Zakat Profesi
BAB
I
Pendahuluan
Pada saat ini
penghasilan yang paling mencolok pada saat ini adalah apa yang diperoleh dari
pekerjaan dan profesinya.
Pekerjaan yang
menghsilkan uang ada dua macam. Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan
sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan otak atau pun
tangan. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan
profesional, seperti penghasilan doktor, insinyur, advokat, seniman, penjahit,
yukang kayu, dan lain-lain.
Yang kedua adalah
pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain- baik pemerintah,
perusahaan, mau pun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan
tangan, otak, atau pun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu
berupa gaji, upah, atau pun honorarium.
Wajibkah kedua
macam penghasilan yang berkembang sekarang itu dikeluarkan zakatnya atau tidak?
Bila wajib, berapa nisabnya, besar zakatnya, dan bagaimana tinjauan fiqih islam
tentang masalah itu?
Pertanyaan-pertanyaan
itu perlu mendapat jawaban pada masa sekarang, supaya setiap orang mengetahui
kewajiban dan haknya. Bentuk-bentuk penghasilan dengan bentuknya yang modern,
volumenya yang besar, dan sumbernya yang luas itu, merupakan sesuatu yang belum
dikenal oleh para ulama fiqih pada masa silam.
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian zakat profesi
Zakat atas penghasilan
atau profesi adalah suatu istilah yang muncul dewasa ini. Ada pun istilah ulama
salaf bagi zakat atas penghasilan atau
profesi biasanya disebut dengan al-mal al-mustafad. Yang termasuk dalam
kategori zakat al-mal al-mustafad adalah pendapatan yang dihasilkan dari
profesi non-zakat yang dijalani, seperti gaji pegawai negeri/swasta, konsultan,
dokter, dan lain-lain, atau rezeki yang dihasilkan secara tidak terduga seperti
undian, kuis berhadiah (yang tidak mengandung unsur judi), dan lain-lain.[1]
Yusuf al-Qardhawi
menyatakan bahwa barangkali bentuk penghasilan yang paling mencolok pada zaman
sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya.
Selanjutnya menurut Yusuf bahwa
pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam, yaitu pertama yang pertama
adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain,
berkat kecekatan otak atau pun tangan. Penghasilan yang diperoleh dengan cara
ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan doktor, insinyur,
advokat, seniman, penjahit, yukang kayu, dan lain-lain.
Yang kedua adalah
pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain- baik pemerintah,
perusahaan, mau pun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan
tangan, otak, atau pun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu
berupa gaji, upah, atau pun honorarium.[2]
B.
Pandangan Ulama terhadap Zakat Profesi
Fatawa
ulama yang dihasilkan pada waktu muktamar internasional pertama tentang zakat
di Kuwait pada tanggal 29 Rajab 1404 H yang bertepatan dengan tanggal tanggal
30 April 1984 M, sebagaimana dikutip oleh Didin Hafidhudin, bahwa salah satu
kegiatan yang menghasilkan kekuatan bagi manusia sekarang adalah kegiatan
profesi yang menghasilkan amal yang bermanfaat, baik yang dilakukan sendiri,
seperti dokter, arsitek, dan yang lainnya, maupun yang dilakukan secara bersama
seperti para karyawan atau para pegawai. Semua itu menghasilkan pendapat atau
gaji[3].
Pertanyaan yang muncul adalah, wajibkah penghasilan yang berkembang sekarang
ini untuk dikeluarkan zakatnya atau tidak? Bila wajib, berapakah nishabnya,
besar zakatnya, dan bagaimana cara mengeluarkan zakatnya?
Terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang hukum zakat profesi ini.
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat profesi tidak didukung adanya dalil yang
jelas baik yang berasal dari al-Quran atau pun as-Sunnah. Bahkan, Rasulullah
SAW tidak pernah menerapkan zakat profesi di masa beliau masih hidup, sementara
sekian jenis profesi dan spesialisasi telah ada. Bahkan sampai sekian abad
kemudian, umumnya para ulama pun tidak pernah menuliskan adanya zakat profesi
di dalam kitab-kitab fiqih dalam bab khusus.
Oleh
karena itu, apabila serkarang ini ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa
tidak ada zakat profesi di dalam syariat islam, hal ini masih bisa diterima.
Sebab dasar pengambilan hukumnya memang sudah tepat, yaitu tidak diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan juga tidak dipraktekkan oleh para sahabat beliau bahkan para
ulam al-salaf al-salih sekalipun[4].
Selanjutnya
zakat profesi menurut mereka yang mencetuskannya (para pendukungnya) sebenarnya
bukanlah hal yang baru. Bahkan para ulama yang mendukung zakat ini mengatakan
bahwa landasan zakat profesi atau penghasilan itu sangat kuat, yaitu langsung
dari al-Quran sendiri. Maka yang mewajibkan zakat profesi atau zakat
penghasilan adalah al-Quran sendiri. Istilah yang digunakan al-Quran untuk
zakat profesi adalah al-kasab[5].
Selain
itu mereka juga mengatakan bahwa profesi di masa Rasulullah SAW itu berbeda
hakikatnya dengan profesi di masa kini. Sebab sebenarnya yang terkena zakat itu
pada hakikatnya bukan karena dia berprofesi apa atau berdagang apa, tetapi apakah
seseorang sudah masuk dalam kategori kaya atau tidak[6].
Masih
menurut kalangan pendukung zakat profesi, maka meski di masa Rasulullah SAW ada
beberapa jenis profesi, namun mereka tidaklah termasuk orang kaya dan
penghasilann mereka tidak besar. Maka oleh Rasulullah SAW mereka pun tidak
dipungut zakat. Sebaliknya, di masa itu yang namanya orang kaya identik dengan
pedagang, petani, atau peternak atau mereka yang memiliki simpanan emas dan
perak. Maka kepada mereka inilah zakat itu dikenakan. Meski demikian, jelas
tidak semua dari mereka itu pasti kaya, karena itu ada aturan batas minimal
kepemilikkan atau yang kita kenal dengan nishab. Oleh Rasulullah SAW, nishab
itu lalu ditentukan besarnya untuk masing-masing pemilik kekayaan dan sudah
bisa dipastikan kalangan para pekerja ‘profesional’ di masa itu.
Lain
halnya dengan masa sekarang ini. Yang disebut sebagai profesional di masa lita
hidup ini bisa jadi orang yang sangat dan teramat kaya. Jauh melebihi kekayaan
para petani dan peternak. Bahkan di negeri kita ini, yang namaya petani dan
peternak itu sudah bisa dipastikan miskin, sebab mereka tertindas oleh sistem
yang sangat tidak berpihak pada mereka.
Kalau
para petani yang setiap hari mencangkul di sawah membanting tulang, memeras
keringat dan ketika panen, hasilnya tidak cukup untuk membayar zakat, sementara
tetangganya adalah seorang yang berprofesi sebagai pengacara kaya raya itu
tidak wajib bayar zakat. Padahal para pengacara itu sekali didatangi kliennya
bisa langsung dapat 100 atau 200 juta. Di lain tempat ada peternka miskin hidup
berdampingan dengan tetangganya yang konsultan ahli yang sekali memberi advice
bisa mengantongi ratusan juta, tentu sekali rasa keadilan itu terusik[7].
Argumen diatas adalah para pendukung dan para
penolak zakat profesi beserta masing-masing argumen yang mereka kemukakan.
Walau pun zakat profesi masih menimbulkan berbagai pertentangan, tetapi sudah
banyak orang dari berbagai kalangan yang mempraktekkan zakat profesi tersebut
dengan alasan kebutuhan maslahat umat manusia, dan agar harta tidak hanya
berputar dikalangan orang-orang kaya saja.
C.
Perbedaan Pendapat Mengenai Haul Zakat Profesi
Pendapat
pertama mengatakan, harus cukup satu tahun, begitu sampai satu tahun baru
diperhitungkan zakatnya. Zakat yang diperhitungkan adalah sisa atau kelebihan
dari kebutuhan setiap bulannya, sebab pegawai negeri atau swsata menerima gaji
sebulan sekali.[8]
Sebagaimana pendapat para ulama sebagai berikut:
a.
Menurut
Malik, mal mustafad tidak dizakati sebelum sempurna setahun, baik si
pemilik mempunyai harta yang sejenis, kecuali tentang ternak.
b.
Menurut
Syafi’i, mal mustafad tidak dizakati sebelum sempurna setahun, meski pun
si pemilik mempunyai harta yang sejenis, kecuali anak ternaknya sendiri, maka mal
mustafad yang berupa anak ternaknya sendiri dizakati menurut induknya.
c.
Menurut
Ibnu Hazm, mengkritik penafsiran para ulama sebelumnya, ia mengatakan bahwa
pendapat-pendapat tersebut tanpa dalil sama sekali. Menurut dia, semua harta
itu disyaratka setahun, baik harta mal mustafad maupun tidak[9].
Ada
pun pendapat kedua mengatakan bahwa zakat pencarian dan profesi tidak usah
menuggu satu tahun, tetapi setiap bulan bagi pegawai dan setiap mendapat
penghasilan bagi kegiatan-kegiatan lainnya, seperti hasil melukis, grup musik,
setiap kali tampil, grup pelawak, dan sebagainya.
Bagi
pegawai yang mengeluarkan zakat setiap bulan, berarti dia telah mengangsur
(mencicil) pengeluaran zakatnya sehingga tidak memberatkan. Sebab, jika
berbicara soal uang: “sedikit cukup. Banyak pun habis” kata orang. Demikian
sikap dan tindakkan yang paling aman adalah mengeluarkan zakatnya setiap bulan
atau mendapatkan penghasilan.[10]
Adapun
ulama yang berpendapat bahwa zakat dikeluarkan tidak perlu menunggu waktu satu
tahun adalah:
a.
Menurut Daud al-Dzahiri mal mustafad wajib dizakati
tanpa syarat setahun.
b.
Menurut
Yusuf al-Qardhawi bahwa mal mustafad,
seperti gaji pegawai, upah buruh, penghasilan dokter, pengacara, pemborong, dan
penghasilan modal luar di luar perdagangan, persewaan mobil, perahu dan
penerbangan, hotel, dan tempat hiburan, wajib dikenakan zakat dan tidak
disyaratkan sampai setahun, akan tetapi dizakati pada waktu menerima pendapatan
tersebut.[11]
Adapun pendapat ulama mutakhir seperti Abdur Rahman
Hasan, Muhammad Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khallaf telah mengemukakan
persoalan ini dalam ceramahnya tentang zakat di Damaskus pada tahun 1952.
Ceramah mereka tersebuat sampai pada suatu kesimpulan yang teksnya sebagai
berikut:
“Pencarian dan profesi dapat diambil zakatnya bila
sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai
sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang
ditengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut
memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil pencarian setiap tahun, karena
hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi
ujung tahun tersebut. Berdasarkan hal itu kita dapat menetapkan hasil pencarian
sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat yang menurut ulama-ulama
fiqih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.”
“Dan karena islam mempunyai ukuran bagi
seseorang-untuk bisa dianggap kaya-yaitun 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih
Mesir lama-maka ukuran itu harus terpenuhi pula untuk seseorang agar terkena
kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat
dan orang miskin penerima zakat.
Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu
bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa
harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam
mewajibkan zakat atas hasil pencarian dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa
yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi
jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut.
Mengenai
besar zakat, mereka mengatakan, “Pencarian dan profesi, kita tidak
menemukan contohnya dalam fiqih, selain masalah khusus mengenai penyawaan yang
dibicarakan Ahmad. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan
rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut
wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyarat setahun. Hal itu
pada hakikatnya menyerupai mata penharian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila
sudah mencapai satu nisab.
Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan
lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai
nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup dipertengahan
tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan
nisab yang telah berumur setahun.[12]
D.
Nishab, Ukuran, dan Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Pertama jika dianalogikan pada zakat perdagangan maka
nishab, ukuran, dan waktu mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan
zakat emas dan perak. Nishabnya senilai 85 gram emas, ukuran zakatnya 2,5% dan
waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok.
Contoh:
Jika si A
berpenghasilan Rp. 5.000.000,- setiap bulan dan kebutuhan pokok per bulan
sebesar Rp. 3.000.000,- maka besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% x 12 x
Rp. 2.000.000,- atau Rp. 600.000,- per tahun/ Rp. 50.000,- per bulan.
Kedua, jika
dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg padi atau
gandum, ukuran zakatnya sebesar 5% dan dikeluarkan pada setaip mendapat gaji
atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam contoh kasus di atas, maka
kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp. 2.000.000,-atau sebesar Rp.
1.000.000,-setiap bulan.
Ketiga, jika dikategorikan
dalam zakat emas atau perak dengan mengacu pada pendapat yang menyamakan mata
uang masa kini dengan emas atau perak, maka dengan demikian nishabnya adalah
setara dengan nishab emas atau perak, dan ukuran yang harus dikeluarkan adalah
2,5%. Sedangkan waktu penunaian zakatnya adalah segera setelah menerima (tidak
menunggu haul).
Zakat profesi juga
bisa dianalogikakan pada dua hal secara sekaligus, yaitu pada zakat pertanian
dan pada zakat emas dan perak. Dari sudut nishab dianalogikakan pada zakat
pertanian, yaitu sebesar lima ausaq atau senilai 653 kg padi/ gandum dan
dikeluarkan pada saat menerimanya. Karena dianalogikan pada zakat pertanian,
maka bagi zakat profesi tidak ada ketentuan haul. Ketentuan waktu zakat
meyelurkannya adalah pada saat menerima, misalnya setiap bulan dapat didasarkan
pada urf (tradisi) di sebuah
negara. Dari sudut ukuran zakat, dianalogikan pada zakat uang, karena memang
gaji, honorarium, upah dan yang lainnya, pada umumnya diterima dalam bentuk
uang. Karena itu ukuran zakatnya adalah sebesar 2,5%.[13]
E.
Pengeluaran Zakat Pendapatan Dan Gaji Bersih
Pengambilan
dari pendapatan atau gaji bersih dimaksudkan supaya hutang bisa dibayar bila
ada dan biaya hidup terendah seseorang dan yang menjadi tanggungannya bisa
dikeluarkan karena biaya terendah kehidupan seseorang merupakan kebutuhan pokok
seseorang, sedangkan zakat diwajibkan atas jumlah senisab yang sudah melebihi
kebutuhan pokok. Juga harus dikeluarkan biaya dan ongkos-ongkos untuk melakukan
pekerjaan tersebut, berdasarkan pada pengqisannya kepada hasil bumi dan kurma
serta sejenisnya, bahwa biaya harus dikeluarkan terlebih dahulu baru zakat
dikeluarkan zakatnya dari sisa. Itu adalah pendapa Atha dan lain-lain.
Berdasarkan
hal itu maka sisa gaji dan pendapat setahun wajib zakat bila mencapai nisab
uang, sedangkan gaji dan upah setahun yang tidak mencapai nisab uang-setelah
biaya-biaya di atas dikeluarkan-misalnya gaji pekerja-pekerja dan
pegawai-pegawai kecil, tidak wajib zakat.
Bila
seseorang sudah mengeluarkan zakat gaji, penghasilan, atau sejenisnya pada
waktu menerimanya, maka tidak wajib zakat lagi pada waktu masa tempo tahunnya
sampai, sehingga tidak terjadi kewajiban mengelurakan zakat dua kali pada satu
kekayaan dalam satu tahun. Karena itulah ditegaskan dalam pembahasan mengenai
harta penghasilan bahwa bila seseorang mempunyai penghasilan itu maka ia harus
mengangguhkan pengeluaran zakatnya sampai bersamaan dengan pengeluaran zakat
kekayaannya yang lain yang sudah jatuh tempo zakatnya, bila ia tidak kuatir
penghasilnnya itu akan terbelanjakan olehnya sebelum temponya sendiri jatuh.[14]
Contohnya apabila seseorang
mempunyai kekayaan yang dikeluarkan zakatnya setiap tahun pada awal bulan
Muharram, bila ia memperoleh penghasilan, gajinya umpamanya pada bulan Safar
atau Rabiul Awal atau bulan-bulan sesudahnya dan ia sudah mengeluarkan zakatnya
pada waktu menerimanya, maka ia tidak wajib lagi mengeluarkan zakatnya sekali
lagi pada akhir tempo bersama dengan kekayaannya yang lain itu, tetapi mengeluarkan
zakat dari penghasilan tersebut atau sisanya pada masa tempo kedua, sehingga
kita tidak mempersukar diri sendiri sedangkan Allah telah menegakkan syar-Nya
atas dasar kemudahan.
Penutup
Wiraswastawan yang dimaksudkan di
sini ialah pekerjaan yang tidak terikat oleh negara, seperti pekerjaan dokter,
isnyur, sarjana hukum, penjahit, tukang batu, dan pekerjaan wiraswasta yang
lain. Adapun pekerjaan yang terkait dan terikat dengan pemerintah atau yayasan
dan badan usaha umum atau khusus ialah yang para pegawainya yang menerima upah
bulanan. Penghasilan yang diperoleh wiraswastawan atau pegawai negeri itu
dikenal dala fiqih dengan istilah al-mal al-mustafad.
Dapat dikatakan di sini bahwa al-mal
al-mustafad seperti itu wajib dikeluarkan zakatnya begitu diterima,
meskipun kepemilikannya belum sampai setahun, berdasarkan pada pendapat
sebagian sahabat (Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan Mu’awiyah), sebagian tabi’in
(al-Zuhri, al-Hasan al-Basri, dan Makhul), serta pendapat Umar bin Abdul Aziz,
al-Baqir, al-Shadiq, al-Nashir, Dawud al-Zhahiri).
Besarnya zakat yang harus
dikeluarkan ialah seperempat puluh, berdasarkan nash-nash yang mewajibkan zakat
pada uang, baik kepemilikannya telah berlangsung selama setahun penuh maupun
belum mencapai setahun.
Jika seorang Muslim mengeluarkan
zakat atas pendapatan profesi atau pendapatan profesi atau pekerjaannya ketika
dia menerimanya, dia tidak diwajibkan untuk mengeluarkan zakat lagi pada akhir
tahun. Dengan begitu, akan terjadi kesamaan antara pendapatan yang diperoleh
melalui profesi-profesi seperti itu dan penghsilan para petani yang diharuskan
mengeluarkan zakat tanaman dan buah-buahan ketika mereka memetik dan memanen
tanamannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat, Bogor:
Litera Antar Nusa, 1993
Fakhruddin, Fikih
dan Manajamen Zakat di Indonesia, Malang: UIN Malang Press, 2008
Hasan, M. Ali, Zakat
dan Infak, Jakarta: Kencana, 2006
Al-Zuhaily, Wahbah,
Zakat Kajian berbagai Mazhab, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda