Sekilas Tentang Konsep Kontinuitas
A.
Stabilitas dan Perubahan
Menurut Pound hokum harus stabil,
sebab jika tidak maka ia tidak dapat berdiri tegak. Karena itulah maka semua
pemikiran tentang hokum berjuang untuk mendamaikan antara tuntutan kebutuhan
akan stabilitas dan kebutuhan akan perubahan yang bertentangan itu.[1]
Hal ini telah menimbulkan berbagai teori. Sejauh menyangkut perintah, teori
hokum lebih menitikberatkan stabilitas daripada perubahan. Aliran sejarah ala
Savigny menetang perubahan hokum. Menurut aliran ini, tugas seorang ahli hokum
dan pembuat undang-undang adalah memeriksa dan merumuskan adanya kebiasaan
hokum; fungsi hokum secara esensial adalah untuk menstabilkan bukan menjadi
perantara perkembangan. Positivisme Analitis, dengan penekanannya pada logika
dan ketaatan pada hokum tertulis, cenderung menganggap stabilitas dan
permanensi sebagai objek tertinggi bagi intepretasi hokum. Di sisi lain, semua
teori utilitarian dan sosiologis cenderung menekankan perubahan isi hokum
karena mereka melihat hokum dalam kaitannya dengan latar belakang social dan
kebutuhan hidup. Cara mencapai kesenagan dan menghindari kegagalan perubahan
karena kondisi-kondisi social, sehingga hokum juga harus berubah karena
faktor-faktor ini.[2]
Hukum Tuhan berbeda dengan hokum
manusia, karena hokum tuhan memiliki metode-metode dan norma-norma etika baik
dan buruk yang menjaga perubahan batas-batas social itu dalam batas-batas
tertentu. Disamping itu, hokum Tuhan diberkahi kapasitas yang mengagumkan untuk
memadukan stabilitas dengan perubahan.
Sebagaimana telah dijelaskan, hokum
Tuhan memiliki prinsip-prinsip luas yang dapat diinterpretasikan-dengan
menunjuk kepada kata-katanya, pengertian yang implisit didalamnya, perubahan
dan jika hal-hal daruri (esensiil) tidak tercakup, maka hokum darurat dapat
dipakai untuk menjangkaunya.
B.
Pendapat Orientalis Tentang Syariah
Ada sejumlah orientalis yang
mengkritik Syariah karena kekakuannya. Mereka juga mengatakan bahwa syariah
menolak positivisme. Dalam bukunya, History of Islamic Law, Coulson
mengatakan:
‘’Eksposisi klasik menggambarkan
puncak suatu proses dimana istila-istilah spesifik hokum diekspresikan sebagai
kehendak Tuhan yang tidak dapat dibatalkan. Sebagai kebalikan dari
sistem-sistem hokum yang didasarkan pada akal manusia, hokum Tuhan semacam ini
memiliki dua karakteristik khusus yang utama. Pertama, ia merupakan sistem
kekal dan abadi, yang tidak mudahdimodifikasi dengan berbagai otoritas
legislative. Kedua, karena berbagai perbedaan orang yang, membentuk dunia
islam, syariah sebagai hokum Tuhan yang mewakili standar keagamaan menentang
berbagai system hokum yang akan memperoleh akibat yang tidak dapat dihindari
jika hokum merupakan produk akal manusia yang didasarkan pada situasi local dan
kebutuhan-kebutuhan kelompok suatu masyarakat tertentu’’[3]
Dalam bab kesimpulan, ia memberikan
contoh tentang Negara-negara Islam yang terpaksa menetang syariah dan mengambil
hokum Barat sebagai dasar social dan ekonomi. Yurisprudensi Islam, menurtnya,
dapat berhasil memecah masalah hokum dan masyarakat hanya jika ‘bebas dari
tujuan hokum agama yang diekspresikan dalam pengertian totaliter dan
bertentangan’[4].
Karena ‘agar menjadi suatu kekuatan yang hidup, hokum merefleksikan jiwa
masyarakat’[5].
Dengan pernyataan ini, ia bermaksud mengatakan bahwa syariah harus berhenti
dari kedudukannya sebagai hokum agama, dan sebagai pengontrol masyarakat, yang
merupakan tujuan utamanya, syariah kiniharus dikontrol oleh masyarakat dan
melayani kepentingannya, yang dengan demikian syariah akan dianggap sebagai
hokum dalam arti yang sebenarnya.
Di sisi lain, Kerr berpendapat bahwa
syariah bersifat idealitas dan terhindar dari positivism. Ia mengatakan:
‘’Kepentingan bangkit kembali
orang-orang islam modern dalam teori klasik tentang khalifah dan usaha untuk
menemukan didalamnya dasar-dasar bagi lembaga-lembaga demokrasi ‘progresif’,
kedaulatan yang bersifat umum dan lain-lain, tidak hanya dirangsang oleh
pertemuan politik Timur dan Barat beberapa abad yang lalu tetapi juga didorong
oleh pubikasi-publikasi Orientalis”[6]
Setelah mengacu kepada bagian yang
dimainkan oleh para orientalis, ia menyatakan:
“Seperti doktrin tradisonal tentang
khalifah, Jurisprudensi tradisoanal amat berkaitan erat dengan fondasi-fondasi
teologisnya. Tetapi, di sini kita tidak begitu berkepentingan dengan
ketidakpedulian akan makna penting institusinalisasi positif dan secara formal
mengakui peraturan-peraturan tingkah laku, karenadengan desakan mengurangi
pengaruh agar kemampuan manusia bias mempergunakan isi hokum yang diwahyukan
dalam proses interpretasi.”
Corak idealism yang didiskusikan
dalam bab terdahulu, sebenarnya ada dalam pikiran para cendikiawan muslim
tertentu yang konsepsi hokum mereka amat diikat oleh prinsip-prinsip dasar
agama dengan mengesampingkan bentuk-bentuk aplikasinya.”[7]
Jadi, ia menemukan kesalahan pada
semangat para ahli hokum yang idealis yang perhatian utama mereka dalam
menginterpretasikan syariah adalah untuk mempertahankan bentuk ideal dan
menghindari metode-metode yang mengubah hakekat kebenaran nilai-nilai yang
diwahyukan.
Ia mengakui bahwa
pertanyaan-pertanyaannya itu adalah dari sudut pandang seorang non-muslim:
dalam hal apa-apa dimungkinkan mebedakan urusan-urusan dunia dari masalah
agama yang tidak diragukan lagi, wajar
saja bagi ahli hokum islam untuk mengasumsikan jawaban seorang muslim. Bagi non-Muslim tidak punya
alasan untuk membuat asumsi yang demikian. Sah baginya mengesampingkan
urusan-urusan agama dan meneliti makna syariah, seperti yang diinterpretasikan
oleh orang-orang di dunia ini, untuk urusan dunia ini. Jika ia menyimpulkan
bahwa dalam bidang-bidang tertentu bagian-bagian syariah tidak konsisten, tidak
dapat melihat kebenarannya atau tidak mengikat kecuali sebagai sebuah ekspresi
agama yang benar, maka ia tidak punya pilihan lain kecuali percaya bahwa ada
sesuatu yang kurang menarik yang menghalangi syariah dari porsi yang
sesungguhnya untuk meningkatkan kesejahteraan material masyarakat.[8]
Coulson maupun Kerr adalah penganut
positivism. Sacara prinsip, mereka tertarik pada kepentingan-kepentingan material
masyarakat, dan menilai syariah menurut pandangan manusia. Syariah menurut
mereka adalah agamis , karenanya bukan hokum dalam pengertian modern.
C.
Reformasi Islam Ala Kerr
Dalam bukunya, Islamic Reform, Kerr
membicarakan teori politik dan hokum Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Menurutnya, ada arti ganda dalam pemikiran social tradisional dan modern, dan
teori yuristik ala khalifah dan Yurisprudensi Tradisoanal tidak lain kecuali
idealism.[9] Ia
mengatakan:
“Yang mendasari tradisi pemikiran
social islam adalah kesadaran pesimistis tentang ketegangan antara ideal dan aktualis,
spiritual dan temporal, kebaikan dan kekuasaan, perintah Tuhan dan tingkah laku
manusia. Pada abad-abad terakhir, para sarjana muslim biasanya tidak berfikir
bahwa mereka harus mendamaikan dua perangkat unsure yang berbeda ini. Meskipun
mereka mengembagkan prakteknya sendiri, tetapi sebagian besar tidak mengetahui,
mekanisme psikologi dan social. Tetapi penyebaran kultur sekuler di dunia islam
modern telah mengubahnya. Selain memberikan pengertian akan ketegangan
absolute, ia memperuncing ketegangan, dan membuat solusinya sebagai problem
yang vital.”[10]
Jadi ia salah berpendapat tentang
hokum islam. Pemikiran social dan ketegangan yang diduga ada di dalamnya tidak
memiliki apa-apa untuk dilakukan dengan hokum Tuhan Yang Maha Bijak yang
mendahului masyarakat sedangkan masyarakat idealnya harus mnyesuaikan diri
dengannya. Menurut Kerr, begitu pula Coulson, hokum Tuhan adalah pendapat para
ulamadan perbedaan pendapat yang ada tentangnya dianggap sebagai konflik dan
ketegangan dalam hokum itu sendiri. Mereka berdua salah terutama dalam menilai
hokum Tuhan menrut standar manusia. Usaha-usaha para ulama, dalam menafsirkan
hokum Tuhan, adalah untuk memahami dan menemukan hokum bukan untuk menentukan atau
menciptakannya.
Hukum Tuhan harus dipelihara dalam
bentuk idealnya sebagaimana diperintahkan oleh Allah,[11]
atau jika tidak maka ia kehilangan kemampuannya untuk mengontrol masyarakat
yang menjadi tujuan pokoknya . Pendapat para orientalis yang salah itu sebagian
besar dikarenakan fakta bahwa kebaikan sejati dapat diketahui secara rasional
dan hokum harus ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan social, sedangkan semua
kebutuhan semacam itu telah disediakan oleh Hukum Tuhan dan hanya Tuhan yang
mengetahui apa-apa yang benar-benar baik bagi umat manusia . Hukum (islam)
adalah sempurna dan untuk sepanjang masa,[12]
kebutuhan social harus ditentukan oleh hokum dan bukan sebaliknya. Dengan
demikian tidak akan terjadi perubahan, demikian pula tidak ada ketegangan dalam
syariah.
Para orientalis tidak menyadari
fakta bahwa hokum Tuhan, jika diterapkan secara totalitas, mengontrol perubahan
social dan menjaganya agar tidak keluar batas, karena hokum tidak membolehkan
masyarakat menyimpang dari tambatannya. Masyarakat islam, harus diingat, adalah
produk hokum dan idealnya harus meyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuannya.
Hukum, seperti yang telah dijelaskan, yang belum berubah memiliki kemampuan
yang menakjubkan untuk mengakomodasi perubahan. Perubahan-perubahan semacam itu
jarang terjadi. Menurut Moore, suatu penemuan dan hubungan budaya dapat
meningkatkan perubahan tetapi semua itu bias dieselesaikan dengan hokum
darurat. Perkembangan masyarakat tidak terhambat karena syariah, tetapi
mendukung, karena unsure yang rusak dibuang oleh hokum negative. Islam memilih
penggunaannya yang memberikan kesejahteraan masyarakat, dan menolak
penyalahgunaannya.
Kerr salah dalam catatannya bahwa
para sarjana muslim zaman dahulu tidak berfikir bahwa mereka mesti mendamaikan
unsure-unsur yang bertentangan. Di sisi lain mereka benar dalam usaha mereka
untuk melindungi hokum dalam bentuk idealnya, karena hokum bertindak sebagai
standar keputusan dan secara otomatis mengesampingkan unsure-unsur yang
bertentangan: ‘Jika kamu berbeda dalam sesuatu di antara kamu sendiri,
kembalilah pada Allah dan Rasul-Nya’[13].
Pernyataan yang dibrikan oleh Kerr
janggal. Ia memberikan kedaulatan kepada para penafsir hokum Tuhan dan
menekankan kebutuhan akan perantara yang secara otoritatif dapat menentukan
apakah firman Tukan itu? Ia mengatakan:
“Dalam teori-teori islam
klasiktentang khalifahdan yusrisprudensi titik pangkalnya adalah asumsi bahwa
hak-hak dan kewajiban-kewajiban ditentukan dan diwahyukan oleh Allah. Karena
itu, Ia-atau hokum yang Ia wahyukan- adalah kedaulatan tertinggi. Sebaliknya,
hokum yang diwahyukan harus ditafsirkan dan diterapkan oleh orang-orang yang
memenuhi syarat, dan dalam pengertian sekunder inilah kedaulatan. Pengaitan
kedaulatan tertinggi kepada Tuhan tentu saja tidak memiliki arti praktis hingga
beberapa perantara diidentifikasi bahwa secara otoritatif bias menetukan apa
titah-titah Allah itu. Tempat kedaulatan pada tingkat kedua tentu menjadi
penting, karena di sini karakter konstitusional dan system hokum sebagai alat
fungsional itu akan ditentukan”[14]
Disini ia membicarakan kedaulatan
dalam kaitan kedaulatan tertinggi dasn kekuasaan proseduraldan menimbulkan
perbedaandi antara keduanya. Di manapun juga dalam pemikiran politik, ide baru
semacam itu tidak dapat ditemukan. Ia harus mengetahi bahwa kedaulatan tidak
dapat dibagi, Allah Maha Tinggidan tidak seorang pun dapat berfikir untuk
membagi kedaulatan-Nya. Ia tidak bias turun secara pribadiuntuk menunjuk berbagai kelas atau individu tertentu untuk
melaksanakan hokum-Nya, karenanya hal itu merupakan kewajiban bagi orang-orang
yang memenuhi syarat untuk menginterpretasikan dan menerapkan hokum sebagaimana
diperintahkan oleh Allah: ”Sesungguhnya Kami telahmenurunkan Kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili diantara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu?”[15] “Barang
siapa memutuskan perkara tidak menurut apa yang diturunkan Allah, berarti
mereka adalah orang fasik.”[16]
Jadi, tugas menafsirkan dan menerapkan hokum harus dijlankan sebagaimana yang
ditentukan. Mereka harus melaksanakannya seperti yang ditunjukkan Allah dan
benar-benar sesuai dengan isi kandungan hokum. Kalau ada perselisihan pendapat
maka keputusan akhir terserah kepada Allah: “Tentang suatu apapu kamu
berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.”[17]
Kekuasaan Allah terbatas tidak dapat dibagi.
Ia membicarakan beberapa perantara
yang harus dikenal secara otoritatif untuk menentukan apaka titah-titah Allah
itu. Ini berarti bahwaharus ada suatu kelas orang suci, sedangkan islam tidak
mengakui kependetaan atau wewenang kesucian apa pun, karenanya masalah teokrasi
benar-benar ditolak. Tidak ada orang atau golongan yang diberi hak istimewa
untuk berhubungan secara pribadi dengan Allah, islam tidak menyetjui
pendetaisme dalam berbagai bentuknya. Kerr nampaknya ingin memasukkan ke dalam
islam pergumulan panjang bangsa Barat antara Negara dan gereja.
Menrutnya, hokum berarti hokum
buatan manusia. Ia mengajukan pertanyaan: Apakah Syariah Islam, seperti yang
difahami secara tradisional, merupakan system hokum positif? Moralitas agama
dan hokum positif tentu saja dapat serupa. Tetapi, dalam istilah hokum positif,
keduanya tidak dapat menjadi satu dan sama, dan hokum yang tidak diundangkan
dan diakui secara manusiawi, yang ketaatannya tidak dapat diketahui dengan
kemampuan manusia, adalah bukan hokum.[18]
Ini adalah pertanyaan yang
bertentangan. Ia menyatakan syariah sebagai hokum Tuhan tetapi di sini ia
mengatakan bahwa syariah bukan hokum. Menurutnya, kata hokum menunjuk pada apa
yang secara manusiawi diundangkan dan diakui, sedangkan hokum Tuhan tidak dapat
disangkal adalah hokum yang tertinggi. Ia membicarakan hokum positif tetapi
hokum dapat positif dapat tetap positif karena ia ditentukan oleh fakta-fakta
social yang bias mengalami perubahan. Jadi, hokum positif itu sebenarnya adalah
hokum yang terus-menerus berubah dan tidak stabil, namun ia menyebutnya hokum
positif dan mengkritik syariah karena tidak positif dalam pengertian ini. Jika
ia hanya bias mengetahui arti kata ‘positif’, ia tidak akan menyapuratakan
pernyataan itu pada syariah.
Apa yang ia inginkan adalah bahwa
akal manusia diberi kekuasaan penuh dalam menafsirkan syariah, dan fakta-fakta
social akhirnya merupakan factor penentu hokum syariah dan tidaka ada daerah
tengah-tengah. Ia mengatakan:
Pergeseran dari kesalehan islam
tradisional dan penerimaan terhadap aoa yang dianggap sebagai masalah social
yang ditakdirkan Tuhan bagi etos teknologi social baru-dari ide voluntarisme Tuhan kepada ide Voluntarisme
manusia- adalah disimbolkan, jika tidak dijelaskan secara tepat, dalam
kegagalan para reformis islam dari genersi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha untuk menentukan daerah tengah. Di
Eropa tradisi voluntarisme Tuhan yang bersifat teologis yang cocok secara
berangsur-angsur telah memberikan baik kepada teologi keadilan alaminya kaum
Thomis maupun, kemudian, kepada derivasi sekularnya jauh sebelum
filsafat-filsafat voluntaris manusia muncul. Derivasi secular telah mencapai
kemenangan modern mereka, sebagian memperlihatkan diri melalui panji-panji
manusia super dan karenanya repulsive, tetapi yang laindiperlunak dengan
tradisi-tradisi peradaban. Di dunia islamlangkah perubahan sangat cepat-yang
ditekan, secara signifika, oleh manifestasi-manifestasi keinginan dan kekuasaan
Barat daripada kelayakannya- mnyebabkan perubahan sikap langsung dari kepasifan
aliran Asy’ariyah menuju ketegasan yang member cirri nasionalisme kontemporer.
Dalam proses ini, pembaharu-pembaharu intelektual yang diminta untuk
menyediakan jawaban bagi kebutuhan-kebutuhan paling modern dengan daya tarik
yang fantasis pada periode awal sejarah islam yang tidak terelakkan cenderung
jatuh di tengah jalan, secara alternative menimbulkan protes yang tidak berdaya
terhadap ketidakpastian masalah social modern atau menambah semangat bertempur
dan harga diri[19]
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda