Mudharabah
BAB
I
Pendahuluan
Mudharabah atau yang disebut qiradh secara mudah dapat diartikan
bahwa dua pihak saling melakukan akad, satu pihak memberikan modal, sedang satu
pihak yang lain menjalankan modal untuk berbisnis agar tercipta keuntungan bagi
kedua belah pihak. Kemudian keuntungan tersebut dibagi sesuai dengan perjanjian
atau kesepakatan yang berlaku.
Sebagai makhluk sosial, kebutuhan akan kerja sama antara satu pihak
dengan pihak lain guna meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup,
atau keperluan-keperluan lain, tidak bisa diabaikan. Kenyataan menunjukkan
bahwa di antara sebagian manusia memiliki modal, tetapi tidak bisa menjalankan
usaha-usaha produktif, atau memiliki modal besar dan bisa berusaha produktif,
tetapi berkeinginan membantu orang lain yang kurang mampu dengan jalan
mengalihkan sebagian modal kepada pihak yang memerlukan. Disisi lain,tidak
jarang pula ditemui orang-orang yang memiliki kemampuan dan keahlian berusaha
secara produktif, tetapi tidak memiliki atau kekurangan modal usaha. Berdasar
kenyataan itulah, sangat diperlukan adanya kerja sama pemilik modal dengan
orang-orang yang tidak mempunyai atau kekurangan modal. Pada bentuk kerja sama
seperti ini, pihak miskin yang kekurangan modal itu akan sangat terbantu, dan
para pemilik modal pun tidak pula dirugikan karena pemindahan modalnya kepada
pihak lain tersebut.
Para pemilki modal yang tidak mempunyai keahlian berusaha dalam
bentuk yang produktif akan terpelihara harta yang dimilikinya itu serta akan
menerima sebagian keuntungan dsebabkan investasi yang diberikannya. Bagi
pemilik modalyang sanggup menjalankan usaha produktif, langkah pemberian
modalyang dilakukannya kepada pihak lain
akan mendapatkan keuntungan pula karena investasi yang dia tanamkan dalam usaha
dan keuntungan itu juga merupakan
sebagai imbalan atas inflasi nilai mata uang yang selalu terjadi. Di sisi lain,
bagi orang yang miskin yang tidak mempunyai
modal, ia sangat terbantu dalam berusaha. Ia bisa berusaha dalam
lapangan ekonomi serta terhindar dari pengangguran. Tidak jarang terjadi,
karena adanya bantuan modal dari pihak lain itu, orang bisa mengenmbangkan
bakatnya dalam lapangan ekonomi, dan bahkan ada diantara mereka akhirnya sampai
mencapai tingkat kehidupan sebagai pemilik modal besar.
Dan diantara kepentingan sistem qiradh selain untuk menghilangkan pengangguran, ialah walaupun
qiradh itu mengandung perjanjian bahwa keuntungan (laba) untuk kedua-belah
pihak entah masing-masing separuhnya atau dengan prosentase yang ditentukan
akan tetapi bila terjadi kerugian yang menjalankan modal, dia tetap berhak
mendapatkan upah yang wajar yang disebut: ujratul mitsli. Jadi dia (pelaksana)
itu tidak ikut rugi, melainkan tetap mendapat keuntungan sebagai upah.
Hukumnya boleh.
Sabda Nabi SAW:
“Tiga
macam, padanya mempunyai berkah, ialah:
1.
Menjual sesuatu barang yang ditangguhkan membyarnya kepada waktu
tertentu. (suatu sistim dagang yang
mengandung sosial bagi pembeli yang miskin);
2.
Bagi untung; (karena mengandung manfaat bagi orang yang tidak punya
modal);
3.
Mencampurkan biji sawi dengan gandum untuk dimakan supaya menjadi
kekuatan (seperti denganbubur)”.(H.R Ibnu Majah)
Demikianlah gambaran secra global tentang mudharabah. Praktek ini
sudah sering dilakukan oleh masyarakat secara umum, kita dapat melihat praktek
ini dilingkungan sekitar kita. Sehingga kita bisa menganalisis hal-hal apa saja
yang terjadi pada muamalah tersebut, serta bisa mengkaji penyebab batalnya
muamalah dan sahnya muamalah tersebut dilihat dari berbagai aspek. Mudah-mudahan
dengan adanya makalah ini bisa menambah wawasan kita sebagai mahasiswa. Kami
mohon maaf jika terdapat banyak kesalahan dalm pembuatan makalah ini. Kami
menerima kritik dan saran untuk perbaikan pada diri kami sebagai penyusun
makalah, karena kami hanyalah manusia biasa yang tak lepas dari khilaf dan
salah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Arti, Landasan, dan Rukun Mudharabah
1. Pengertian Mudharabah
Mudharabah atua qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah
(perkongsian). Istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedankan orang
Hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh
adalah dua istilah untuk maksud yang sama.
Menurut bahasa, qiradh (قراض)
diambil dari kata قرض yang berarti
potongan, sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan
kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut untuk berdagang, dan
pengusaha akan memberikan potongan dari laba yamg diperoleh dari perdagangan[1].
Bisa juga diambil dari kata مقاردة
yang berarti مساوة (kesamaan), sebab
pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba.
Orang Irak menyebutnya, dengan istilah mudharabah (مضرابه), sebab “setiap melakukan akad memiliki
bagian dari laba”, atau pengusaha harus mengadakan perjalanan dalam
mengusahakan harta modal tersebut. Perjalanan tersebut dinamakanضرباًفيالسفر[2]
Mengenaipengertian mudharabah menurut istilah, diantara ulama fiqih
terjadi perbedaan pendapat, salah satunya adalah:[3]
“Pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha untuk
berdagang dengan modal tersebut, dan laba dibagi antara keduanya berdasarkan
persyaratan yang disepakati”.
Adapun pengertian lain ialah perakadan atas harta benda yang
diberikan kepada orang lain guna diperdagangkan serta laba untuk kedua belah
pihak.[4]
2. Landasan Hukum
Para ulama fiqih sepakat bahwa mudharabah disyariatkan dalam islam
berdasarkan Al-Quran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas
a.
Al-Quran
“Dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah” (Al-Muzammil:20)
b.
As
Sunnah
“Tiga
perkara yang mengandung berkah adala jual-beli yang ditangguhkan, melakukan
qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan
jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.”(H.R Ibn Majah dan Shuhaib)
c.
Ijma
Diantara
ijma dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat
menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak
ditentang oleh sahabat lainnya.[5]
d.
Qiyas
Mudharabah
diqiyaskan kepada Al Musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun).
Selain diantara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Disatu sisi,
banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Disisi lain tidak
sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan
demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kedua golonagn
diatas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
3. Rukun Mudharabah
Para Ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ada yang
mengatakan rukun mudharabah ada tiga, yaitu al-aqadain, ma’qud alaih, dan
shigat. Ulama hanafiah meyatakan bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul
yakni lafadz yang menujukkan ijab dan qabul[6].
Sedangkan pada buku lain disebutkan bahwa rukun mudharabah ada
lima, yaitu[7]:
1. Ada dua orang yang berakad, ialah muridh (yang memberi modal) dan
muqtaridh (yang melaksanakan modal).
2. Ijab-qabul dari kedua belah pihak.
3. Adamodal pokok berupa uang atau barang yang berharga.
4. Ada pekerjaan dari muqtaridh.
5. Ditentukan labanya bagi kedua pihak, masing-masing setengahnya atau
prosentase tertentu.
4. Jenis-Jenis Mudharabah
Mudharabah ada dua macam, yaitu mudharabah mutlak (al-muthlaq) dan
mudharabah terikat (al-muqayyad)[8]
Mudharabah mutlak adalah penyerahan modal seseorang kepada
pengusaha tanpa memberikan batasan, seperti berkata, “Saya serahkan uang ini
kepadamu untuk diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi di antara kita,
masing-masing setengah atau sepertiga, dan lain-lain.”
Mudharabah muqayyad (terikat) adalah penyerahan modal seseorang
kepada pengusaha dengan memberkan batasan, seperti persyaratan bahwa pengusaha
harus berdagang sepatu, atau membelibarang dari orang tertentu, dan lain-lain.
Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad membolehkan memberi batasan dengan
waktu dan orang, tetapi ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.
Ulama Hanafiyah dan Ahmad pun membolehkan akad apabila dikaitkan
dengan masa yang akan datang , seperti, usahakan modal ini mulai bulan depan,
sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.
B. Syarat Sah Mudharabah
Syarat-syarat
sah mudharabah berkaitan dengan aqidaini (dua orang yang akan akad), modal, dan
laba.
1.
Syarat Aqidaini
Disyaratkan
bagi orang yang akan melakakan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah
ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil , sebab mudharib mengusahakan harta
pemilik modal, yakni menjadi wakil. Namun demikian, tidak disyaratkan harus
muslim, Mudharabah dibolehkan dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang
dilindungi di negara islam.
Adapun
ulama Malikiyah memakruhkan mudharabah dengan kafir dzimmi jika mereka
melakukan riba.
2.
Syarat Modal
a.
Modal
harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya, yakni segala sesuatu
yang memungkinkan dalam pengongsian (Asy-Syirkah).[9]
b.
Modal
harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c.
Modal
harus ada, bukan berarti utang, tetapi tidak berarti harus ada di tempat akad.
Juga dibolehkan mengusahakan harta yang dititipkan kepada orang lain, seperti
mengatakan, “Ambil harta saya di si fulan kemudian jadikan modal usahakan!”
d.
Modal
harus diberikan kepada pengusaha. Hal itu dimaksudkan agar pengusaha dapat
Mengusahakannya , yakni menggunakan harta tersebut sebagai amanah.
3.
Syarat-Syarat Laba
a.
Laba Harus Memiki Ukuran
Mudharabah
dimaksudkan untuk mendapatkan laba. Dengan demikian, jika laba tidak jelas,
mudharabah batal. Namun demikian, pengusaha dibolehkan menyerahkan laba
sebesarRp 5.000,00 misalnya untuk dibagi-bagi diantara keduanya, tanpa
menyebutkan ukuran laba yang akan diterimanya.
Ulama
Hanafiyahberpendapat bahwa apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian
harus ditanggung oleh kedua orang yang akad, maka akad rusak, tetapi mudharabah
tetap sah. Hal ini karena dalam mudharabah, kerugian harus ditanggung
olehpemilik modal. Sedangkan apabila pemilik mensyaratkan laba harus diberikan
semuanya kepadanya, hal itu tidak dikatakan mudharabah, tetapi pedagang.
Sebaliknya,
jika pengusaha mensyaratkan laba harus diberikan kepadanya, menurut ulama
Hanafiyah dan Hanabilah, hal itu, termasuk qaradh, tetapi menurut Syafi’iyah
termasuk mudharabah yang rusak. Pengusaha diberi upah sesuai usahanya, sebab
mudharabah mengharuskan adanya pembagian laba. Denagn demikian, jika laba
disyaratkan harus dimiliki seseorang, akad menjadi rusak.
Ulama
Malikiyah membolehkan pengusaha mensyratkan semua laba untuknya.[10]
Begitu pula, semua laba boleh untuk pemilik modal sebab tabarru’ (derma).
b.
Laba Harus Berupa Bagian yang Umum (Masyhur)
Pembagian
laba harus sesuai dengan keadaan yang berlaku secara umum, seperti kesepakatan
di antara orang yang melangsungkan akad bahwa setengah laba adalah untuk
pemilik modal, sedangkan setengah lainnya lagi diberikan kepada pengusaha. Akan
tetapi, tidak dibolehkan menetapkan jumlah tertentu bagi satu pihak dan sisanya
bagi pihak lain, seperti menetapkan laba 1.000 bagi pemilik modal dan
menyerahkan sisanya bagi pengusaha.
c. Hukum Mudharabah
Hukum Mudharabah terbagi dua, yaitu mudharabah sahih dan mudharabah
fasid. Kedua jenis miudharabah ini akan menjelaskan di bawah ini.
1. Hukum Mudharabah Fasid
Salah satu contoh mudharabah fasid adalah mengatakan, “Berburulah
dengan jarng saya dan hasil buruannya dibagi di antara kita”. Ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah[11]
berpendapat bahwa pernyataan termasuk tidak dapat dikatakan mudharabah yang
shahih karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan buruan atau tidak.
Hasil yang diperoleh pengusaha atau pemburu diserahkan kepada pemilik
harta (modal), sedangkan pemburu tidak memiliki hak sebab akadnya fasid. Tentu
saja, kerugian yang ada pun ditanggung sendiri oleh pemilik modal. Namun, jika
modal rusak atau hilang, yang diterima adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya.
Pendapat Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah hampir sama dengan pendapat ulama
Hanafiyah.
Beberapa hal laindalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik
modal memberikan upah kepada pengusaha, antara lain:
a.
Pemilik
modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, memberi, atau
mengambil barang.
b.
Pemilik
modal mengharuskan pengusaha untuk bermusywarah sehingga pengusaha tidak
bekerja, kecuali atas seizinnya.
c.
Pemilik
modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut
dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.
2. Hukum Mudharabah Shahih
Hukum mudharabah shahih yang tergolong sahih sudah cukup banyak,
diantaranya berikut ini.
a.
Tanggung
Jawab Pengusaha
Ulama fiqih
telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung jewab atas modal yang ada
ditangannya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikkan modal tersebut
atas seizin pemiliknya.
Apabila
pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba secara bersama-sama dengan
pemilik modal.
Jika mudharabah
rusak karena adanya beberapa sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi
pedagang sehingga iapun memiliki hak untuk mendapatkan upah. Jika harta rusak
tanpa disengaja, ia tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut. Jika
mengalami kerugian pun, ditanggung oleh pengusaha saja.
Jika
disyaratkan bahwa pengusaha harus bertanggung-jawab atas rusaknya modal,
menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, syaratv tersebut batal, tetapi akadnya
sah. Dengan demikian, pengusaha bertanggung-jawab atas modal dan berhak atas
laba. Adapun ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah batal.
3. Tasharruf Pengusaha
Menurut ulama Hanafiyah, jika mudharabah mutlak, maka pengusaha
berhak untuk untuk beraktivitas dengan
modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual-beli. Begitu
pula pengusaha dibolehkan untuk membawa modal tersebut dalam suatu perjalanan
dengan maksud untuk mengusahakan harta tersebut.
Beberapa hal yang
perlu dilakukan oleh pengusaha adalah:
a. Pengusaha
hanya boleh mengusahakan modal setelah ada izin yang jelas dari pemiliknya.
b. Menrut
ulama Malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dagangan melebihi modal
yang diberkan kepadanya.
c. Pengusaha
tidak membelanjakan modal selain untuk mudharabah, juga tidak boleh
mencampurkanyya dengan harta milik orang lain.
Menurut ulama Hanafiyah, pengusaha dibolehkan mnyerahkan modal
tersebut kepada pengusaha lainnya atas seizin pemilik modal. Namun demikian,
harta tersebut tetap berada dibawah tanggung-jawabnya (pengusaha pertama). Jika
mendapatkan laba, laba tersebut dibagikan kepada pemilik modal dan pengusaha
pertama sesuai kesepakatan. Adapun bagian dari laba yang diterima oleh
pengusaha pertama dibagi lagi dengan pengusaha kedua sesuai kesepakatan
diantara keduanya.
Menurut ulama selain Hanafiyah, pengusaha bertanggung-jawab atas
modal jika ia memberikan modal kepada orang lain tanpa seizinnya, tetapi laba
dibagi atas pengusaha kedua dan pemilik modal. Pengusaha pertama tidak berhak
mendapatkan laba sebab laba diberikan kepada mereka yang berusaha secara sempurna.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa modal tidak boleh diberikan
kepada pengusaha lain, baik dalam hal usaha maupun laba, meskipun atas seizin
pemilik modal.
4. Pada mudharabah terikat
Secara
umum, hukum yang terdapat dalam mudharabah terikat sama dengan ketetapan yang
ada pada mudharabah mutlak. Namun, ada beberapa pengecualian, anatara lain
berikut ini.
a. Penentuan
tempat
Jika pemilik
modal menentukan tempat, seperti ucapan, “gunakan modal ini untuk mudharabah,
dengan syarat harus di daerah tasikmalaya.” Pengusaha harus mengusahakannya di
daerah tasikmalaya, sebab syarat tempat termasuk persyaratan yang dibolehkan.
Apabila pengusaha mengusahakannya bukan di daearah tasikmalaya, ia bertanggung
jawab atas modal tersebut beserta kerugiannya.
b. Penentuan
orang
Ulama Hanafiyyah
dan hanabilah membolehkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus
dibeli barangnya oleh pengusaha atau kepada siapa ia harus menjual barang,
sebab hal ini termasuk syarat yang berfaedah. Adapun ulama Syafi’iyyah dan
Malikiyyah melarang persyaratan tersebut sebab hal itu mencegah pengusaha untuk
mencari pasar yang sesuai dan menghambat pencarian laba.
c. Penentuan
waktu
Ulama
Hanafiyyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal menentukan waktu sehingga
jika melewati batas, akad batal. Adapun ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah
melarang persyaratan tersebut sebab terkadang laba tidak dapat diperoleh dalam
waktu sebentar dan terkadang dapat diperoleh pada waktu tertentu.
E. Perkara yang Membatalkan
Mudharabah
Mudharabah
dianggap batal pada hal berikut.
1. Pembatalan,
Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudaharabah
menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan untuk mengusahakan
(tasharruf), dan pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan
larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan
tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan. Akan
tetapi, jika pengusaha tidak mengetahui bahwa mudharabah telah dibatalkan,
pengusaha (mudharib) dibolehkan untuk tetap mengusahakannya.
2. Salah
Seorang Aqid Meninggal Dunia
Jumhur ulama
berpendapat bahwa mudharabah batal, jika salah seorang aqid meninggal dunia,
baik pemilik modal maupun pengusaha. Hal ini karena mudharabah berhubungan
dengan perwakilan yang akan batal dengan meninggalnya wakil atau yang
mewakilkan. Pembatalan tersebut dipandang sempurna dan sah, baik diketahui
salah seorang yang melakukan akad atau tidak.
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa
mudharabah tidak batal dengan meninggalnya salah seorang yang melakukan akad,
tetapi dapat diserahkan kepada ahli warisnya, jika dapat dipercaya.
3. Salah
Seorang Aqid Gila
Jumhur ulama
bahwa gila membatalkan mudharabah sebab gila atau sejenisnya membatalkan
keahlian dalam mudharabah.
4. Pemilik
Modal Murtad
Apabila pemilik
modal murtad (keluar dari islam) atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung
dengan msusuh serta diputuskan oleh hakim atas pembelotannya, menurut Imam Abu
Hanifah, hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan musuh sama saja
dengan mati. Hal itu menghilangkan keahlian dalam kepemilikan harta, dengan
dalil bahwa harta orang murtad dibagikan diantara para ahli warisnya.
5. Modal
Rusak di Tangan Pengusaha
Jika harta
rusak sebelum dibelanjakan, mudhrabah menjadi batal. Hal ini karena modal harus
dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak, mudharabah batal.
Begitu pula, mudharabah dianggap
rusak jika modal diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga tidak
tersisa untuk diusahakan.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i, Rahmat, Fiqh Muamalah, Bandung,
Pustaka Setia, 2001
Asyur, Ahmad Isa, Fiqh Islam Praktis Bab Muamalah,
Solo, CV Pusta Mantiq, 1995
Anwar, H. Moh, Fiqh Islam : Muamalah, dan Jinayah
(Hukum Perdata dan Pidana Islam) Beserta Kaedah-Kaedah Hukumnya, Bandung,
1998
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarata, PT Raja
Grafindo Persada, 1993
[1]Rahmat
Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm 223.
Lihat pula Ahmad Isya Asyur, Fiqih Al- Muyasar (Beirut: CV Pustaka Mantiq,
1995), hlm 90
[4] Moh
Anwar, Fiqh Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1998), hlm 63
[5]Alaudin
Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, juz VI, hlm.
79
[7]Moh
Anwar, Fiqh Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1998), hlm 64
[10]Ibn Rusyd, Bidayah
Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, juz II, hlm. 335
[11]Al-Kasani,
Op.Cit., juz VI, hlm. 108
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda