Jumat, 02 Maret 2012

Mahar dan Nafkah Perspektif Progresif




BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW di tegaskan ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan antara suami dan istri dalam rumah tangga. Berdasarkan dan merujuk pada kedua sumber ini para ahli hukum islam (fuqaha’) merumus kan aturan yang lebih rinci , praktis dan sistematis, yang termaktub dalam kitab-kitab fiqh, di samping juga di bahas kitab-kitab dalam tafsir (mufassirin). Bahasan sekitar persoalan relasi suami dan istri ini oleh para apara ahli hukum islam dikelompokan dalam beberapa bagian atau sub bagian. Sub pembahasan tersebut meliputi syarat dan rukun perkawinan, prinsip-prinsip perkawinan , tujuan perkawinan , hak dan kewajiban suami isteri, wali nikah, mahar, nafkah, hak wali dan kekebasan wanita yang akan menikah status poligami, penyelesaian percekcokan, hubungan anak dan orang tua ( bapak dan ibu ), pemeliharaan anak (hadanah), dan sejenisnya. Pembahasan ini di kenal dengan nama fiqh Munakakhat atau Hukum Perkawinan. Di dalam makalah kami bahwasanya suami itu wajib bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam sebuah perkawinan seperti mencukupi kebutuhan istri, anak-anak nya dan keluarga sesuai dengan apa yang telah di tetap kan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Dalam kaitanya mengenai masalah perkawinan atau munakakhat, dalam membicarakan mahar misalnya di bahas secara tersendiri tanpa di kaitkan dengan prinsip perkawinan, tidak di kaitkan dengan tujuan perkawinan, tanpa di kaitkan dengan kewajiban antara suami dan istri. Di dalam study ini terdapat pendekatan yang di sebut pendekatan persial atau pendekatan sepotong-potong atau terpisah-pisah. Maksudnya di dalam study ini terdapat berbagai macam aspek seperti mahar dan nafkah daan sebagainya di mana di dalamnya di bahas sendiri- sendiri. Pendeknya, pembahasan satu subjek secara berdiri  sendiri dan terpisah dari pembahasan  subjek lain, aspek yang lalin bukan baerati tidak di bahas, semuanya di bahas akan tetapi pembahasanya secara tersendiri, tidak menyatu seperti halnya pada kelompok kami ini yang membahas tentang Mahar dan Nafkah.





BAB II
                                                MAHAR DAN NAFKAH
1)      Mahar
A)    Konsep Fiqih
            Dalam al-Quran mahar disebutkan dalam tiga istilah yang menunjukkan tentang wajibnya membayar mahar tersebut, yakni: (i) faridhah, (ii) ajru, dan (iii) shada. Istilah pertama digunakan untuk menunjuk kasus perceraian yang terjadi sebelum melaukukan hubungan seksual dengan isteri, sementara istilah kedua untuk menunjukkan jika akad nikah dan istilah ketiga untuk menjelaskan status mahar. Kedua, status mahar adalah nihlah, dan ulama berebeda pendapat tentang maksud istilah ini. Ketiga, bahwa jumlah mahar adalah sesuai dengan kepatutan, kebiasaan atau ada. Keempat, mahar hukumnya wajib. Di bawah ini konsep mahar menurut empat madzhab:
a)      Madzhab Maliki[1]
Dalam Kita al-Muwatta, karangan imam Malik disebutkan beberapa kasus yang terkait dengan mahar berupa hadist dan atsar.Pertama, disebutkan bahwa seorang lelaki yang menikahi wanita dan menyentuhnya (massaha) meskipun wanita yang bersangkutan mengidap penyakit kusta atau gila, mahar harus dibayar.
Kedua, kasus seorang laki-laki yang menikah dengan seorang wanita, tetapi meninggal sebelum sempat menyentuhnya, ternyata Abdullah bin Umar menetapkan, bahwa wanita tersebut tidak berhak mendapat mahar.
Ketiga, ketetapan Umar bin Abdul Aziz yang diriwayatkan Imam Malik, bahwa seorang laki-laki yang belum dewasa kalau mempunyai harta wajib membayar mahar, namun boleh juga dibayar bapaknya. Jika terjadi perceraian sebelum suamimenyentuh isteri, dan wanita tersebut masih berstatus gadis, berhak mendapat setengah mahar. Pandangan ini menurut Imam Malik sejalan dengan tuntutan Surah al-Baqarah (2): 237, ditambah dengan sejumlah riwayat yang secara prinsip menetapkan bahwa kalau suami sudah menyentuh isteri menjadikan wajib membayar mahar. Maksud menyetuh dalam kalimat ini bukan arti hakekat, tetapi kiasan, yakni melakukan hubungan seksual antara suami isteri.Maksud penegasan ini adalahagar jangan sampai terjadi salah paham, bahwa hanya dengan menyentuh menyebabkan wajib membayar mahar.
Dalam kitab al-Mudawwanah, karangan Sahnun, juga dari Madzhab Maiki, hanya ditulis tentang mahar yang harus dibayar suami.Misalnya disebutkan, mahar yang harus dibayar suami meskipun hanya menyentuh isteri adalah sebagai denda atau uang ganti (uang kompensasi) bagi walinya.Dari pandangan Madzhab Maliki tersebut dapat disimpulkan dan sekaligus sebagai penjelasan, bahwa sentuhan suami (dalam arti majazi, dengan maksud hubungan badan) merupakan syarat wajibnya membayar mahar.Karena itu, mahar tidk wajib (harus) ada ketika melakukan akad nikah seperti ini adalah sah.
b)     Madzhab Hanafi[2]
Menurut Abu Hanifah, dari madzhab Hanafi, mahar adalah kewajiban tambahan dalam akad nikah, sama statusnya dengan nafkah. Berbeda dengan kehadiran kedua calon mempelai waktu akad nikah yang merupakan kewajiban sah akad, mahar tidak harus ada ketika melakukan akad nikah.Karena itu, tanpa kehadiran kedua mempelai akad nkah tidak dapat dilaksanakan, sementara jika tanpa mahar akad nikah dapat dilaksanakan. Adapu dasar wajib mahar, khususnya setelah dukhul adalah al-Nisa (4): 24. Akad nikah adalah akad pertukaran manfaat antara suami dan isteri.Akad nikah merupakan syarat pertama untuk menukar manfaat, dan untuk mendapat manfaat tersebut suami wajib membayar mahar.
Karena itu, jika akad nikah sudah terjadi (sah) berarti mahar wajib dibayar. Logikanya, ayat al-Nisa: 24, an tabtaghu bi amwalikum, yaitu mencari hak memilki untuk mendapat manfaat dengan harta. Maka fungsi kata bi pada kalimat bi amwalikum dalam ayat ini menunjukkan memliki hak untuk mendapatkan manfaat dengan jalan mengganti, yaitu dengan membayar mahar.
Sedang wajibnya membayar akad nikah adalah tuntutan Shariat berdasar surah al-Ahzab (33): 50, didukung hadist dari Abu Said al-Khudri, la nikaha illa bi mahrin wa syuhudiilla makana lirasulillah. Hadist ini disamping menunjukkan harus ada mahar dalam satu perkawinan, juga pengkhususan kepada Nabi yang boleh nikah tanpa mahar.Karena itu, dengan akad nikah, suami mendapat hak untuk mendapat manfaat dari isterinya dengan syarat diganti dengan sejumlah mahar.
Sejalan dengan itu, seorang suami yang mentalak isteri sebelum melakukan hubungan seksual (dukhul) tidak wajib membayar mahar, sebab dengan talak tersebut berarti si suami menghilangkan transaksi pokok.Dengan hilangnya transksi pokok, suami pun tidak wajib membayar. Dengan kata lain, hilang/putusnya unsur yang mewajibkan suami membayar, kewajiban membayar menjadi hilang dengan sendirinya. Tetapi bukan dengan sendirinya tidak wajib ada akad nikah.
Talak sebelum dukhul, awalnya Abu Yusuf berpendapat wajib setengah mahar, tetapi kemudian berubah pendirian, dan sependapat dengan Imam Abu Hanifah (gurunya) dan Muhammad al-Syaibani (murid lain dari Abu Hanifah), wanita tersebut berhak mendapat mut’ah.Sebab kewajiban mahar sesuai kepantasan (mistli) adalah sesudah akadnikah dan terjadi dukhul. Adapun jumlah mut’ah yang harus dibayar tidak lebih dari separoh mahar (pendapat ini sama dengan pandangan al-Syafi’i).
Sementara jika ditalak sebelum dukhul dan ketika akad tidak disebut mahar, mantan suami wajib membayar mut’ah, berdasar Surah al-Baqarah: 236,Ada pun jumlah mut’ah tersebut adalah lima dirham (setengah dari jumlah mahar minimal), meski pun ditulis hadist yang membolehkan nilai mahar seharga baju besi, rukuh, penutup kepala (khimar), atau kain selimut berdasar, berdasar hadist riwayat Ibn ‘Abbas,. 
Sejalan dengan Abu Hanifah, menurut al-Kasani juga dari madzhab Hanafi, mahar merupakan ganti kepemilikkan manfa’at.Dengan terjadinya transaksi (ijab dan qabul), suami berhak mendapat manfa’at dari isteri.Untuk mendapat hak manfa’at ini suami harus membayar mahar.
Ada pun jumlah mahar yang harus dibayar disesuaikan dengan kebiasaan tempatdimana mereka melaksanakan akad nikah.Sementara jika tidak ada kesepakatan tentang jumlah mahar, keterangan suami yang diambil. Ukuran minimal mahar mitsli menurut Abu Hnifah adalah sepuluh dirham perak, berdasar hadist dari Jabir anna al-nabiya saw qala an la yuzawwijual-nisa alla li-awliya wa la yuzawwijna illa min al-akfa wa la mahrun aqallu min asrati darahim, ditambah dengan atsar ‘Abdullah bin ‘Umar anna al-nabiya saw qala la qat’un fi aqalli min ‘asrati darahim wa la mahrun aqalli min ‘asrati darahim.Namun demikian, tetap dicatat jugahadist yang menceritakan bahwa bentuk nilai pun dapat dijadikah mahar. Dengan mencatat hadist-hadist dan atsar-atsar tersebut dapatdisimpulkan bahwa jasa pun dapat menjadi mahar, tetapi hanya dalam keadaan tertentu, bukan hukum umum.
c)      Madzhab Syafi’i[3]
al-Shirazi, dari madzhab Syafi’I, dengan tegas menyebut, akad nikah sebagai akad tukar-menukar (aqd mu’awadah) anatar suami dan isteri. Karena itu, dengan akad nikah suami dan isteri berhak melakukan tukar-menukar bukan memiliki.
Ada pun kadar mahar yang wajib berdasar al-Nisa: 20 mempunyai nilai (qintara), bahwa yang penting mahar tersebut adalah berharaga. Hanya saja disunatkan tidak melebihi dari mahar yang pernah diberikan Nabi kepada isteri-isterinya, dan mahar anak perempuannya, yakni maksimal 500 dirham, tetapi dapat juga hanya sepotong besi, bahkan dapat juga hanya jasa (upah). Misalnya upah dengan mengerjakan sesuatu, seperti menjahi baju.
d)     Madzhab Hanbali[4]
Mahar adalah hak pertama isteri yang menjadi kewajiban suami, demikian Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali. Menurut Ibnu Qudamah, mahar dengan kadar kepantasan (mith) wajib dalam perkawinan, tetapi tidak harus ada ketika melakukan transaksi (akad). Suami wajib membayar mahar jika sudah menyentuh isterinya.Sebaliknya, suami belum wajib membayar jika belum menyentuh.Dasar kewajiban membayar mahar adalah hadist Nabi yang menyuruh suami membayar mahar kepada isteri jika sudah menyentuh.
Dengan meyebut adanya kewajiban membayar mahar jika sudah berhubungan sama artinya dengan mengatakan, mahar belum wajib dibayar sebelum melakukan hubungan (mafhum mukhalafah). Dengan demikian, kewajiban membayar mahar bukan pada waktu transaksi tetapi setelah terjadi sentuhan/hubungan.
Karena itu, kalau fasakh terjadi sebelum menyentuh suami tidak wajib membayar mahar jika fasakh terjadi sesudah dukhul tetapi tertipu.Sayang tidak ada penjelasan rinci tentang maksud tertipu.Tetapi dugaan sementara adalah tertipu dari segi keturunan atau keperawanan.Sebab Ibnu Qudamah misalnya menulis, jika dalam satu perkawinan disyaratkan perawan tetapi ternyata yang bersangkutan janda dapat menjadi alasan khiyar.
Sementara jika ditalak sebelum dukhul mahar wajib dibayar setengah.Juga ditegaskan, isteri berhak menolak hubungan dengan suami karena alasan suami belum membayar mahar. Dengan demikian, pada prinsipnya pandangan Hanbali ini sama dengan Madzhab lain, bahwa mahar tidak harus ada ketika melakukan akad nikah.
Demikian pula dari penjelasan diatas juga menjadi jelas bahwa jumlah mahar menurut madzhab Hanbali adalah sesuai dengan kepantasan (mitsli).

B)    Nash Yang Mengatur Ketentuan Mahar
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Dan berikanlah maskawin kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”. (an-Nisa: 4)[5]

C)    Konteks Nash
Ada pun sebab turunnya ayat ini sebagaimana Abu Hatim meriwayatkan bahwa Abu Shaleh  berkata, “Dulu jika seseorang menikahkan anaknya, maka dia mengambil mahar yang diberikan suaminya untuk anaknya. Lalu Allah menurunkan firman-Nya Q.S an Nisa: 4.[6]
Dengan adanya sebab turunnya ayat diatas memberikan pengertian bahwa, ayat tersebut turun bekenaan dengan seseorang yang mengambil mahar menantu yang seharusnya ia berikan untuk mempelai wanita. Dengan adanya ayat tersebut, maka menghapus tradisi yang ada pada masyarakat tersebut.
Selanjutnya, dari pandangan para imam madzhab atau yang terdekat dengan imam madzhab diatas dapat dismpulkan bahwa secara prinsip semua setuju tentang sahnya akad nikah tanpa mahar, tetapi setelah terjadi hubungan seksua mahar wajib dibayar.Karena itu, mahar bukanlah rukun nikah yang harus ada ketika melakukan akad nikah, tetapi mahar adalah sebagai ganti untuk mendapat manfaat dari isteri, dan akad nikah merupakan langkah awal untuk berhak mendapat manfaat dari isteri.[7]

D)    Tujuan, Illat, dan Esensi Ayat
Tujuan dari ayat diatas yaitu, memberikan motivasi kepada umat muslim (kaum pria) untuk memberikan mahar kepada isterinya dengan cara yang baik. Dan dengan diberikannya mahar tidak hanya sekedar difahami untuk mendapatkan manfaat dari isteri layaknya membeli sebuah barang, tapi itu merupakan simbol kasih sayang yang membuat isteri mencintai suaminya karena pengorbanan yang ia berikan.
Illat dari ayat diatas yaitu, mahar yang diberikan kepada isteri tidak harus berupa materi, tapi bisa pula dengan jasa seperti dahulu ada salah seorang yang tidak punya harta sedikit pun, namun hanya memiliki beberapa hafalandari ayat al-Quran sehingga ia mengawini seorang wanita dengan perjanjian, setelah menikah ia mau mengajarkan hafalan yang ia punya kepada isterinya. Kemudian yang tak kalah penting, sesungguhnya mahar tidak ditetapkan jumlahnya, namun dianjurkan memberikan mahar yang bisa disesuaikan dengan keadaan suami. Seperti yang di sabdakan Nabi:
“Cobalah untuk membuat pria dapat bersatu dengan wanita. Janganlah keluar batas dalam menentukan maskawin”[8]
Kemudian kasus yang terjadi pada salah seorang sahabat yang bernama Abu Amar, ia mengawinkan seorang wanita dengan maskawin dua ratus keeping perak. Nabi Muhammad SAW memberikan penilaiannya: “Walau pun kamu telah menemukan kepingan-kepingan perak berceceran di parit-parit dan sungai-sungai, janganlah menetapkan maskawin yang lebih tinggi dari ini.”[9]
Esensi dari ayat diatas
Dahulu, pernikahan diidentikkan untuk menyenangkan hati seorang suami. Ketika ia sudah memberi mahar, maka dengan sewenang-wenang ia memperlakukannya. Kini, proses pemberian mahar harus disesuaikan dengan konteks yang ada pada saat ini, yaitu pemberian mahar yang berasaskan rasa kasih sayang terhadap sesama manusia.
E)    Konteks Sekarang
Banyaknya suami yang memberikan mahar kepada isteri pada saat setelah terjadinya pernikahan yaitu ketika suami telah menyentuh (kiasan dari berjima) isterinya.Maka dengan adanya ketetapan dan pendapat dari berbagai Imam, Mahar tidak wajib diberikan kepada isteri pada saat terjadinya pernikahan, atau dalam artian, itu bukanlah rukun dari sbuah pernikahan.
Pada saat dahulu, suami memberikan mahar untuk isterinya sebagai akad kepemilikkan jiwa isteri atau akad tukar manfaat kepada isteri.Hal demikian tidaklah relevan untuk saat ini, maka pola pikir tersebut sudah selayaknya diubah.Mahar bukan akad tukar manfaat atau tukar kepemilikkan dari wali ke suami, namun merupakan akad kasih sayang dari suami kepada isterinya.
F)     Istinbath Hukum untuk Sekarang 
Dengan melihat konteks Q.S al-Nisa: 4, maka ayat tersebut turun karena ada keterkaitan dengan kondisi sosial yang ada pada saat itu, baik itu yang makro dimana wanita pada saat itu masih berada dibawah kekuasaan lelaki. Kemudian yang mikro terkait dengan salah seorang sahabat yang mengalami suatu kasus tentang permasalahan mahar.
Maka dapat diambil suatu ketetapan bahwa, mahar itu simbol cinta dari suami kepada isterinya, dan bukan simbol yang digunakan untuk berlaku sewenang-wenang terhadap isteri yang bisa diberikan kepadanya setelah terjadinya pernikahan (setelah terjadinya hubungan suami-isteri maka suami wajib membayar mahar kepada isteri).



2)      Nafkah

A)    Konsep Fiqih
` Sebelum menguraikan konsep para ulama madzhab fiqh, lebih dahulu di paparkan pandangan para mufasir sekitar nafkah, sebab penjelasan ini penting untuk mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap terhadap pandangan para ulama’ madzhab. Al-Nisa’ (4): 34 adalah diantara ayat Al-Qur’an yang menunjukan bahwa laki-laki ( suami ) bertanggung jawab menyediakan nafkah keluarga. Karena tanggung jawab penyedia nafkah inilah di antara alasan mengapa suami menjadi pemimpin rumah tangga.
1.      Madzhab Maliki
Menurut imam Malik, mencakup nafkah keluarga merupakan kewajiban dari seorang suami setelah membayar mahar dan berlaku adil kepada istri. Kalau terjadi perpisahan antara suami dan istri, baik karena cerai maupun meninggal dunia, harta asli istri tetap menjadi milik istri. Demikian juga harta asli suami tetap menjadi millik suami. Sementara harta yang tidak di ketahui statusnya, adalah menjadi milik suami, dengan alasan suamilah pemilik rumah sebagai pemilik rumah, kalaupun suami membeli sesuatu untuk istrinya, pada hakekatnya adalah milik suami, kecuali ada bukti bahwa benda itu di beli secara khusus untuk menjadi milik dan di warisi istrinya9. Sedang harta yang bukan perlengkapan rumah, seperti unta, sapi, kambing, dan binatang lainya, menjadi milik yang menggembalanya10.
Adapun tempat tinggal (sukna)  adalah wajib do sediakn suami bagi istri dalam semua jenis talak. Sementra nafkah tidak wajib dalam talak ba’in, kecuali sedang hamil. Sedangkan dalam talak raj’i wajib nafkah ( semua jenis, hamil atau tidak ) sampai habis masa tunggu (‘iddah)11. Demikian juga ,istri yang khulu’ kalau sedang hamil wajib di nafkahi suami.12
Kalau talak ba’in dan tidak hamil suaminya wajib menyediakan tempat tinggal, tidak wajib nafkah, tidak wajih kiswah, dan tidak saling mewarisi. Dasarnya adalah al-Talaq (65):6, askinuhunna min haithu sakantum min wujdikum wa la tudarruhuma litudayyiqu ‘alaihinna. Kalau talak selai ba’in, suami istri saling mewarisi, dan suami tidak boleh mengusir istri dari rumah. Kalau istri hamil maka suami wajib mencukupi nafkah sampai kandungan lahir, berdasar terusan al-Talaq (65):6 wa inkunna awlati hamlin fa ‘alaihinna hatta yada’na hamlahunna. Dengan demikian, suami wajib menyediakan nafkah dan tempat tinggal (sukna) .13
Dasar bahwa nafkah tidak wawjib di sediak suami bagi istri yang di talak ba’in adalah sabda Nabi dari Malik, ‘aini al-nabiyi s.a.w. annahu qala al-mabtutatu la nafaqota laha.Hadist lain, kasus fatimah binti qoia, yang ditalak ba’in oleh suaminya, Aba ‘Amar ibn Hafas. Ketika fatiamh melapor, Nabi menjawab, “ kamu tidak berhak mendaapat nafkah” (fa ja’at ila rosulillah s.a.w. fadhakarat dhalika lahu fa qala lah rasulallah laisa laki ‘alaihi nafakotan.

2.      Madzhab Hanafi
           Abu Hanifah berpendapat bahwa  mencukupi nafkah istri merupakan kewajiban kedua dari suami setelah mahar. Kewajiban ini berdasar (i) Qs al-Baqarah (2):233,(ii) al-Nisa’ (4):34, dan (iii) (65):6, di tambah dengan sunnah nabi;
diwariskan agar berbuat baik kepada wanita, sebab wanita adala mitra bagi laki-laki (suami). Kamu (laki-laki) menjadikan istri karena amanta Allah, dan mereka (wanita) menjadi halal bagi kamu (laki-laki) juga berdasr kalimat Allah. Para laki-laki (suami) mempunyai hak yang wajib di tunai kan oleh wanita (isteri). Demikian sebaliknya, isrti juga mempunyai hak yang wajib di tunai kan oleh suami. Hak-hak suami dari istri adalah istri dilarang mengizinkan orang yang dibenci suami masuk rumah atau tidur di rumah.Kalu istri melanggar larangan suami tersebut, pu
kullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (pukulan pendidikan). Adapun hak para istri dari suami mendapatkan hak pangan,dan sandang yang baik,.
Adapun jumlah kadar sandang pangan yang wajib di tunaikan suami adalah di sesuaikan dengan kebiasan tempat tinggal mereka. Sebagai tambahan, pembantu rumah tangga termasuk perlengkapan sandang dan pangan.Sejalan dengan itu, pembantu rumah tangga juga berhak mendapat sandang dan pangan yang baik untuk hidupnya.Hanya saja ada perbedaan pendapat tentang jumlah pembantu yang harus di sediakn suami.Menurut abu hanifah dan Muhammad al-Saibani cukup satu orang.Sementara menurut Abu Yusuf harus ada dua orang; satu untuk mengurusi urusan domestik rumah, dan satunya untuk urusan luar rumah.
Awal mulanya seorang suami wajib membayar nafkah adalah sejak terjadi transaksi (akad-nikah). Sebab dengan selesai proses transaksi berarti menjadi awal adanya ikatan senbagai suami dan istri. Kecuali wanita yang dinikahi masih kecil dan belum siap melayani suami,suami belum wajib membayar nafkah.
Kewajiban nafkah sangat erat hubunganya dengan hak bersenag-senag (istimta’) suami.Sehingga kalau istri tidak meladeni suami, baik karena istri pergi maupun istri mengghindar, menjadi alasan bagi suami tidak wajib memenuhi nafkah istri. Misalnya di sebutkan  kewajiban nafkah karena penyerah (pasrah) diri istri kepada suaminya. Karena itu, kalau istri tidak menyerahkan dirinya berarti  suami tidak wajib memberikan nafkah istri.
3.      Madzhab Imam Syafi’i
Imam syafi’I menyebutkan, hak istri sebagai kewajiban suami kepada istrinya adalah membayar nafkah. Adapun unsur yang termasuk biaya nafkah adalah biaya susuan, nafkah makan dan minum (sandang), pakaian, pembantu rumah tangga , tempat tinggal (papan) dan kebutuhan seks. Suami juga wajib membiayai anak sampai batas anak dewasa, yang di tandai dengan keluarnya darah haid (Pr) atau bermimpi (Lk).Tetapi kalau anak dalam keadaan miskin, sementara orang tua mempunyai kemampuan untuk membiayai, orang tua masih wajib membiayai nafkah anak meskipun sudah dewasa.Kewajiban pemenuhan kewajiban suami terhadap istri ini berlaku sejak terjadinya akad nikah.
Dasar kewajiban memnuhi nafkah istri dan keluarga adalah al-Qur’an dan sunnah NAbi. Adapun ayat al-Qur’an yang dimaksud adalah : (i) al-Nisa (4):3, al-Baqarah (2):233,(iii) al-Talaq (65):6. Dasar dari sunah nabi adala suruhan atau persetujuan Nabi agar istri mengambil harta suami untuk nafkah keluarga secukupnya.
Biaya yang harus di bayar kepada istri tersebut hanya selama status perkawinan masih tetap. Adapun kalau sudah berpisah (cerai) suami hanya wijib menafkahi sampai masa menunggu (‘iddah).Secara tidak langsung kewajiban ini hanya untuk talak raj’i.Adapun talak ba’in dengan sendirinya tidak lagi wajib di biayai suaminya. adapun alasan mengapa tidak wajib nya membayar nafkah sesudah talak adalah karena suadah tidak ada hubungan seksual(istimta’).
Kadar nafkah diberikan suami kepada istri nya adalah di sesuaikan dengan kemamuan dan kadar kepantaasasn di tempat tinggal mereka. Ketetapan ini berdasar kan al-Talak (65):7. Demikian juga , nafkah yang  harus di berikan kepada pembantu adalah sandang (ta’am) (makan dan minum) dan pangan (kiswah) yang jumlah nya di sesuaikan dengan kebiasaan tempat tinggal keluarga. Dasar dan penetapan kadar untuk pembantu adalah sabda Nabi, bahwa pembantu berhak mendapat sandang dan makan dengan baik, dan tidak boleh memberikan tugas yang di luar kemampuanya.
Kalau selama satu tahun tidak memberi nafkah kemudian istri di ceraikannya, suami harus membayar nafkah selam satu tahun ketika menjatuhkan talak.Kalu talaknya talak raj’i maka nafkah yang harus terbayar terhitung setelah habis masa ‘iddah. Sementara kalau istri hamil terhitung setelah  melahirkan bayi yang di kandung.
Kalau suami tidak mampu mencukupi nafkah keluarga, tergantung istri; apakah bertahan atau berpisah. D,an kalu terjadi perpisahan (cerai), anak yang belum berumur delapan tahun, lebih berhak di asuh oleh ibu, dengan biaya asuh oleh bapak, kecuali si ibu kawin lagi dengan pria lain. Sementara kalu anak sudah berumur tujuh atau delapan tahun dan berakal (laik-laki atau perempuan) maka tergantung pilihan anak, dengan biaya nafkah tetap dari bapak.Kalau anak meamilih diasuh oleh ibu istri tidak boleh melarang bapak/suami mendidik anaknya.Demikian juga sebaliknya, kalu anak memilih dengan bapak, bapak/suami tidak boleh melarang ibunya datang menjenguk anaknya kapan saja.
Seorang wanita yang mempunyai ibu janda, kawin denga seorang pria,status ibu sama seperti anak wanita tersebut. Dengan demikian, kalau diringkas nafkah yang harus di tanggung suami adalah (i) nafkah istri yang meliputi, sandang, pangan, papan, dan kebutuhan biologis;(ii) nafkah anak sampai dewasa, yang meliputi biaya susuan, sandang dan pangan;(iii) nafkah pembantu, yang meliputi sandang dan pangan, dan (iv) nafkah ibunya mertua yang janda dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi nafkah. Seperti di tekankan imam Syafi’I sebelum membahas masalah ini, suami wajib menunaikan kewajiban yang baik.
4.      Madzhab Hanbali
            Menurut Hanbali, suami wajib membayar (memenuhi) nafkah istri, berdasar al-Qur’an, sunah Nabi dan ijma’. Dasar al-Qur’an adalah (i) al-Talaq (65):7, al-Isra’ (17):30, dan al-Ahzab (33):50. Adapun dasar hadistnya adalah hadist Nabi yang menyuruh agar suami membayar nafkah (sandang dan pangan) dan menyediakan tempat tinggal(papan) bagi istri atau keluarga. Sedang ijma’nya adalah bahwa seluruh ilmuan, yaitu ibnu Qudamah sepakat  tentang wajibnya suami memenuhi nafkah istrinya, dengan syarat sudah dewasa (balighah) dan tidak durhaka (nushuz).
            Ditempat lain di tegaskan, seorang istri berhak mendapt nafkah, dengan dua syarat. Pertama, wanita tersebut sudah dewasa yang siap mengadakan hubungan seksual dengan suaminya. Bahkan di tugaskan ibn Qudamah ,seperti yang di tulis sebelumnya,ada atau tidak nya nafkah tergantung pada ada atau tidaknya hubungan (istimta’). Kalau terjadi istimta’ maka nafkah wajib.Kedua, si wanita menyerahkan diri sepenuhnya kepada suaminya.Sebaliknya kalau istri tidak menyerahkan diri atau wali tidak merestui nafkah tidak wajib, berdasarkan tindakan af’al) Nabi. Oleh karena itu, tiga syarat yang harus di penuhi agar istri berhak mendaat nafkah dari suami, yakni (i) istri dewasa (fisik siap meladeni), (ii) istri siap meladeni suami, (iii) istri tidak durhaka   kepada suami.
            Dalil yang secara khusus menunjukan kewajiban suami menyediakan tempat tinggal  istri adalah al-Talaq(65):6. Logika yang digunakan dari ayat ini, bahwa kalau bagi istri yang di talak saja harus ada (wajiib) tempat tinggal, apalagi bagi istri yang masih hidup dengan suami.Di tambah dengan al-Nisa (4)19, yakni suruhan untuk mempergauli istri dengan baik.Salah satu bentuk pergaulan yang baik adalah dengan menyediakan tempat tinggal.Sebab tempat tinggal dapat berfungsi menutupi kekurangan (‘aib), tempat bersenang-senang, dan tempat memelihara harta benda suami dan istri (keluarga).
            Nafkah yang wajib di tanggung suami meliputi semua kebutuhan untuk kelangsungan hidup mereka (sebagi pasangan), seperti makanan dan minuman (pangan), pakaian (sandang), tempat tinggal.Perlengkapan tidur, seperti kasur, dan semacamnya termasuk di dalamnya, sesuai kebiasaan tempat tinggal mereka.Pembantu dan nafkah pembantu juga termasuk bagian nafkah yang harus di tanggung suami.Karena pembantu wajib ada, maka kebutuhan pembantu wajib ada, maka kebutuhan untuk pembantu (makan dan tempat tinggal).Sedangkan wangi-wangian dan sejenisnya tergantung pada keinginan suami, kalau memang menghendaki, suami wajib menyediakan.
            Adapun kadar nafkah yang di tanggung oleh suami, menurut ibn Qudamah, suami berusaha mencukupi kebutuhan istri yang di sesuaikan dengan kemampuannya. Pandangan ini merupakan kompromi dari pandangan al-Syafi’i yang menetapkan sesuai dengan kemampuan suami di satu sisi, dengan pandangan Malik dan Abu hanifah yang menetapkan sesuai kebutuhan istri (sesuai kebutuhan istri) di sisi lain. Dalam kasus antara suami dan istri tidak ada kesepakatan tentang kadar nafkah di dasarkan pada keputusan hakim.
            Sementara kalau suami tidak mampu membayar nafkah, perkawinan dapat di fasakh.Dasar logika pandangan ini adalah kalau suami lemah syahwat saja dapat menjadi alasan fasakh, padahal penyakit lemah syahwat hanya mengakibatkan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat ekstra (kesenangan, syahwat dan ladhdhat), dan tanpa terpenuhi kebutuhan seks badan tetap dapat hidup.Sebaliknya, tanpa nafkah seseorang tidak dapat bertahan hidup.Karena itu, alasan fasakh karena tidak ada nafkah lebih kuat dari pada alasan penyakit lemah syahwat. Daasar logika ini berdasar kan al-Baqarah (2):229, dan athar ‘Umar yang menyuruh membayar nafkah atau mentalak dengan syarat membayar nafkah yang sudah lewat terhadap suami yang meninggalkan istrinya.
            Ukuran dapat fasakh karena alasan tidak cukup nafkah adalah kalau untuk hidup hari perhari saja suami tidak dapat mencukupi.Sama dengan kiswah kalau tidak dapat terpenuhi dapat menjadi alasan fasakh, sebab kiswah adalah satu keharusan untuk tegaknya rumah tangga.Sebagai catatan, pihak yang menetukan apakah suami dapat mencukupi kebutuhan nafkah kaeluarga atau tidak adalah hakim.Sebab hakim di yakini orang yang dapat menilai dengan adil, sementara kedua belah pihak dapat saja menilai dengan subyektif masing-masing.
            Meskipun misalnya istri rela dengan kondisi suami yang tidak mampu mencukupi nafkah, si istri tidak wajib lagi meladeni suami (istimta’). Alasanya adalah karena suami tidak menyerahkan gantinya, sama kira-kira dengan seorang pembeli yang tidak membayar, maka si penjual tidak wajib menyerahkan barangnya.
            Adapun cara pembayaran nafkah, secara prinsip di bayar perhari. Begitu matahari terbit brgitu nafkah di bayar, kecuali ada kesepakatan antara suami dan istri untuk membayardengan cara lain, misalnya minggunan atau bulanan, atau tahunan dan semacamnya. Sedang pembayaran kiswah adalah setiap tahun, yakni setiap awal tahun.
            Kemudian istri berhak menafkahkan hartanya. Di sebutkan, kalau nafkah dan kiswah sesudah di serahkan suami kepada istri, maka terserah istri untuk menggunaknnya, sama statusnya seperti mahar, pemberian (hibah) atau ganti, sepanjang penggunaan tersebut tidak memadhoratkan badan istri yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan istri meladeni suami untuk bersenang-senang. Implisit dari cactatan ini adalah bahwa istri berhak menggunakan harta bendanya dari manpun sumbernya..

B)     Nash Yang Mengatur Perkawinan
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dankarena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi Lagi Maha Agung ”(An-Nisa: 34).[10]
C)    Konteks Nash
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasan Al-Basri berkata, “seorang wanita mendatangi Nabi SAW dan mengadukan kepada beliau bahwa suaminya telah menamparnya.Beliau pun bersabda, ‘balaslah sebagai qishas-nya’. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri)….’ Maka wanita itu kembali ke rumah, tanpa meng-qishas-nya”.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari berbagai jalur dari Hasan Al Basri, dan di sebagian jalur disebutkan, “Pada suatu ketika seorang lelaki Anshar menampar isterinya.Lalu isterinya mendatangi Nabi untuk meminta kebolehan qishas.Lalu Nabi SAW menetapkan lelakinya harus di-qishas. Lalu turunlah firman Allah,
“…Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Quran sebelum selesai diwahyukan kepadamu….” (Thaha: 114)
Dan turun firman Allah,
‘Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri)…’ (An-Nisa: 34)
Ibnu Jarir juga meriwayatkan semisalnyadari Ibnu Juraij dan as-Suddi.
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Seorang lelaki dari Anshar mendatangi Nabi SAW dengan isterinya.Lalu isterinya berkata, ‘Wahai Rasulullah, suami saya ini telah memukul wajah saya hingga membekas’.Rasulullah SAW pun bersabda, ‘Seharusnya dia tidak perlu melakukannya’. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri)….(An-Nisa: 34). Riwayat-riwayat ini menjadi syahid dan saling menguatkan.[11]
D)    Tujuan, Illat, dan Esensi Ayat

Tujuan dari ayat diatas adalah bisa menjamin kebutuhan rumah tangga yang mana itu pada dasarnya adalah kewajiban seorang suami, namun tidak menutup kemungkinan isteri mencoba mencari nafkah untuk menambah pemasukkan rumah tangga.Yang ditekankan pada ayat tersebut itu berupa kemampuan, bukan pada jenis kelamin.Sedangkan kemampuan itu dibentuk oleh budaya masyarakat setempat.
Illat dari ayat diatas adalah mencari nafkah itu wajib demi terciptanya keluarga yang harmonis sesuai yang dicita-citakan masing-masing keluarga, dan menjunjung tinggi asas keadilan bagi masing-masing pihak yaitu suami dan isteri
Esensi dari ayat diatas yaitu isteri wajib taat pada suami, namun bukan karena taatnya isteri kepada suami, suami bisa berperlaku sesuai apa yang dikehendakinya, tetapi suami diwajibkan untuk bisa menghargai, dan menghormati istrinya apabila ia taat pada suami. Sabagaimana yang diwahyukan dalam Al-Quran: Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi Lagi Maha Agung ”(An-Nisa:34.
E)    Konteks Sekarang
Melihat paparan dari para ahli tafsir (mufassirin) secara umum lebih menekankan pada faktor kemampuan dari pada unsur jenis kelamin.Dengan demikian, pada prisnsipnya siapa pun berhak menjadi pencari nafkah sepanjang yang bersangkutan mempunyai kemapuan untuk itu.Hanya saja pencari nafkah ketika itu identik dengan kekuatan otot.Artinya, kekuatan ototlah yang menjadi unsur pokok untuk dapat menjadi pencari nafkah.Sebab laki-laki lah yang mempunyai otot yang lebih kuat dari perempuan.[12]
Ada beberapa hal yang penting dicermati hubungannya dengan pembahasan nafkah. Pertama, disamping memehamikonteks mikro dari ayat dan sunnah Nabi SAW (Sabab Nuzul dan Sabab Wurud), yakni kasus yang secara langsung menjadi sebab turun ayat atau Sunnah Nabi Muhammad SAW, adalah juga penting memahami konteks yang lebih luas dari nash, yakni konteks masyarakat Arab sebagai objek langsung dari nash sebagai konteks makro. Konteks makro dimaksud adalah konteks Arab secara luas  dan dalam segala kehidupan. Dari sekian banyak konteks tersebut, diantaranya yang terpenting adalah kondisi masyarakat Arab dibangun berdasarkan partialkal, dimana kaum laki-laki mendominasi dalam segala aspek kehidupan.Dampak dari kehidupan ini adalah laki-laki mempunyai kesempatan yang demikian luas mengembangkan kemampuan fitrah, sementara kaum wanita tidak. Akibatnya sejumlah kemampuan yang dimiliki laki-laki tidak dimiliki oleh leh kaum wanita, meski pun secara fitri keduanya sama-sama mempunyai kapasitas dan kemampuan asal yang sama.[13]
Kedua, ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan nafkah turun di masyarakat Arab yang secara umum adalah masyarakat agraris.Bahkan agraris masyarakat Arab pada saat itu berbeda dengan agraris pada masa kini. Dimana masa itu adalah masa agraris yang sama sekali belum mengenal teknologi pertanian. Berbeda dengan masyarakat agraris pada saat ini, dimana dalam pengolahan lahan pertanian dan perkebunan masyarakat sudah menggunakan teknologi.Konsekuensinya, untuk mencari nafkah di masa itu dibutuhkan kekuatan fisik atau otot yang kuat.Kekuatan fisik dan kekuatan otot dimiliki laki-laki.Dalam konteks seperti inilah ayat turun, yang secara prinsip menggambarkan kehidupan masyarakat Arab.Untuk menegaskan kembali, pemahaman terhadap konsep kewajiban mencukupi nafkah yang ada di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW, seharusnya disesuaikan dengan konteks masa dan kondisi turunnya ayat dan Sunnah Nabi Muhammad SAW tersebut.[14]
F)     Istibat Hukum Untuk Sekarang
Pada saat ini banyak wanita yang mampu dan mempunyai potensi untuk masuk dalam lapangan pekarjaan.Sangat diasayangkan jika pada dasarnya mereka punya potensi di dunia pekerjaan, namun hal tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, dan hanya disibukkan dengan urusan dapur, sumur, kasur (sebutan pekerjaan yang dilakukan wanita pada waktu dulu). Maka dari itu, islam menghapus budaya-budaya yang terkandung ayat-ayat praktis-temporal dan mengembalikan pada prinsip dasar yang dibangun oleh ayat-ayat normative-universal, karena ayat itulah yang menjadi tujuan utama tegaknya syariat islam dimuka bumi ini.
Maka pada akhirnya, pembahasan siapa yang berhak mencari nafkah itu bukanlah  permasalah laki-laki atau perempuan, namun tergantung kemampuan dari masing-masing pihak yang akan menjalankan kehidupannya secara bersama. Percuma jika laki-laki yang diangkat sebagai pemimpin, namun ia tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Amat disayangkan jika ada seorang perempuan yang mempunyai potensi untuk memimpin, namun hal itu tidak ia laksanakan lantaran aturan sebagai isteri harus taat pada suami secara mutlak. Dan hal yang demikian itu tergantung pada kesepakatan yang dibuat antara suami dan isteri demi terciptanya keluarga yang dicita-citakan secara bersama. Yang menjadi tolak ukur syariah itu bukan pada bentuk budaya yang terjadi pada masa lampau, akan tetapi tujuan yang akan dibangun oleh syariat itu bisa membawa maslahat bagi seluruh umat manusia karena islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. 
BAB III
                                                   KESIMPULAN
            Dengan adanya teori mahar dan nafkah diatas, menunjukkan bahwa pemeberian mahar dari seorang suami kepada isteri itu meripakan akad kasih sayang, bukan semata-mata akad kepemilikkan seperti barang dagangan, Dengan adanya pemikiran yang seperti itu memberikan peluang bagi seirang suami untuk melakukan tindakkan sewenang-wenang terhadap isteri, karena suami dirasa telah memberikan sesuatu yang lebih terhadap isteri.
            Pemberian nafkah terhadap keluarga bukan merupakan tanggung jawab seorang suami semata, melainkan merupakan tanggung  jawab bersama antara suami dan isteri. Konsep fiqih konvensional  menunjukkan bahwa yang harus mencari nafkah adalah seorang suami, sekaligus merupakan tanggung jawab seorang suami terhadap keluarganya. Jika dikaji dari tinjauan historis hal itu merupakan konteks pada saat itu, dimana pada saat itu sering terjadi marginalisasi terhadap kaum wanita, dan kultur masyarakat pada saat itu didominasi oleh para pria. Maka dari itu, islam memberikan tujuan dari sebuah ayat, bukan bentuk dari ayat. Oleh karena itu konsep fiqih yang dibuat oleh para ulama harus selalu dikaji ulang, mungkin saja sesuai untuk saat itu tapi tidak sesuai untuk saat ini.
              Sebagai akhir dari kesimpulan, reinterpretasi terhadap nash sangat diperlukan pada saat ini. Tanpa adanya reinterpretasi ayat yang ada pada al-Quran dan hadist akan mengalami kemandeggan untuk selalu berinteraksi dengan perubahan zaman yang sangat berbeda dari satu massa ke massa yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1, Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZAFFA, 2005
Jalaludin as-Suyuti, Sebab Turunnya Ayat al-Quran, Jakarta: Gema Insani, 2008
Abul A’la al Maududi, Pedoman Perkawinan dalam Islam: Dilengkapi  Dengan Studi Kasus tentang Hukum Perkawinan dan perceraian, Jakarta: Dar  al Ulum, 1994




[1] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan1, (Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2005)., hlm 138-139
[2]Ibid., hlm 139-144
[3]Ibid., hlm 144-145
[4]Ibid., hlm 145-146
[5] Jalaludin as-Suyuti, Sebab Turunnya Ayat al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2008)., hlm 151
[6]Ibid,.hlm 151
[7]Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan1, (Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2005)., hlm 166
[8]Abul A’la al Maududi, Pedoman Perkawinan dalam Islam: Dilengkapi  Dengan Studi Kasus tentang Hukum Perkawinan dan perceraian, (Jakarta: Dar  al Ulum, 1994), hlm 85
[9]Ibid, hlm 85-86
[10]Jalaludin as-Suyuti, Sebab Turunnya Ayat al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2008)., hlm 162


[11]Ibid, hlm 162-163
[12]Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan1, (Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2005)., hlm 212
[13]Ibid, hlm 214.
[14]Ibid, hlm 214-215

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda