Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Perlindungan pada Anak
BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah suatu ikatan batin yang suci dan kokoh antara suami dan istri. Hal ini tertera dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagaimana yang tertulis:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Berdasarkan definisi diatas, maka wajiblah bagi manusia untuk menjaga ikatan tersebut agar bisa mengkekalkan kehidupan rumah tangganya guna mewujudkan kejahteraan bagi kehidupan keluarga dan sosial.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga dari tahun ke tahu semakin marak, karena adanya dukungan dari adat-istiadat yang mendukung adanya hal tersebut. Posisi wanita yang sudah terdiskriminasi semakin terdiskriminasi dengan adanya adat yang melegalkan budaya tersebut.
Yang menarik, kekerasan itu tidak hanya terjadi di kalangan wanita dewasa saja, namun dapat terjadi pada anak-anak yang masih di bawah umur dimana mereka masih membutuhkan perlindungan dari orang-orang disekitarnya. Kekerasan tidak hanya terjadi di luar rumah, namun lebih sering terjadi di dalam rumah. Padahal rumah itu identik dengan tempat berlindung dari berbagai macam gangguan-gangguan yang berasal dari luar, namun pada kenyataannya malah terjadi tindak kekerasan dan berbagai penyimpangan
Patut disyukuri dengan munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hadir untuk menghapus berbagai tindak diskriminasi yang terjadi di kalangan keluarga dan anak. Kedua UU tersebut sebagai perwujudan tercpitanya keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat Indonesia, sehingga sesuatu yang bersifat diskriminasi bisa dihilangkan atau diminimalisir.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
A. Pengertian Kekerasan
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah:
“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikiologis, dan atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 425) berarti:
a. Perihal (yang bersifat, berciri) keras;
b. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain;
c. Paksaan.
Pengertian kekerasan juga terdapat dalam Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:
“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”
Pingsan diartikan hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya. Kemudian, yang dimaksud dengan tidak berdaya dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sama sekali, tetapi seseorang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui yang terjadi pada dirinya.
Perbuatan Kekerasan diatas dapat disebut sebagai tindakan penganiayaan. Penganiayaan di dalam KUHP digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Penganiayaan berat yang diatur dalam Pasal 354 KUHP dan
b. Penganiayaan ringan dalam Pasal 352 KUHP.
Pengertian penganiayaan berat adalah apabila perbuatannya mengakibatkan luka berat seperti yang diatur dalam Pasal 90 KUHP. Menurut pasal 90 KUHP, luka berat dirumuskan sebagai berikut:
a. Jatuh sakit atau dapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh atau menimbulkan bahaya maut;
b. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian;
c. Kehilangan salah satu panca indra;
d. Mendapat cacat berat;
e. Menderita sakit lumpuh;
f. Terganggu daya pikir selama empat minggu; dan
g. Gugurnya/mati kandungan seorang perempuan.
Selain ketentuan tentang Pasal 352 KUHP dan Pasal 354 KUHP, terdapat beberapa pasal lagi yang berkaitan dengan penganiayaan, seperti:
a. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan;
b. Pasal 353 KUHP tentang penganiayaan yang direncanakan;
c. Pasal 355 tentang penganiayaan berat yang direncanakan; dan
d. Pasal 356 KUHP tentang penganiayaan yang dilakukan terhadap ayah, ibu suami, istri, atau anaknya maka ancaman hukumannya ditambah dengan sepertiga.
Ketentuan-ketentuan tersebut memang tidak secara eksplisit mengatur tentang kekerasan dalam keluarga, tetapi setidaknya dapat digunakan untuk mengadukan para pelaku ke polisi dan sebagai dasar berperkara pidana di pengadilan. Para polisi dalam menuntut tergugat menggunakan Pasal kekerasan yang terjadi di lingkup keluarga menggunakan Pasal yang tertera dalam KUHP bukan Pasal yang tertera dalam UU PKDRT, sebab masih banyak dinatara polisi yang masih belum mengerti Pasal-Pasal yang tertulis dalam UU PKDRT.
B. Gender dan Kekerasan
Gender sebagai perbedaan perempuan dengan laki-laki berdasarkan social contruction tercermin dalam kehidupan sosial yang berawal dari keluarga. Perempuan disosialisasi dan diasuh secara berbeda dengan laki-laki. Ini juga menunjukan adanya social expectation (ekspektasi sosial) yang berbeda terhadap anak perempuan dengan anak laki-laki. Sejak dini anak perempuan disosialisasi bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif, dan bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasi, agresif, aktif, mandiri, pengambil keputusan, dan dominan. Kontrol sosial terhadap perempuan jauh lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki.
Karakteristik tersebut terinternalisasi begitu kuat sehingga dianggap sebagai sesuatu yang bersifat taken for granted dan membawa implikasi luas yang mencerminkan posisi perempuan yang lebih subordinat, sedangkan laki-laki lebih superior. Kararteristik yang mengarah pada tindakan berkonotasi keras dan agresif itu dilekatkan pada laki-laki, mereka juga diberi peluang menjadi kelompok penguasa pubik sedangkan perempuan disektor domestik. Ini membuktikan adanya gender role (peran gender) yang berbeda di antara mereka.
Secara umum, munculnya UU PKDRT beralaku untuk seluruh kalangan, namun berdasarkan pengamatan dan penelitian yang sering mengalami kekerasan dan pelecehan adalah pihak perempuan, sehingga terkadang banyak kalangan yang mengira pengesahan Undang-Undang ini hanya untuk melindungi kaum perempuan, sedangkan hak-hak pria diabaikan. Dengan adanya UU tersebut sebenarnya melindungi suami, istri, maupun anak.
Berdasarkan fakta yang terjadi dilapangan, perlakuan semena-mena kepada pihak perempuan itu cenderung meningkat dari tahun ke tahun waktu ke waktu dari pada perlakuan semena-mena kepada pihak pria. Kekerasan yang terjadi pada wanita tidak hanya terjadi di luar lingkungan rumah, akan tetapi dapat pula terjadi di dalam rumah yang seharusnya dapat menciptakan suasana yang aman bagi para wanita. Berbagai penelitian mengenai domestik violence sudah dilakukan di dunia Barat, dan hasilnya antara lain dapat disimpulkan bahwa institusi “keluarga” merupakan tempat yang paling rawan bagi wanita. Pernyataan ini diungkapkan oleh Emerson Dobash dan Russell Dobash.
Posisi wanita dalam keluarga tidak terlepas dari sistem sosial masyarakat yang melingkupinya. Subordinasi wanita dalam masyarakat sebenarnya sudah berlangsung sangat lama, dan bersifat universal. Hanya saja bentuk subordinasi itu beragam dan dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda. Beberapa faktor yang menyebabkan adanya subordinasi tidak sekedar perbedaan seksual dalam artian biologis, namun perbedaan bilogis itu kemudian dikembangkan dalam pola-pola pembedaan fungsi reproduksi dan produksi. Pengembangan tersebut baik melalui penguasaan sumber-sumber ekonomi, ideologi, kelas maupun stratifikasi sosial melalui serangkaian sosialisasinya, untuk melanjutkan dan mendukung posisi wanita yang subordinat itu. Dengan demikian subordinasi wanita berawal dari perbedaan biologis yang kemudian dilanjutkan dalam hubungan keluarga dan sistem kemasyarakatan yang ada.
Secara umum, dinyatakan bahwa kondisi fear of crime pada wanita lebih besar dibandingkan kaum pria. Dengan adanya anggapan umum seperti ini tentunya perlu dicari indikasi yang lebih terinci, apakah kondisi semacam itu juga diakibatkan perbedaan gender, khususnya jika ditinjau dari perbedaan fisik dan psikisnya. Anggapan tersebut perlu dijabarkan lebih mendalam mengingat banyak variable selain gender yang dapat mempengaruhi tingkat fear of crime, seperti variable-variable yang berkaitan dengan umur, ras dan lokasi tempat tinggal. Dalam hubungan ini Kinsey menyatakan bahwa aspek sosial dan tekanan ekonomi juga merupakan variable yang sangat berpengaruh pada kondisi kekhawatiran dan ketaukutan terhadap kejahatan dan kemungkinan terjadinya viktimisasi.
Kondisi lain yang perlu diperhatikan bagi situasi wanita Indonesia adalah adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan rasa malu, self quality, dan rasa respect pada keyakinan pentingnya menjaga nama baik dan keutuhan keluarga. Faktor-faktor ini akan lebih nampak nyata pada ruang lingkup keluarga yang center social lifenya masih ketat bersendikan pada tradisi dan adat-istiadat.
Untuk itu, melihat banyaknya kejadian-kejadian yang menyudutkan pihak wanita dari sudut pandang budaya dan sosial, maka diperlukanlah UU Nomor 23 Tahun 2004 untuk mengahapus berbagai diskriminasi dan kekerasan yang terjadi pada wanita.
C. Implementasi Hukum Negara tarhadap KDRT
Adanya UU PKDRT tidak secara otomatis bisa menghilanghkan kekerasan dalam rumah tangga secara otomatis, namun juga ada beberapa hambatan terutama dari hukum yang berlaku dalam suatu negara. Menurut Firiedman setidaknya ada 3 komponen yang perlu dianalisis terkait dengan suatu sistem hukum yang berlaku di suatu negara:
Pertama, berkaitan dengan substansi hukum, di samping terdapat instrumen hukum UU KDRT yang bertujuan memberi keadilan kepada perempuan korban KDRT, tetapi di sisi lain, terdapat masalah rumah tangga, perundang-undangan, dan kebijakan lain yang memberi dampak merugikan bagi perempuan. Bahkan kerap kali interpretasi terhadap ajaran agama (dan adat) yang meneguhkan posisi subordinasi perempuan, diakomodasi dalam substansi peraturan perundang-undangan. Menurut para feminis penganut legal theory mengatakan bahwa hukum itu dibuat oleh lelaki dan cenderung memberi keuntungan kepada pihak laki-laki, serta mengabaikan kepentingan perempuan.
Kedua, dalam penegakkan hukum dilapangan, struktur hukum, para penegak hukum, sering tidak berpihak kepada korban perempuan, bukan saja karena ketidakpahaman dan ketiadaan perspektif perempuan di kalangan para penegak hukum, tetapi juga struktur dan ketiadaan perspektif perempuan di kalangan para penegak hukum, tetapi juga struktur dan prosedur yang ketat menghalangi para penegak hukum untuk membuat terobosan dan interpretasi baru, meskipun demi persoalan kemanusiaan sekalipun.
Ketiga, masih kuatnya budaya hukum masyarakat, kekuatan-kekuatan sosial, berupa ide, gagasan, nilai-nilai, norma, kebiasaan, dan sebagainya yang potensial menempatkan perempuan dalam posisi submissive, baik dalam keluarga maupun mayarakat. Dari keseluruhan sistem hukum ini, budaya hukum merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap dapat tidaknya suatu substansi hukum bekerja dalam masyarakat.
D. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut pasal 5 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, meliputi kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Adapun kekerasan fisik menurut Pasal 6 Undang-Undang tersebut adalah:
“Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.”
Kemudian, yang dimaksud dengan kekerasan psikis menurut Pasal 7 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:
“Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”
Contoh-contoh perbuatan yang dapat dikategorikan kekerasan psikis adalah menghina, mengancam, atau menakut-nakuti sebagai sarana untuk memaksa kehendak, atau mengisolasi istri dari dunia luar. Bahkan, menurut Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif Gender, kekerasan psikis meliputi juga membatasi istri dalam melaksanakan program keluarga berencana dan mempertahankan hak-hak reproduksinya sebagai perempuan.
Hak-hak reproduksi perempuan, misalnya hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan, hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan, hak untuk mendapatkan kebebasan berfikir, hak untuk memutuskan kapan dan memutuskan jumlah anak, hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk, hak memilih bentuk keluarga, atau hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
Yang dimaksud dengan kekerasan seksual menurut Pasal 8 UU PKDRT adalah:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Sayangnya UU PKDRT tidak mengatur tentang pelecehan seksual, tetapi hanya memberi penjelasan pada Pasal 8 huruf a bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah:
“Setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.”
Kemudian, untuk penjelasan Pasal 8 huruf b hanya disebutkan cukup jelas.
Sementara itu, pada penjelasan Pasal 7 UU PKDRT hanya disebutkan kekerasan seksual secara tidak langsung dalam Pasal 48 UU PKDRT yang mengatur tentang ancaman pidana melakukan kekerasan seksual:
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (duapuluh) tahun atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Selanjutnya, penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 UU PKDRT adalah:
“(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan ,atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.”
Adapun contohnya termasuk juga tidak memberi nafkah kepada istri, membiarkan istrinya bekerja kemudian penghasilannya dikuasai suami, bahkan mempekerjakannya sebagai istri dan memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomi untuk mengontrol hidupnya.
Dalam UU PKDRT tidak hanya dijelaskan tentang definisi, macam-macam, dan sanksi bagi pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga, namun pada Pasal 10 dijelaskan pula hak-hak yang ada pada korban.
“Korban berhak mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.”
2. Perlindungan Anak
A. Pengertian Anak Dalam Bidang Hukum
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Pasal 330 yang berbunyi:
Ayat 1: Memuat batas antara belum dewasa (minderjerigheid) degan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, keculai:
a. Anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun.
b. Pendewasaan (venia aetetis Pasal 419).
Ayat 2: Menyebutkan bahwa pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang sebelum berusia 21 tahun, tidak mempunyai pengaruh terhadap status kedewasaannya.
Ayat 3: Menyebutkan bahwa seorang yang belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua akan berada di bawah perwalian.
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang ini ini tidak langsung mengatur tentang masalah ukuran kapan seseorang digolongkan anak, tetapi secara tersirat tercantum dalam pasal 6 ayat 2 yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Dalam Pasal 7 ayat 1 memuat batas minimum usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 tahun, bagi wanita 16 tahun.
Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma SH menarik garis batas antara belum dewasa dan sudah dewasa, tidak perlu dipermasalahkan, oleh karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual-beli, berdagang dan sebagainya, walaupun ia belum berwenang untuk kawin.
Pasal 47 ayat 1 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya.
Pasal 50 ayat 1 berbunyi anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
Dari Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dalam Undang-Undang tersebut menentukan batas belum dewasa adalah 16 tahun dan 19 tahun.
c. Yurisprudensi Mahkamah Agung
Dalam Yurisprudensi tetap batas kedewasaan, tidak seragam. Sebagai gambaran dalam putusan MA No. 53 K/Sip/1952 tanggal 1 Juni 1955, 15 tahun dianggap telah dewasa untuk perkara yang terjadi di daerah Bali.
Dalam putusan MA No. 601 K/Sip/1976 tanggal 18-11-1976, umur 20 tahun dianggap telah dewasa untuk perkara yang terjadi di daerah Jakarta.
d. Hukum Kebiasaan (Hukum Adat dan Hukum Islam)
Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorangdapat dianggap dewasa dan kewenangan untuk bertindak. Hasil penelitian Mr. R. Soepomo tengtang hukum perdata Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi:
a. Dapat bekerja sendiri (mandiri).
b. Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab.
c. Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang nyata.
Demikian pula pada hukum islam, batasan kedewasaan tidak berdasar hitungan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badaniyah, baik bagi anak pria, demikian pula bagi wanita.
B. Pengertian Hukum Perlindungan Anak
Menurut Arif Gosita SH, dikatakan bahwa hukum perlindungan anak sebagai hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.
Bismar Siregar SH, meyebutkan aspek hukum perlindungan anak, lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban.
Mr. H. De Bie merumuskan kinderrecht (Aspek Hukum Anak) sebagai keseluruhan ketentuan hukum yang mengenai perlindungan, bimbingan, dan peradilan anak/remaja, seperti yang diatur dalam BW, Hukum Acara Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana serta peraturan pelaksanaannya.
Menurut Prof. Mr. J. E. Doek dan Mr . H. MA. Drewes memberi pengertian jengdrecht (hukum (perlindungan) anak muda) dalam 2 pengertian masing-masing pengertian luas dan sempit.
Dalam pengertian luas: segala aturan hidup yang memberi perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan memberi kemungkinan bagi mereka untuk berkembang.
Dalam pengertian sempit: meliputi perlindungan hukum yang terdapat dalam:
a. Ketentuan Hukum Perdata (regels van civiel recht).
b. Ketentuan Hukum Pidana (regels van strafrecht).
c. Ketentuan Hukum Acara (Procesrechtlijke regels).
C. Ruang Lingkup Perlindungan Anak
Secara garis besar disbutkan bahwa perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 pengertian.
a. Perlindungan yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam:
1. Bidang hukum pubilik.
2. Bidang Hukum Keperdataan.
b. Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi:
1. Bidang Sosial.
2. Bidang Kesehatan.
3. Bidang Pendidikan.
D. Ketentuan Undang-Undang tentang Hak Anak
UUD 1945 Pasal 34 menyatakan bahwa negara memberi perlindungan kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar. Kemudian UU tersebut teraplikasikan dengan adanya UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pengertian kesejahteraan anak dalam UU tersebut adalah anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmani maupun sosial.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 merumuskan hak-hak anak sebagai berikut:
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.
c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau mengahambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak diatur tentang hak dan kewajiban anak (Pasal 4-19), kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan negara (Pasal 21-24), Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat (Pasal 25), Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua (Pasal 26), Identitas Anak (Pasal 27-28), Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan Campuran (Pasal 29), Kuasa Asuh (Pasal 30-32), Perwalian (Pasal 33-36), Pengasuhan Anak (Pasal 37-38), Pengangkatan Anak (Pasal 39-41), Penyelenggaraan Perlindungan Agama (Pasal 42-43), Perlindungan Kesehatan (Pasal 44-47), Penyelenggaraan Pendidikan (Pasal 48-54), Jaminan Sosial (Pasal 55-58), Perlindungan Khusus (Pasal 59-71), Peran Masyarakat (Pasal 72-73), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Pasal 74-76), Ketentuan Pidana (Pasal 77-90).
E. Kegunaannya Dalam Pembangunan Hukum Nasional
Dalam usahan untuk meningkatkan kesejahteraan pada anak di Indonesia, maka diperlukan suatu peraturan khusus dan diperlukan pula peraturan tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Berdasarkan fakta dilapangan, banyaknya peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang masih mengesampingkan hak-hak anak.
Masalah pokok yang dihadapi oleh sebagian besar Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, adalah masih banyaknya anak-anak yang harus memikul tanggungjawab di luar batas kemampuannya, sebagai kenyataan hidup yang dihadapi, antara lain kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya.
Oleh karena masalah perlindungan tidak hanya mencakup masalah hukum saja, namun mencakup masalah yang lebih luas lagi seperti permasalahan sosial, budaya, ekonomi, dan sebaginya.
Keseluruhan hak-hak anak yang dilindungi hukum akan dapat berhasil bagi kehidupan anak, apabila syarat-syarat sebagai berikut dapat dipenuhi, yaitu:
1. Faktor ekonomi dan sosial yang dapat menunjang keluarga anak;
2. Nilai budaya yang memberi kebebasan bagi pertumbuhan anak;
3. Solidaritas anggota masyarakat untuk meningkatkan kehidupan anak.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Ihromi, T.O, Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor, 1995
Irianto, Sulisttyowati, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006
Irianto, Sulistyowati dan L.I. Nurtjahyo, Perempuan di Persidangan: Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006
Kompilasi Hukum Islam
Saraswati, Rika, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009
Sihite, Romany, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007
Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Bumi Aksara, 1990
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1991)
Subekti, R dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008
Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda