Meredam Sensitivitas Agama di Tengah Kemajemukan Bangsa Indonesia
Indonesia merupakan negara plural.
Tercatat, ada enam agama yang diakomodir, yaitu: Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, dan Konhucu. Apabila pluralitas ini tidak dijaga dengan baik,
maka akan menimbulkan rasa sensitif yang menyebabkan konflik destruktif. Dimana
konflik destruktif bisa memecah belah persatuan agama-agama, dan ada
kemungkinan pula memecah belah substansi Bhineka Tunggal Ika.
Berdasar fakta, adanya pembunuhan
pendeta akibat rasa sensitif yang berlebihan, penyerangan terhadap warga
penganut faham Ahmadiyah, penyerangan terhadap warga penganut Syiah, dan yang
terakhir masih hangat-hangatnya yaitu kasus pembakaran dan penyerangan jamaah
shalat Ied di Tolikara. Itu disebabkan rasa sensitif negatif yang berelebihan
terhadap umat lain yang berbeda agama.
Menurut Budiono, sensitif ialah
peka. Ada pun sensitivitas ialah perasaan yang peka atau yang lekas timbul.[1] Oleh
karena itu, rasa sensitif bisa muncul dalam dua bentuk. Sensitif positif dan
sensitif negatif. Senstif positif tidak menimbulkan konflik destruktif,
sedangkan senstif negatif bisa menyebabkan konflik destruktif. Ada pun contoh
dari sensitif positif dalam kehidupan sehari-hari yaitu empati dan simpati pada
orang yang baru tertimpa musibah. Sedangkan contoh senstif negatif yaitu
penyerangan atas nama agama kepada pemeluk agama lain.
Oleh karena itu umat agama apa pun,
perlu kembali merenungkan kembali esensi agama-agama yang mereka anut. Agama
apa pun, baik itu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu tidak
pernah mengajarkan kepada pemeluknya untuk membunuh umat lain yang berbeda
agama tanpa ada alasan yang jelas. Setiap agama tentunya punya nilai-nilai substantif
berupa kasih sayang, welas asih, toleransi (tasamuh), dan tolong
menolong. Nilai-nilai itulah yang harusnya diambil ketika seseorang hidup di
tengah masyarakat yang plural dan majemuk.
Menurut beberapa kajian, rasa
senstif (sensitivitas) beragama mucul dikarenakan kembali pada dogma dan
menafsirkannya dengan oposisi biner, hitam-putih, salah-benar. Mereka yang
termasuk hitam adalah mereka yang salah dan disebutnya sebagai setan jahat,
sementara yang putih adalah mereka yang benar termasuk anak Tuhan.[2]
Adanya teror, kekerasan, dan perang atas nama ideologi, nasionalisme, agama,
etnis, kebudayaan, ilmu pengetahuan & teknologi (iptek) dilakukan dengan
tujuan menghapus mereka yang berbeda paham dan pandangan.[3]
Dalam peradaban modern di zaman
masyarakat beradab (civil society), peperangan ternyata terus
berlangsung berdasar tafsirnya sendiri. Hak Asasi Manusia (HAM) ditafsiri
secara sepihak untuk melakukan tekanan terhadap pihak lain yang lemah dan gagal
merebut wacana tentang identitas yang sah. Dunia beradab belum bebas dari
logika konflik dan dengan akibat buruk penindasan bangsa atau komunitas lain.
Tanpa konflik, ternyata dunia beradab seperti berhenti bergerak, dan hidup
seperti bergerak tanpa ruh.[4]
Idealnya
Civil Society dalam bahasa Inggris atau al-mujtama’ al-madani adalah masyarakat bermoral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas masyarakat, di mana
masyarakat memiliki daya dorong usaha dan inisiatif individual. Sistem sosial
yang cakap dan seksama serta pelaksanaan pemerintahan mengikuti Undang-Undang
dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictabilty
serta ketulusan atau transparency sebagai satu sistemnya.[5]
Rasa
sensitif yang menyebabkan konflik dan kekerasan atas nama agama atau Tuhan
lebih disebabkan oleh karena pemeluk semua agama tidak konsisten dengan
keyakinannya sendiri. Hubungan antar pemeluk berbeda agama atau berbeda paham
keagamaan, akan bisa dikembangkan lebih manusiawi, dialogis dan konstruktif
jika bisa dibedakan dengan jelas yang sakral dari yang profan dan sekuler,
pemeluk semua agama bisa bekerjasama saling menguntungkan, baik bagi
kepentingan setiap agama itu sendiri atau bagi kepentingan manusia dalam arti
luas.[6]
Sayangnya,
pemeluk setiap agama hampir selalu berbeda dalam menempatkan dan merumuskan apa
saja yang disebut sekuler dan sakral. Keduanya bahkan sering saling mengambil
peran parstisipatif, selain bisa diubah setiap saat oleh pemeluk semua agama.
Batas antara yang sakral dan yang profan tidak pernah jelas dan hampir mustahil
dibuat. Dengan mudah kita mengubah tindakan politik atau ekonomi sebagai
tindakan atas nama Tuhan. Atas nama-Nya pula orang-orang yang merasa saleh
terpanggil oleh suatu kewajiban menghancurkan orang lain berbeda agama.[7]
Yang
perlu diingat, bahwasannya setiap komunitas mempunyai keyakinan tersendiri
dalam beberapa hal tertentu. Hendaknya perbedaan tersebut tidak dapat menjadi
alasan untuk menebarkan kekerasan di antara satu kelompok terhadap kelompok
lain. Intinya, keyakinan kelompok tertentu harus dihargai dan dihormati.[8]
Untuk
itu, kalangan agamawan mempunyai tanggung jawab moral yang tidak bisa diabaikan
untuk menghilangkan rasa sensitif negatif yang berlebihan. Sebab, pada
hakikatnya setiap agama membawa misi perdamaian.[9]
Agama apa pun, baik itu Islam, Katolik, Hidu, Budha, Konghucu, dll.
[1] Budiono, Kamus
Ilmiah Populer Internasional, Cet: - (Surabaya: Alumni, 2005)., hlm. 591.
[2] A.M
Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis, Kristen, Yahudi, Islam, Cet.
II, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009)., hlm. 160
[3] Abdul Munir
Mulkhan, “Tafsir Identitas dan Kekerasan Keagamaan”, dalam Jurnal UNISIA, No.
45, Februari 2002 (Yogyakarta: UII, 2002)., hlm. 139.
[4] Ibid.
[5]Hendro
Prasetyo, dkk, Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, Cet.
I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)., hlm. 158
[6] Abdul Munir
Mulkhan, “Dialektika Agama dan Kebudayaan Bagi Pembebasan”, dalam Dinamika
Kebudayaan dan Problem Kebangsaan: Kado 60 Tahun Musa Asy’arie (Yogyakarta:
LeSFI, 2011)., hlm. 14
[7] Ibid.
[8] Zuhairi
Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, Dan Oase Perdamaian,
Cet.-, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010)., hlm. 140
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda