Persetujuan Kedua Mempelai
“Hari
gini masih dijodohkan…!!”. Begitu kelakar anak-anak muda sekarang. Mungkin bagi
sebagian orang, perjodohan menjadi momok. Tetapi tidak sedikit yang justru
hanya bisa menikah lewat perjodohan, baik oleh keluarga, teman dekat, maupun
komunitas organisasi. Tidak sedikit pula mereka yang dijodohkan berada dalam
perkawinan yang bahagia dan langeng. Karena itu, perjodohan bukanlah pangkal
masalah. Yang menjadi pangkal masalahnya adalah pemaksaan yang mungkin
terkandung dalam perjodohan tersebut.
Pemaksaan,
baik pada satu pihak atau kepada kedua belah pihak, merupakan awal yang buruk
untuk memulai sebuah pernikahan. Karena lazimnya, sesuatu yang diawali dengan
paksaan tidak akan berujung kepada kebaikan. Mereka yang dipaksa akan mengalami
siksaan batin yang lama dan terus menerus, hidupnya tertekan, sikap dan
perilakunya menjadi tidak tulus, dan sangat mungkin menjadi pelaku atau, malah,
korban kekerasan dalam rumah tangga.
Pemaksaan
dalam perkawinan sama sekali bukan tindakan yang islami, apalagi terpuji. Islam
mengajarkan bahwa siapa pun yang dipaksa berhak menolak. Dan apabila pernikahan
tersebut tetap dipaksa untuk dilangsungkan, pihak yang dipaksa berhak
melaporkan kondisi tersebut ke pihak berwenang dan membatalkannya. Hal seperti
ini terjadi pada zaman Rasulullah SAW, sebagaimana kasus Khansa binti Khida.
Kasus ini direkam dalam sebuah hadis sebagai berikut:
Dari Ibnu
Buraidah, dari ayahnya. Sang ayah berkata: Ada seorang perempuan muda datang ke
Nabi Saw, dan bercerita: “Ayah saya menikahkan saya dengan anak saudaranya
untuk mengangkat derajatnya melalui saya”. Nabi Saw memberikan keputusan akhir
di tangan sang perempuan. Kemudian perempuan itu berkata: “Ya Rasulullah, saya
rela dengan yang dilakukan ayah saya, tetapi saya ingin mengumumkan kepada para
perempuan bahwa ayah-ayah tidak memiliki hak untuk urusan ini”. (HR. Ibnu
Majah)
Untuk sebuah pernikahan yang kokoh, kedua calon
mempelai harus benar-benar memiliki kemauan yang paripurna. Tanpa paksaan
siapapun. Dalam bahasa fiqh disebut sebagai kerelaan satu sama lain (taradlin).
Untuk situasi saat ini, kisah-kisah pemaksaan pernikahan seperti kasus Siti
Nurbaya dulu sudah jarang terdengar lagi. Karena, sudah banyak perempuan yang
mandiri, berpendidikan tinggi, memiliki penghasilan cukup, dan punya pengalaman
sosial yang cukup untuk membuatnya tidak dapat dipaksa oleh keluarga dalam
urusan pernikahan. Tetapi teks hadis ini masih sangat relevan untuk menegaskan
kemandirian dalam pernikahan yang menyangkut nasib hidupnya ke depan. Hal
tersebut dikarenakan tidak sedikit yang masih menganggap bahwa perempuan harus
tunduk pada keputusan laki-laki; jika anak perempuan pada ayahnya, dan jika
istri pada suaminya. Anggapan ini tentu saja menyalahi kemandirian perempuan
sebagai manusia utuh yang terekam pada teks tersebut di atas.
Sedikit banyak urusan kerelaan antara calon pasangan
suami istri untuk menikah ini seringkali berbenturan dengan kewenangan yang
diberikan oleh Allah kepada wali pihak perempuan. Dalam berbagai kesempatan,
yang terjadi adalah sang wali merasa berhak untuk menjodohkan anak gadis yang
berada dalam perwaliannya kepada seseorang tanpa harus meminta kerelaan sang
anak atau bahkan melakukan pemaksaan. Tentu hal ini bertentangan dengan hadis
yang ada di atas. Namun, sebelum membahas kasus tersebut lebih jauh lagi, ada
baiknya kita paparkan apa yang dimaksud dengan wali, bagaimana kewenangannya,
dan bagaimana hubungannya dengan konsep ijbar dalam perwalian.
Dari
segi bahasa, kata wali yang berasal dari bahasa arab berarti penolong atau
pelindung atau penanggung jawab. Salah satu tujuan keberadaannya adalah untuk
memastikan kebaikan dan menjauhkan segala keburukan bagi sang perempuan dalam
urusan pernikahan ini. Dengan kata lain, keberadaan wali berguna untuk
memastikan pihak perempuan memperoleh haknya dan pernikahan tersebut direstui
dan diberkati. Sedangkan dalam konteks akad nikah, keberadaan wali dari pihak
perempuan merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan. Pendapat ini merupakan
pendapat mayoritas imam (pakar) fiqh (hukum Islam). Pendapat pertama tadi yang
diadopsi oleh UU Perkawinan tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam untuk kemudian
menjadi prosedur baku bagi setiap pasangan yang hendak menikah di wilayah
Indonesia.
Dari
paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan wali dalam pernikahan
merupakan pelindung bagi kepentingan dan kebaikan pihak perempuan, memastikan
pihak perempuan mendapatkan haknya sebagai pihak yang dilamar serta sebagai
“penyaring” kepantasan dan kualitas calon pengantin pria yang hendak melamar.
Terlepas dari kewenangan tersebut, wali tidak diperkenankan untuk bertindak di
luar batas kemaslahatan perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Dalam hal
sang perempuan telah memantapkan hatinya untuk menerima seorang pria sebagai
calon suaminya, maka sang wali tidak dapat menghalanginya untuk menikah dengan
pria tersebut, selama sang pria memenuhi persyaratan syariat seperti sudah
dewasa, muslim, dan mampu memberikan nafkah baik lahir maupun batin. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surah QS. Al-Baqarah/2:232.
Apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa idahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf...
Keberadaan wali sebagai pelindung
itu dapat dicabut otoritasnya jika dia sudah bertindak tidak lagi atas
kepentingan dan kebaikan sang perempuan yang berada dalam perwalianya. Seperti,
sang wali berlaku kasar dan melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga,
menelantarkan keluarganya dengan pergi tanpa tahu rimbanya, atau menolak untuk
menikahkan karena alasan di luar syarat yang ditetapkan syariat seperti karena
tidak memiliki kekayaan luar biasa atau yang semisal. Dalam kasus seperti ini,
perempuan dapat mengajukan perpindahan kewalian kepada pengadilan untuk
kemudian, jika terbukti, dipindahkan kepada kerabat lain atau kepada wali
hakim.
Sumber rujukan:
Halaman 26-29 Buku Fondasi
Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga
Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag
RI tahun 2017.
Edisi Empat Belas
#penyuluhanagamaislam
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda