Mahar dan Nafkah Perspektif Progresif
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW di tegaskan ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan
antara suami dan istri dalam rumah tangga. Berdasarkan dan merujuk pada kedua
sumber ini para ahli hukum islam (fuqaha’)
merumus kan aturan yang lebih rinci , praktis dan sistematis, yang termaktub
dalam kitab-kitab fiqh, di samping juga di bahas kitab-kitab dalam tafsir (mufassirin). Bahasan sekitar persoalan
relasi suami dan istri ini oleh para apara ahli hukum islam dikelompokan dalam
beberapa bagian atau sub bagian. Sub pembahasan tersebut meliputi syarat dan
rukun perkawinan, prinsip-prinsip perkawinan , tujuan perkawinan , hak dan
kewajiban suami isteri, wali nikah, mahar, nafkah, hak wali dan kekebasan
wanita yang akan menikah status poligami, penyelesaian percekcokan, hubungan
anak dan orang tua ( bapak dan ibu ), pemeliharaan anak (hadanah), dan sejenisnya. Pembahasan ini di kenal dengan nama fiqh
Munakakhat atau Hukum Perkawinan. Di dalam makalah kami bahwasanya suami itu wajib
bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam sebuah perkawinan seperti
mencukupi kebutuhan istri, anak-anak nya dan keluarga sesuai dengan apa yang
telah di tetap kan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Dalam kaitanya mengenai
masalah perkawinan atau munakakhat, dalam membicarakan mahar misalnya di bahas
secara tersendiri tanpa di kaitkan dengan prinsip perkawinan, tidak di kaitkan
dengan tujuan perkawinan, tanpa di kaitkan dengan kewajiban antara suami dan
istri. Di dalam study ini terdapat pendekatan yang di sebut pendekatan persial
atau pendekatan sepotong-potong atau terpisah-pisah. Maksudnya di dalam study
ini terdapat berbagai macam aspek seperti mahar dan nafkah daan sebagainya di
mana di dalamnya di bahas sendiri- sendiri. Pendeknya, pembahasan satu subjek
secara berdiri sendiri dan terpisah dari
pembahasan subjek lain, aspek yang lalin
bukan baerati tidak di bahas, semuanya di bahas akan tetapi pembahasanya secara
tersendiri, tidak menyatu seperti halnya pada kelompok kami ini yang membahas
tentang Mahar dan Nafkah.
BAB
II
MAHAR
DAN NAFKAH
1)
Mahar
A)
Konsep Fiqih
Dalam
al-Quran mahar disebutkan dalam tiga istilah yang menunjukkan tentang wajibnya
membayar mahar tersebut, yakni: (i) faridhah, (ii) ajru, dan
(iii) shada. Istilah pertama digunakan untuk menunjuk kasus perceraian
yang terjadi sebelum melaukukan hubungan seksual dengan isteri, sementara
istilah kedua untuk menunjukkan jika akad nikah dan istilah ketiga untuk
menjelaskan status mahar. Kedua, status mahar adalah nihlah, dan ulama berebeda
pendapat tentang maksud istilah ini. Ketiga, bahwa jumlah mahar adalah sesuai
dengan kepatutan, kebiasaan atau ada. Keempat, mahar hukumnya wajib. Di bawah
ini konsep mahar menurut empat madzhab:
Dalam Kita
al-Muwatta, karangan imam Malik disebutkan beberapa kasus yang terkait dengan
mahar berupa hadist dan atsar.Pertama, disebutkan bahwa seorang lelaki yang
menikahi wanita dan menyentuhnya (massaha) meskipun wanita yang bersangkutan
mengidap penyakit kusta atau gila, mahar harus dibayar.
Kedua, kasus
seorang laki-laki yang menikah dengan seorang wanita, tetapi meninggal sebelum
sempat menyentuhnya, ternyata Abdullah bin Umar menetapkan, bahwa wanita
tersebut tidak berhak mendapat mahar.
Ketiga,
ketetapan Umar bin Abdul Aziz yang diriwayatkan Imam Malik, bahwa seorang
laki-laki yang belum dewasa kalau mempunyai harta wajib membayar mahar, namun
boleh juga dibayar bapaknya. Jika terjadi perceraian sebelum suamimenyentuh
isteri, dan wanita tersebut masih berstatus gadis, berhak mendapat setengah
mahar. Pandangan ini menurut Imam Malik sejalan dengan tuntutan Surah
al-Baqarah (2): 237, ditambah dengan sejumlah riwayat yang secara prinsip
menetapkan bahwa kalau suami sudah menyentuh isteri menjadikan wajib membayar
mahar. Maksud menyetuh dalam kalimat ini bukan arti hakekat, tetapi kiasan,
yakni melakukan hubungan seksual antara suami isteri.Maksud penegasan ini
adalahagar jangan sampai terjadi salah paham, bahwa hanya dengan menyentuh
menyebabkan wajib membayar mahar.
Dalam kitab al-Mudawwanah, karangan Sahnun, juga dari Madzhab
Maiki, hanya ditulis tentang mahar yang harus dibayar suami.Misalnya
disebutkan, mahar yang harus dibayar suami meskipun hanya menyentuh isteri
adalah sebagai denda atau uang ganti (uang kompensasi) bagi walinya.Dari
pandangan Madzhab Maliki tersebut dapat disimpulkan dan sekaligus sebagai
penjelasan, bahwa sentuhan suami (dalam arti majazi, dengan maksud hubungan
badan) merupakan syarat wajibnya membayar mahar.Karena itu, mahar tidk wajib
(harus) ada ketika melakukan akad nikah seperti ini adalah sah.
b)
Madzhab Hanafi[2]
Menurut Abu
Hanifah, dari madzhab Hanafi, mahar adalah kewajiban tambahan dalam akad nikah,
sama statusnya dengan nafkah. Berbeda dengan kehadiran kedua calon mempelai
waktu akad nikah yang merupakan kewajiban sah akad, mahar tidak harus ada
ketika melakukan akad nikah.Karena itu, tanpa kehadiran kedua mempelai akad
nkah tidak dapat dilaksanakan, sementara jika tanpa mahar akad nikah dapat
dilaksanakan. Adapu dasar wajib mahar, khususnya setelah dukhul adalah al-Nisa
(4): 24. Akad nikah adalah akad pertukaran manfaat antara suami dan isteri.Akad
nikah merupakan syarat pertama untuk menukar manfaat, dan untuk mendapat
manfaat tersebut suami wajib membayar mahar.
Karena itu,
jika akad nikah sudah terjadi (sah) berarti mahar wajib dibayar. Logikanya,
ayat al-Nisa: 24, an tabtaghu bi amwalikum, yaitu mencari hak memilki
untuk mendapat manfaat dengan harta. Maka fungsi kata bi pada kalimat bi
amwalikum dalam ayat ini menunjukkan memliki hak untuk mendapatkan manfaat
dengan jalan mengganti, yaitu dengan membayar mahar.
Sedang wajibnya
membayar akad nikah adalah tuntutan Shariat berdasar surah al-Ahzab (33): 50,
didukung hadist dari Abu Said al-Khudri, la nikaha illa bi mahrin wa
syuhudiilla makana lirasulillah. Hadist ini disamping menunjukkan harus ada
mahar dalam satu perkawinan, juga pengkhususan kepada Nabi yang boleh nikah
tanpa mahar.Karena itu, dengan akad nikah, suami mendapat hak untuk mendapat
manfaat dari isterinya dengan syarat diganti dengan sejumlah mahar.
Sejalan dengan
itu, seorang suami yang mentalak isteri sebelum melakukan hubungan seksual
(dukhul) tidak wajib membayar mahar, sebab dengan talak
tersebut berarti si suami menghilangkan transaksi
pokok.Dengan hilangnya transksi pokok, suami pun tidak wajib membayar. Dengan
kata lain, hilang/putusnya unsur yang mewajibkan suami membayar, kewajiban
membayar menjadi hilang dengan sendirinya. Tetapi bukan dengan sendirinya tidak
wajib ada akad nikah.
Talak sebelum
dukhul, awalnya Abu Yusuf berpendapat wajib setengah mahar, tetapi kemudian
berubah pendirian, dan sependapat dengan Imam Abu Hanifah (gurunya) dan
Muhammad al-Syaibani (murid lain dari Abu Hanifah), wanita tersebut berhak
mendapat mut’ah.Sebab kewajiban mahar sesuai kepantasan (mistli) adalah sesudah
akadnikah dan terjadi dukhul. Adapun jumlah mut’ah yang harus dibayar tidak
lebih dari separoh mahar (pendapat ini sama dengan pandangan al-Syafi’i).
Sementara jika
ditalak sebelum dukhul dan ketika akad tidak disebut mahar, mantan suami wajib
membayar mut’ah, berdasar Surah al-Baqarah: 236,Ada pun jumlah
mut’ah tersebut adalah lima dirham (setengah dari jumlah mahar minimal), meski
pun ditulis hadist yang membolehkan nilai mahar seharga baju besi, rukuh,
penutup kepala (khimar), atau kain selimut berdasar, berdasar hadist riwayat Ibn
‘Abbas,.
Sejalan dengan
Abu Hanifah, menurut al-Kasani juga dari madzhab Hanafi, mahar merupakan ganti
kepemilikkan manfa’at.Dengan terjadinya transaksi (ijab dan qabul), suami
berhak mendapat manfa’at dari isteri.Untuk mendapat hak manfa’at ini suami
harus membayar mahar.
Ada pun jumlah
mahar yang harus dibayar disesuaikan dengan kebiasaan tempatdimana mereka
melaksanakan akad nikah.Sementara jika tidak ada kesepakatan tentang jumlah
mahar, keterangan suami yang diambil. Ukuran minimal mahar mitsli menurut Abu
Hnifah adalah sepuluh dirham perak, berdasar hadist dari Jabir anna
al-nabiya saw qala an la yuzawwijual-nisa alla li-awliya wa la yuzawwijna illa
min al-akfa wa la mahrun aqallu min asrati darahim, ditambah dengan atsar
‘Abdullah bin ‘Umar anna al-nabiya saw qala la qat’un fi aqalli min ‘asrati
darahim wa la mahrun aqalli min ‘asrati darahim.Namun demikian, tetap dicatat
jugahadist yang menceritakan bahwa bentuk nilai pun dapat dijadikah mahar.
Dengan mencatat hadist-hadist dan atsar-atsar tersebut dapatdisimpulkan bahwa
jasa pun dapat menjadi mahar, tetapi hanya dalam keadaan tertentu, bukan hukum
umum.
c)
Madzhab Syafi’i[3]
al-Shirazi,
dari madzhab Syafi’I, dengan tegas menyebut, akad nikah sebagai akad
tukar-menukar (aqd mu’awadah) anatar suami dan isteri. Karena itu, dengan akad
nikah suami dan isteri berhak melakukan tukar-menukar bukan memiliki.
Ada pun kadar
mahar yang wajib berdasar al-Nisa: 20 mempunyai nilai (qintara), bahwa yang
penting mahar tersebut adalah berharaga. Hanya saja disunatkan tidak melebihi
dari mahar yang pernah diberikan Nabi kepada isteri-isterinya, dan mahar anak
perempuannya, yakni maksimal 500 dirham, tetapi dapat juga hanya sepotong besi,
bahkan dapat juga hanya jasa (upah). Misalnya upah dengan mengerjakan sesuatu,
seperti menjahi baju.
d)
Madzhab Hanbali[4]
Mahar adalah
hak pertama isteri yang menjadi kewajiban suami, demikian Ibnu Qudamah dari
madzhab Hanbali. Menurut Ibnu Qudamah, mahar dengan kadar kepantasan (mith)
wajib dalam perkawinan, tetapi tidak harus ada ketika melakukan transaksi
(akad). Suami wajib membayar mahar jika sudah menyentuh isterinya.Sebaliknya,
suami belum wajib membayar jika belum menyentuh.Dasar kewajiban membayar mahar
adalah hadist Nabi yang menyuruh suami membayar mahar kepada isteri jika sudah
menyentuh.
Dengan meyebut
adanya kewajiban membayar mahar jika sudah berhubungan sama artinya dengan mengatakan,
mahar belum wajib dibayar sebelum melakukan hubungan (mafhum mukhalafah).
Dengan demikian, kewajiban membayar mahar bukan pada waktu transaksi tetapi
setelah terjadi sentuhan/hubungan.
Karena itu,
kalau fasakh terjadi sebelum menyentuh suami tidak wajib membayar mahar jika
fasakh terjadi sesudah dukhul tetapi tertipu.Sayang tidak ada penjelasan rinci tentang
maksud tertipu.Tetapi dugaan sementara adalah tertipu dari segi keturunan atau
keperawanan.Sebab Ibnu Qudamah misalnya menulis, jika dalam satu perkawinan
disyaratkan perawan tetapi ternyata yang bersangkutan janda dapat menjadi alasan
khiyar.
Sementara
jika ditalak sebelum dukhul mahar wajib dibayar setengah.Juga ditegaskan, isteri berhak menolak hubungan dengan
suami karena alasan suami belum membayar mahar. Dengan demikian, pada
prinsipnya pandangan Hanbali ini sama dengan Madzhab lain, bahwa mahar tidak
harus ada ketika melakukan akad nikah.
Demikian
pula dari penjelasan diatas juga menjadi jelas bahwa jumlah mahar menurut
madzhab Hanbali adalah sesuai dengan kepantasan (mitsli).
B) Nash
Yang Mengatur Ketentuan Mahar
وَآَتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Dan berikanlah maskawin kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh kerelaan.Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati”. (an-Nisa: 4)[5]
C) Konteks
Nash
Ada
pun sebab turunnya ayat ini sebagaimana Abu Hatim meriwayatkan bahwa Abu
Shaleh berkata, “Dulu jika seseorang
menikahkan anaknya, maka dia mengambil mahar yang diberikan suaminya untuk
anaknya. Lalu Allah menurunkan firman-Nya Q.S an Nisa: 4.[6]
Dengan
adanya sebab turunnya ayat diatas memberikan pengertian bahwa, ayat tersebut
turun bekenaan dengan seseorang yang mengambil mahar menantu yang seharusnya ia
berikan untuk mempelai wanita. Dengan adanya ayat tersebut, maka menghapus
tradisi yang ada pada masyarakat tersebut.
Selanjutnya,
dari pandangan para imam madzhab atau yang terdekat dengan imam madzhab diatas
dapat dismpulkan bahwa secara prinsip semua setuju tentang sahnya akad nikah
tanpa mahar, tetapi setelah terjadi hubungan seksua mahar wajib dibayar.Karena
itu, mahar bukanlah rukun nikah yang harus ada ketika melakukan akad nikah,
tetapi mahar adalah sebagai ganti untuk mendapat manfaat dari isteri, dan akad
nikah merupakan langkah awal untuk berhak mendapat manfaat dari isteri.[7]
D) Tujuan,
Illat, dan Esensi Ayat
Tujuan
dari ayat diatas yaitu, memberikan motivasi kepada umat muslim (kaum pria)
untuk memberikan mahar kepada isterinya dengan cara yang baik. Dan dengan
diberikannya mahar tidak hanya sekedar difahami untuk mendapatkan manfaat dari
isteri layaknya membeli sebuah barang, tapi itu merupakan simbol kasih sayang yang membuat
isteri mencintai suaminya karena pengorbanan yang ia berikan.
Illat
dari ayat diatas yaitu, mahar yang diberikan kepada isteri tidak harus berupa
materi, tapi bisa pula dengan jasa seperti dahulu ada salah seorang yang tidak
punya harta sedikit pun, namun hanya memiliki beberapa hafalandari ayat
al-Quran sehingga ia mengawini seorang wanita dengan perjanjian, setelah
menikah ia mau mengajarkan hafalan yang ia punya kepada isterinya. Kemudian
yang tak kalah penting, sesungguhnya mahar tidak ditetapkan jumlahnya, namun
dianjurkan memberikan mahar yang bisa disesuaikan dengan keadaan suami. Seperti
yang di sabdakan Nabi:
“Cobalah
untuk membuat pria dapat bersatu dengan wanita. Janganlah keluar batas dalam
menentukan maskawin”[8]
Kemudian
kasus yang terjadi pada salah seorang sahabat yang bernama Abu Amar, ia
mengawinkan seorang wanita dengan maskawin dua ratus keeping perak. Nabi
Muhammad SAW memberikan penilaiannya: “Walau pun kamu telah menemukan kepingan-kepingan
perak berceceran di parit-parit dan sungai-sungai, janganlah menetapkan
maskawin yang lebih tinggi dari ini.”[9]
Esensi
dari ayat diatas
Dahulu,
pernikahan diidentikkan untuk menyenangkan hati seorang suami. Ketika ia sudah
memberi mahar, maka dengan sewenang-wenang ia memperlakukannya. Kini, proses
pemberian mahar harus disesuaikan dengan konteks yang ada pada saat ini, yaitu
pemberian mahar yang berasaskan rasa kasih sayang terhadap sesama manusia.
E) Konteks
Sekarang
Banyaknya
suami yang memberikan mahar kepada isteri pada saat setelah terjadinya
pernikahan yaitu ketika suami telah menyentuh (kiasan dari berjima)
isterinya.Maka dengan adanya ketetapan dan pendapat dari berbagai Imam, Mahar
tidak wajib diberikan kepada isteri pada saat terjadinya pernikahan, atau dalam
artian, itu bukanlah rukun dari sbuah pernikahan.
Pada
saat dahulu, suami memberikan mahar untuk isterinya sebagai akad kepemilikkan
jiwa isteri atau akad tukar manfaat kepada isteri.Hal demikian tidaklah relevan
untuk saat ini, maka pola pikir tersebut sudah selayaknya diubah.Mahar bukan
akad tukar manfaat atau tukar kepemilikkan dari wali ke suami, namun merupakan
akad kasih sayang dari suami kepada isterinya.
F) Istinbath
Hukum untuk Sekarang
Dengan
melihat konteks Q.S al-Nisa: 4, maka ayat tersebut turun karena ada keterkaitan
dengan kondisi sosial yang ada pada saat itu, baik itu yang makro dimana
wanita pada saat itu masih berada dibawah kekuasaan lelaki. Kemudian yang mikro
terkait dengan salah seorang sahabat yang mengalami suatu kasus tentang
permasalahan mahar.
Maka
dapat diambil suatu ketetapan bahwa, mahar itu simbol cinta dari suami kepada
isterinya, dan bukan simbol yang digunakan untuk berlaku sewenang-wenang terhadap
isteri yang bisa diberikan kepadanya setelah terjadinya pernikahan (setelah
terjadinya hubungan suami-isteri maka suami wajib membayar mahar kepada
isteri).
2) Nafkah
A) Konsep
Fiqih
` Sebelum
menguraikan konsep para ulama madzhab fiqh, lebih dahulu di paparkan pandangan
para mufasir sekitar nafkah, sebab penjelasan ini penting untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih lengkap terhadap pandangan para ulama’ madzhab. Al-Nisa’
(4): 34 adalah diantara ayat Al-Qur’an yang menunjukan bahwa laki-laki ( suami
) bertanggung jawab menyediakan nafkah keluarga. Karena tanggung jawab penyedia
nafkah inilah di antara alasan mengapa suami menjadi pemimpin rumah tangga.
1. Madzhab
Maliki
Menurut imam Malik, mencakup nafkah keluarga
merupakan kewajiban dari seorang suami setelah membayar mahar dan berlaku adil
kepada istri. Kalau terjadi perpisahan antara suami dan istri, baik karena
cerai maupun meninggal dunia, harta asli istri tetap menjadi milik istri. Demikian
juga harta asli suami tetap menjadi millik suami. Sementara harta yang tidak di
ketahui statusnya, adalah menjadi milik suami, dengan alasan suamilah pemilik
rumah sebagai pemilik rumah, kalaupun suami membeli sesuatu untuk istrinya,
pada hakekatnya adalah milik suami, kecuali ada bukti bahwa benda itu di beli
secara khusus untuk menjadi milik dan di warisi istrinya9. Sedang
harta yang bukan perlengkapan rumah, seperti unta, sapi, kambing, dan binatang
lainya, menjadi milik yang menggembalanya10.
Adapun tempat tinggal (sukna) adalah wajib do
sediakn suami bagi istri dalam semua jenis talak. Sementra nafkah tidak wajib
dalam talak ba’in, kecuali sedang hamil. Sedangkan dalam talak raj’i wajib
nafkah ( semua jenis, hamil atau tidak ) sampai habis masa tunggu (‘iddah)11.
Demikian juga ,istri yang khulu’ kalau sedang hamil wajib di nafkahi suami.12
Kalau talak ba’in dan tidak hamil suaminya wajib
menyediakan tempat tinggal, tidak wajib nafkah, tidak wajih kiswah, dan tidak
saling mewarisi. Dasarnya adalah al-Talaq (65):6, askinuhunna min haithu sakantum min wujdikum wa la tudarruhuma
litudayyiqu ‘alaihinna. Kalau talak selai ba’in, suami istri saling
mewarisi, dan suami tidak boleh mengusir istri dari rumah. Kalau istri hamil
maka suami wajib mencukupi nafkah sampai kandungan lahir, berdasar terusan
al-Talaq (65):6 wa inkunna awlati hamlin
fa ‘alaihinna hatta yada’na hamlahunna. Dengan demikian, suami wajib
menyediakan nafkah dan tempat tinggal (sukna) .13
Dasar bahwa nafkah tidak wawjib di sediak suami bagi
istri yang di talak ba’in adalah sabda Nabi dari Malik, ‘aini al-nabiyi
s.a.w. annahu qala al-mabtutatu la nafaqota laha.Hadist lain, kasus fatimah binti qoia, yang ditalak ba’in oleh suaminya, Aba
‘Amar ibn Hafas. Ketika fatiamh melapor, Nabi menjawab, “ kamu tidak berhak
mendaapat nafkah” (fa ja’at ila rosulillah s.a.w. fadhakarat dhalika lahu fa
qala lah rasulallah laisa laki ‘alaihi nafakotan.
2.
Madzhab
Hanafi
Abu
Hanifah berpendapat bahwa mencukupi
nafkah istri merupakan kewajiban kedua dari suami setelah mahar. Kewajiban ini
berdasar (i) Qs al-Baqarah (2):233,(ii) al-Nisa’ (4):34, dan (iii) (65):6, di
tambah dengan sunnah nabi;
diwariskan agar berbuat baik kepada wanita, sebab wanita adala mitra bagi laki-laki (suami). Kamu (laki-laki) menjadikan istri karena amanta Allah, dan mereka (wanita) menjadi halal bagi kamu (laki-laki) juga berdasr kalimat Allah. Para laki-laki (suami) mempunyai hak yang wajib di tunai kan oleh wanita (isteri). Demikian sebaliknya, isrti juga mempunyai hak yang wajib di tunai kan oleh suami. Hak-hak suami dari istri adalah istri dilarang mengizinkan orang yang dibenci suami masuk rumah atau tidur di rumah.Kalu istri melanggar larangan suami tersebut, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (pukulan pendidikan). Adapun hak para istri dari suami mendapatkan hak pangan,dan sandang yang baik,.
diwariskan agar berbuat baik kepada wanita, sebab wanita adala mitra bagi laki-laki (suami). Kamu (laki-laki) menjadikan istri karena amanta Allah, dan mereka (wanita) menjadi halal bagi kamu (laki-laki) juga berdasr kalimat Allah. Para laki-laki (suami) mempunyai hak yang wajib di tunai kan oleh wanita (isteri). Demikian sebaliknya, isrti juga mempunyai hak yang wajib di tunai kan oleh suami. Hak-hak suami dari istri adalah istri dilarang mengizinkan orang yang dibenci suami masuk rumah atau tidur di rumah.Kalu istri melanggar larangan suami tersebut, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (pukulan pendidikan). Adapun hak para istri dari suami mendapatkan hak pangan,dan sandang yang baik,.
Adapun
jumlah kadar sandang pangan yang wajib di tunaikan suami adalah di sesuaikan
dengan kebiasan tempat tinggal mereka. Sebagai
tambahan, pembantu rumah tangga termasuk perlengkapan sandang dan
pangan.Sejalan dengan itu, pembantu rumah tangga juga berhak mendapat sandang
dan pangan yang baik untuk hidupnya.Hanya saja ada perbedaan pendapat tentang
jumlah pembantu yang harus di sediakn suami.Menurut abu hanifah dan Muhammad
al-Saibani cukup satu orang.Sementara menurut
Abu Yusuf harus ada dua orang; satu untuk mengurusi urusan domestik rumah, dan satunya untuk urusan luar rumah.
Awal
mulanya seorang suami wajib membayar nafkah adalah sejak terjadi transaksi
(akad-nikah). Sebab dengan selesai proses transaksi berarti menjadi awal adanya
ikatan senbagai suami dan istri. Kecuali wanita yang dinikahi masih kecil dan
belum siap melayani suami,suami belum wajib membayar nafkah.
Kewajiban
nafkah sangat erat hubunganya
dengan hak bersenag-senag (istimta’) suami.Sehingga kalau istri tidak meladeni suami, baik karena istri
pergi maupun istri mengghindar, menjadi alasan bagi
suami tidak wajib memenuhi nafkah istri. Misalnya di sebutkan kewajiban nafkah karena penyerah (pasrah) diri
istri kepada suaminya. Karena itu, kalau istri tidak menyerahkan dirinya
berarti suami tidak wajib memberikan
nafkah istri.
3.
Madzhab
Imam Syafi’i
Imam syafi’I
menyebutkan, hak istri sebagai
kewajiban suami kepada istrinya adalah membayar nafkah. Adapun unsur yang
termasuk biaya nafkah adalah biaya susuan, nafkah
makan dan minum (sandang), pakaian, pembantu rumah tangga , tempat tinggal
(papan) dan kebutuhan seks. Suami juga wajib membiayai anak sampai batas anak
dewasa, yang di tandai dengan keluarnya darah haid (Pr) atau bermimpi
(Lk).Tetapi kalau anak dalam keadaan miskin, sementara orang tua mempunyai
kemampuan untuk membiayai, orang tua masih wajib membiayai nafkah anak meskipun
sudah dewasa.Kewajiban pemenuhan kewajiban suami terhadap istri ini berlaku
sejak terjadinya akad nikah.
Dasar
kewajiban memnuhi nafkah istri dan keluarga adalah al-Qur’an dan sunnah NAbi.
Adapun ayat al-Qur’an yang dimaksud adalah : (i) al-Nisa (4):3, al-Baqarah
(2):233,(iii) al-Talaq (65):6. Dasar dari sunah nabi adala suruhan atau
persetujuan Nabi agar istri mengambil harta suami untuk nafkah keluarga
secukupnya.
Biaya yang
harus di bayar kepada istri tersebut hanya selama status perkawinan masih
tetap. Adapun kalau sudah
berpisah (cerai) suami hanya wijib
menafkahi sampai masa menunggu (‘iddah).Secara tidak langsung kewajiban ini
hanya untuk talak raj’i.Adapun
talak ba’in dengan sendirinya tidak lagi wajib di biayai suaminya. adapun alasan
mengapa tidak wajib nya membayar nafkah sesudah talak adalah karena suadah
tidak ada hubungan seksual(istimta’).
Kadar
nafkah diberikan suami kepada istri nya adalah di sesuaikan dengan kemamuan dan
kadar kepantaasasn di tempat tinggal mereka. Ketetapan ini berdasar kan
al-Talak (65):7. Demikian juga , nafkah yang
harus di berikan kepada pembantu adalah sandang (ta’am) (makan dan minum)
dan pangan (kiswah) yang
jumlah nya di sesuaikan dengan kebiasaan tempat tinggal keluarga. Dasar dan
penetapan kadar untuk pembantu adalah sabda Nabi, bahwa pembantu berhak
mendapat sandang dan makan dengan baik, dan tidak boleh memberikan tugas yang
di luar kemampuanya.
Kalau selama satu
tahun tidak memberi nafkah
kemudian istri di ceraikannya, suami harus membayar nafkah selam satu tahun
ketika menjatuhkan talak.Kalu talaknya talak raj’i maka nafkah yang harus
terbayar terhitung setelah habis masa ‘iddah. Sementara kalau istri hamil terhitung setelah melahirkan bayi yang di kandung.
Kalau suami tidak mampu mencukupi nafkah keluarga,
tergantung istri; apakah bertahan atau berpisah. D,an kalu terjadi perpisahan (cerai), anak yang belum
berumur delapan tahun, lebih berhak di asuh oleh ibu, dengan biaya asuh oleh
bapak, kecuali si ibu kawin
lagi dengan pria lain. Sementara kalu anak sudah berumur tujuh atau delapan
tahun dan berakal (laik-laki atau perempuan) maka tergantung pilihan anak,
dengan biaya nafkah tetap dari bapak.Kalau anak meamilih diasuh oleh ibu istri tidak boleh melarang bapak/suami mendidik
anaknya.Demikian juga sebaliknya, kalu anak memilih dengan bapak, bapak/suami tidak
boleh melarang ibunya datang
menjenguk anaknya kapan saja.
Seorang wanita yang mempunyai ibu
janda, kawin denga seorang pria,status ibu sama seperti anak wanita tersebut. Dengan demikian, kalau
diringkas nafkah yang harus di
tanggung suami adalah (i) nafkah istri yang meliputi, sandang, pangan, papan,
dan kebutuhan biologis;(ii) nafkah anak sampai dewasa, yang meliputi biaya
susuan, sandang dan pangan;(iii) nafkah pembantu, yang meliputi sandang dan
pangan, dan (iv) nafkah ibunya mertua yang janda dan tidak mempunyai kemampuan
memenuhi nafkah. Seperti di tekankan imam Syafi’I sebelum membahas masalah ini,
suami wajib menunaikan kewajiban yang baik.
4.
Madzhab Hanbali
Menurut Hanbali, suami wajib membayar (memenuhi)
nafkah istri, berdasar al-Qur’an, sunah Nabi dan ijma’. Dasar al-Qur’an adalah
(i) al-Talaq (65):7, al-Isra’ (17):30, dan al-Ahzab (33):50. Adapun dasar hadistnya adalah hadist Nabi yang
menyuruh agar suami membayar nafkah (sandang dan pangan) dan menyediakan tempat
tinggal(papan) bagi istri atau keluarga. Sedang ijma’nya adalah bahwa seluruh ilmuan, yaitu ibnu Qudamah sepakat tentang wajibnya suami memenuhi nafkah
istrinya, dengan syarat sudah dewasa (balighah) dan tidak durhaka (nushuz).
Ditempat lain di tegaskan, seorang
istri berhak mendapt nafkah, dengan dua syarat. Pertama, wanita tersebut sudah
dewasa yang siap mengadakan hubungan seksual dengan suaminya. Bahkan di tugaskan ibn Qudamah ,seperti yang di
tulis sebelumnya,ada atau tidak nya nafkah tergantung pada ada atau tidaknya
hubungan (istimta’). Kalau terjadi istimta’ maka nafkah
wajib.Kedua, si wanita menyerahkan diri sepenuhnya kepada suaminya.Sebaliknya
kalau istri tidak menyerahkan diri atau
wali tidak merestui nafkah tidak wajib, berdasarkan tindakan af’al)
Nabi. Oleh karena itu, tiga syarat yang harus di penuhi agar istri berhak
mendaat nafkah dari suami, yakni (i) istri dewasa (fisik siap meladeni), (ii)
istri siap meladeni suami, (iii) istri tidak durhaka kepada suami.
Dalil yang secara khusus menunjukan
kewajiban suami menyediakan tempat tinggal
istri adalah al-Talaq(65):6. Logika yang digunakan dari ayat ini, bahwa
kalau bagi istri yang di talak saja harus ada (wajiib) tempat tinggal, apalagi
bagi istri yang masih hidup dengan suami.Di tambah dengan al-Nisa (4)19, yakni
suruhan untuk mempergauli istri dengan baik.Salah satu bentuk pergaulan yang
baik adalah dengan menyediakan tempat tinggal.Sebab tempat tinggal dapat
berfungsi menutupi kekurangan (‘aib), tempat bersenang-senang, dan
tempat memelihara harta benda suami dan istri (keluarga).
Nafkah
yang wajib di tanggung suami meliputi semua kebutuhan untuk kelangsungan hidup
mereka (sebagi pasangan), seperti makanan dan minuman (pangan), pakaian (sandang),
tempat tinggal.Perlengkapan tidur, seperti kasur, dan semacamnya termasuk di
dalamnya, sesuai kebiasaan tempat tinggal mereka.Pembantu dan nafkah pembantu
juga termasuk bagian nafkah yang harus di tanggung suami.Karena pembantu wajib
ada, maka kebutuhan pembantu wajib ada, maka kebutuhan untuk pembantu (makan
dan tempat tinggal).Sedangkan wangi-wangian dan sejenisnya tergantung pada
keinginan suami, kalau memang menghendaki, suami wajib menyediakan.
Adapun
kadar nafkah yang di tanggung oleh suami, menurut ibn Qudamah, suami berusaha
mencukupi kebutuhan istri yang di sesuaikan dengan kemampuannya. Pandangan ini
merupakan kompromi dari pandangan al-Syafi’i yang menetapkan sesuai dengan kemampuan
suami di satu sisi, dengan pandangan Malik dan Abu hanifah yang menetapkan
sesuai kebutuhan istri (sesuai kebutuhan istri) di sisi lain. Dalam kasus antara suami dan istri
tidak ada kesepakatan tentang kadar nafkah di dasarkan pada keputusan hakim.
Sementara
kalau suami tidak mampu membayar nafkah, perkawinan dapat di fasakh.Dasar
logika pandangan ini adalah kalau suami lemah syahwat saja dapat menjadi alasan
fasakh, padahal penyakit lemah syahwat hanya mengakibatkan tidak dapat memenuhi
kebutuhan yang bersifat ekstra (kesenangan, syahwat dan ladhdhat), dan tanpa
terpenuhi kebutuhan seks badan tetap dapat hidup.Sebaliknya, tanpa nafkah
seseorang tidak dapat bertahan hidup.Karena itu, alasan fasakh karena tidak ada
nafkah lebih kuat dari pada alasan penyakit lemah syahwat. Daasar logika ini
berdasar kan al-Baqarah (2):229, dan athar ‘Umar yang menyuruh membayar nafkah
atau mentalak dengan syarat membayar nafkah yang sudah lewat terhadap suami
yang meninggalkan istrinya.
Ukuran
dapat fasakh karena alasan tidak cukup nafkah adalah kalau untuk hidup hari
perhari saja suami tidak dapat mencukupi.Sama dengan kiswah kalau tidak dapat
terpenuhi dapat menjadi alasan fasakh, sebab kiswah adalah satu keharusan untuk
tegaknya rumah tangga.Sebagai catatan, pihak yang menetukan apakah suami dapat
mencukupi kebutuhan nafkah kaeluarga atau tidak adalah hakim.Sebab hakim di
yakini orang yang dapat menilai dengan adil, sementara kedua belah pihak dapat
saja menilai dengan subyektif masing-masing.
Meskipun
misalnya istri rela dengan kondisi suami yang tidak mampu mencukupi nafkah, si
istri tidak wajib lagi meladeni suami (istimta’). Alasanya adalah karena
suami tidak menyerahkan gantinya, sama kira-kira dengan seorang pembeli yang
tidak membayar, maka si penjual tidak wajib menyerahkan barangnya.
Adapun cara pembayaran nafkah,
secara prinsip di bayar perhari. Begitu matahari terbit brgitu nafkah di bayar,
kecuali ada kesepakatan antara suami dan istri untuk membayardengan cara lain,
misalnya minggunan atau bulanan, atau tahunan dan semacamnya. Sedang pembayaran
kiswah adalah setiap tahun, yakni setiap awal tahun.
Kemudian istri berhak menafkahkan
hartanya. Di sebutkan, kalau nafkah dan kiswah sesudah di serahkan suami kepada istri,
maka terserah istri untuk menggunaknnya, sama statusnya seperti mahar,
pemberian (hibah) atau ganti, sepanjang penggunaan tersebut tidak memadhoratkan
badan istri yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan istri meladeni suami
untuk bersenang-senang. Implisit dari cactatan ini adalah bahwa istri berhak menggunakan
harta bendanya dari manpun sumbernya..
B) Nash Yang Mengatur Perkawinan
“Laki-laki (suami) itu pelindung
bagi perempuan (isteri, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dankarena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dari hartanya.Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah
mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,
karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan
akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di
tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk
menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi Lagi Maha Agung ”(An-Nisa: 34).[10]
C) Konteks
Nash
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa
Hasan Al-Basri berkata, “seorang wanita mendatangi Nabi SAW dan mengadukan
kepada beliau bahwa suaminya telah menamparnya.Beliau pun bersabda, ‘balaslah
sebagai qishas-nya’. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Laki-laki (suami) itu
pelindung bagi perempuan (isteri)….’ Maka wanita itu kembali ke rumah, tanpa
meng-qishas-nya”.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari
berbagai jalur dari Hasan Al Basri, dan di sebagian jalur disebutkan, “Pada
suatu ketika seorang lelaki Anshar menampar isterinya.Lalu isterinya mendatangi
Nabi untuk meminta kebolehan qishas.Lalu Nabi SAW menetapkan lelakinya harus
di-qishas. Lalu turunlah firman Allah,
“…Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa
(membaca) Al-Quran sebelum selesai diwahyukan kepadamu….” (Thaha: 114)
Dan turun firman Allah,
‘Laki-laki (suami) itu pelindung
bagi perempuan (isteri)…’ (An-Nisa: 34)
Ibnu Jarir juga meriwayatkan
semisalnyadari Ibnu Juraij dan as-Suddi.
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan
bahwa Ali berkata, “Seorang lelaki dari Anshar mendatangi Nabi SAW dengan
isterinya.Lalu isterinya berkata, ‘Wahai Rasulullah, suami saya ini telah
memukul wajah saya hingga membekas’.Rasulullah SAW pun bersabda, ‘Seharusnya dia
tidak perlu melakukannya’. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Laki-laki (suami)
itu pelindung bagi perempuan (isteri)….(An-Nisa: 34). Riwayat-riwayat ini
menjadi syahid dan saling menguatkan.[11]
D) Tujuan,
Illat, dan Esensi Ayat
Tujuan dari ayat diatas adalah bisa
menjamin kebutuhan rumah tangga yang mana itu pada dasarnya adalah kewajiban
seorang suami, namun tidak menutup kemungkinan isteri mencoba mencari
nafkah untuk menambah pemasukkan rumah tangga.Yang ditekankan pada ayat
tersebut itu berupa kemampuan, bukan pada jenis kelamin.Sedangkan kemampuan itu
dibentuk oleh budaya masyarakat setempat.
Illat dari ayat diatas adalah
mencari nafkah itu wajib demi terciptanya keluarga yang harmonis sesuai yang
dicita-citakan masing-masing keluarga, dan menjunjung tinggi asas keadilan bagi
masing-masing pihak yaitu suami dan isteri
Esensi dari ayat diatas yaitu isteri
wajib taat pada suami, namun bukan karena taatnya isteri kepada suami, suami
bisa berperlaku sesuai apa yang dikehendakinya, tetapi suami diwajibkan untuk
bisa menghargai, dan menghormati istrinya apabila ia taat pada suami.
Sabagaimana yang diwahyukan dalam Al-Quran: Tetapi jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah
Maha Tinggi Lagi Maha Agung ”(An-Nisa:34.
E) Konteks
Sekarang
Melihat paparan dari para ahli
tafsir (mufassirin) secara umum lebih menekankan pada faktor kemampuan dari pada unsur jenis
kelamin.Dengan demikian, pada prisnsipnya siapa pun berhak menjadi pencari
nafkah sepanjang yang bersangkutan mempunyai kemapuan untuk itu.Hanya saja
pencari nafkah ketika itu identik dengan kekuatan otot.Artinya, kekuatan
ototlah yang menjadi unsur pokok untuk dapat menjadi pencari nafkah.Sebab
laki-laki lah yang mempunyai otot yang lebih kuat dari perempuan.[12]
Ada beberapa hal yang penting
dicermati hubungannya dengan pembahasan nafkah. Pertama, disamping
memehamikonteks mikro dari ayat dan sunnah Nabi SAW (Sabab Nuzul dan Sabab
Wurud), yakni kasus yang secara langsung menjadi sebab turun ayat atau Sunnah
Nabi Muhammad SAW, adalah juga penting memahami konteks yang lebih luas dari
nash, yakni konteks masyarakat Arab sebagai objek langsung dari nash sebagai
konteks makro. Konteks makro dimaksud adalah konteks Arab secara luas dan dalam segala kehidupan. Dari sekian
banyak konteks tersebut, diantaranya yang terpenting adalah kondisi masyarakat
Arab dibangun berdasarkan partialkal, dimana kaum laki-laki mendominasi dalam
segala aspek kehidupan.Dampak dari kehidupan ini adalah laki-laki mempunyai
kesempatan yang demikian luas mengembangkan kemampuan fitrah, sementara kaum
wanita tidak. Akibatnya sejumlah kemampuan yang dimiliki laki-laki tidak
dimiliki oleh leh kaum wanita, meski pun secara fitri keduanya sama-sama
mempunyai kapasitas dan kemampuan asal yang sama.[13]
Kedua, ayat-ayat al-Quran yang
berhubungan dengan nafkah turun di masyarakat Arab yang secara umum adalah
masyarakat agraris.Bahkan agraris masyarakat Arab pada saat itu berbeda dengan
agraris pada masa kini. Dimana masa itu adalah masa agraris yang sama sekali belum
mengenal teknologi pertanian. Berbeda dengan masyarakat agraris pada saat ini,
dimana dalam pengolahan lahan pertanian dan perkebunan masyarakat sudah
menggunakan teknologi.Konsekuensinya, untuk mencari nafkah di masa itu
dibutuhkan kekuatan fisik atau otot yang kuat.Kekuatan fisik dan kekuatan otot
dimiliki laki-laki.Dalam konteks seperti inilah ayat turun, yang secara prinsip
menggambarkan kehidupan masyarakat Arab.Untuk menegaskan kembali, pemahaman
terhadap konsep kewajiban mencukupi nafkah yang ada di dalam Al-Quran dan
Sunnah Nabi SAW, seharusnya disesuaikan dengan konteks masa dan kondisi
turunnya ayat dan Sunnah Nabi Muhammad SAW tersebut.[14]
F) Istibat
Hukum Untuk Sekarang
Pada saat ini banyak wanita yang
mampu dan mempunyai potensi untuk masuk dalam lapangan pekarjaan.Sangat
diasayangkan jika pada dasarnya mereka punya potensi di dunia pekerjaan, namun
hal tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, dan hanya disibukkan dengan urusan
dapur, sumur, kasur (sebutan pekerjaan yang dilakukan wanita pada waktu dulu).
Maka dari itu, islam menghapus budaya-budaya yang terkandung ayat-ayat
praktis-temporal dan mengembalikan pada prinsip dasar yang dibangun oleh
ayat-ayat normative-universal, karena ayat itulah yang menjadi tujuan utama
tegaknya syariat islam dimuka bumi ini.
Maka pada akhirnya, pembahasan siapa
yang berhak mencari nafkah itu bukanlah
permasalah laki-laki atau perempuan, namun tergantung kemampuan dari
masing-masing pihak yang akan menjalankan kehidupannya secara bersama. Percuma
jika laki-laki yang diangkat sebagai pemimpin, namun ia tidak menjalankan
fungsinya dengan baik. Amat disayangkan jika ada seorang perempuan yang
mempunyai potensi untuk memimpin, namun hal itu tidak ia laksanakan lantaran
aturan sebagai isteri harus taat pada suami secara mutlak. Dan hal yang
demikian itu tergantung pada kesepakatan yang dibuat antara suami dan isteri
demi terciptanya keluarga yang dicita-citakan secara bersama. Yang menjadi tolak
ukur syariah itu bukan pada bentuk budaya yang terjadi pada masa lampau, akan
tetapi tujuan yang akan dibangun oleh syariat itu bisa membawa maslahat bagi
seluruh umat manusia karena islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan
adanya teori mahar dan nafkah diatas, menunjukkan bahwa pemeberian mahar dari
seorang suami kepada isteri itu meripakan akad kasih sayang, bukan semata-mata
akad kepemilikkan seperti barang dagangan, Dengan adanya pemikiran yang seperti
itu memberikan peluang bagi seirang suami untuk melakukan tindakkan
sewenang-wenang terhadap isteri, karena suami dirasa telah memberikan sesuatu
yang lebih terhadap isteri.
Pemberian
nafkah terhadap keluarga bukan merupakan tanggung jawab seorang suami semata,
melainkan merupakan tanggung jawab
bersama antara suami dan isteri. Konsep fiqih konvensional menunjukkan bahwa yang harus mencari nafkah
adalah seorang suami, sekaligus merupakan tanggung jawab seorang suami terhadap
keluarganya. Jika dikaji dari tinjauan historis hal itu merupakan konteks pada
saat itu, dimana pada saat itu sering terjadi marginalisasi terhadap kaum
wanita, dan kultur masyarakat pada saat itu didominasi oleh para pria. Maka
dari itu, islam memberikan tujuan dari sebuah ayat, bukan bentuk dari ayat.
Oleh karena itu konsep fiqih yang dibuat oleh para ulama harus selalu dikaji
ulang, mungkin saja sesuai untuk saat itu tapi tidak sesuai untuk saat ini.
Sebagai akhir dari kesimpulan, reinterpretasi
terhadap nash sangat diperlukan pada saat ini. Tanpa adanya reinterpretasi ayat
yang ada pada al-Quran dan hadist akan mengalami kemandeggan untuk selalu
berinteraksi dengan perubahan zaman yang sangat berbeda dari satu massa ke
massa yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1,
Yogyakarta: ACAdeMIA
& TAZAFFA, 2005
Jalaludin
as-Suyuti, Sebab Turunnya Ayat al-Quran, Jakarta: Gema Insani, 2008
Abul
A’la al Maududi, Pedoman Perkawinan dalam Islam: Dilengkapi Dengan Studi Kasus tentang Hukum Perkawinan
dan perceraian, Jakarta: Dar al
Ulum, 1994
[5]
Jalaludin as-Suyuti, Sebab Turunnya Ayat al-Quran, (Jakarta: Gema
Insani, 2008)., hlm 151
[7]Khoiruddin
Nasution, Hukum Perkawinan1, (Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA,
2005)., hlm 166
[8]Abul
A’la al Maududi, Pedoman Perkawinan dalam Islam: Dilengkapi Dengan Studi Kasus tentang Hukum Perkawinan
dan perceraian, (Jakarta: Dar al
Ulum, 1994), hlm 85
[11]Ibid,
hlm 162-163
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda