Petanggungjawaban Pidana Islam
PEMBAHASAN
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA ISLAM
A)
Arti
dan Dasar Pertanggungjawaban Pidana
Pengertian
pertanggungjawaban pidana dalam syariat islam adalah pembebanan seseorang
dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan
kemauan sendiri, di mana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari
perbuatannya itu.
1) Adanya perbuatan yang dilarang.
2)
Perbuatan itu dikerjakan dengan
kemauan sendiri, dan
3)
Pelaku mengetahui akibat
perbuatannya itu.
Dalam
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Da ud
disebutkan:
Dari Aisyah ra
berkata: telah bersabda Rasulullah saw: Dihapuskan ketentuan dari tiga hal,
dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang gilasampai ia sembuh, dan
dari anak kecil sampai ia dewasa.[2]
B)
Siapa
yang Dibebani Pertanggungjawaban
Orang
yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan
kejahatan itu sendiri dan bukan orang lain. Hal itu didasarkan kepada firman
Allah dalam Alquran.
ولا تزروا زرة
وزر اخرى
Seseorang tidak menanggung dosa orang lain. (QS. Faathir:
18)
وان ليس للا نسان
الا ماسعى
Dan tidak ada bagi manusia kecuali apa
yang ia usahakan. (QS.
An-Najm: 39)
من عمل صلحا فلنفسه ومن اساء فعليه وما
ربك بظلم للعبد
Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka
untuk dirinya dan barangsiapa yang berbuatkejahatan maka akibatnyaatas dirinya
sendiri. (QS.
Fushilat: 46)
Mengenai
pertanggungjawaban badan hukum, syariat islam tidak tidak dibebani
pertanggungjawaban pidana, karena sebagaimana telah dikemukakan,
pertanggungjawaban didasarkan pada pengetahuan dan pilihan, sedangkan badan
hukum tidak memiliki kedua hal tersebut, sehingga ketika terjadi pelanggaran,
maka yang dihukum adalah orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum
tersebut (pengurusnya). Jadi bukan Syakhsiyah
ma’nawiyah yang bertanggungjawab melainkan syakhsiyah haqiqiyah.
C)
Sebab
dan Tingkatan Pertanggungjawaban Pidana
Faktor yang
menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu
mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalakan perbuatan yang
diperintahkan oleh syara’. Jadi sebab pertanggungjawaban pidana adalah
melakukan kejahatan. Untuk adanya pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua
syarat, yaitu adanya idrak dan ikhtiar.
Perbuatan
melawan hukum bertingkat-tingkat, begitu pula pertanggungjawabannya
bertngkat-tingkat. Perbuatan yang melawan hukum adakalanya disengaja dan
adakalanya karena kekeliruan. Sengaja terbagi menjadi dua bagian, yaitu sengaja
semata-mata dan menyerupai sengaja. Sedangkan kekeliruan juga ada dua macam,
yaitu keliru semata-mata dan perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan. Dengan
demikian maka pertanggungjawaban itu juga ada empat tingkatan sesuai dengan
tingkatan perbuatan melawan hukum tadi, yaitu sengaja, semi sengaja, keliru dan
yang disamakan dengan keliru.[3]
a.
Sengaja
(Al-‘Amdu)
Dalam
tindak pidana pembunuhan, sengaja berarti pelaku sengaja melakukan perbuatan
berupa pembunuhan dan ia menghendaki akibatnya berupa kematian korban. Tentu
saja pertanggungjawaban pidana dalam tingkat ini lebih berat dibandingkan dengan
tingkat dibawahnya.[4]
b.
Menyerupai
Sengaja (Syibhul ‘Amdi)
Pengertian
syibhul ‘ambdi adalah dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum,
tetapi akibat perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam tindak pidana pembunuhan,
ukuran syibhul ‘amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau yang
digunakan itu bukan alat yang biasa (ghalib) untuk membunuh makaperbuatan
tersebut termasuk kepada perbuatan menyerupai sengaja. Dalam
pertanggungjawabannya menyerupai sengaja berada di bawah sengaja.
c.
Keliru
(Al Khata’)
Pengertian
keliru adalah terjadinya suatu perbuatan di luar kehendak pelaku, tanpa ada
maksud melawan hukum. Dalam hal ini, perbuatan tersebut terjadi karena
kelalaiannya atau kurang hati-hatinya.
Kekeliruan
ada dua macam.
1)
Keliru dalam perbuatan, seperti
seorang pemburu yang menembak burung, tetapi pelurunya menyimpang mengenai
orang.
2)
Keliru dalam dugaan, seperti
seseorang tentara yang menembak seseorang yang disangkanya anggota pasukan
musuh, tetapi setelah diteliti ternyata pasukan sendiri.
d.
Keadaan
yang Disamakan dengan Keliru
Ada
dua bentuk perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan.
1)
Pelaku sama sekali tidak
bermaksud melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi hal itu terjadi di luar
pengetahuannya dan sebagai akibat kelalaiannya, seperti seseorang yang tidur
disamping seorang bayi di suatu barak penampungan dan ia menindih itu sehingga
bayi tersebut mati.
2)
Pelaku menyebabkan terjadinya
suatu perbuatan yang diarang karena kelalaiannya tetapi tanpa dikehendakinya,
seperti seseorang yang menggali parit di tengah jalan untuk mengalirkan air
tetapi ia tidak memberi tanda bahaya sehingga pada malam hari terjadi
kecelakaan atas kendaraan yang lewat.[5]
Dalam
segi pertanggungjawabannya, keadaan ini lebih ringan daripada keliru karena
pelaku dalam keadaan ini sama sekali tidak punya maksud untuk melakukan perbuatan,
melainkan perbuatan terjadi karena semata-mata akibat keteledorannya dan
kelalaiannya. Sedangkan dalam hal keliru pelaku sangaja melakukan perbuatan,
walaupun akibatnya karena kurang hati-hati.
D)
Beberapa
Hal yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana
a.
Pengaruh
Tidak Tahu
Ketentuan
yang berlaku dalam syariat islam adalah bahwa pelaku tidak dihukum karena suatu
perbuatan yang dilarang, kecuali ia mengetahui dengan sempurna tentang
dilarangnya perbuatan tersebut. Dengan demikian, apabila seseorang tidak tahu
tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka ia tidak dibebani
pertanggungjawaban pidana.
Akan
tetapi, pengertian mengetahui di sini bukan pengetahuan secara hakiki,
melainkan cukup dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui. Apabila seseorang
telah dewasa dan berakal sehat serta memperoleh kesempatan untuk mengetahui
perbuatan-perbuatan yang dilarang, baik dengan jalan belajar maupun bertanya
kepada orang yang pandai maka orang tersebut dianggap mengetahui perbuatan yang
dilarang, dan ia tidak dapat beralasan tidak tahu. Oleh karena itu, para fuqaha
menyatakan bahwa di dalam negeri islam tidak dapat diterima alasan tidak
mengetahui ketentuan-ketentuan hukum.[6]
b.
Pengaruh
Lupa
Lupa
adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan. Dalam syariat islam lupa
disejajarkan dengan keliru seperti yang tercantum dalam hadist Nabi:
Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa,
dan perbuatan yang dipaksakan atasnya.[7]
Dalam
membicarakan hukum dan pengaruh lupa para fuqaha terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa lupa adalah alasan yang umum, baik
dalam urusan ibadah maupun urusan pidana. Mereka berpegang kepada prinsip umum
yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena
perbuatan yang dilarang karena lupa, ia tetap dikenakan pertanggungjawaban
perdata, apabila perbuatannya itu menimbulkan kerugian kepada orang lain.[8]
Kedua,
kelompok yang berpendapatbhwa lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman
akhirat didasarkan atas kesengajaan, sedangkan pada orang lupakesengajaan itu
sama sekali tidak ada. Untuk hukuman-hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi
alasan hapusnya hukuman sama sekali, kecuali dalam hal-hal yang berhubungan
dengan hak Allah, dengan syarat ada motif yang wajar untuk melakukan
perbuatannya itu dan tidak ada hal-hal yang mengingatkannya sama sekali.
c.
Pengaruh
Keliru
Pengertian
keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarimah yang
terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena
niat atau kesengajaan, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati.
Dalam
segi pertanggungjawaban pidana, orang yang keliru dipersamakan dengan orang
yang berbuat, apabila perbuatan yang dilakukannya itu merupakan yang dilarang
oleh syara’. Hanya saja sebab pertanggungjawabannya berbeda. Dalam perbuatan
sengaja sebabnya adalah sengaja melakukan perbuatan yang dilarang, sedangkan
dalam perbuatan karena kekeliruan sebabnya adalah melanggar ketentuan syara’
bukan karena sengaja, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati.
Nabi
bersabda:
Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa,
dan perbuatan yang dipaksakan atasnya.
Akan
tetapi, dalam keadaan tertentu syara’ membolehkan dijatuhkannya hukuman atas
kekeliruan sebagai pengecualian dari ketentuan pokok tersebut. Misalnya tindak pidana
pembunuhan, sebagaimana disebutkan dalam Surah An Nisa ayat 93
Dan
tidaklah boleh bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin yang lain kecuali
karena keliru. Barangsiapa yang membunuh orang mukmin karena keliru maka
hukumannya memerdekakan hamba yang mukmin dan membayar diat kepada keluarganya ....(QS.
An Nisaa:93)
Dengan
adanya dua ketentuan diatas, yang satu merupakan ketentuan pokok maka
kelanjutannya untuk dapat dikenakan hukuman atas perbuatan karena kekeliruan
harus terdapat ketentuan yang tegas dari syara’. Dengan demikian, apabila
syara’ tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan karena kekeliruan maka
tetap berlaku ketentuan pokok, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak dikenakan
hukuman.
HAPUSNYA
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Pertanggungjawaban
pidana dapat dihapus karena hal-hal yang bertalian dengan perbuatan atau karena
hal-hal yang bertalian dengan keadaan pelaku. Dalam keadaan yang pertama
perbuatan yang dilakuakn adalah mubah (tidak dilarang) sedangkan dalam keadaan
yang keduaperbuatan yang dilakukan tetap dilarang tetapi pelakunya dijatuhi
hukuman. Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan disebut asbab al-ibahah
atau sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang. Sedangkan sebab-sebab yang
berkaitan denagn keadaan pelaku disebut asbab raf’i al-uqubah atau sebab
hapusnya hukuman.
Abdul
Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu
ada enam macam, yaitu
1)
Pembelaan Yang Sah (Ad dafi’ As
Syar’iyyu)
2)
Pendidikan dan pengajaran (At
ta’dibu)
3)
Pengobatan (At Tathbiibu)
4)
Hapusnya jaminan keselamatan
(Ihdarul Ashkhas)
5)
Permainan olah raga (Al ‘aab Al
Furusiyah)
6)
Menggunakan wewenang dan
nmelaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib (Huquq Al Hukam wa
Waajibatuhum)[9]
Asbab rof’il
‘uqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang
dilakukan itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya
saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkinkan dilaksanakannya hukuman, ia
dibebaskan dari hukuman. Sebab – sebab hapusnya hukuman ini ada 4 macam, yaitu:
1.
Paksaan (Al Ikrah)
2.
Mabuk (Assyukru)
3.
Gila (Al Junun)
4.
Dibawah umur (Shikhrus sinni)[10]
DAFTAR
PUSTAKA
Hanafi, Ahmad Asas-asas
Hukum Pidana Islam, Jakarta, Bulan bintang 1971
Munajat,
Makhrus, Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam,), Yogyakarta, Pesantren
Nawesea Press, 2010
Muslich, Ahmad
Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika
2006
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda