Kehidupan Kedua
Masa lalu, sesuatu
yang telah terjadi dan tak dapat kembali, namun sering kali disesali bagi setiap
insan. Masa lalu, sesuatu yang seringkali diratapi oleh kebanyakan manusia
entah apa sebabnya. Manusia hanya bisa berharap, bahwa masa lalu akan kembali,
seketika dia berjanji akan memperbaiki diri dan memanfaatkan hal itu dengan
sebaik-baiknya. Nyatanya masa lalu tak akan kembali, manusia hanya bisa larut
dalam bayang-bayang semu, manusia hanya bisa berharap dalam angan-angan yang
kosong.
Ketahuilah, aku
merupakan satu dintara ratusan juta manusia yang berharap bahwa masa lalu akan
kembali. Hadir dengan beragam kesempatan, sehingga aku bisa mengambil salah
satu kesempatan itu dan kelak tak akan ada lagi penyesalan ketika dia pergi.
Kisahku berawal ketika usiaku mulai beranjak dewasa.
11 Tahun Lalu
Setelah Konser
Mataku berkunang-kunang, badan terasa melayang, dan segala sumpah
serapah keluar dari mulut kotorku. Beberapa botol minuman keras telah kuminum
“Panitianya tolol!
bisa-bisanya band kita dibayar cuma lima juta, padahal kita nampilin tujuh
lagu.” Aldi sepintas seperti marah, nyatanya setelah bersumpah serapah, dia
terbahak-bahak layaknya manusia paling bahagia sedunia.
“Tujuh lagu?
Harusnya kita dibayar dua puluh juta. Hahaha.”
“Percuma juga kalo
dibayar dua puluh juta tapi ternyata itu uang monopoli. Haha.”
Aku menimpali
candaan teman-temanku tanpa kesadaran utuh. Pikiranku kini benar-benar
melayang. Sesengguhnya kepalaku benar-benar pusing, namun saat menegak minuman
haram itu aku benar-benar merasa bahagia. Bagiku, menegak minuman keras adalah
salah satu dosa terindah dalam hidup yang pernah kulakukan. Terima kasih Tuhan,
kau ciptakan dosa yang berujung pada kenikmatan. Masih ada dosa lain yang belum
kuperbuat. Izinkan aku mencicipi seluruh dosa yang Kau ciptakan.
Perlahan, aku tak
sadarkan diri. Tidur pulas dalam ilusi kebahagiaan, dan berharap esok atau lusa
akan kembali mengulang perbuatan yang sama, tentunya disertai dengan dosa indah
lainnya.
****
11 Tahun Lalu
Setelah Konser Malam Itu
Pagi-pagi buta aku mulai tersadar. Aku terbaring diatas ranjang,
masih menggunakan pakaian konser lengkap. Aku tak tahu siapa yang membawaku
kesini tadi malam, yang jelas pikiranku kacau sekali. Aku masih belum beranjak
dari tempat tidur, kepalaku sakit sekali seperti habis dihantam palu.
Teman-temanku? Ah biarkan saja, mungkin mereka berada di kamar masing-masing.
Dalam keadaan
terbaring kulihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB,
sebenarnya aku harus bersiap-siap pulang ke rumah lepas konser, namun nyataanya
aku belum melakukan persiapan apa pun.
“Tok, tok.” Suara
pintu kamarku diketuk.
“Masuk.” Jawabku.
Pintu perlahan
terbuka.
“Makan pagi sudah
siap, tinggal nunggu mas Aji dan kawan-kawan. Apa...” Suara panitia terpotong.
“Nanti dulu mas,
aku baru bangun. Ini mau siap-siap dulu, ntar aku bakalan nyusul ke ruang
makan.”
“Oke mas.” Si
panitia pamit mohon izin.
Kuambil hp dan
kuhubungi no Aldi.
“Halo Ji?”
“Ya halo, kamu
dimana?”
“Aku di kamar,
lagi beres-beres baju.”
“Oke. Kalo udah
beres, kita langsung ke ruang makan. Kita makan, habis itu kita ambil honor
konser, terus kita pulang ke Jogja.”
“Siap bos.”
“Temen-temen yang
lain mana?”
“Di kamar, mereka
lagi beres-beres.”
“Oke. Aku mandi
dulu.”
Kututup hpku dan aku pun langsung ke kamar
mandi. Tanpa berlama-lama aku keluar dari kamar mandi. Kubereskan semua barang
yang masih berantakan. Kututup tas, namun mataku tertuju pada sebuah botol
anggur di dekat lemari. Dalam hatiku berkata:
“Ternyata masih
ada satu botol anggur, lumayan buat ngeflay dari Jakarta sampe Jogja.”
Kumasukkan botol
anggur tersebut ke dalam tas.
Di ruang makan
sudah berkumpul teman-temanku. Semuanya sedang asyik makan. Di atas meja
terhidang berbagai macam makanan lezat seperti ayam bakar, sate ayam, dan
berbagai macam hidangan lain.
“Ji, langsung
makan sini.”
Tanpa disuruh dua
kali aku mengambil ayam bakar. Segera kumakan, namun ayam yang kumakan rasanya
tak cocok dilidahku. Entah mengapa saat itu dengan santai aku mencela makanan
tersebut, sekaligus mencela orang yang membuat makanan itu.
“Busyet ayamnya
hambar baget, enggak enak, jadi males makan. Ni siapa sih yang buat? Kalo kaya
gini mendingan aku ngerokok aja.”
Teman-temanku
saling menatap dan tidak ada yang berani menegurku. Panitia yang mengurus
bagian konsumsi mendekat dan hanya minta maaf kepadaku. Aku pun dengan santai mengolok-olok
bahwa panitia kurang becus dan profesional dalam menjamu bandku. Panitia lagi-lagi
hanya minta maaf. Ini bukan pertama kalinya aku marah-marah ke panitia, setiap
kali konser pasti ada saja hal sepele yang membuatku marah, sebenarnya bukan
karena mereka tak becus menjamu, tapi karena sifat tempramentalku yang tak bisa
terkontrol.
Usai makan aku dan
teman-teman masuk ke ruangan utama untuk mengambil honor konser. Tanpa mengucap
terima kasih kita semua langsung menuju ke mobil. Aldi yang mengemudi mobil dan
aku duduk disebelahnya. Perjalanan panjang dari Jakarta menuju ke Jogja dimulai,
teman-teman mulai bercerita hal apa saja yang singgah dalam benak mereka. Aldi
cerita semangat sekali, namun dia tidak kehilangan fokus mengemudi. Tetap
lihai, cekatan, dan terampil. Agar susana lebih cair, kukeluarkan botol anggur.
“Guys, anggurku sisa
satu nih.”
Aldi langsung
mengambil botol dariku, dan langsung menegak dalam jumlah banyak.
“Gila! Kamu kan lagi nyetir.”
“Udah santai aja
yang penting happy.”
Satu persatu
temanku menegak anggur yang kubawa. Tak lama kemudian rasa sakit di kepala
mulai terasa. Kulihat teman-teman yang berada di kursi belakang sudah mulai
tertawa sendiri dan mulai ngawur bicaranya. Aku lihat Aldi masih sadar, namun
beberapa kali dia mulia memegang kepalanya.
“Ji, kepalaku
pening banget.”
“Al, kepalaku juga
pening. Kayaknya kita perlu berhenti deh.”
“Kita ada di jalan
tol Ji, enggak bisa berhenti sembaranngan.”
“Sebaiknya kita
cari tempat istirahat. Kita berhenti dan istirahat disana sampe keadaan membaik.”
Aldi hanya tertawa
sendiri, dia menekan gas sampai diatas 80 km/jam.
“Al, segera ambil
lajur kiri, kurangi kecepatan.
Mobil melaju
kencang namun lama kelamaan terlihat tak seimbang. Aku mulai panik namun Aldi
justru tertawa. Dia menyalip setiap kendaraan yang dilewati dengan kecepatan
diatas 100 km/jam. Kini aku benar-benar panik, karena di depan ada sebuah truk
besar dengan kecepatan sedang, sedangkan cara menyetir Aldi tak lagi stabil,
dia salip truk tersebut dari sisi kanan, namun sayangnya dari belakang mobil
ada sebuah bus yang akan menyalip mobil kita dari sisi kanan. Aldi dan aku
kaget, dengan cepat bus menabrak sisi belakang mobil. Kita pun terpental lalu
mengenai pembatas tol. Saat itu, aku mulai mengerti bahwa kehidupan amat
berarti, sedangkan maut begitu kejam, tak memandang kapan dan dimana dia akan
hadir mencabut nyawa manusia.
Mobil yang kita
naiki dalam keadaan terbalik. Aku masih setengah sadar. Kulihat wajah Aldi
penuh dengan darah. Seluruh tubuhku mati rasa, dan keningku pun penuh dengan
darah. Sebelum semuanya gelap, hatiku berkata:
“Tuhan, ampuni
aku. Jika kau berkenan, berikanlah kesempatan kepadaku sekali lagi, maka aku
akan...”
Tiba-tiba semua
gelap.
11 Tahun Lalu
di Rumah sakit
Mataku perlahan membuka. Hidungku diberi alat bantu pernafasan.
Balutan perban memenuhi kepala, kaki dan tangan. Tidak hanya itu, seluruh
tubuhku rasanya sakit seperti ditindihi beban beratus-ratus kilo. Disamping
kanan terlihat beberapa orang menangis. Tak jelas siapa mereka karena
penglihatanku masih kabur.
“A...ku... la...gi
di... mana?”
Perempuan di
samping kananku menjawab sesenggukan.
“Ka...mu sedang di
rumah sakit nak.”
“Al...di...Al...di
di...mana?”
“Ka...mu istirahat
du...lu... ya nak. Aldi dan yang lain sedang istirahat.” Perempuan itu masih
menjawab dengan sesenggukan.
“Syu...kurlah...
ka...lo... me...re...ka baik.”
Perlahan ingatanku
mulai kembali. Masih teringat jelas detik-detik sebelum terjadinya kecelakaan.
Tak menyangka bahwa maut hampir saja merenggunt nyawaku. Air mata jatuh ke
pipi, dan Aku pun menangis sejadi-jadinya. Orang-orang disekitar hanya bisa
menatapku dengan tatapan nanar. Semuanya terdiam membiarkanku menangis.
****
Kenapa? Kenapa
semua harus berakhir seperti ini? Mendengar pernyataan dari orang tuaku
benar-benar membuat hati ini pilu. Keempat temanku semuanya meninggal dalam
tregedi kecelakaan itu, termasuk sahabat baikku Aldi. Semuanya meninggal dalam
keadaan yang mengenaskan. Tubuh mereka hancur dan menurut keterangan dokter,
mereka semua meninggal ditempat. Hanya aku sendiri yang masih hidup. Mengapa
hanya aku? Bukankah lebih baik jika aku mati sedangkan mereka masih hidup?
Tuhan, mengapa
hidup teman-teman harus berakhir sampai disini? Tak bisakah kau mengulur
sedikit waktu, agar aku bisa memberikan sedikit tanda perpisahan kepada mereka?
Semuanya telah berakhir, lagi-lagi aku mengutuk langit dan seisinya karena
harus berpisah dengan teman-temanku.
Malam
ini di angkringan
Kejadian sebelas tahun lalu membuatku berubah. Sebelum kecelakaan
terjadi, aku pernah berkata dalam hati:
“Tuhan, ampuni aku. Jika kau berkenan, berikanlah kesempatan
kepadaku sekali lagi, maka aku akan...”
Kalimat itu sempat terpotong dan sebenarnya masih ada
kelanjutannya, namun kalimat itu belum sempat terucap karena bus telah menabrak
mobil yang aku tumpangi. Sebenarnya, kalimat itu berbunyi:
“Tuhan, ampuni aku. Jika kau berkenan, berikanlah kesempatan
kepadaku sekali lagi, maka aku akan hidup lebih baik dari sekarang ini.”
Kecelakaan parah yang membuatku koma tiga hari, serta luka lain di
sekujur tubuh membuatku sadar bahwa hidup hanya sekali. Tak dapat diulangi dan
tak dapat kembali. Oleh karena itu akan kumanfaatkan hidupku dengan
sebaik-baiknya.
Sudah sebelas
tahun lamanya aku tak menyentuh lagi minuman keras. Sudah sebelas tahun lamanya
aku tak bermain musik. Bandku sudah lama bubar, dan kini aku sibuk dengan dunia
wirausaha kecil-kecilan. Setiap malam aku berjualan makanan di angkringan
bersama istriku, walaupun hasil tak besar namun aku merasa bahagia dan tenang.
Sebab, hasil besar tak menjamin kebahagiaan seseorang dan hasil kecil tak
menjamin kesedihan pada manusia. Semua tergantung pada masing-masing individu.
Jika seseorang dapat mensyukuri nikmat, maka Tuhan akan menambah nikmat-Nya,
tetapi jika seseorang mengeluh maka Tuhan akan menyempitkan nikmat-nikmat
dari-Nya.
Ketahuilah, kini
aku pun menjadi penganut agama yang baik. Setiap hari aku melaksanakan shalat,
setiap tahun aku berpuasa selama satu bulan penuh, setiap tahun aku juga
berzakat, dan aku sudah mulai menabung untuk bisa pergi haji ke tanah suci. Tak
lupa pula setiap hari aku mendoakan teman-teman satu bandku, agar bisa
meninggal dengan tenang dan bisa diterima di sisi-Nya.
Masa lalu memang
tak bisa diulang dan hanya bisa dikenang, namun kita masih punya masa depan
yang menjanjikan perubahan, tentunya bagi siapa saja yang mau. Mungkin
teman-temanku sudah tiada dan tak bisa kembali hidup di dunia ini, namun
setidaknya aku masih diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bisa mendoakan
mereka dari tempat dan waktu yang berbeda. Kini aku tak mengharapkan masa lalu
bisa terulang kembali, aku hanya berharap bisa menjadi seseorang yang lebih
baik di masa mendatang.
“Pak.”
“Iya mas.” Aku
tersadar dari lamunanku.
“Pak, kopinya satu
ya diminum disini.”
“Baik mas.
Sebentar ya, saya buatkan dulu.”
Beginilah
kehidupanku setiap malam. Melayani pelanggan dengan hati tenang dan tak akan
pernah lagi berhadapan dengan dunia serba hitam. Kuharap, aku bisa terus
konsisten menjalankan kebaikan tidak hanya untuk diriku namun juga untuk
orang-orang disekitar.
TAMAT
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda