Pembahasan Tentang Thalaq, Iddah, dan Rujuk
THALAQ
HADIST
وَفِي لَفْظٍ
لِأَحْمَدَ : ( طَلَّقَ أَبُو رُكَانَةَ اِمْرَأَتَهُ فِي مَجْلِسٍ وَاحِدٍ
ثَلَاثًا , فَحَزِنَ عَلَيْهَا , فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم فَإِنَّهَا وَاحِدَةٌ ) وَفِي
سَنَدِهَا اِبْنُ إِسْحَاقَ , وَفِيهِ مَقَالٌ
وَقَدْ رَوَى أَبُو
دَاوُدَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ أَحْسَنَ مِنْهُ : ( أَنَّ رُكَانَةَ طَلَّقَ
اِمْرَأَتَهُ سُهَيْمَةَ اَلْبَتَّةَ , فَقَالَ : وَاَللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِهَا
إِلَّا وَاحِدَةً, فَرَدَّهَا إِلَيْهِ اَلنَّبِيُّ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ )
Dalam suatu lafadz riwayat Ahmad: Abu Rakanah menceraikan istrinya
dalam satu tempat tiga talak, lalu ia kasihan padanya. Maka Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: "Yang demikian itu satu
talak." Dalam dua sanadnya ada Ibnu Ishaq yang masih dipertentangkan.
Abu Dawud meriwayatkan dari jalan lain yang lebih baik dari hadits
tersebut: Bahwa Rakanah menceraikan istrinya, Suhaimah, dengan talak putus
(talak tiga). Lalu berkata: Demi Allah, aku tidak memaksudkannya kecuali satu
talak. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengembalikan istrinya
kepadanya.
PENGERTIAN
Talak menurut bahasa adalah
membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau ikatan tawanan ataupun
ikatan ma’nawi seperti nikah.[1]
Menurut istilah talak ialah
melepaskan ikatan dan membiarkan lepas. Oleh karena itu dikatakan unta yang
lepas. Artinya unta yang dibiarkan tergembala kemana saja di kehendaki.[2]
Menurut syara’ talak ialah nama untuk melepaskan tali ikatan nikah
dan talak itu adalah lafadz jahiliyah
Yang
setelah islam datang menetapkan lafadz itu sebagai kata melepas nikah.
Dalil-dalil tentang talak adalah berdasar Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’ ahli
agama dan ahlus sunnah.[3]
Menurut Ulama
mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa talak adalah pelepasan ikatan
perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafal yang
khusus.
Menurut mazhab
Syafi'i, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna
dengan itu.
Menurut ulama
Maliki, talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan
hubungan suami istri.
Istinbat
Hukum
Agama
Islam memandang ikatan perkawinan atau pertalian suami isteri sebagai ikatan
yang suci dan kokoh, sebagaimana firman Allah SWT dala surat an-Nisa ayat 21
“Dan
isteri-isteri mereka telah mengambil dari kamu janji yang kuat”
Dalam kitab Tafsir al-Maraghi, Katadah mengatakan bahwa janji yang
kuat ini adalah “janji Allah untuk wanita, kewajiban laki-laki yaitu laki-laki
tersebut harus imsakum bil ma’ruf au tasrihun bi ihsan, merujuki isteri dengan
baik atau melepaskannya dengan baik pula.”
Al-Ustadz Al-Imam mengatakan bahwa janji ini adalah janji yang
sesuai dengan pelaksanaan kehidupan keduanya yang merupakan keadaan fitrah yang
salimah, sebagaimana disyaratkan oleh Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21.
Cerai
dibolehkan dalam islam, tetapi sangat dibenci oleh Allah sebagai mana
Rasulullah SAW bersabda:
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَقُ
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَقُ
"Thalaq adalah sesuatu yang halal tetapi paling
dibenci di sisi Allah" (HR Ibnu Majah dan Ibnu Mjah)
Dalam redaksi Imam al-Hâkim,
مَا أَحَلَّ اللهُ شَيْئًا أَبْغَضُ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاَقِ
"Tidak ada sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah tetapi paling dibenci-Nya selain thalaq."
مَا أَحَلَّ اللهُ شَيْئًا أَبْغَضُ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاَقِ
"Tidak ada sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah tetapi paling dibenci-Nya selain thalaq."
Dari
hadist diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa sebagai umat muslim
seharusnya tidak melakukan sesuatu yang
dibenci Allah, dan menghindari hal tersebut. Menurut hemat penulis, seorang
muslim diperbolehkan melakukan hal tersebut jika tidak ada jalan keluar yang
lain, dan hanya hal itu yang bisa menjadi solusi dari segala permasalahan rumah
tangga yang ada.
Talak
menjadi wajib hukumnya apabila suami telah meng’lak isterinya dan telah habis
masa tenggang waktu tunggu 4 bulan. ‘Ilak artinya suami bersumpah tidak akan
mencampuri isterinya. Dengan sumpah ini seorang isteri menderita karena tidak
disetubuhi dan tidak pula dicerai.
Talak
juga wajib dijatuhkan oleh suami apabila hakam atau penengah antara perpecahan
suami isteri menganggap bahwa permasalahan suami isteri itu sudah berat dan
tidak ada jalan lain kecuali bercerai.
Talak
menjadi sunnah hukumnya apabila isteri mengabaikan kewajiban-kewajiban kepada
Allah seperti mengabaikan kewajiban shalat, puasa dan sebagainya. Sedangkan
suami tidak mampu memaksanya agar ia mau menjalankan kewajiban-kewajiban
tersebut. Talak juga menjadi sunnah hukumnya bila isteri tidak mempunyai rasa
malu, isteri telah rusak, misalnya isteri telah berbuat zina.
Pendapat
Ulama
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum talak ini. Golongan Hanafi dan Hanbali
mengatakan hukum talak itu terlarang kecuali dalam keadaan darurat. Alasan
mereka adalah sabda Rasulullah SAW:“Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka
merasai dan bercerai, yaitu orang yang suka kawin dan cerai”
Alasan
lain golongan ini melarang perceraian kecuali dalam keadaan darurat adalah
sabda Rasulullah SAW:
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَقُ
"Thalaq adalah sesuatu yang halal tetapi paling
dibenci di sisi Allah" (HR Ibnu Majah dan Ibnu Mjah)
Takhrijul
Hadist
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hadits ini; ada yang menilainya shahih dan
menjadikannya sebagai hujjah dan ada pula yang menilainya lemah (Dla’if) dan
berhujjah dengan hadits yang bertentangan dengannya. Dari perbedaan ini timbul
perbedaan para ulama mengenai hukum masalah yang ada di dalam hadits ini.
Bagi para ulama yang menilainya shahih,
mereka berargumentasi: Abu Daud berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang
paling shahih dari hadits Ibn Juraij yang didalamnya berbunyi, ‘Sesungguhnya
Rukanah telah menalak isterinya dengan talak tiga (sekaligus).’”
Ibn
Majah berkata, “Aku mendengar ath-Thanaafisi berkata, ‘Alangkah mulianya hadits
ini.’ Ini menjelaskan betapa sanadnya begitu mulia dan banyak faedahnya.”
Sementara
para ulama yang menilainya lemah, termasuk di antaranya Ibn al-Qayyim
berargumentasi: hadits tersebut dinilai lemah oleh Imam Ahmad. Syaikh kami
(maksudnya, Ibn Taimiyyah-red) berkata, ‘Para ulama tokoh dan besar yang sangat
mengenali ‘illat-‘illat hadits seperti Imam Ahmad, al-Bukhary, Ibn ‘Uyainah dan
ulama lainnya menilai lemah hadits Rukanah tersebut. Demikian juga, Ibn Hazm.
Mereka mengetakan, ‘Para periwayatnya adalah sekelompok orang yang masih anonim
(tidak diketahui), tidak dikenal keadilan dan kekuatan hafalan mereka. Imam Ahmad
berkata, ‘Hadits Rukanah tidak valid.’”
Imam
at-Turmudzy berkata, “Hadits ini tidak dikenal kecuali dari jalur ini saja. Aku
pernah menanyakan kepada al-Bukhari mengenainya, maka ia berkata, ‘Itu hadits
Muththarib.’ (bagian dari hadits Dla’if/lemah).
Syaikh
al-Albani berkata, “Alhasil, hadits tersebut Dla’if sedangkan hadits Ibn ‘Abbas
lainnya yang bertentangan dengan makna hadits tersebut lebih kuat darinya.
IDDAH
Hadist
اَماَانْتَ
طَلقْتهاَوَاحِدَةًاَوِاثْنَتيْنِ فَاِنَّ رسوْلَ اللّهِ صل الله عليه وسّلم
اَمَرَنِى اَنْ اُرَا جعَهَاثُمَّ اَمْسِكْهَا حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً اخْرى
ثُمَّ اَمْهِلْهَا حَتَّى تطْهُرَ ثُمَّ اُطَلِّقًهَا قَبْلَ اَنْ اَمَسَّهَا
وَاَمَّااَنْتَ طَلَّقَهَا ثَلَاثًافَقَدْعَصَيْتَ رَبَّكَ فِيْهَاامَرَكَ بِهِ
مِنْ طَلَاقَ امْرَاَتِكَ. (رواه مسلم)
Artinya: “Engkau
menthalaq sekali atau dua kali, karena sesungguhnya Rosululloh SAW menyuruh
saya kembali kepadanya, kemudian saya menahannya, hingga dia berhaid sekali
lagi, kemudian saya biarkan dia suci, kemudian saya mentalaqnya sebelum saya
menyetutubuhinnya. Apalagi engkau telah mentalaqnya tiga kali, maka sungguh
engkau maksiat kepada Tuhanmu dalam suatu yang telah Dia perintahkan mengenai
talaq isterimu.”
Pengertian
Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad
(bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan
menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi
suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia
ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu
kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa
bulan yang sudah ditentukan.
Istinbat Hukum
a. bagi seorang isteri yang putus perkawinannya brlauku waktu
tunggu (iddah) kecuali bagi yang belum pernah digauli dan perkawinannya putus
bukan karena kematian suami.
b. waktu tunggu idddah bagi seorang janda ditentukan sebagai
berikut:
1). Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun isteri belum
digauli (qablad dukhul) maka waktu tunggunya (iddah) adalah 4 bulan 10
hri atau 130 hari.
Firman Allah SWT:
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya,
Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka[4]
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Qs.
Al-Baqarah :234).
Isteri yang kematian suaminya beridddah walaupun belum pernah
digauli, adalah untuk menyempurnakan dan menghargai hak suami yang meninggal
tersebut.
2). Apabila perkawinan putus karena perceraian
Waktu tunggu yang masih haid atau masih datang bulan ditetapkan
3kali suci atau haid kali haid (menurut khilafah para mazhab) dan bagi yang
tidak haid atau tidak datang bulan lagi ditetapkan 3bulan atau 90 hari.
Firman Allah SWT.:
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'[5].
tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya[6].
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Firman Allah SWT.:
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.”(QS. At-Thalaq:4)
3). Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu yang ditetapkan sampai ia lahir.
Firman Allah SWT.: pada QS. At-Thalaq: 4 diatas
4). Apabila perkawinan putus karena, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
iddahnya ditetapkan sampai ia melahirkan..
Dalilnya yaitu: pada at-Thalaq:4 tersebut diatas dan hadist yang
berkenaan dengan Suba’ah Al-Aslaimiyah melahirkan kandungannya setelah 40 hari
dari wafat suaminya, lalu ia memohon izin kepada Rosululloh SAW untuk kawin dan
beliau mengizinkannya.
Waktu iddah bagi isteri yang putus perkawinan karena khulu’, fasakh
dan berlaku iddah talaq.
Pendapat Ulama
Dalam
hal ini, definisi ulama’ Shafi'iyyah tentang 'iddah layak diperhatikan
مدة تتربص فیھا
المرأة لمعرفة براءة رحمھا او للتعبد او لتفجعھا علي زوزها
"Masa
menunggunya seorang wanita untuk mengetahui kebersihan rahimnya (dari janin),
atau untuk beribadah, atau untuk menunjukkan rasa sedih
wanita (atas meninggalnya) suaminya”.
Definisi
tersebut mengisyaratkan adanya 3 (tiga) fungsi 'iddah yakni :
untuk
bara'ah al-rahim (mengetahui kosongnya rahim), untuk ta’abbud (pengabdian
kepada Allah), dan untuk tafajju’ (berbela sungkawa atas kematian suami).
Sejalan
dengan ini, definisi kelompok Hanfiyah mengajukan definisi sebagai
berikut :
اجل ضرب لانقضاء
ما بقى من اثار النكاح او الفراش مدةود
Berdasarkan
uraian di atas, secara ringkas, dapat ditarik satu benang merah
bahwa tidak mudah mematrik pengertian 'iddah dalam suatu ungkapan. Disamping
itu, tampak pula bahwa terdapat beberapa sebab, akibat dan fungsi 'iddah.
Akan tetapi, yang jelas kewajiban ber'iddah hanya dikenakan kepada wanita,
tidak kepada laki-laki ,Kecuali itu, para ulama’ sepakat bahwa
wanita yang diceraikan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, diwajibkan
menjalani 'iddah.
Takhrijul Hadist
Dalam
riwayat Abu Daud : “Faraddaha ‘alayya walam yaraha syai’an” (lalu beliau
mengembalikannya kepada saya dan beliau tidak melihatnya suatu keberatan).
Sanadnya sama dengan syarat hadis shahih. Hanya saja menurut kata Ibnu Abdul
Barri tentang sanadnya “walam yaraha syai’an” itu adalah munkar (hadis munkar
ialah hadis yang pada sanadnya ada perawi yang banyak salahnya atau dua hadis
lemah yang bertentangan). Hadis itu tidak diriwayatkan oleh selain Abu Zubair
dan tidak dapat dijadikan hujjah sesuatu yang bertentangan seperti itu. Lalu
bagaimana dengan orang yang menetapkannya ? seandainya hadis itu shahih, maka
maknanya adalah hanya Allah yang Maha Mengetahui. Tidak melihatnya sesuatu yang
lurus/benar, karena terjadi berdasarkan sunnah.
Kata
al-Khatabi : kata ahli hadits : Abu Zubair tidak meriwayatkan hadis yang lebih
munkar dari hadits ini. Dan mungkin juga maknanya : Beliau tidak suatu ruju’
itu haram, atau beliau tidak melihatnya sesuatu yang boleh dalam sunnah, sudah
berlaku dalam pilihan sekalipun hal itu adalah lazim. Al-Baihaqi meriwayatkan
dalam “Al Ma’rifah dari Syafi’i, bahwa setelah beliau menyebutkan riwayat Abu
Zubair itu, maka beliau berkata : Nafi’ telah menetapkannya dari Abu Zubair dan
yang paling jelas dari kedua hadis tersebut lebih utama diambil apabila
keduanya bertentangan. Dan orang yang menyepakati Nafi’ itu bukan termasuk
orang yang mempunyai kemampuan penetapan itu, kata Syafi’i : ditafsirkan
sabdanya : “walam yaraha syai’an” itu bahwa beliau tidak melihatnya suatu
kebenaran, tidak salah, tetapi beliau menyuruh pelakunya tidak boleh menetap
padanya, karena sesungguhnya beliau telah menyuruhnya kembali.
RUJUK
Hadist
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا; ( أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ اَلرَّجُلِ يُطَلِّقُ, ثُمَّ
يُرَاجِعُ, وَلَا يُشْهِدُ? فَقَالَ: أَشْهِدْ عَلَى طَلَاقِهَا, وَعَلَى
رَجْعَتِهَا ) . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ هَكَذَا مَوْقُوفًا, وَسَنَدُهُ
صَحِيحٌ .
Artinya: Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu pernah ditanya
tentang orang yang bercerai kemudian rujuk lagi tanpa menghadirkan saksi. Ia
berkata: Hadirkanlah saksi untuk mentalaknya dan merujuknya. Riwayat Abu Dawud
secara mauquf dan sanadnya shahih.
Pengertian
Rujuk berasala dari kata raja’a, yarji’u, ruju’an yang
berarti kembali atau mengembalikan.
Rujuk menurut istilah adalah mengembalikan status hukum perkawinan
secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh mantan suami
terhadap mantan isterinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
Istibath Hukum
Dasar hukum rujuk terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228, 231
seperti yang telah dikutip sebelumnya ini dan sabda Rosululloh SAW yang
berkenaan dengan hadist dari Ibn Umar RA bahwa ia mentalaq isterinya di waktu
haid, lalu Umar bertanya kepada Rosululoh SAW perihal tersebut, lalu beliau
bersabda kekpada Umar untuk memerintahkan kepada anaknya itu agar dia merjuki
isterinya. (HR. Muslim)
Pendapat Ulama
Persaksian
atas ruju’ jelas apabila dengan ucapan yang jelas (terus terang bukan dengan
sindiran). Mereka ulama sepakat ruju’ itu dengan ucapan. Mereka masih berbeda
pendapat, apabila ruju’ itu adalah dengan perbuatan (lansung mencampuri
isteri). Kata Syafi’i dan Imam Yahya : sesungguhnya perbuatan (langsung
menyetubuhinya) itu haram, tidak halal bekas isterinya itu dengan langsung
mencampurinya, karena Allah manyebutkan perintah persaksian itu, dan kesaksian
itu tidak terjadi kecuali dengan ucapan. Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Yahya
itu dibantah dengan alasan sesungguhnya tidak berdosa bagi suami, sebab Allah
sudah berfirman (dalam surat Al Mu’minun : 6. “Illa ‘ala Azwajihim” (kecuali
terhadap isteri-isteri mereka). Sedang yang dirujuki itu adalah isterinya, dan
persaksian waktu ruju’ itu tidak wajib sebagaimana sudah dijelaskan.
Kata
jumhur ulama, sah ruju’ dengan perbuatan (langsung mencampurinya). Mereka
berselisih pendapat apakah di antara syarat perbuatan itu harus dengan niat?
Kata Imam Malik : tidak sah ruju’ dengan perbuatan itu kecuali dengan niat,
seakan-akan dia berkata demikian itu berdasarkan keumuman hadis tentang niat
itu. Kata mayoritas ulama : sah ruju’ tanpa niat, karena bekas isteri yang
masih dalam masa iddahnya itu masih dianggap isteri menurut hukum syara’, masuk
dalam firman Allah (dalam surat Al Mu’minun :6) “kecuali kepada isteri-isteri
mereka”. Dan tidak disyaratkan niat untuk mencampuri isteri, menciumnya dan
selain keduanya menurut ijma’ ulama.
Takhrijul Hadist
Al
Baihaqi meriwayatkannya dengan susunan matan : “sesungguhnya Imran bin Husain
ditanyai tentang orang yang ruju’ kepada isterinya tanpa saksi, lalu dia
berkata : Dia sudah ruju’ bukan berdasarkan sunnah, maka hendaklah dia
persaksikan sekarang. At Thabrani menambahkan dalam riwayatnya : dan hendaklah
mohon ampun kepada Allah.
Hadits
itu menunjukkan syari’at ruju’ itu. Dasar hukumnya firman Allah (dalam surah
Al-Baqarah : 229) : “Wa Bu’u lauhunna Ahaqqu Biraddihinna” (suami-suami mereka
lebih berhak untuk kembali kepada mereka). Ulama telah sepakat bahwa suami mempunyai
hak untuk kembali kepada isterinya dalam talaq raj’i (talaq satu dan dua),
selama isterinya masih dalam masa iddahnya, tanpa perlu kerelaannya dan tanpa
kerelaan walinya, apabila talaq itu terjadi setelah persetubuhan. Hukum tentang
sahnya ruju’ itu adalah disepakati ulama, tidak diperselisihkan lagi.
Hadits
tersebut menunjukkan kepada apa yang telah ditunjukkan oleh ayat 2 surat At
Thalaq, yaitu firman-Nya : “Persaksikanlah pada dua orang saksi”. Perintah itu
setelah sebutan talaq sebelumnya. Zhohir perintah itu menunjukkan wajib
mempersaksikan ruju’ itu. Demikian menurut pendapat Imam Syafi’i dalam
pendapatnya yang lama (qaul qadimnya) dan seakan-akan beliau menetapkan
pendapatnya, tidak wajibnya mempersaksikan talaq itu. Sesungguhnya kata Al Murzi’i
dalam “Tafsir Al Bayan” : ulama telah sepakat bahwa talaq tanpa persaksian
adalah boleh, mengenai ruju’, mungkin sesungguhnya adalah sama dengan talaq
itu, karena alasan bahwa ruju’ itu adalah hak suami. Tidak wajib dia
persaksikan untuk mencampuri kembali isterinya itu. Mungkin juga wajib
persaksian itu sesuai dengan zohir perintah ayat tersebut.
Hadits
tersebut mungkin hanya pendapat Imran sendiri sebagai ijtihad beliau, karena
bagi ijtihad itu tentang masalah itu diberi keluasan. Hanya saja perkataannya :
“dia sudah ruju’ bukan berdasarkan sunnah” itu, terkadang dikatakan :
Sesungguhnya istilah “sunnah” itu apabila diungkapkan secara umum dalam ucapan
sahabat, maka dimaksudkan dengannya adalah sunnah Nabi saw. sehingga hadis itu
bersambung sanadnya hingga Nabi saw. Hanya saja hadis itu tidak menunjukkan
wajibnya karena ada keraguan keadaan sunnah Nabi saw. antara wajib dan sunnah.
[1] Djaman Nur, Fiqih Munakahat (Semarang, 1993), hlm 134
[2] Ibid, hlm 134
[3] Ibid, hlm 135
[4] ] Berhias, atau bepergian,
atau menerima pinangan.
[5] Quru' dapat
diartikan Suci atau haidh.
[6] hal Ini
disebabkan Karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan
kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda