Jumat, 02 Maret 2012

Mudharabah


BAB I
Pendahuluan
Mudharabah atau yang disebut qiradh secara mudah dapat diartikan bahwa dua pihak saling melakukan akad, satu pihak memberikan modal, sedang satu pihak yang lain menjalankan modal untuk berbisnis agar tercipta keuntungan bagi kedua belah pihak. Kemudian keuntungan tersebut dibagi sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan yang berlaku.
Sebagai makhluk sosial, kebutuhan akan kerja sama antara satu pihak dengan pihak lain guna meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup, atau keperluan-keperluan lain, tidak bisa diabaikan. Kenyataan menunjukkan bahwa di antara sebagian manusia memiliki modal, tetapi tidak bisa menjalankan usaha-usaha produktif, atau memiliki modal besar dan bisa berusaha produktif, tetapi berkeinginan membantu orang lain yang kurang mampu dengan jalan mengalihkan sebagian modal kepada pihak yang memerlukan. Disisi lain,tidak jarang pula ditemui orang-orang yang memiliki kemampuan dan keahlian berusaha secara produktif, tetapi tidak memiliki atau kekurangan modal usaha. Berdasar kenyataan itulah, sangat diperlukan adanya kerja sama pemilik modal dengan orang-orang yang tidak mempunyai atau kekurangan modal. Pada bentuk kerja sama seperti ini, pihak miskin yang kekurangan modal itu akan sangat terbantu, dan para pemilik modal pun tidak pula dirugikan karena pemindahan modalnya kepada pihak lain tersebut.
Para pemilki modal yang tidak mempunyai keahlian berusaha dalam bentuk yang produktif akan terpelihara harta yang dimilikinya itu serta akan menerima sebagian keuntungan dsebabkan investasi yang diberikannya. Bagi pemilik modalyang sanggup menjalankan usaha produktif, langkah pemberian modalyang dilakukannya  kepada pihak lain akan mendapatkan keuntungan pula karena investasi yang dia tanamkan dalam usaha dan keuntungan  itu juga merupakan sebagai imbalan atas inflasi nilai mata uang yang selalu terjadi. Di sisi lain, bagi orang yang miskin yang tidak mempunyai  modal, ia sangat terbantu dalam berusaha. Ia bisa berusaha dalam lapangan ekonomi serta terhindar dari pengangguran. Tidak jarang terjadi, karena adanya bantuan modal dari pihak lain itu, orang bisa mengenmbangkan bakatnya dalam lapangan ekonomi, dan bahkan ada diantara mereka akhirnya sampai mencapai tingkat kehidupan sebagai pemilik modal besar.
Dan diantara kepentingan sistem qiradh selain untuk  menghilangkan pengangguran, ialah walaupun qiradh itu mengandung perjanjian bahwa keuntungan (laba) untuk kedua-belah pihak entah masing-masing separuhnya atau dengan prosentase yang ditentukan akan tetapi bila terjadi kerugian yang menjalankan modal, dia tetap berhak mendapatkan upah yang wajar yang disebut: ujratul mitsli. Jadi dia (pelaksana) itu tidak ikut rugi, melainkan tetap mendapat keuntungan sebagai upah.
Hukumnya boleh.
Sabda Nabi SAW:
“Tiga macam, padanya mempunyai berkah, ialah:
1.      Menjual sesuatu barang yang ditangguhkan membyarnya kepada waktu tertentu. (suatu  sistim dagang yang mengandung sosial bagi pembeli yang miskin);
2.      Bagi untung; (karena mengandung manfaat bagi orang yang tidak punya modal);
3.      Mencampurkan biji sawi dengan gandum untuk dimakan supaya menjadi kekuatan (seperti denganbubur)”.(H.R Ibnu Majah)
Demikianlah gambaran secra global tentang mudharabah. Praktek ini sudah sering dilakukan oleh masyarakat secara umum, kita dapat melihat praktek ini dilingkungan sekitar kita. Sehingga kita bisa menganalisis hal-hal apa saja yang terjadi pada muamalah tersebut, serta bisa mengkaji penyebab batalnya muamalah dan sahnya muamalah tersebut dilihat dari berbagai aspek. Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini bisa menambah wawasan kita sebagai mahasiswa. Kami mohon maaf jika terdapat banyak kesalahan dalm pembuatan makalah ini. Kami menerima kritik dan saran untuk perbaikan pada diri kami sebagai penyusun makalah, karena kami hanyalah manusia biasa yang tak lepas dari khilaf dan salah.





                                    BAB II
                                    PEMBAHASAN
  A.   Arti, Landasan, dan Rukun Mudharabah
  1.     Pengertian Mudharabah
Mudharabah atua qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedankan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama.
Menurut bahasa, qiradh (قراض) diambil dari kata قرض yang berarti potongan, sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut untuk berdagang, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yamg diperoleh dari perdagangan[1]. Bisa juga diambil dari kata مقاردة yang berarti مساوة (kesamaan), sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba.
Orang Irak menyebutnya, dengan istilah mudharabah (مضرابه), sebab “setiap melakukan akad memiliki bagian dari laba”, atau pengusaha harus mengadakan perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut. Perjalanan tersebut dinamakanضرباًفيالسفر[2]
Mengenaipengertian mudharabah menurut istilah, diantara ulama fiqih terjadi perbedaan pendapat, salah satunya adalah:[3]
“Pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tersebut, dan laba dibagi antara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati”.
Adapun pengertian lain ialah perakadan atas harta benda yang diberikan kepada orang lain guna diperdagangkan serta laba untuk kedua belah pihak.[4]
  2.    Landasan Hukum
Para ulama fiqih sepakat bahwa mudharabah disyariatkan dalam islam berdasarkan Al-Quran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas
a.       Al-Quran
Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah” (Al-Muzammil:20)
b.      As Sunnah
“Tiga perkara yang mengandung berkah adala jual-beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.”(H.R Ibn Majah dan Shuhaib)
c.       Ijma
Diantara ijma dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.[5]
d.      Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada Al Musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Disatu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Disisi lain tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kedua golonagn diatas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
  3.    Rukun Mudharabah
Para Ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ada yang mengatakan rukun mudharabah ada tiga, yaitu al-aqadain, ma’qud alaih, dan shigat. Ulama hanafiah meyatakan bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul yakni lafadz yang menujukkan ijab dan qabul[6].
Sedangkan pada buku lain disebutkan bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu[7]:
1.      Ada dua orang yang berakad, ialah muridh (yang memberi modal) dan muqtaridh (yang melaksanakan modal).
2.      Ijab-qabul dari kedua belah pihak.
3.      Adamodal pokok berupa uang atau barang yang berharga.
4.      Ada pekerjaan dari muqtaridh.
5.      Ditentukan labanya bagi kedua pihak, masing-masing setengahnya atau prosentase tertentu.
  4.    Jenis-Jenis Mudharabah
Mudharabah ada dua macam, yaitu mudharabah mutlak (al-muthlaq) dan mudharabah terikat (al-muqayyad)[8]
Mudharabah mutlak adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan, seperti berkata, “Saya serahkan uang ini kepadamu untuk diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi di antara kita, masing-masing setengah atau sepertiga, dan lain-lain.”
Mudharabah muqayyad (terikat) adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberkan batasan, seperti persyaratan bahwa pengusaha harus berdagang sepatu, atau membelibarang dari orang tertentu, dan lain-lain.
Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad membolehkan memberi batasan dengan waktu dan orang, tetapi ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.
Ulama Hanafiyah dan Ahmad pun membolehkan akad apabila dikaitkan dengan masa yang akan datang , seperti, usahakan modal ini mulai bulan depan, sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.
  B.    Syarat Sah Mudharabah
Syarat-syarat sah mudharabah berkaitan dengan aqidaini (dua orang yang akan akad), modal, dan laba.
  1.      Syarat Aqidaini
Disyaratkan bagi orang yang akan melakakan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil , sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil. Namun demikian, tidak disyaratkan harus muslim, Mudharabah dibolehkan dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di negara islam.
Adapun ulama Malikiyah memakruhkan mudharabah dengan kafir dzimmi jika mereka melakukan riba.
  2.      Syarat Modal
  a.      Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya, yakni segala sesuatu yang memungkinkan    dalam pengongsian (Asy-Syirkah).[9]
  b.      Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
  c.       Modal harus ada, bukan berarti utang, tetapi tidak berarti harus ada di tempat akad. Juga dibolehkan   mengusahakan harta yang dititipkan kepada orang lain, seperti mengatakan, “Ambil harta saya di si fulan kemudian jadikan modal usahakan!”
  d.      Modal harus diberikan kepada pengusaha. Hal itu dimaksudkan agar pengusaha dapat
Mengusahakannya , yakni menggunakan harta tersebut sebagai amanah.
  3.      Syarat-Syarat Laba
  a.      Laba Harus Memiki Ukuran
Mudharabah dimaksudkan untuk mendapatkan laba. Dengan demikian, jika laba tidak jelas, mudharabah batal. Namun demikian, pengusaha dibolehkan menyerahkan laba sebesarRp 5.000,00 misalnya untuk dibagi-bagi diantara keduanya, tanpa menyebutkan ukuran laba yang akan diterimanya.
Ulama Hanafiyahberpendapat bahwa apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung oleh kedua orang yang akad, maka akad rusak, tetapi mudharabah tetap sah. Hal ini karena dalam mudharabah, kerugian harus ditanggung olehpemilik modal. Sedangkan apabila pemilik mensyaratkan laba harus diberikan semuanya kepadanya, hal itu tidak dikatakan mudharabah, tetapi pedagang.
Sebaliknya, jika pengusaha mensyaratkan laba harus diberikan kepadanya, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, hal itu, termasuk qaradh, tetapi menurut Syafi’iyah termasuk mudharabah yang rusak. Pengusaha diberi upah sesuai usahanya, sebab mudharabah mengharuskan adanya pembagian laba. Denagn demikian, jika laba disyaratkan harus dimiliki seseorang, akad menjadi rusak.
Ulama Malikiyah membolehkan pengusaha mensyratkan semua laba untuknya.[10] Begitu pula, semua laba boleh untuk pemilik modal sebab tabarru’ (derma).
  b.      Laba Harus Berupa Bagian yang Umum (Masyhur)
Pembagian laba harus sesuai dengan keadaan yang berlaku secara umum, seperti kesepakatan di antara orang yang melangsungkan akad bahwa setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedangkan setengah lainnya lagi diberikan kepada pengusaha. Akan tetapi, tidak dibolehkan menetapkan jumlah tertentu bagi satu pihak dan sisanya bagi pihak lain, seperti menetapkan laba 1.000 bagi pemilik modal dan menyerahkan sisanya bagi pengusaha.
  c.  Hukum Mudharabah
Hukum Mudharabah terbagi dua, yaitu mudharabah sahih dan mudharabah fasid. Kedua jenis miudharabah ini akan menjelaskan di bawah ini.
  1.    Hukum Mudharabah Fasid
Salah satu contoh mudharabah fasid adalah mengatakan, “Berburulah dengan jarng saya dan hasil buruannya dibagi di antara kita”. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah[11] berpendapat bahwa pernyataan termasuk tidak dapat dikatakan mudharabah yang shahih karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan buruan atau tidak.
Hasil yang diperoleh pengusaha atau pemburu diserahkan kepada pemilik harta (modal), sedangkan pemburu tidak memiliki hak sebab akadnya fasid. Tentu saja, kerugian yang ada pun ditanggung sendiri oleh pemilik modal. Namun, jika modal rusak atau hilang, yang diterima adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya. Pendapat Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah hampir sama dengan pendapat ulama Hanafiyah.
Beberapa hal laindalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik modal memberikan upah kepada pengusaha, antara lain:
a.       Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, memberi, atau mengambil barang.
b.      Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusywarah sehingga pengusaha tidak bekerja, kecuali atas seizinnya.
c.       Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.
  2.    Hukum Mudharabah Shahih
Hukum mudharabah shahih yang tergolong sahih sudah cukup banyak, diantaranya berikut ini.
a.       Tanggung Jawab Pengusaha
Ulama fiqih telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung jewab atas modal yang ada ditangannya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikkan modal tersebut atas seizin pemiliknya.
Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba secara bersama-sama dengan pemilik modal.
Jika mudharabah rusak karena adanya beberapa sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga iapun memiliki hak untuk mendapatkan upah. Jika harta rusak tanpa disengaja, ia tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut. Jika mengalami kerugian pun, ditanggung oleh pengusaha saja.
Jika disyaratkan bahwa pengusaha harus bertanggung-jawab atas rusaknya modal, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, syaratv tersebut batal, tetapi akadnya sah. Dengan demikian, pengusaha bertanggung-jawab atas modal dan berhak atas laba. Adapun ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah batal.
    3.  Tasharruf Pengusaha
            Menurut ulama Hanafiyah, jika mudharabah mutlak, maka pengusaha berhak untuk  untuk beraktivitas dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual-beli. Begitu pula pengusaha dibolehkan untuk membawa modal tersebut dalam suatu perjalanan dengan maksud untuk mengusahakan harta tersebut.
            Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pengusaha adalah:
  a.   Pengusaha hanya boleh mengusahakan modal setelah ada izin yang jelas dari pemiliknya.
  b.  Menrut ulama Malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dagangan melebihi modal yang diberkan kepadanya.
  c.   Pengusaha tidak membelanjakan modal selain untuk mudharabah, juga tidak boleh mencampurkanyya dengan harta milik orang lain.
Menurut ulama Hanafiyah, pengusaha dibolehkan mnyerahkan modal tersebut kepada pengusaha lainnya atas seizin pemilik modal. Namun demikian, harta tersebut tetap berada dibawah tanggung-jawabnya (pengusaha pertama). Jika mendapatkan laba, laba tersebut dibagikan kepada pemilik modal dan pengusaha pertama sesuai kesepakatan. Adapun bagian dari laba yang diterima oleh pengusaha pertama dibagi lagi dengan pengusaha kedua sesuai kesepakatan diantara keduanya.
Menurut ulama selain Hanafiyah, pengusaha bertanggung-jawab atas modal jika ia memberikan modal kepada orang lain tanpa seizinnya, tetapi laba dibagi atas pengusaha kedua dan pemilik modal. Pengusaha pertama tidak berhak mendapatkan laba sebab laba diberikan kepada mereka yang  berusaha secara sempurna.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa modal tidak boleh diberikan kepada pengusaha lain, baik dalam hal usaha maupun laba, meskipun atas seizin pemilik modal.
4. Pada mudharabah terikat
            Secara umum, hukum yang terdapat dalam mudharabah terikat sama dengan ketetapan yang ada pada mudharabah mutlak. Namun, ada beberapa pengecualian, anatara lain berikut ini.
  a.   Penentuan tempat
Jika pemilik modal menentukan tempat, seperti ucapan, “gunakan modal ini untuk mudharabah, dengan syarat harus di daerah tasikmalaya.” Pengusaha harus mengusahakannya di daerah tasikmalaya, sebab syarat tempat termasuk persyaratan yang dibolehkan. Apabila pengusaha mengusahakannya bukan di daearah tasikmalaya, ia bertanggung jawab atas modal tersebut beserta kerugiannya.
  b.  Penentuan orang
Ulama Hanafiyyah dan hanabilah membolehkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus dibeli barangnya oleh pengusaha atau kepada siapa ia harus menjual barang, sebab hal ini termasuk syarat yang berfaedah. Adapun ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah melarang persyaratan tersebut sebab hal itu mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai dan menghambat pencarian laba.
  c.    Penentuan waktu
Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal menentukan waktu sehingga jika melewati batas, akad batal. Adapun ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah melarang persyaratan tersebut sebab terkadang laba tidak dapat diperoleh dalam waktu sebentar dan terkadang dapat diperoleh pada waktu tertentu.
E. Perkara yang Membatalkan Mudharabah
            Mudharabah dianggap batal pada hal berikut.
  1.   Pembatalan, Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudaharabah menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan untuk mengusahakan (tasharruf), dan pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan. Akan tetapi, jika pengusaha tidak mengetahui bahwa mudharabah telah dibatalkan, pengusaha (mudharib) dibolehkan untuk tetap mengusahakannya.
  2.  Salah Seorang Aqid Meninggal Dunia
Jumhur ulama berpendapat bahwa mudharabah batal, jika salah seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal maupun pengusaha. Hal ini karena mudharabah berhubungan dengan perwakilan yang akan batal dengan meninggalnya wakil atau yang mewakilkan. Pembatalan tersebut dipandang sempurna dan sah, baik diketahui salah seorang yang melakukan akad atau tidak.
            Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa mudharabah tidak batal dengan meninggalnya salah seorang yang melakukan akad, tetapi dapat diserahkan kepada ahli warisnya, jika dapat dipercaya.
  3.   Salah Seorang Aqid Gila
Jumhur ulama bahwa gila membatalkan mudharabah sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian dalam mudharabah.
  4.   Pemilik Modal Murtad
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari islam) atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan msusuh serta diputuskan oleh hakim atas pembelotannya, menurut Imam Abu Hanifah, hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati. Hal itu menghilangkan keahlian dalam kepemilikan harta, dengan dalil bahwa harta orang murtad dibagikan diantara para ahli warisnya.
  5. Modal Rusak di Tangan Pengusaha
Jika harta rusak sebelum dibelanjakan, mudhrabah menjadi batal. Hal ini karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak, mudharabah batal.
            Begitu pula, mudharabah dianggap rusak jika modal diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga tidak tersisa untuk diusahakan.

DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rahmat, Fiqh Muamalah, Bandung, Pustaka Setia, 2001
Asyur, Ahmad Isa, Fiqh Islam Praktis Bab Muamalah, Solo, CV Pusta Mantiq, 1995
Anwar, H. Moh, Fiqh Islam : Muamalah, dan Jinayah (Hukum Perdata dan Pidana Islam) Beserta Kaedah-Kaedah Hukumnya, Bandung, 1998
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarata, PT Raja Grafindo Persada, 1993














[1]Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm 223. Lihat pula Ahmad Isya Asyur, Fiqih Al- Muyasar (Beirut: CV Pustaka Mantiq, 1995), hlm 90
2 Muhammad As Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, juz II. hlm. 309
[3]Ibid
[4] Moh Anwar, Fiqh Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1998), hlm 63
[5]Alaudin Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, juz VI, hlm. 79
[6]Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm226.
[7]Moh Anwar, Fiqh Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1998), hlm 64

[8]Muhammad Asy-Syarbini, Op. Cit., juz II, hlm. 310
[9]Wahbah Al Juhaili, Al Fiqh Al-Islami wa adillatuh, juz IV, hlm 844
[10]Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, juz II, hlm. 335
[11]Al-Kasani, Op.Cit., juz VI, hlm. 108

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda