Senin, 16 Oktober 2023

Persetujuan Kedua Mempelai

 

Sumber gambar : Dokumen Pribadi

“Hari gini masih dijodohkan…!!”. Begitu kelakar anak-anak muda sekarang. Mungkin bagi sebagian orang, perjodohan menjadi momok. Tetapi tidak sedikit yang justru hanya bisa menikah lewat perjodohan, baik oleh keluarga, teman dekat, maupun komunitas organisasi. Tidak sedikit pula mereka yang dijodohkan berada dalam perkawinan yang bahagia dan langeng. Karena itu, perjodohan bukanlah pangkal masalah. Yang menjadi pangkal masalahnya adalah pemaksaan yang mungkin terkandung dalam perjodohan tersebut.

Pemaksaan, baik pada satu pihak atau kepada kedua belah pihak, merupakan awal yang buruk untuk memulai sebuah pernikahan. Karena lazimnya, sesuatu yang diawali dengan paksaan tidak akan berujung kepada kebaikan. Mereka yang dipaksa akan mengalami siksaan batin yang lama dan terus menerus, hidupnya tertekan, sikap dan perilakunya menjadi tidak tulus, dan sangat mungkin menjadi pelaku atau, malah, korban kekerasan dalam rumah tangga.

Pemaksaan dalam perkawinan sama sekali bukan tindakan yang islami, apalagi terpuji. Islam mengajarkan bahwa siapa pun yang dipaksa berhak menolak. Dan apabila pernikahan tersebut tetap dipaksa untuk dilangsungkan, pihak yang dipaksa berhak melaporkan kondisi tersebut ke pihak berwenang dan membatalkannya. Hal seperti ini terjadi pada zaman Rasulullah SAW, sebagaimana kasus Khansa binti Khida. Kasus ini direkam dalam sebuah hadis sebagai berikut:

Dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya. Sang ayah berkata: Ada seorang perempuan muda datang ke Nabi Saw, dan bercerita: “Ayah saya menikahkan saya dengan anak saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui saya”. Nabi Saw memberikan keputusan akhir di tangan sang perempuan. Kemudian perempuan itu berkata: “Ya Rasulullah, saya rela dengan yang dilakukan ayah saya, tetapi saya ingin mengumumkan kepada para perempuan bahwa ayah-ayah tidak memiliki hak untuk urusan ini”. (HR. Ibnu Majah)

Untuk sebuah pernikahan yang kokoh, kedua calon mempelai harus benar-benar memiliki kemauan yang paripurna. Tanpa paksaan siapapun. Dalam bahasa fiqh disebut sebagai kerelaan satu sama lain (taradlin). Untuk situasi saat ini, kisah-kisah pemaksaan pernikahan seperti kasus Siti Nurbaya dulu sudah jarang terdengar lagi. Karena, sudah banyak perempuan yang mandiri, berpendidikan tinggi, memiliki penghasilan cukup, dan punya pengalaman sosial yang cukup untuk membuatnya tidak dapat dipaksa oleh keluarga dalam urusan pernikahan. Tetapi teks hadis ini masih sangat relevan untuk menegaskan kemandirian dalam pernikahan yang menyangkut nasib hidupnya ke depan. Hal tersebut dikarenakan tidak sedikit yang masih menganggap bahwa perempuan harus tunduk pada keputusan laki-laki; jika anak perempuan pada ayahnya, dan jika istri pada suaminya. Anggapan ini tentu saja menyalahi kemandirian perempuan sebagai manusia utuh yang terekam pada teks tersebut di atas.

Sedikit banyak urusan kerelaan antara calon pasangan suami istri untuk menikah ini seringkali berbenturan dengan kewenangan yang diberikan oleh Allah kepada wali pihak perempuan. Dalam berbagai kesempatan, yang terjadi adalah sang wali merasa berhak untuk menjodohkan anak gadis yang berada dalam perwaliannya kepada seseorang tanpa harus meminta kerelaan sang anak atau bahkan melakukan pemaksaan. Tentu hal ini bertentangan dengan hadis yang ada di atas. Namun, sebelum membahas kasus tersebut lebih jauh lagi, ada baiknya kita paparkan apa yang dimaksud dengan wali, bagaimana kewenangannya, dan bagaimana hubungannya dengan konsep ijbar dalam perwalian.

Dari segi bahasa, kata wali yang berasal dari bahasa arab berarti penolong atau pelindung atau penanggung jawab. Salah satu tujuan keberadaannya adalah untuk memastikan kebaikan dan menjauhkan segala keburukan bagi sang perempuan dalam urusan pernikahan ini. Dengan kata lain, keberadaan wali berguna untuk memastikan pihak perempuan memperoleh haknya dan pernikahan tersebut direstui dan diberkati. Sedangkan dalam konteks akad nikah, keberadaan wali dari pihak perempuan merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas imam (pakar) fiqh (hukum Islam). Pendapat pertama tadi yang diadopsi oleh UU Perkawinan tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam untuk kemudian menjadi prosedur baku bagi setiap pasangan yang hendak menikah di wilayah Indonesia.

Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan wali dalam pernikahan merupakan pelindung bagi kepentingan dan kebaikan pihak perempuan, memastikan pihak perempuan mendapatkan haknya sebagai pihak yang dilamar serta sebagai “penyaring” kepantasan dan kualitas calon pengantin pria yang hendak melamar. Terlepas dari kewenangan tersebut, wali tidak diperkenankan untuk bertindak di luar batas kemaslahatan perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Dalam hal sang perempuan telah memantapkan hatinya untuk menerima seorang pria sebagai calon suaminya, maka sang wali tidak dapat menghalanginya untuk menikah dengan pria tersebut, selama sang pria memenuhi persyaratan syariat seperti sudah dewasa, muslim, dan mampu memberikan nafkah baik lahir maupun batin. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah QS. Al-Baqarah/2:232.

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf...

Keberadaan wali sebagai pelindung itu dapat dicabut otoritasnya jika dia sudah bertindak tidak lagi atas kepentingan dan kebaikan sang perempuan yang berada dalam perwalianya. Seperti, sang wali berlaku kasar dan melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, menelantarkan keluarganya dengan pergi tanpa tahu rimbanya, atau menolak untuk menikahkan karena alasan di luar syarat yang ditetapkan syariat seperti karena tidak memiliki kekayaan luar biasa atau yang semisal. Dalam kasus seperti ini, perempuan dapat mengajukan perpindahan kewalian kepada pengadilan untuk kemudian, jika terbukti, dipindahkan kepada kerabat lain atau kepada wali hakim.

Sumber rujukan:

Halaman 26-29 Buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2017.

Edisi Empat Belas

#penyuluhanagamaislam


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda