”
“Aku...
Aku masih mencintainya.”
Tubuhku terasa membeku. Semua
persendianku kaku, bagai dihujani batu. Tak bisa kupercaya Dinda mengatakan hal
itu kepadaku. Hati ini terasa mulai lara, karena tak sanggup lagi meredam emosi
yang membara.
“Lantas mau kamu apa?” Aku bertanya
marah.
Dinda menatapku sejenak. Matanya
mulai berkaca-kaca.
“Aku... aku ingin mengakhiri hubungan ini.”
“What?! Kamu
jangan main-main Din. Satu bulan lagi kita mau menikah.”
“Aku... Serius
bang. Sudah aku pikirkan matang-matang.”
“Kata-katamu
benar-benar membuatku sakit. Harusnya kamu berfikir dengan seksama. Jika kamu
membatalkan pernikahan kita, berapa banyak orang yang akan tersakiti? Coba
fikirkan perasaanku, kedua orang tuaku, serta kerabat-kerabatku? Mereka pasti
akan sangat marah dan kecewa...”
“Tidak bang. Ini
merupakan langkah tepat yang harus kuambil. Tak bisa kubayangkan jika suatu
saat aku hidup dan menikah denganmu,
namun hatiku tertuju bukan pada dirimu. Bukankah itu lebih menyakitkan? Jika
pernikahan ini tetap dilanjutkan, aku yakin kamu tidak akan bisa bahagia
bersamaku.”
Aku terdiam.
Kecewa. Marah. Sekaligus... sedih.
“Bang, maafkan
aku... aku tak bermaksud menyakitimu. Aku masih mencintainya dan dia pun masih
mencintaiku. Kita bertemu kembali tepat setelah dua hari kamu melamarku bang.
Saat itulah kenangan lama kembali menari-nari dalam benakku. Dia pun kembali
mengungkapkan perasaannya, setelah sekian lama meninggalkanku.”
“Lantas, bagaimana
dengan nasibku?” Aku masih menahan amarah yang bergejolak didalam dadaku.
“Aku tak tahu
bang. Yang kutahu, dia masih mencintaiku. Aku ingin bahagia, dan kamu pun berhak
bahagia dengan wanita lain.”
“Aku enggak ngerti
sama maunya kamu Din. Kamu benar-benar kelewatan. Kenapa harus sekarang? Kenapa
harus aku yang terlukai? Bukankah kamu menerima lamaranku? Bukankah kamu yang
selalu meminta kepastian hubungan kita?”
“Itu dulu kala
bang. Sekarang aku mencintai orang lain. Aku tak mau kehilangan dia dia untuk
kedua kalinya.”
Dinda menghentikan
sejenak kata-katanya. Lalu memberikan cincin yang aku berikan dulu.
“Sekali lagu aku
minta maaf ya bang. Aku kembalikan cincin yang kamu berikan. Besok lusa orang
tuaku akan ke rumahmu untuk menemui kedua orang tuamu. Menjelaskan hubungan
kita. Mengutarakan semua yang terjadi diantara kita. Mudah-mudahan mereka bisa
memaafkan kesalahanku. Aku harap orang tuaku dan orang tuamu masih bisa
bersahabat seperti dulu, sebelum kejadian ini terjadi.”
Aku berdiri
mematung. Masih tak percaya cintaku dibalas dengan pengkhianatan. Aku tak bisa
menerima semua ini. Semua yang kulalui, semua yang kulakukan. Semuanya terasa
sia-sia.
****
Setelah Dinda
membatalkan pernikahan. Aku tak pernah lagi berhubungan dengannya, sekalipun
itu lewat medsos. Mendengar keputusan Dinda yang tidak masuk akal membuat orang
tuaku kecewa dan marah. Mereka juga tak pernah lagi berhubungan dengan keluarga
Dinda. Kejadian itu benar-benar merubah segalanya.
Semenjak itu
hidupku dipenuhi dengan kesedihan. Kutulis semua rasa sesal dan sedihku lewat
tulisan. Lama-kelamaan kubuat sebuah cerita yang menggambarkan seluruh rasa
kecewaku kepada Dinda. Tak kusangka pula buku-bukuku laku terjual dipasaran,
aku pun menjadi salah satu penulis best seller di Indonesia. Ku habiskan
hidupku untuk menulis kisah-kisah cinta dari seseorang ke orang lain. Itulah
yang membuatku bisa hadir disini. Dihujam dengan berbagai macam pertanyaan,
salah satunya dari moderator.
Siang Ini,
Setelah Ingatan Kembali Ke Masa Lalu
Moderator kembali mengulang pertanyaannya.
“Bang, ini ada pertanyaan lagi dari salah seorang penggemar di
instagram. Dia nanya: ‘Kenapa sih di dunia ini ada yang bilang sayang,
ujung-ujungnya menghilang. Berjanji untuk sehidup semati ujung-ujungnya
mengkhianati? Itu kan sakit banget. Apa bang Heri pernah disakiti dan
dikhianati?’”
Pertanyaan itu
membuatku terdiam. Sekujur tubuhku kaku, bahkan bibirku kelu dan membisu. Seketika
keringat dingin keluar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku tak bisa
menjawab, air mataku keluar. Semua yang hadir bingung termasuk moderator. Ini
merupakan pertanyaan terberat sepanjang hidupku.
“Maaf mba. Saya enggak bisa jawab pertanyaan
ini.”
Aku pun pergi
meninggalkan ruangan diiringi derai air mata yang menghujam dipipi. Semua yang
hadir bertambah bingung. Semenjak Dinda tidak lagi bersamaku, aku terus
berharap pada Tuhan bahwa dia akan kembali mengharap kepadaku, nyatanya tidak.
Dinda telah menikah dan kini aku sendiri menikmati sepi sendiri. Aku terus
pergi sambil berlari. Meninggalkan ruangan itu. Menghindari sebuah pertanyaan
yang tak akan terjawab sampai kapanpun.
TAMAT
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda