Asas-Asas Dalam hukum Pidana Islam
A.
Asas-Asas Umum Dalam Jinayah
1.
Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab
asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata “legalitas” berasal dari
bahasa Latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang. Dengan demikian
arti legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang-undang”. Secara
historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan
penerapannya di Indonesia dapat dilihat Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali
berdasarkan kekuatan peraturan perundang-perundangan pidana”.
Adapun secara istilah asas legalitas
dalam syariat islam tidak ditentukan secara jelas sebagai mana yang terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana positif. Bukan berarti syariat islam
tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan bahwa hukum pidana
islam tidak mengatur asas legalitas, hanyalah mereka yang belum meneliti secara
detail berbagai ayat yang secara substansial menunjukkan adanya asas legalitas.
Bertolak dari polemik tentang ada atau tidaknya asas legalitas dalam hukum
pidana islam, maka perlu adanya pernyataan yang tegas, yaitu bagaimana
eksistensi asas legalitas tidak
ditentukan secara tegas dalam hukum pidana islam, namun secara substansial
terdapat ayat Al Quran dan kaidah yang mengisyaratkan adanya asas legalitas
dalam hukum pidana islam. Adapun kaidah yang mengatur asas tersebut sebagai
berikut:
‘’Sebelum ada
nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal
sehat”
“ Asal
segala sesuatu adalah diperbolehkan sampai ada dalil yang melarang”
Adapun ayat Al Quran yang menyatakan asas legalitas:
“Dan tidaklah
kami mengadzab suatu kaum sampai kami mengutus seorang utusan” (Al Isra:15)
“Tidaklah
seseorang diberi cobaan kecuali sesuai dengan kemampuannya” (Al Baqarah:286)
2.
Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Kepada Orang Lain
Asas ini adalah
asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia, baik perbuatan yang baik
maupun perbuatan yang jahat akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Asas ini
terdapat didalam berbagai surah dan ayat Al Quran, diantaranya:
“Dan tidak ada
pembawa beban akan menanggung beban orang lain. Dan jika panggilan jiwa yang
sarat [lain] untuk [membawa beberapa dari] beban, apa-apa akan dilakukan,
bahkan jika ia harus menjadi kerabat dekat. Anda hanya bisa memperingatkan
orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tak terlihat dan melakukan doa
ditetapkan. Dan barangsiapa memurnikan dirinya hanya memurnikan dirinya untuk
[kepentingan] jiwanya. Dan Allah adalah [akhir] tujuan”(Fatiir:18)
Adapun
ayat-ayat yang terkait dengan asas ini adalah Surah Al An’aam ayat 165, Surah
Az Zumar ayat 7, Surah An Najm ayat 38, Surah Al Mudatsir ayat 38. Contoh Surah
Al Mudatsir ayat 38 tersebut Allah menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada
apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan
yang dibuat oleh orang lain.
3.
Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga
tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan
suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti
yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini diambil dari
ayat-ayat Al Quran yang menjadi sumber asas legalitas dan asas larangan
memindahkan kesalahan pada orang lain yang telag disebutkan.
Konsep ini
telah diletakkan dalam hukum islam jauh sebelum dikenal dalam hukum-hukum
pidana positif. Empat belas abad yang lalu Nabi Muhammad SAW bersabda, “Hindarkan
bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila kamu dapat menemukan jalan
untuk membebaskannya. Jika imam salah, lebih baik salah dalam membebaskan
daripada salah dalam menghukum”.
4.
Tidak sahnya Hukuman karena Keraguan
Berkaitan erat
dengan asas praduga tak bersalah diatas adalah batalnya hukuman karena adanya
keraguan (doubt). Nash hadist jelas dalam hal ini: “Hindarkan hudud dalam
keadaan ragu, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam
membebaskan daripada salah dalam menghukum”
Abdul Qadir
‘Audah memberi contoh dari keraguan itu dalam kasus pencurian, misalnya suatu
kecurigaan mengenai kepemilikan dalam pencurian harta bersama. Jika seseorang
mencuri sesuatu yang dia miliki bersama orang lain, tetapi melibatkan
persangkaan adanya kepemilikan dari pelaku perbuatan itu. Contoh lainnya adalah
pencurian harta milik seseorang oleh ayahnya sendiri.
1 Komentar:
good
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda