Minggu, 15 Juli 2018

Sebuah Foto Usang dalam Dompetku


    Image result for foto dalam dompet
            Malam ini, 12 April 2016
Kerlip sinar bintang menerangi malam. Indah cahaya bulan menyinari bumi. Suasana malam begitu sejuk, tenang, dan syahdu. Aku terduduk sendiri menikmati sepi di atap hotel bintang lima kota Jakarta. Kubuka dompet disaku belakang celana jeansku dan kutatap sebuah foto usang yang dicetak dua tahun lalu. Disana ada ayah, ibu, aku, serta adikku yang bernama Agil. Kupandang wajah mereka satu per satu di foto itu. Teringat kembali kenangan bersama mereka saat dulu kala. Ya Allah, begitu indah saat kita duduk bersama dan bercerita dibangku sofa. Saling tertawa, saling menimpuk bantal, kadang sampai cemberut.  
            Hpku bergetar, satu pesan masuk ke hpku. Kubuka hp dan itu pesan dari Meta.
            “Hai Riz, kamu lagi dimana?”
            Kututup kembali hpku, tak kubalas pesan darinya. Aku ingin sendiri, dan hanya malam yang boleh menemaniku disini. Ingatanku kembali melayang, kembali mengenang masa-masa bersama mereka, orang yang paling kucintai seumur hidupku. Kupejamkan mata, lalu kunyanyikan lagu yang sering dinyanyikan ibu saat ingin menindurkanku diwaktu kecil.
            “Harta yang paling berharga adalah keluarga.”
“Istana yang paling indah adalah keluarga.”
“Puisi yang paling bermakna adalah keluarga.”
“Mutiara tiada tara adalah keluarga.”[1]
                                                            ****
            Banjarnegara, 1 November 2014
            Dua tahun lalu sebelum aku berangkat ke Jakarta. Aku berkumpul bersama keluargaku di ruang tengah. Semuanya tampak bahagia karena seminggu lagi aku akan pergi ke Jakarta untuk dipindah tugaskan di kantor pusat perusahaan.
            “Mas, barang-barangmu kalo bisa dikemas dari sekarang ya?” Bapak mengingatkanku.
            “Sudah pak, semuanya beres.” Aku cengengesan dan mengacungkan jempol kananku ke bapak.
            “Ingat ya mas, kalo sudah di Jakarta shalat jamaahnya dijaga. Jaga dirimu baik-baik, dan enggak usah neko-neko.” Ibu mencoba memberikan nasehat kepadaku.
            “Insya Allah bu, Rizky enggak akan lupa pesan ibu.”
            “Sebenernya ibu pinginnya kamu tinggal disini aja. Bareng sama bapak, ibu, dan juga adikmu, tapi kamu menyanggupi permintaan dari bosmu di kantor ya apa boleh buat, mau enggak mau kamu harus ke Jakarta.”
             “Mas Rizky ke Jakarta sebenernya pingin nyusul mba Meta bu.” Tiba-tiba Agil nyeletuk.
            Aku hanya melototkan mata ke arahnya sebagai isyarat agar tak sembarangan bicara, namun yang ditatap malah membalas dengan juluran lidah ke arahku. Hal itu membuatku kian gemas, maka kuambil bantal di sofa dan kutimpuk muka Agil. Yak, tepat mengenai mukanya.
            “Rizky... Agil... Cukup. Kalian seperti anak kecil saja, bertengkar yang enggak perlu.” Suara ibu agak meninggi, namun tetap halus.
            Aku hanya tersenyum-senyum tanpa dosa, sedangkan Agil memanyunkan bibirnya karena kesal aku timpuk dengan bantal. Bapak dan ibu hanya bisa menggelengkan kepala, mungkin dalam hati mereka berkata: “Dasar anak-anak, udah gede masih suka main timpuk-timpukan bantal.”
             Banjarnegara, 6 November 2018
            Ruang tengah sesaat hening. Bapak, ibu, dan Agil semuanya tediam. Besok aku harus berangkat ke Jakarta, berarti ini merupakan hari terakhirku disini.
            “Riz...”
            Suara bapak memecah keheningan.
            “Iya pak.”
            “Kamu baik-baik ya di Jakarta? Jaga kondisi, jaga kesehatan, makan yang teratur biar enggak sakit. Soalnya kalo sakit kamu bakalan kerepotan karena enggak ada keluarga disana.”
            “Walaupun enggak ada keluarga di Jakarta, tapi kan disana ada mba Meta yang siap nemenin mas...” Agil sempat nyeletuk, tapi suaranya dipotong ibu.
            “Sstt...” Ibu mendekatkan jari telunjuk ke arah bibir sebagai pertanda agar Agil tak melanjutkan perkataannya.
            “Iya pak, Insya Allah Rizky akan melaksanakan pesan bapak.”
            “Kalau pas liburan panjang sempatkan pulang ke Banjarnegara ya nak.” Kini giliran ibu yang berpesan, matanya terlihat sembab.
            “Mas Rizky besok hati-hati ya berangkatnya, barangkali besok Agil masih di sekolah dan enggak bisa ngelepas mas Rizky pas ke Jakarta.”
            Aku tersenyum pada Agil dan mengedipkan mata kananku seolah mengatakan: “Tak masalah.”
            Jakarta, 12 Desember 2014
            Hampir satu bulan lamanya aku tinggal di Jakarta. Aku cepat beradaptasi disini, dan yang terpenting aku bisa bekerja sama dengan tim. Aku juga bersyukur karena bisa banyak belajar di kantor baruku ini.
            Aku duduk menghadap laptop, nyaris mematikannya karena sebentar lagi akan pulang. Kulihat jam tangan, ternyata waktu menunjukkan pukul 17.45 WIB. Kulihat pula hp yang kuletakkan diatas meja, kubaca satu persatu pesan yang ada disana.
            “Astaghfirullah.”
            Bibirku tak henti-hentinya berzikir mengucap nama-Nya. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhku dan membasahi pakaian kantorku. Suasana di raungan berasa panas padahal AC menyala dengan suhu 19˚C. Baru saja Meta memberi pesan kepadaku bahwa di Banjarnegara, tepatnya di desa Sampang dusun Jemblung terjadi bencana longsor. Untuk sementara perkiraan yang selamat hanya 20 orang, yang lain masih dalam tahap pencarian.  
              Tanpa berlama-lama aku segera menghubungi bapak. Aku berjalan mondar-mandir diruangan, hatiku resah karena takut terjadi hal-hal yang tak diinginkan menimpa pada keluargaku. Sayang sekali nomer hp bapak tak dapat dihubungi. Kucoba menghubungi nomer hp ibu, ternyata tidak aktif.
            “Ya Allah. Lindungilah mereka dari mara bahaya.” Hatiku mencoba berdoa guna menenangkan diri.
            Aku tak putus asa, kucoba menghubungi nomer hp Agil. Sekian detik menunggu, hanya ada balasan dari operator bahwa nomer Agil sedang tidak aktif. Dengan langkah gontai, aku menuju ke ruang manajer. Kuceritakan apa yang terjadi di Banjarnegara secara mendetail, termasuk kondisi keluargaku. Manajer memberikan izin kepadaku untuk pulang selama tiga hari, dengan ketentuan jika keluargaku ditemukan dan dalam keadaan baik maka aku harus segera kembali ke Jakarta, namun apabila keluargaku belum ditemukan atau ditemukan dalam keadaan tidak selamat, aku berhak memperpanjang cuti sampai satu minggu.
            Selepas dari kantor aku langsung pulang menuju ke Banjarnegara dengan balutan baju kantor yang masih menempel ditubuhku. Saat diperjalanan tetap kucoba menghubungi keluargaku, hasilnya tetapa sama, nomer mereka tak bisa kuhubungi. Kecemasan masih saja menghantuiku, yang terpenting sekarang aku harus pulang memastikan semuanya dalam kedaan baik.
            Banjarnegara, 13 Desember 2018
            Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang dari Jakarta menuju Banjarnegara, aku harus berjalan kaki sepanjang 1 km dari tempat pemberhentian mobil menuju ke desaku karena akses jalan utama yang menuju desaku ditutup. Terlihat puluhan relawan sedang berusaha membongkar tumpkan tanah. Ada juga yang sedang mengangkat mayat yang ternyata itu adalah tetanggaku sendiri. Masya Allah, suasana terlihat mencengkam. Seluruh rumah yang dibangun disana telah rata ditimpuk oleh tanah, termasuk rumahku.
            “Mas Rizky...”
            Kutolehkan wajahku ke asal suara, ternyata itu adalah Faris seorang temanku yang selamat dari bencana longsor.
            “Mas, Agil sudah ditemukan ayo ikut saya ke posko.”
            “Gimana kondisi Agil Ris?”
            Faris tidak menjawab pertanyaanku.
            “Sebaiknya mas Rizky lihat langsung di posko.”
            Kuiikuti langkah Faris menuju ke posko yang tak jauh dari tempatku berdiri. Sesampainya disana Faris menemui petugas, dan memberitahukan bahwa aku adalah kakak dari korban yang bernama Agil. Petugas menemuiku dan mengkonfirmasikan kembali apa yang sudah dijelaskan oleh Faris. Kujawab semua yang pertanyaan yang diutarakan oleh petugas. Dia membawaku ke sebuah tempat yang baunya sangat menusuk hidung. Ternyata disana adalah tempat evakuasi mayat, perlahan dia membuka salah satu kantong mayat. Ya, itu adalah jenazah Agil. Petugas menanyaiku perihal identitas jenazah. Kubenarkan semua yang ditanyakan oleh petugas itu. Mataku basah melihat adikku terbaring kaku disana.
            “Mas, bapak dan ibu belum ketemu. Mudah-mudahan dari tim SAR dan relawan bisa segera menemukan.”
            Aku hanya diam saja, tak mengomentari apa yang dikatakan oleh Faris.
            Hatiku kini sedang sedih, tak terbayangkan orang-orang kucintai pergi meniggalkanku. Untuk sesaat dunia serasa berhenti berputar, kepalaku rasanya sakit sekali dan semuanya gelap.
                                                                        ****
            Desiran ombak di pantai mengalun merdu. Sayangnya, desiran ombak kali ini hanyalah sebuah sayatan di hati karena Bapak-ibu menangis, menatap wajahku.
“Riz, bapak dan ibu harus pergi sekarang. Kamu jaga diri baik-baik. Ingat pesan bapak, jangan sampai kamu ninggalin shalat lima waktu.”
“Bapak dan ibu mau pergi ke mana?” Aku bertanya dengan suara parau.
Bapak dan ibu tak menjawab.
“Sudah waktunya bapak dan ibu pergi. Selamat tinggal Rizky, sampai ketemu lagi...”
Bapak dan ibu berjalan ke arah tepian pantai dan perlahan menghilang. Aku terdiam disini, hanya bisa meneteskan air mata. Aku menyesal kenapa tidak dari tadi kucegah kepergian mereka berdua.
                                                            ****
            Aku tersadar dari pingsanku, ternyata dari tadi aku bermimpi bertemu bapak dan ibu.
            “Alhamdulillah mas Rizky sudah sadar. Dari tadi mas Rizky nyebut-nyebut nama bapak dan ibu.”
            “Ris, Sudah ada kabar belum tentang bapak dan ibu?”
            “Belum ada mas. Mudah-mudahan segera ada kabar dari tim SAR.”
             “Keluargamu kabarnya gimana?” Aku mencoba bertanya pada Faris.
            “Alhamdulillah semua selamat, karena pada saat kejadian kebetulan saya dan keluarga sedang di kota jenguk nenek yang sedang sakit. Jadi, jujur saya kurang tau kronologi sewaktu longsor.”
            Aku diam tak bertanya lagi kepada Faris.
            “Mas Rizky yang sabar ya? Insya Allah, Allah akan memberikan taqdir yang terbaik untuk kita semua, walaupun terkadang pahit untuk menerimanya.”
            Aku tak memberikan tanggapan dan komentar kepada Faris. Hatiku masih sangat pilu, tak percaya bahwa adikku telah meninggal dan kedua orang tuaku belum ada kabar sampai sekarang.
            Banjarnegara, 20 Desember 2018
            Sudah seminggu lamanya aku berada di posko pengungsian. Suara tangis kesedihan menari-nari ditelingaku. Suara jeritan anak yang kehilangan orang tua benar-benar menyayat hati. Saudara-saudaraku silih berganti berkunjung ke desaku untuk menjenguk dan menyemangatiku. Bapak dan ibu masih belum bisa ditemukan. Tadi aku diberi tahu oleh tim SAR bahwa para korban yang sudah seminggu tak ditemukan dimungkinkan jenazahnya sudah menyatu dengan tanah. Tim SAR juga mengatakan pencarian dilakukan maksimal 1 minggu lagi, jika masih belum ditemukan maka dianggap sebagai korban hilang.
            Mendengar hal demikian aku sudah sangat pasrah dan tak terlalu berharap kedua orang tuaku akan dtemukan dalam keadaan selamat. Sepertinya aku harus kehilangan orang yang kucintai dan mungkin aku akan menjadi anak yatim piatu diusia 24 tahun. Tubuhku serasa ditimpa beban berat. Dadaku sesak karena menahan tangis. Untung ada Faris yang sigap memapah tubuhku yang lemas. Untuk sementara aku tidak tinggal di posko, melainkan tinggal bersama pakde dan bude untuk menghilangkan trauma yang melanda pada diriku. Ternyata aku baru mengetahui maksud mimpi satu minggu yang lalu. Itu merupakan pesan terakhir dan salam perpisahan selama-lamanya dari kedua orang tuaku.    
            Malam ini, 12 April 2016
            Aku tersadar dari lamunanku karena hpku bergetar.
            “Ya halo Met.”
            “Kamu baik-baik aja kan Riz?”
            “Ya, aku baik-baik saja. Ada apa ya? Kok kamu tiba-tiba nelpon?”
            “Mastiin kamu baik-baik aja Riz.”
            “Insya Allah aku baik-baik aja. Kamu sebaiknya istirahat ini udah malem.”
            “Tuut. Tuut. Tuut.” Suara Hp ditutup.
            Semenjak kejadian dua tahun lalu, hidupku dipenuhi oleh kabut kesedihan. Semenjak kejadian itu pula Aku selalu berbohong kepada Meta. Aku tak pernah merasa baik. Ketika aku berkata: “Aku baik-baik saja.” Sesungguhnya aku hanya ingin membuatnya merasa tenang, serta berharap bahwa dia tak pernah akan mengkhawatirkanku pasca meninggalnya keluargaku.
Semenjak kejadian dua tahun lalu, Selepas shalat isya, pekerjaanku hanya memandang foto lusuh yang ada di dompet. Satu-satunya kenangan yang tersisa hingga saat ini. Waktu sudah menunjukkn pukul 23.00 WIB. Seperti biasa, sebelum aku tidur aku mendoakan bapak, ibu, dan Agil agar diterima di sisi Allah dan kelak bisa bertemu kembali di surga-Nya. Amin. 
            Kulangkahkan kaki menuju kamar dan aku berharap malam ini bisa bermimpi bertemu dengan keluargaku. Sayangnya, mimpi terakhirku bertemu kedua orang tua yaitu saat longsor dua tahun lalu, dan mungkin itu adalah mimpi sekaligus pesan terakhir dari orang tuaku yang mungkin tak akan bisa terulang kembali.
                                                                        TAMAT


[1] Lirik keluarga cemara.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda