Minggu, 15 Juli 2018

Pertanyaan Yang Tak Terjawab


                                   Image result for pertanyaan           
            Suasana di ruang itu begitu sejuk, tidak terlalu panas, tapi juga tidak terlalu dingin, semuanya berjalan dengan normal tanpa hambatan apapun. Seorang moderator wanita memimpin jalannya acara talk show siang hari itu. Aku terduduk disebelahnya dengan jarak sekitar 1 meter. Aku menggunakan balutan baju hem lengan panjang dan celana jeans panjang. Sepuluh menit aku dan moderator saling bercakap panjang.
            “Bang Heri, dalam tulisan di buku novel anda yang berjudul ‘Menghimpun Harmoni’, anda menjelaskan bahwa setiap makhluk Tuhan hadir di bumi untuk saling mencintai bukan memusuhi, mengapa demikian?” Moderator bertanya kepadaku dengan suara yang mantap.
            “Pertanyaan menarik. Kutipan tadi sesungguhnya membahas cinta dari sisi idealita, bukan realita. Menurut saya, cinta adalah suatu anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Hidup manusia akan terasa hampa bila di bumi tidak terjalin cinta kasih antara sesama manusia. Menurut Kahlil Gibran: ‘Keabadian tidak menyisakan apa-apa kecuali cinta, karena cinta adalah keabadian itu sendiri.’ Dari pernyataan tadi secara tersirat dapat disimpulkan bahwa cinta adalah naluri setiap manusia, tidak ada manusia yang tidak membutuhkan cinta. Sebagai contoh, kita bisa hidup sampai saat ini juga karena cinta...”
            “Kok bisa?” Sang moderator tampak kebingungan.
            “Ya. Kita dilahirkan di bumi ini karena bapak dan ibu kita saling mencintai. Coba bayangkan jika mereka berdua tidak saling mencintai, tentunya mereka tidak akan menikah dan kita pun tidak akan lahir.”
            Semua yang hadir menganggukkan kepala, suatu tanda sepakat atas penjelasanku.
            “Contoh lain, saat ini kita hidup tidak lain dan tidak bukan karena cinta. Betul bukan? Jika bukan karena cinta, pastilah kita sudah tiada dikarenakan orang tua akan begitu mudahnya membunuh kita dengan satu kali tebasan pedang di leher. Hal itu tidak terjadi karena orang tua mencitai dan menyayangi cinta.”
            “Luar biasa sekali pemaparannya.”
            Seluruh hadirin bertepuk tangan dengan riuh. Ruangan itu dipenuhi dengan lautan muda-mudi yang sangat mengagumi karya-karyaku. Tentunya kebanyakan dari mereka adalah kaum hawa.
            “Bang Heri, saya kan follow instagram anda. Tadi iseng-iseng stalking...”
            Ruangan tiba-tiba riuh. Ada yang bertepuk tangan, ada yang bilang “cie”, dan ada juga yang tersenyum nyiyir. Aku hanya tersenyum.
            “Hadirin kayaknya salah paham nih. Begitu denger saya stalking langsung pada heboh. Sebenernya saya tadi iseng stalking karena waktu bang Heri upload foto novel kelima di instagram ada yang tanya: ‘Bang Heri, sebenarnya abang pujangga apa novelis sih?’ Mungkin pertanyaan ini bisa dijawab sekarang. Silahkan dijawab Bang...”
            “Saya bukan pujangga, bukan juga novelis. Saya hanyalah seorang manusia yang sedang berusaha mengungkapkan perasaan hati dan diri melalui goresan pena. Seorang manusia biasa yang sedang melihat dunia dengan berbagai realita dengan perspektif berbeda.”
            Riuh suara tepuk tangan kembali menggema di ruangan itu.
            “Anda sungguh rendah hati bang Heri. Saya jujur merinding dengerin anda jawab gitu.”
            Lagi-lagi moderator membuatku malu di depan umum.
            “Bang, ini ada pertanyaan lagi dari salah seorang penggemar di instagram. Dia nanya: ‘Kenapa sih di dunia ini ada yang bilang sayang, ujung-ujungnya menghilang. Berjanji untuk sehidup semati ujung-ujungnya mengkhianati? Itu kan sakit banget. Apa bang Heri pernah disakiti dan dikhianati?’”
            Pertanyaan itu membuatku terdiam. Sekujur tubuhku kaku, bahkan bibirku kelu dan membisu. Seketika keringat dingin keluar dari ujung kepala hingga ujung kaki.
2 Tahun Lalu Saat Aku dan Dia Menjalin Cinta  
Sebuah malam yang indah. Kuberikan sebuah cincin emas kepada Dinda di restoran tempat biasa kita bertemu. Kukatakan kepadanya,
“Din, maukah kamu menjadi istriku?”
Malu-malu tapi mau, dia tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku begitu mencintainya, begitu pula dia mencintaiku setulus hati. Aku amat yakin dia akan medampingiku dikala sedih maupun senang. Karena itulah, beberapa bulan lagi aku berniat melamarnya. Kukatakan kapadanya, bahwa dengan segera aku akan pergi menemui orang tuanya bersama keluargaku. Lagi-lagi dia hanya tersenyum dan mengangguk malu menatap wajahku.
                                                            ****
 Malam itu, semuanya berkumpul. Rasa haru dan bahagia benar-benar terasa di dalam dadaku. Bagaimana tidak, aku baru saja melamar Dinda. Orang yang sangat kucintai setelah ayah dan ibuku. Prosesi lamaran begitu singkat, intinya dua bulan lagi aku akan menikah. Aku akan menjadi suami dari seseorang yang sangat kukagumi.
Segala macam hal aku siapkan, mulai dari maskawin sampai hal-hal yang berkaitan dengan konsep pernikahan. Semuanya terlaksana dengan rapi sesuai dengan perencanaan tanpa suatu halangan apapun.
             1 bulan lamanya telah berlalu. Jantungku berdetak semakin cepat. Aku benar-benar tak sabar ingin memiliki cinta Dinda seutuhnya. Ingin kumiliki segala senyumnya. Ingin kurenggut hatinya, dan ingin kubelai wajah cantiknya.
            Suara Hpku berdering kencang. Ternyata Dinda menelponku
            “Bang, besok Minggu jalan-jalan ke pantai yuk?”
            “Pantai? Boleh-boleh. Kebetulan aku juga lagi luang.”
            “Oke, kamu jemput aku jam 09.00 WIB pagi ya bang? Kita berangkat pagi aja.”
            “Oke Din.”
            Suara Hp ditutup. Benar-benar suatu kebetulan. Biasanya aku dulu yang mengajaknya pergi. Mungkin saja dia rindu denganku karena sudah dua minggu tidak bertemu. Itu hanya dugaanku, tapi yang jelas aku sangat merindukannya. Rindu yang tak akan terobati dengan dengan untaian kata, karena hanya pertemuanlah yang dapat mengiobati kerinduan tersebut.
            Hari Minggu Di Pantai
            Sekian jam lamanya aku menempuh perjalan menuju pantai. Di mobil aku banyak bercerita tentang persiapan-persiapanku jelang pernikahan. Aku juga bercerita bahwa semuanya akan berjalan lancar sesuai dengan perencanaan. Sekian lama bercerita, Dinda tidak komentar satu kalimat pun. Dia hanya sibuk menatap pemandangan lewat jendela kiri mobil. Lalu dia bercerita bahwa saat kecil, ayahnya sering mengajak jalan-jalan ke pantai ketika liburan panjang. Apa yang dia ceritakan tidak sesuai dengan harapanku. Sebenarnya, aku bercerita panjang tentang persiapan pernikahan agar dia memberikan saran dan masukan, namun semuanya terlihat begitu janggal. Apakah semuanya baik-baik saja? Ataukah ini hanyalah firasatku saja?
                                                                        ****
            Ombak pantai menderu dengan indahnya. Pohon kelapa menari indah di tepian pantai. Puluhan orang tampak bahagia bermain disana.
            “Bang, apakah kau benar-benar mencintaiku?”
            Pertanyaan macam apa ini? Seolah selama aku dekat dengannya, aku adalah orang yang tidak bisa dipercaya.
            “Ya aku mencintaimu Din. Kenapa tiba-tiba tanya gini?”
            Dinda membalik badan. Matanya tertuju pada birunya pantai. Tangan kanannya memegang jari manis kirinya. Secara perlahan dia melepaskan cincin yang kuberikan.
            “Bang. Aku terjebak dimasa lalu.”
            “Maksud kamu?” Aku bingung dengan perkataannya.
            “Aku pernah bilang ke kamu kan bang. Sebelum kamu memiliki hatiku, aku pernah bersama orang lain.”
            “Lantas?”
            “Aku... Aku masih mencintainya.”
            Tubuhku terasa membeku. Semua persendianku kaku, bagai dihujani batu. Tak bisa kupercaya Dinda mengatakan hal itu kepadaku. Hati ini terasa mulai lara, karena tak sanggup lagi meredam emosi yang membara.
            “Lantas mau kamu apa?” Aku bertanya marah.
            Dinda menatapku sejenak. Matanya mulai berkaca-kaca.
             “Aku... aku ingin mengakhiri hubungan ini.”
            “What?! Kamu jangan main-main Din. Satu bulan lagi kita mau menikah.”
            “Aku... Serius bang. Sudah aku pikirkan matang-matang.”
            “Kata-katamu benar-benar membuatku sakit. Harusnya kamu berfikir dengan seksama. Jika kamu membatalkan pernikahan kita, berapa banyak orang yang akan tersakiti? Coba fikirkan perasaanku, kedua orang tuaku, serta kerabat-kerabatku? Mereka pasti akan sangat marah dan kecewa...”
            “Tidak bang. Ini merupakan langkah tepat yang harus kuambil. Tak bisa kubayangkan jika suatu saat aku  hidup dan menikah denganmu, namun hatiku tertuju bukan pada dirimu. Bukankah itu lebih menyakitkan? Jika pernikahan ini tetap dilanjutkan, aku yakin kamu tidak akan bisa bahagia bersamaku.”
            Aku terdiam. Kecewa. Marah. Sekaligus... sedih.
            “Bang, maafkan aku... aku tak bermaksud menyakitimu. Aku masih mencintainya dan dia pun masih mencintaiku. Kita bertemu kembali tepat setelah dua hari kamu melamarku bang. Saat itulah kenangan lama kembali menari-nari dalam benakku. Dia pun kembali mengungkapkan perasaannya, setelah sekian lama meninggalkanku.”
            “Lantas, bagaimana dengan nasibku?” Aku masih menahan amarah yang bergejolak didalam dadaku.
            “Aku tak tahu bang. Yang kutahu, dia masih mencintaiku. Aku ingin bahagia, dan kamu pun berhak bahagia dengan wanita lain.”
            “Aku enggak ngerti sama maunya kamu Din. Kamu benar-benar kelewatan. Kenapa harus sekarang? Kenapa harus aku yang terlukai? Bukankah kamu menerima lamaranku? Bukankah kamu yang selalu meminta kepastian hubungan kita?”
            “Itu dulu kala bang. Sekarang aku mencintai orang lain. Aku tak mau kehilangan dia dia untuk kedua kalinya.”
            Dinda menghentikan sejenak kata-katanya. Lalu memberikan cincin yang aku berikan dulu.
            “Sekali lagu aku minta maaf ya bang. Aku kembalikan cincin yang kamu berikan. Besok lusa orang tuaku akan ke rumahmu untuk menemui kedua orang tuamu. Menjelaskan hubungan kita. Mengutarakan semua yang terjadi diantara kita. Mudah-mudahan mereka bisa memaafkan kesalahanku. Aku harap orang tuaku dan orang tuamu masih bisa bersahabat seperti dulu, sebelum kejadian ini terjadi.”
            Aku berdiri mematung. Masih tak percaya cintaku dibalas dengan pengkhianatan. Aku tak bisa menerima semua ini. Semua yang kulalui, semua yang kulakukan. Semuanya terasa sia-sia.
                                                                        ****   
            Setelah Dinda membatalkan pernikahan. Aku tak pernah lagi berhubungan dengannya, sekalipun itu lewat medsos. Mendengar keputusan Dinda yang tidak masuk akal membuat orang tuaku kecewa dan marah. Mereka juga tak pernah lagi berhubungan dengan keluarga Dinda. Kejadian itu benar-benar merubah segalanya.
            Semenjak itu hidupku dipenuhi dengan kesedihan. Kutulis semua rasa sesal dan sedihku lewat tulisan. Lama-kelamaan kubuat sebuah cerita yang menggambarkan seluruh rasa kecewaku kepada Dinda. Tak kusangka pula buku-bukuku laku terjual dipasaran, aku pun menjadi salah satu penulis best seller di Indonesia. Ku habiskan hidupku untuk menulis kisah-kisah cinta dari seseorang ke orang lain. Itulah yang membuatku bisa hadir disini. Dihujam dengan berbagai macam pertanyaan, salah satunya dari moderator.
            Siang Ini, Setelah Ingatan Kembali Ke Masa Lalu
Moderator kembali mengulang pertanyaannya.
“Bang, ini ada pertanyaan lagi dari salah seorang penggemar di instagram. Dia nanya: ‘Kenapa sih di dunia ini ada yang bilang sayang, ujung-ujungnya menghilang. Berjanji untuk sehidup semati ujung-ujungnya mengkhianati? Itu kan sakit banget. Apa bang Heri pernah disakiti dan dikhianati?’”
            Pertanyaan itu membuatku terdiam. Sekujur tubuhku kaku, bahkan bibirku kelu dan membisu. Seketika keringat dingin keluar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku tak bisa menjawab, air mataku keluar. Semua yang hadir bingung termasuk moderator. Ini merupakan pertanyaan terberat sepanjang hidupku.
             “Maaf mba. Saya enggak bisa jawab pertanyaan ini.”
            Aku pun pergi meninggalkan ruangan diiringi derai air mata yang menghujam dipipi. Semua yang hadir bertambah bingung. Semenjak Dinda tidak lagi bersamaku, aku terus berharap pada Tuhan bahwa dia akan kembali mengharap kepadaku, nyatanya tidak. Dinda telah menikah dan kini aku sendiri menikmati sepi sendiri. Aku terus pergi sambil berlari. Meninggalkan ruangan itu. Menghindari sebuah pertanyaan yang tak akan terjawab sampai kapanpun.
                                                                        TAMAT        

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda