Jumat, 02 Maret 2012

Petanggungjawaban Pidana Islam

PEMBAHASAN
PERTANGGUNGJAWABAN  PIDANA ISLAM

A)    Arti dan Dasar Pertanggungjawaban Pidana
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.
Dalam syariat Islam pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga hal[1]:

               1)      Adanya perbuatan yang dilarang.
               2)      Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan
               3)      Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Da ud disebutkan:
Dari Aisyah ra berkata: telah bersabda Rasulullah saw: Dihapuskan ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang gilasampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa.[2]
B)    Siapa yang Dibebani Pertanggungjawaban
Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri dan bukan orang lain. Hal itu didasarkan kepada firman Allah dalam Alquran.
ولا تزروا زرة وزر اخرى
Seseorang tidak menanggung  dosa orang lain. (QS. Faathir: 18)
وان ليس للا نسان الا ماسعى
Dan tidak ada bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan. (QS. An-Najm: 39)
من عمل صلحا فلنفسه ومن اساء فعليه وما ربك بظلم للعبد
Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuk dirinya dan barangsiapa yang berbuatkejahatan maka akibatnyaatas dirinya sendiri. (QS. Fushilat: 46)
Mengenai pertanggungjawaban badan hukum, syariat islam tidak tidak dibebani pertanggungjawaban pidana, karena sebagaimana telah dikemukakan, pertanggungjawaban didasarkan pada pengetahuan dan pilihan, sedangkan badan hukum tidak memiliki kedua hal tersebut, sehingga ketika terjadi pelanggaran, maka yang dihukum adalah orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum tersebut (pengurusnya). Jadi bukan Syakhsiyah ma’nawiyah yang bertanggungjawab melainkan syakhsiyah haqiqiyah.
C)    Sebab dan Tingkatan Pertanggungjawaban Pidana
Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalakan perbuatan yang diperintahkan oleh syara’. Jadi sebab pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Untuk adanya pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat, yaitu adanya idrak dan ikhtiar.
Perbuatan melawan hukum bertingkat-tingkat, begitu pula pertanggungjawabannya bertngkat-tingkat. Perbuatan yang melawan hukum adakalanya disengaja dan adakalanya karena kekeliruan. Sengaja terbagi menjadi dua bagian, yaitu sengaja semata-mata dan menyerupai sengaja. Sedangkan kekeliruan juga ada dua macam, yaitu keliru semata-mata dan perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan. Dengan demikian maka pertanggungjawaban itu juga ada empat tingkatan sesuai dengan tingkatan perbuatan melawan hukum tadi, yaitu sengaja, semi sengaja, keliru dan yang disamakan dengan keliru.[3]

a.    Sengaja (Al-‘Amdu)
Dalam tindak pidana pembunuhan, sengaja berarti pelaku sengaja melakukan perbuatan berupa pembunuhan dan ia menghendaki akibatnya berupa kematian korban. Tentu saja pertanggungjawaban pidana dalam tingkat ini lebih berat dibandingkan dengan tingkat dibawahnya.[4]
b.      Menyerupai Sengaja (Syibhul ‘Amdi)
Pengertian syibhul ‘ambdi adalah dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam tindak pidana pembunuhan, ukuran syibhul ‘amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau yang digunakan itu bukan alat yang biasa (ghalib) untuk membunuh makaperbuatan tersebut termasuk kepada perbuatan menyerupai sengaja. Dalam pertanggungjawabannya menyerupai sengaja berada di bawah sengaja.
c.       Keliru (Al Khata’)
Pengertian keliru adalah terjadinya suatu perbuatan di luar kehendak pelaku, tanpa ada maksud melawan hukum. Dalam hal ini, perbuatan tersebut terjadi karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya.
Kekeliruan ada dua macam.
1)      Keliru dalam perbuatan, seperti seorang pemburu yang menembak burung, tetapi pelurunya menyimpang mengenai orang.
2)      Keliru dalam dugaan, seperti seseorang tentara yang menembak seseorang yang disangkanya anggota pasukan musuh, tetapi setelah diteliti ternyata pasukan sendiri.
d.      Keadaan yang Disamakan dengan Keliru
Ada dua bentuk perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan.
1)      Pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi hal itu terjadi di luar pengetahuannya dan sebagai akibat kelalaiannya, seperti seseorang yang tidur disamping seorang bayi di suatu barak penampungan dan ia menindih itu sehingga bayi tersebut mati.
2)      Pelaku menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang diarang karena kelalaiannya tetapi tanpa dikehendakinya, seperti seseorang yang menggali parit di tengah jalan untuk mengalirkan air tetapi ia tidak memberi tanda bahaya sehingga pada malam hari terjadi kecelakaan atas kendaraan yang lewat.[5]
Dalam segi pertanggungjawabannya, keadaan ini lebih ringan daripada keliru karena pelaku dalam keadaan ini sama sekali tidak punya maksud untuk melakukan perbuatan, melainkan perbuatan terjadi karena semata-mata akibat keteledorannya dan kelalaiannya. Sedangkan dalam hal keliru pelaku sangaja melakukan perbuatan, walaupun akibatnya karena kurang hati-hati.
D)    Beberapa Hal yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana
a.    Pengaruh Tidak Tahu
Ketentuan yang berlaku dalam syariat islam adalah bahwa pelaku tidak dihukum karena suatu perbuatan yang dilarang, kecuali ia mengetahui dengan sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut. Dengan demikian, apabila seseorang tidak tahu tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka ia tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.
Akan tetapi, pengertian mengetahui di sini bukan pengetahuan secara hakiki, melainkan cukup dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui. Apabila seseorang telah dewasa dan berakal sehat serta memperoleh kesempatan untuk mengetahui perbuatan-perbuatan yang dilarang, baik dengan jalan belajar maupun bertanya kepada orang yang pandai maka orang tersebut dianggap mengetahui perbuatan yang dilarang, dan ia tidak dapat beralasan tidak tahu. Oleh karena itu, para fuqaha menyatakan bahwa di dalam negeri islam tidak dapat diterima alasan tidak mengetahui ketentuan-ketentuan hukum.[6]
b.      Pengaruh Lupa
Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan. Dalam syariat islam lupa disejajarkan dengan keliru seperti yang tercantum dalam hadist Nabi:
Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan atasnya.[7]
Dalam membicarakan hukum dan pengaruh lupa para fuqaha terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa lupa adalah alasan yang umum, baik dalam urusan ibadah maupun urusan pidana. Mereka berpegang kepada prinsip umum yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena perbuatan yang dilarang karena lupa, ia tetap dikenakan pertanggungjawaban perdata, apabila perbuatannya itu menimbulkan kerugian kepada orang lain.[8]
Kedua, kelompok yang berpendapatbhwa lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat didasarkan atas kesengajaan, sedangkan pada orang lupakesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman-hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan hapusnya hukuman sama sekali, kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan hak Allah, dengan syarat ada motif yang wajar untuk melakukan perbuatannya itu dan tidak ada hal-hal yang mengingatkannya sama sekali.
c.       Pengaruh Keliru
Pengertian keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarimah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat atau kesengajaan, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati.
Dalam segi pertanggungjawaban pidana, orang yang keliru dipersamakan dengan orang yang berbuat, apabila perbuatan yang dilakukannya itu merupakan yang dilarang oleh syara’. Hanya saja sebab pertanggungjawabannya berbeda. Dalam perbuatan sengaja sebabnya adalah sengaja melakukan perbuatan yang dilarang, sedangkan dalam perbuatan karena kekeliruan sebabnya adalah melanggar ketentuan syara’ bukan karena sengaja, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati.
Nabi bersabda:
Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan atasnya.
Akan tetapi, dalam keadaan tertentu syara’ membolehkan dijatuhkannya hukuman atas kekeliruan sebagai pengecualian dari ketentuan pokok tersebut. Misalnya tindak pidana pembunuhan, sebagaimana disebutkan dalam Surah An Nisa ayat 93
Dan tidaklah boleh bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin yang lain kecuali karena keliru. Barangsiapa yang membunuh orang mukmin karena keliru maka hukumannya memerdekakan hamba yang mukmin dan membayar diat kepada keluarganya ....(QS. An Nisaa:93)
Dengan adanya dua ketentuan diatas, yang satu merupakan ketentuan pokok maka kelanjutannya untuk dapat dikenakan hukuman atas perbuatan karena kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari syara’. Dengan demikian, apabila syara’ tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan karena kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan pokok, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak dikenakan hukuman.


HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Pertanggungjawaban pidana dapat dihapus karena hal-hal yang bertalian dengan perbuatan atau karena hal-hal yang bertalian dengan keadaan pelaku. Dalam keadaan yang pertama perbuatan yang dilakuakn adalah mubah (tidak dilarang) sedangkan dalam keadaan yang keduaperbuatan yang dilakukan tetap dilarang tetapi pelakunya dijatuhi hukuman. Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan disebut asbab al-ibahah atau sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang. Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan denagn keadaan pelaku disebut asbab raf’i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman.
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu
1)      Pembelaan Yang Sah (Ad dafi’ As Syar’iyyu)
2)      Pendidikan dan pengajaran (At ta’dibu)
3)      Pengobatan (At Tathbiibu)
4)      Hapusnya jaminan keselamatan (Ihdarul Ashkhas)
5)      Permainan olah raga (Al ‘aab Al Furusiyah)
6)      Menggunakan wewenang dan nmelaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib (Huquq Al Hukam wa Waajibatuhum)[9]

Asbab rof’il ‘uqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkinkan dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman. Sebab – sebab hapusnya hukuman ini ada 4 macam, yaitu:

1.    Paksaan (Al Ikrah)
2.    Mabuk (Assyukru)
3.    Gila (Al Junun)
4.    Dibawah umur (Shikhrus sinni)[10]



DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Ahmad Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, Bulan bintang 1971
Munajat, Makhrus, Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam,), Yogyakarta, Pesantren Nawesea Press, 2010
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika 2006



[1]  A. Hanafi, M.A., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, halaman 121.
[2]Jalaludin As Suyuti, Al Jami’ Ash Shaghir, Juz II, Dar Al Fikr, Beirut, t.t., halaman 24
[3]Abdul Qadir Audah,At Tasyri’ Al Jana’iy Al Islamy, Dar Al kitab Al ‘Araby, Beirut, t.t., halaman 405
[4]Ibid, halaman 405.
[5]Ibid, halaman 430.
[6]Ibid, halaman 430.
[7]Jalaludin As-Suyuti, loc. cit
[8]Syamsudin Muhammad ibn Abi Bakar Ibn Al Qayim, I’lam Al Muwaqi’in, Juz III, Dar Al Fikr, Beirut, cetakan II, 1997, halaman 117-118
[9]Ibid, halaman 472
[10] Ibid, halaman 562

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda