Sebuah Foto Usang dalam Dompetku
Malam
ini, 12 April 2016
Kerlip sinar bintang
menerangi malam. Indah cahaya bulan menyinari bumi. Suasana malam begitu sejuk,
tenang, dan syahdu. Aku terduduk sendiri menikmati sepi di atap hotel bintang
lima kota Jakarta. Kubuka dompet disaku belakang celana jeansku dan kutatap
sebuah foto usang yang dicetak dua tahun lalu. Disana ada ayah, ibu, aku, serta
adikku yang bernama Agil. Kupandang wajah mereka satu per satu di foto itu. Teringat
kembali kenangan bersama mereka saat dulu kala. Ya Allah, begitu indah saat
kita duduk bersama dan bercerita dibangku sofa. Saling tertawa, saling menimpuk
bantal, kadang sampai cemberut.
Hpku
bergetar, satu pesan masuk ke hpku. Kubuka hp dan itu pesan dari Meta.
“Hai
Riz, kamu lagi dimana?”
Kututup
kembali hpku, tak kubalas pesan darinya. Aku ingin sendiri, dan hanya malam
yang boleh menemaniku disini. Ingatanku kembali melayang, kembali mengenang
masa-masa bersama mereka, orang yang paling kucintai seumur hidupku. Kupejamkan
mata, lalu kunyanyikan lagu yang sering dinyanyikan ibu saat ingin
menindurkanku diwaktu kecil.
“Harta
yang paling berharga adalah keluarga.”
“Istana yang paling indah
adalah keluarga.”
“Puisi yang paling
bermakna adalah keluarga.”
“Mutiara tiada tara
adalah keluarga.”[1]
****
Banjarnegara,
1 November 2014
Dua tahun lalu sebelum aku berangkat
ke Jakarta. Aku berkumpul bersama keluargaku di ruang tengah. Semuanya tampak
bahagia karena seminggu lagi aku akan pergi ke Jakarta untuk dipindah tugaskan
di kantor pusat perusahaan.
“Mas,
barang-barangmu kalo bisa dikemas dari sekarang ya?” Bapak mengingatkanku.
“Sudah
pak, semuanya beres.” Aku cengengesan dan mengacungkan jempol kananku ke bapak.
“Ingat
ya mas, kalo sudah di Jakarta shalat jamaahnya dijaga. Jaga dirimu baik-baik,
dan enggak usah neko-neko.” Ibu mencoba memberikan nasehat kepadaku.
“Insya
Allah bu, Rizky enggak akan lupa pesan ibu.”
“Sebenernya
ibu pinginnya kamu tinggal disini aja. Bareng sama bapak, ibu, dan juga adikmu,
tapi kamu menyanggupi permintaan dari bosmu di kantor ya apa boleh buat, mau
enggak mau kamu harus ke Jakarta.”
“Mas Rizky ke Jakarta sebenernya pingin nyusul
mba Meta bu.” Tiba-tiba Agil nyeletuk.
Aku
hanya melototkan mata ke arahnya sebagai isyarat agar tak sembarangan bicara,
namun yang ditatap malah membalas dengan juluran lidah ke arahku. Hal itu
membuatku kian gemas, maka kuambil bantal di sofa dan kutimpuk muka Agil. Yak,
tepat mengenai mukanya.
“Rizky...
Agil... Cukup. Kalian seperti anak kecil saja, bertengkar yang enggak perlu.”
Suara ibu agak meninggi, namun tetap halus.
Aku
hanya tersenyum-senyum tanpa dosa, sedangkan Agil memanyunkan bibirnya karena
kesal aku timpuk dengan bantal. Bapak dan ibu hanya bisa menggelengkan kepala,
mungkin dalam hati mereka berkata: “Dasar anak-anak, udah gede masih suka main timpuk-timpukan
bantal.”
Banjarnegara, 6 November 2018
Ruang tengah sesaat hening. Bapak,
ibu, dan Agil semuanya tediam. Besok aku harus berangkat ke Jakarta, berarti
ini merupakan hari terakhirku disini.
“Riz...”
Suara
bapak memecah keheningan.
“Iya
pak.”
“Kamu
baik-baik ya di Jakarta? Jaga kondisi, jaga kesehatan, makan yang teratur biar
enggak sakit. Soalnya kalo sakit kamu bakalan kerepotan karena enggak ada
keluarga disana.”
“Walaupun
enggak ada keluarga di Jakarta, tapi kan disana ada mba Meta yang siap nemenin
mas...” Agil sempat nyeletuk, tapi suaranya dipotong ibu.
“Sstt...”
Ibu mendekatkan jari telunjuk ke arah bibir sebagai pertanda agar Agil tak
melanjutkan perkataannya.
“Iya
pak, Insya Allah Rizky akan melaksanakan pesan bapak.”
“Kalau
pas liburan panjang sempatkan pulang ke Banjarnegara ya nak.” Kini giliran ibu
yang berpesan, matanya terlihat sembab.
“Mas
Rizky besok hati-hati ya berangkatnya, barangkali besok Agil masih di sekolah
dan enggak bisa ngelepas mas Rizky pas ke Jakarta.”
Aku
tersenyum pada Agil dan mengedipkan mata kananku seolah mengatakan: “Tak
masalah.”
Jakarta,
12 Desember 2014
Hampir satu bulan lamanya aku tinggal
di Jakarta. Aku cepat beradaptasi disini, dan yang terpenting aku bisa bekerja
sama dengan tim. Aku juga bersyukur karena bisa banyak belajar di kantor baruku
ini.
Aku
duduk menghadap laptop, nyaris mematikannya karena sebentar lagi akan pulang.
Kulihat jam tangan, ternyata waktu menunjukkan pukul 17.45 WIB. Kulihat pula hp
yang kuletakkan diatas meja, kubaca satu persatu pesan yang ada disana.
“Astaghfirullah.”
Bibirku
tak henti-hentinya berzikir mengucap nama-Nya. Keringat dingin mulai keluar
dari tubuhku dan membasahi pakaian kantorku. Suasana di raungan berasa panas
padahal AC menyala dengan suhu 19˚C. Baru saja Meta memberi pesan
kepadaku bahwa di Banjarnegara, tepatnya di desa Sampang dusun Jemblung terjadi
bencana longsor. Untuk sementara perkiraan yang selamat hanya 20 orang, yang
lain masih dalam tahap pencarian.
Tanpa
berlama-lama aku segera menghubungi bapak. Aku berjalan mondar-mandir diruangan,
hatiku resah karena takut terjadi hal-hal yang tak diinginkan menimpa pada
keluargaku. Sayang sekali nomer hp bapak tak dapat dihubungi. Kucoba menghubungi
nomer hp ibu, ternyata tidak aktif.
“Ya
Allah. Lindungilah mereka dari mara bahaya.” Hatiku mencoba berdoa guna
menenangkan diri.
Aku
tak putus asa, kucoba menghubungi nomer hp Agil. Sekian detik menunggu, hanya
ada balasan dari operator bahwa nomer Agil sedang tidak aktif. Dengan langkah
gontai, aku menuju ke ruang manajer. Kuceritakan apa yang terjadi di
Banjarnegara secara mendetail, termasuk kondisi keluargaku. Manajer memberikan
izin kepadaku untuk pulang selama tiga hari, dengan ketentuan jika keluargaku
ditemukan dan dalam keadaan baik maka aku harus segera kembali ke Jakarta,
namun apabila keluargaku belum ditemukan atau ditemukan dalam keadaan tidak
selamat, aku berhak memperpanjang cuti sampai satu minggu.
Selepas
dari kantor aku langsung pulang menuju ke Banjarnegara dengan balutan baju
kantor yang masih menempel ditubuhku. Saat diperjalanan tetap kucoba
menghubungi keluargaku, hasilnya tetapa sama, nomer mereka tak bisa kuhubungi.
Kecemasan masih saja menghantuiku, yang terpenting sekarang aku harus pulang
memastikan semuanya dalam kedaan baik.
Banjarnegara,
13 Desember 2018
Setelah melewati perjalanan yang
cukup panjang dari Jakarta menuju Banjarnegara, aku harus berjalan kaki
sepanjang 1 km dari tempat pemberhentian mobil menuju ke desaku karena akses
jalan utama yang menuju desaku ditutup. Terlihat puluhan relawan sedang
berusaha membongkar tumpkan tanah. Ada juga yang sedang mengangkat mayat yang
ternyata itu adalah tetanggaku sendiri. Masya Allah, suasana terlihat
mencengkam. Seluruh rumah yang dibangun disana telah rata ditimpuk oleh tanah,
termasuk rumahku.
“Mas
Rizky...”
Kutolehkan
wajahku ke asal suara, ternyata itu adalah Faris seorang temanku yang selamat
dari bencana longsor.
“Mas,
Agil sudah ditemukan ayo ikut saya ke posko.”
“Gimana
kondisi Agil Ris?”
Faris
tidak menjawab pertanyaanku.
“Sebaiknya
mas Rizky lihat langsung di posko.”
Kuiikuti
langkah Faris menuju ke posko yang tak jauh dari tempatku berdiri. Sesampainya
disana Faris menemui petugas, dan memberitahukan bahwa aku adalah kakak dari
korban yang bernama Agil. Petugas menemuiku dan mengkonfirmasikan kembali apa
yang sudah dijelaskan oleh Faris. Kujawab semua yang pertanyaan yang diutarakan
oleh petugas. Dia membawaku ke sebuah tempat yang baunya sangat menusuk hidung.
Ternyata disana adalah tempat evakuasi mayat, perlahan dia membuka salah satu
kantong mayat. Ya, itu adalah jenazah Agil. Petugas menanyaiku perihal
identitas jenazah. Kubenarkan semua yang ditanyakan oleh petugas itu. Mataku
basah melihat adikku terbaring kaku disana.
“Mas,
bapak dan ibu belum ketemu. Mudah-mudahan dari tim SAR dan relawan bisa segera
menemukan.”
Aku
hanya diam saja, tak mengomentari apa yang dikatakan oleh Faris.
Hatiku
kini sedang sedih, tak terbayangkan orang-orang kucintai pergi meniggalkanku.
Untuk sesaat dunia serasa berhenti berputar, kepalaku rasanya sakit sekali dan
semuanya gelap.
****
Desiran
ombak di pantai mengalun merdu. Sayangnya, desiran ombak kali ini hanyalah sebuah
sayatan di hati karena Bapak-ibu menangis, menatap wajahku.
“Riz, bapak dan ibu harus
pergi sekarang. Kamu jaga diri baik-baik. Ingat pesan bapak, jangan sampai kamu
ninggalin shalat lima waktu.”
“Bapak dan ibu mau pergi
ke mana?” Aku bertanya dengan suara parau.
Bapak dan ibu tak
menjawab.
“Sudah waktunya bapak dan
ibu pergi. Selamat tinggal Rizky, sampai ketemu lagi...”
Bapak dan ibu berjalan ke
arah tepian pantai dan perlahan menghilang. Aku terdiam disini, hanya bisa
meneteskan air mata. Aku menyesal kenapa tidak dari tadi kucegah kepergian
mereka berdua.
****
Aku
tersadar dari pingsanku, ternyata dari tadi aku bermimpi bertemu bapak dan ibu.
“Alhamdulillah
mas Rizky sudah sadar. Dari tadi mas Rizky nyebut-nyebut nama bapak dan ibu.”
“Ris,
Sudah ada kabar belum tentang bapak dan ibu?”
“Belum
ada mas. Mudah-mudahan segera ada kabar dari tim SAR.”
“Keluargamu kabarnya gimana?” Aku mencoba
bertanya pada Faris.
“Alhamdulillah
semua selamat, karena pada saat kejadian kebetulan saya dan keluarga sedang di
kota jenguk nenek yang sedang sakit. Jadi, jujur saya kurang tau kronologi
sewaktu longsor.”
Aku
diam tak bertanya lagi kepada Faris.
“Mas
Rizky yang sabar ya? Insya Allah, Allah akan memberikan taqdir yang terbaik
untuk kita semua, walaupun terkadang pahit untuk menerimanya.”
Aku
tak memberikan tanggapan dan komentar kepada Faris. Hatiku masih sangat pilu,
tak percaya bahwa adikku telah meninggal dan kedua orang tuaku belum ada kabar
sampai sekarang.
Banjarnegara,
20 Desember 2018
Sudah seminggu lamanya aku berada di
posko pengungsian. Suara tangis kesedihan menari-nari ditelingaku. Suara
jeritan anak yang kehilangan orang tua benar-benar menyayat hati. Saudara-saudaraku
silih berganti berkunjung ke desaku untuk menjenguk dan menyemangatiku. Bapak
dan ibu masih belum bisa ditemukan. Tadi aku diberi tahu oleh tim SAR bahwa para
korban yang sudah seminggu tak ditemukan dimungkinkan jenazahnya sudah menyatu
dengan tanah. Tim SAR juga mengatakan pencarian dilakukan maksimal 1 minggu
lagi, jika masih belum ditemukan maka dianggap sebagai korban hilang.
Mendengar
hal demikian aku sudah sangat pasrah dan tak terlalu berharap kedua orang tuaku
akan dtemukan dalam keadaan selamat. Sepertinya aku harus kehilangan orang yang
kucintai dan mungkin aku akan menjadi anak yatim piatu diusia 24 tahun. Tubuhku
serasa ditimpa beban berat. Dadaku sesak karena menahan tangis. Untung ada
Faris yang sigap memapah tubuhku yang lemas. Untuk sementara aku tidak tinggal
di posko, melainkan tinggal bersama pakde dan bude untuk menghilangkan trauma
yang melanda pada diriku. Ternyata aku baru mengetahui maksud mimpi satu minggu
yang lalu. Itu merupakan pesan terakhir dan salam perpisahan selama-lamanya
dari kedua orang tuaku.
Malam
ini, 12 April 2016
Aku
tersadar dari lamunanku karena hpku bergetar.
“Ya
halo Met.”
“Kamu
baik-baik aja kan Riz?”
“Ya,
aku baik-baik saja. Ada apa ya? Kok kamu tiba-tiba nelpon?”
“Mastiin
kamu baik-baik aja Riz.”
“Insya
Allah aku baik-baik aja. Kamu sebaiknya istirahat ini udah malem.”
“Tuut.
Tuut. Tuut.” Suara Hp ditutup.
Semenjak
kejadian dua tahun lalu, hidupku dipenuhi oleh kabut kesedihan. Semenjak
kejadian itu pula Aku selalu berbohong kepada Meta. Aku tak pernah merasa baik.
Ketika aku berkata: “Aku baik-baik saja.” Sesungguhnya aku hanya ingin membuatnya
merasa tenang, serta berharap bahwa dia tak pernah akan mengkhawatirkanku pasca
meninggalnya keluargaku.
Semenjak kejadian dua
tahun lalu, Selepas shalat isya, pekerjaanku hanya memandang foto lusuh yang
ada di dompet. Satu-satunya kenangan yang tersisa hingga saat ini. Waktu sudah
menunjukkn pukul 23.00 WIB. Seperti biasa, sebelum aku tidur aku mendoakan
bapak, ibu, dan Agil agar diterima di sisi Allah dan kelak bisa bertemu kembali
di surga-Nya. Amin.
Kulangkahkan
kaki menuju kamar dan aku berharap malam ini bisa bermimpi bertemu dengan
keluargaku. Sayangnya, mimpi terakhirku bertemu kedua orang tua yaitu saat
longsor dua tahun lalu, dan mungkin itu adalah mimpi sekaligus pesan terakhir
dari orang tuaku yang mungkin tak akan bisa terulang kembali.
TAMAT
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda