Jumat, 02 Maret 2012

Pembahasan Tentang Thalaq, Iddah, dan Rujuk



                               THALAQ
HADIST
وَفِي لَفْظٍ لِأَحْمَدَ : ( طَلَّقَ أَبُو رُكَانَةَ اِمْرَأَتَهُ فِي مَجْلِسٍ وَاحِدٍ ثَلَاثًا , فَحَزِنَ عَلَيْهَا , فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنَّهَا وَاحِدَةٌ ) وَفِي سَنَدِهَا اِبْنُ إِسْحَاقَ , وَفِيهِ مَقَالٌ
وَقَدْ رَوَى أَبُو دَاوُدَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ أَحْسَنَ مِنْهُ : ( أَنَّ رُكَانَةَ طَلَّقَ اِمْرَأَتَهُ سُهَيْمَةَ اَلْبَتَّةَ , فَقَالَ : وَاَللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِهَا إِلَّا وَاحِدَةً, فَرَدَّهَا إِلَيْهِ اَلنَّبِيُّ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ )
Dalam suatu lafadz riwayat Ahmad: Abu Rakanah menceraikan istrinya dalam satu tempat tiga talak, lalu ia kasihan padanya. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: "Yang demikian itu satu talak." Dalam dua sanadnya ada Ibnu Ishaq yang masih dipertentangkan.
Abu Dawud meriwayatkan dari jalan lain yang lebih baik dari hadits tersebut: Bahwa Rakanah menceraikan istrinya, Suhaimah, dengan talak putus (talak tiga). Lalu berkata: Demi Allah, aku tidak memaksudkannya kecuali satu talak. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengembalikan istrinya kepadanya.
PENGERTIAN
   Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau ikatan tawanan ataupun ikatan ma’nawi seperti nikah.[1]
   Menurut istilah talak ialah melepaskan ikatan dan membiarkan lepas. Oleh karena itu dikatakan unta yang lepas. Artinya unta yang dibiarkan tergembala kemana saja di kehendaki.[2]
Menurut syara’ talak ialah nama untuk melepaskan tali ikatan nikah dan talak itu adalah lafadz jahiliyah
Yang setelah islam datang menetapkan lafadz itu sebagai kata melepas nikah. Dalil-dalil tentang talak adalah berdasar Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’ ahli agama dan ahlus sunnah.[3]
Menurut Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafal yang khusus.
Menurut mazhab Syafi'i, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan itu.
Menurut ulama Maliki, talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.
Istinbat Hukum
Agama Islam memandang ikatan perkawinan atau pertalian suami isteri sebagai ikatan yang suci dan kokoh, sebagaimana firman Allah SWT dala surat an-Nisa ayat 21
“Dan isteri-isteri mereka telah mengambil dari kamu janji yang kuat”
Dalam kitab Tafsir al-Maraghi, Katadah mengatakan bahwa janji yang kuat ini adalah “janji Allah untuk wanita, kewajiban laki-laki yaitu laki-laki tersebut harus imsakum bil ma’ruf au tasrihun bi ihsan, merujuki isteri dengan baik atau melepaskannya dengan baik pula.”
Al-Ustadz Al-Imam mengatakan bahwa janji ini adalah janji yang sesuai dengan pelaksanaan kehidupan keduanya yang merupakan keadaan fitrah yang salimah, sebagaimana disyaratkan oleh Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21.
Cerai dibolehkan dalam islam, tetapi sangat dibenci oleh Allah sebagai mana Rasulullah SAW bersabda:

أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَقُ                       
"Thalaq adalah sesuatu yang halal tetapi paling dibenci di sisi Allah" (HR Ibnu Majah dan Ibnu Mjah)
Dalam redaksi Imam al-Hâkim, 

مَا أَحَلَّ اللهُ شَيْئًا أَبْغَضُ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاَقِ
"Tidak ada sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah tetapi paling dibenci-Nya selain thalaq." 
Dari hadist diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa sebagai umat muslim seharusnya  tidak melakukan sesuatu yang dibenci Allah, dan menghindari hal tersebut. Menurut hemat penulis, seorang muslim diperbolehkan melakukan hal tersebut jika tidak ada jalan keluar yang lain, dan hanya hal itu yang bisa menjadi solusi dari segala permasalahan rumah tangga yang ada.
Talak menjadi wajib hukumnya apabila suami telah meng’lak isterinya dan telah habis masa tenggang waktu tunggu 4 bulan. ‘Ilak artinya suami bersumpah tidak akan mencampuri isterinya. Dengan sumpah ini seorang isteri menderita karena tidak disetubuhi dan tidak pula dicerai.
Talak juga wajib dijatuhkan oleh suami apabila hakam atau penengah antara perpecahan suami isteri menganggap bahwa permasalahan suami isteri itu sudah berat dan tidak ada jalan lain kecuali bercerai.   
Talak menjadi sunnah hukumnya apabila isteri mengabaikan kewajiban-kewajiban kepada Allah seperti mengabaikan kewajiban shalat, puasa dan sebagainya. Sedangkan suami tidak mampu memaksanya agar ia mau menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut. Talak juga menjadi sunnah hukumnya bila isteri tidak mempunyai rasa malu, isteri telah rusak, misalnya isteri telah berbuat zina.
Pendapat Ulama
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum talak ini. Golongan Hanafi dan Hanbali mengatakan hukum talak itu terlarang kecuali dalam keadaan darurat. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW:“Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai dan bercerai, yaitu orang yang suka kawin dan cerai”
Alasan lain golongan ini melarang perceraian kecuali dalam keadaan darurat adalah sabda Rasulullah SAW:
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَقُ
"Thalaq adalah sesuatu yang halal tetapi paling dibenci di sisi Allah" (HR Ibnu Majah dan Ibnu Mjah)
Takhrijul Hadist
Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits ini; ada yang menilainya shahih dan menjadikannya sebagai hujjah dan ada pula yang menilainya lemah (Dla’if) dan berhujjah dengan hadits yang bertentangan dengannya. Dari perbedaan ini timbul perbedaan para ulama mengenai hukum masalah yang ada di dalam hadits ini.
   Bagi para ulama yang menilainya shahih, mereka berargumentasi: Abu Daud berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dari hadits Ibn Juraij yang didalamnya berbunyi, ‘Sesungguhnya Rukanah telah menalak isterinya dengan talak tiga (sekaligus).’”
Ibn Majah berkata, “Aku mendengar ath-Thanaafisi berkata, ‘Alangkah mulianya hadits ini.’ Ini menjelaskan betapa sanadnya begitu mulia dan banyak faedahnya.”
Sementara para ulama yang menilainya lemah, termasuk di antaranya Ibn al-Qayyim berargumentasi: hadits tersebut dinilai lemah oleh Imam Ahmad. Syaikh kami (maksudnya, Ibn Taimiyyah-red) berkata, ‘Para ulama tokoh dan besar yang sangat mengenali ‘illat-‘illat hadits seperti Imam Ahmad, al-Bukhary, Ibn ‘Uyainah dan ulama lainnya menilai lemah hadits Rukanah tersebut. Demikian juga, Ibn Hazm. Mereka mengetakan, ‘Para periwayatnya adalah sekelompok orang yang masih anonim (tidak diketahui), tidak dikenal keadilan dan kekuatan hafalan mereka. Imam Ahmad berkata, ‘Hadits Rukanah tidak valid.’”
Imam at-Turmudzy berkata, “Hadits ini tidak dikenal kecuali dari jalur ini saja. Aku pernah menanyakan kepada al-Bukhari mengenainya, maka ia berkata, ‘Itu hadits Muththarib.’ (bagian dari hadits Dla’if/lemah).
Syaikh al-Albani berkata, “Alhasil, hadits tersebut Dla’if sedangkan hadits Ibn ‘Abbas lainnya yang bertentangan dengan makna hadits tersebut lebih kuat darinya.
                                                   IDDAH
Hadist
اَماَانْتَ طَلقْتهاَوَاحِدَةًاَوِاثْنَتيْنِ فَاِنَّ رسوْلَ اللّهِ صل الله عليه وسّلم اَمَرَنِى اَنْ اُرَا جعَهَاثُمَّ اَمْسِكْهَا حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً اخْرى ثُمَّ اَمْهِلْهَا حَتَّى تطْهُرَ ثُمَّ اُطَلِّقًهَا قَبْلَ اَنْ اَمَسَّهَا وَاَمَّااَنْتَ طَلَّقَهَا ثَلَاثًافَقَدْعَصَيْتَ رَبَّكَ فِيْهَاامَرَكَ بِهِ مِنْ طَلَاقَ امْرَاَتِكَ. (رواه مسلم)
Artinya: Engkau menthalaq sekali atau dua kali, karena sesungguhnya Rosululloh SAW menyuruh saya kembali kepadanya, kemudian saya menahannya, hingga dia berhaid sekali lagi, kemudian saya biarkan dia suci, kemudian saya mentalaqnya sebelum saya menyetutubuhinnya. Apalagi engkau telah mentalaqnya tiga kali, maka sungguh engkau maksiat kepada Tuhanmu dalam suatu yang telah Dia perintahkan mengenai talaq isterimu.”
Pengertian
Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci.

Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

Istinbat Hukum
a. bagi seorang isteri yang putus perkawinannya brlauku waktu tunggu (iddah) kecuali bagi yang belum pernah digauli dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
b. waktu tunggu idddah bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
1). Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun isteri belum digauli (qablad dukhul) maka waktu tunggunya (iddah) adalah 4 bulan 10 hri atau 130 hari.
Firman Allah SWT:
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[4] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Qs. Al-Baqarah :234).
Isteri yang kematian suaminya beridddah walaupun belum pernah digauli, adalah untuk menyempurnakan dan menghargai hak suami yang meninggal tersebut.
2). Apabila perkawinan putus karena perceraian
Waktu tunggu yang masih haid atau masih datang bulan ditetapkan 3kali suci atau haid kali haid (menurut khilafah para mazhab) dan bagi yang tidak haid atau tidak datang bulan lagi ditetapkan 3bulan atau 90 hari.
Firman Allah SWT.:
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[5]. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[6]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Firman Allah SWT.:
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”(QS. At-Thalaq:4)
3). Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu yang ditetapkan sampai ia lahir.
Firman Allah SWT.: pada QS. At-Thalaq: 4 diatas
4). Apabila perkawinan putus karena, sedang  janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu iddahnya ditetapkan sampai ia melahirkan..
Dalilnya yaitu: pada at-Thalaq:4 tersebut diatas dan hadist yang berkenaan dengan Suba’ah Al-Aslaimiyah melahirkan kandungannya setelah 40 hari dari wafat suaminya, lalu ia memohon izin kepada Rosululloh SAW untuk kawin dan beliau mengizinkannya.
Waktu iddah bagi isteri yang putus perkawinan karena khulu’, fasakh dan berlaku iddah talaq.

Pendapat Ulama
Dalam hal ini, definisi ulama’ Shafi'iyyah tentang 'iddah layak diperhatikan
مدة تتربص فیھا المرأة لمعرفة براءة رحمھا او للتعبد او لتفجعھا علي زوزها
"Masa menunggunya seorang wanita untuk mengetahui kebersihan rahimnya (dari janin), atau untuk beribadah, atau untuk menunjukkan rasa sedih wanita (atas meninggalnya) suaminya”.
Definisi tersebut mengisyaratkan adanya 3 (tiga) fungsi 'iddah yakni :
untuk bara'ah al-rahim (mengetahui kosongnya rahim), untuk ta’abbud (pengabdian kepada Allah), dan untuk tafajju’ (berbela sungkawa atas kematian suami).
Sejalan dengan ini, definisi kelompok Hanfiyah mengajukan definisi sebagai berikut :
اجل ضرب لانقضاء ما بقى من اثار النكاح او الفراش مدةود
Berdasarkan uraian di atas, secara ringkas, dapat ditarik satu benang merah bahwa tidak mudah mematrik pengertian 'iddah dalam suatu ungkapan. Disamping itu, tampak pula bahwa terdapat beberapa sebab, akibat dan fungsi 'iddah. Akan tetapi, yang jelas kewajiban ber'iddah hanya dikenakan kepada wanita, tidak kepada laki-laki ,Kecuali itu, para ulama’ sepakat bahwa wanita yang diceraikan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, diwajibkan menjalani 'iddah.

Takhrijul Hadist
Dalam riwayat Abu Daud : “Faraddaha ‘alayya walam yaraha syai’an” (lalu beliau mengembalikannya kepada saya dan beliau tidak melihatnya suatu keberatan). Sanadnya sama dengan syarat hadis shahih. Hanya saja menurut kata Ibnu Abdul Barri tentang sanadnya “walam yaraha syai’an” itu adalah munkar (hadis munkar ialah hadis yang pada sanadnya ada perawi yang banyak salahnya atau dua hadis lemah yang bertentangan). Hadis itu tidak diriwayatkan oleh selain Abu Zubair dan tidak dapat dijadikan hujjah sesuatu yang bertentangan seperti itu. Lalu bagaimana dengan orang yang menetapkannya ? seandainya hadis itu shahih, maka maknanya adalah hanya Allah yang Maha Mengetahui. Tidak melihatnya sesuatu yang lurus/benar, karena terjadi berdasarkan sunnah.
Kata al-Khatabi : kata ahli hadits : Abu Zubair tidak meriwayatkan hadis yang lebih munkar dari hadits ini. Dan mungkin juga maknanya : Beliau tidak suatu ruju’ itu haram, atau beliau tidak melihatnya sesuatu yang boleh dalam sunnah, sudah berlaku dalam pilihan sekalipun hal itu adalah lazim. Al-Baihaqi meriwayatkan dalam “Al Ma’rifah dari Syafi’i, bahwa setelah beliau menyebutkan riwayat Abu Zubair itu, maka beliau berkata : Nafi’ telah menetapkannya dari Abu Zubair dan yang paling jelas dari kedua hadis tersebut lebih utama diambil apabila keduanya bertentangan. Dan orang yang menyepakati Nafi’ itu bukan termasuk orang yang mempunyai kemampuan penetapan itu, kata Syafi’i : ditafsirkan sabdanya : “walam yaraha syai’an” itu bahwa beliau tidak melihatnya suatu kebenaran, tidak salah, tetapi beliau menyuruh pelakunya tidak boleh menetap padanya, karena sesungguhnya beliau telah menyuruhnya kembali.
                                                   RUJUK
Hadist
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; ( أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ اَلرَّجُلِ يُطَلِّقُ, ثُمَّ يُرَاجِعُ, وَلَا يُشْهِدُ? فَقَالَ: أَشْهِدْ عَلَى طَلَاقِهَا, وَعَلَى رَجْعَتِهَا )  . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ هَكَذَا مَوْقُوفًا, وَسَنَدُهُ صَحِيحٌ .
Artinya: Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu pernah ditanya tentang orang yang bercerai kemudian rujuk lagi tanpa menghadirkan saksi. Ia berkata: Hadirkanlah saksi untuk mentalaknya dan merujuknya. Riwayat Abu Dawud secara mauquf dan sanadnya shahih.

Pengertian
Rujuk berasala dari kata raja’a, yarji’u, ruju’an yang berarti kembali atau mengembalikan.
Rujuk menurut istilah adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan isterinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
Istibath Hukum
Dasar hukum rujuk terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228, 231 seperti yang telah dikutip sebelumnya ini dan sabda Rosululloh SAW yang berkenaan dengan hadist dari Ibn Umar RA bahwa ia mentalaq isterinya di waktu haid, lalu Umar bertanya kepada Rosululoh SAW perihal tersebut, lalu beliau bersabda kekpada Umar untuk memerintahkan kepada anaknya itu agar dia merjuki isterinya. (HR. Muslim)

Pendapat Ulama
Persaksian atas ruju’ jelas apabila dengan ucapan yang jelas (terus terang bukan dengan sindiran). Mereka ulama sepakat ruju’ itu dengan ucapan. Mereka masih berbeda pendapat, apabila ruju’ itu adalah dengan perbuatan (lansung mencampuri isteri). Kata Syafi’i dan Imam Yahya : sesungguhnya perbuatan (langsung menyetubuhinya) itu haram, tidak halal bekas isterinya itu dengan langsung mencampurinya, karena Allah manyebutkan perintah persaksian itu, dan kesaksian itu tidak terjadi kecuali dengan ucapan. Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Yahya itu dibantah dengan alasan sesungguhnya tidak berdosa bagi suami, sebab Allah sudah berfirman (dalam surat Al Mu’minun : 6. “Illa ‘ala Azwajihim” (kecuali terhadap isteri-isteri mereka). Sedang yang dirujuki itu adalah isterinya, dan persaksian waktu ruju’ itu tidak wajib sebagaimana sudah dijelaskan.
Kata jumhur ulama, sah ruju’ dengan perbuatan (langsung mencampurinya). Mereka berselisih pendapat apakah di antara syarat perbuatan itu harus dengan niat? Kata Imam Malik : tidak sah ruju’ dengan perbuatan itu kecuali dengan niat, seakan-akan dia berkata demikian itu berdasarkan keumuman hadis tentang niat itu. Kata mayoritas ulama : sah ruju’ tanpa niat, karena bekas isteri yang masih dalam masa iddahnya itu masih dianggap isteri menurut hukum syara’, masuk dalam firman Allah (dalam surat Al Mu’minun :6) “kecuali kepada isteri-isteri mereka”. Dan tidak disyaratkan niat untuk mencampuri isteri, menciumnya dan selain keduanya menurut ijma’ ulama.

Takhrijul Hadist
Al Baihaqi meriwayatkannya dengan susunan matan : “sesungguhnya Imran bin Husain ditanyai tentang orang yang ruju’ kepada isterinya tanpa saksi, lalu dia berkata : Dia sudah ruju’ bukan berdasarkan sunnah, maka hendaklah dia persaksikan sekarang. At Thabrani menambahkan dalam riwayatnya : dan hendaklah mohon ampun kepada Allah.
Hadits itu menunjukkan syari’at ruju’ itu. Dasar hukumnya firman Allah (dalam surah Al-Baqarah : 229) : “Wa Bu’u lauhunna Ahaqqu Biraddihinna” (suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka). Ulama telah sepakat bahwa suami mempunyai hak untuk kembali kepada isterinya dalam talaq raj’i (talaq satu dan dua), selama isterinya masih dalam masa iddahnya, tanpa perlu kerelaannya dan tanpa kerelaan walinya, apabila talaq itu terjadi setelah persetubuhan. Hukum tentang sahnya ruju’ itu adalah disepakati ulama, tidak diperselisihkan lagi.
Hadits tersebut menunjukkan kepada apa yang telah ditunjukkan oleh ayat 2 surat At Thalaq, yaitu firman-Nya : “Persaksikanlah pada dua orang saksi”. Perintah itu setelah sebutan talaq sebelumnya. Zhohir perintah itu menunjukkan wajib mempersaksikan ruju’ itu. Demikian menurut pendapat Imam Syafi’i dalam pendapatnya yang lama (qaul qadimnya) dan seakan-akan beliau menetapkan pendapatnya, tidak wajibnya mempersaksikan talaq itu. Sesungguhnya kata Al Murzi’i dalam “Tafsir Al Bayan” : ulama telah sepakat bahwa talaq tanpa persaksian adalah boleh, mengenai ruju’, mungkin sesungguhnya adalah sama dengan talaq itu, karena alasan bahwa ruju’ itu adalah hak suami. Tidak wajib dia persaksikan untuk mencampuri kembali isterinya itu. Mungkin juga wajib persaksian itu sesuai dengan zohir perintah ayat tersebut.
Hadits tersebut mungkin hanya pendapat Imran sendiri sebagai ijtihad beliau, karena bagi ijtihad itu tentang masalah itu diberi keluasan. Hanya saja perkataannya : “dia sudah ruju’ bukan berdasarkan sunnah” itu, terkadang dikatakan : Sesungguhnya istilah “sunnah” itu apabila diungkapkan secara umum dalam ucapan sahabat, maka dimaksudkan dengannya adalah sunnah Nabi saw. sehingga hadis itu bersambung sanadnya hingga Nabi saw. Hanya saja hadis itu tidak menunjukkan wajibnya karena ada keraguan keadaan sunnah Nabi saw. antara wajib dan sunnah.






[1]  Djaman Nur, Fiqih Munakahat (Semarang, 1993), hlm 134
[2]  Ibid, hlm 134
[3]  Ibid, hlm 135
[4] ]  Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.

[5] Quru' dapat diartikan Suci atau haidh.
[6] hal Ini disebabkan Karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda