Minggu, 29 April 2012

Sekilas Tentang Konsep Kontinuitas


A.    Stabilitas dan Perubahan
Menurut Pound hokum harus stabil, sebab jika tidak maka ia tidak dapat berdiri tegak. Karena itulah maka semua pemikiran tentang hokum berjuang untuk mendamaikan antara tuntutan kebutuhan akan stabilitas dan kebutuhan akan perubahan yang bertentangan itu.[1] Hal ini telah menimbulkan berbagai teori. Sejauh menyangkut perintah, teori hokum lebih menitikberatkan stabilitas daripada perubahan. Aliran sejarah ala Savigny menetang perubahan hokum. Menurut aliran ini, tugas seorang ahli hokum dan pembuat undang-undang adalah memeriksa dan merumuskan adanya kebiasaan hokum; fungsi hokum secara esensial adalah untuk menstabilkan bukan menjadi perantara perkembangan. Positivisme Analitis, dengan penekanannya pada logika dan ketaatan pada hokum tertulis, cenderung menganggap stabilitas dan permanensi sebagai objek tertinggi bagi intepretasi hokum. Di sisi lain, semua teori utilitarian dan sosiologis cenderung menekankan perubahan isi hokum karena mereka melihat hokum dalam kaitannya dengan latar belakang social dan kebutuhan hidup. Cara mencapai kesenagan dan menghindari kegagalan perubahan karena kondisi-kondisi social, sehingga hokum juga harus berubah karena faktor-faktor ini.[2]  
Hukum Tuhan berbeda dengan hokum manusia, karena hokum tuhan memiliki metode-metode dan norma-norma etika baik dan buruk yang menjaga perubahan batas-batas social itu dalam batas-batas tertentu. Disamping itu, hokum Tuhan diberkahi kapasitas yang mengagumkan untuk memadukan stabilitas dengan perubahan.
Sebagaimana telah dijelaskan, hokum Tuhan memiliki prinsip-prinsip luas yang dapat diinterpretasikan-dengan menunjuk kepada kata-katanya, pengertian yang implisit didalamnya, perubahan dan jika hal-hal daruri (esensiil) tidak tercakup, maka hokum darurat dapat dipakai untuk menjangkaunya.   
B.     Pendapat Orientalis Tentang Syariah
Ada sejumlah orientalis yang mengkritik Syariah karena kekakuannya. Mereka juga mengatakan bahwa syariah menolak positivisme. Dalam bukunya, History of Islamic Law, Coulson mengatakan:
‘’Eksposisi klasik menggambarkan puncak suatu proses dimana istila-istilah spesifik hokum diekspresikan sebagai kehendak Tuhan yang tidak dapat dibatalkan. Sebagai kebalikan dari sistem-sistem hokum yang didasarkan pada akal manusia, hokum Tuhan semacam ini memiliki dua karakteristik khusus yang utama. Pertama, ia merupakan sistem kekal dan abadi, yang tidak mudahdimodifikasi dengan berbagai otoritas legislative. Kedua, karena berbagai perbedaan orang yang, membentuk dunia islam, syariah sebagai hokum Tuhan yang mewakili standar keagamaan menentang berbagai system hokum yang akan memperoleh akibat yang tidak dapat dihindari jika hokum merupakan produk akal manusia yang didasarkan pada situasi local dan kebutuhan-kebutuhan kelompok suatu masyarakat tertentu’’[3]
Dalam bab kesimpulan, ia memberikan contoh tentang Negara-negara Islam yang terpaksa menetang syariah dan mengambil hokum Barat sebagai dasar social dan ekonomi. Yurisprudensi Islam, menurtnya, dapat berhasil memecah masalah hokum dan masyarakat hanya jika ‘bebas dari tujuan hokum agama yang diekspresikan dalam pengertian totaliter dan bertentangan’[4]. Karena ‘agar menjadi suatu kekuatan yang hidup, hokum merefleksikan jiwa masyarakat’[5]. Dengan pernyataan ini, ia bermaksud mengatakan bahwa syariah harus berhenti dari kedudukannya sebagai hokum agama, dan sebagai pengontrol masyarakat, yang merupakan tujuan utamanya, syariah kiniharus dikontrol oleh masyarakat dan melayani kepentingannya, yang dengan demikian syariah akan dianggap sebagai hokum dalam arti yang sebenarnya.      
Di sisi lain, Kerr berpendapat bahwa syariah bersifat idealitas dan terhindar dari positivism. Ia mengatakan:
‘’Kepentingan bangkit kembali orang-orang islam modern dalam teori klasik tentang khalifah dan usaha untuk menemukan didalamnya dasar-dasar bagi lembaga-lembaga demokrasi ‘progresif’, kedaulatan yang bersifat umum dan lain-lain, tidak hanya dirangsang oleh pertemuan politik Timur dan Barat beberapa abad yang lalu tetapi juga didorong oleh pubikasi-publikasi Orientalis”[6]
Setelah mengacu kepada bagian yang dimainkan oleh para orientalis, ia menyatakan:
“Seperti doktrin tradisonal tentang khalifah, Jurisprudensi tradisoanal amat berkaitan erat dengan fondasi-fondasi teologisnya. Tetapi, di sini kita tidak begitu berkepentingan dengan ketidakpedulian akan makna penting institusinalisasi positif dan secara formal mengakui peraturan-peraturan tingkah laku, karenadengan desakan mengurangi pengaruh agar kemampuan manusia bias mempergunakan isi hokum yang diwahyukan dalam proses interpretasi.”
Corak idealism yang didiskusikan dalam bab terdahulu, sebenarnya ada dalam pikiran para cendikiawan muslim tertentu yang konsepsi hokum mereka amat diikat oleh prinsip-prinsip dasar agama dengan mengesampingkan bentuk-bentuk aplikasinya.”[7]
Jadi, ia menemukan kesalahan pada semangat para ahli hokum yang idealis yang perhatian utama mereka dalam menginterpretasikan syariah adalah untuk mempertahankan bentuk ideal dan menghindari metode-metode yang mengubah hakekat kebenaran nilai-nilai yang diwahyukan.
Ia mengakui bahwa pertanyaan-pertanyaannya itu adalah dari sudut pandang seorang non-muslim: dalam hal apa-apa dimungkinkan mebedakan urusan-urusan dunia dari masalah agama  yang tidak diragukan lagi, wajar saja bagi ahli hokum islam untuk mengasumsikan jawaban  seorang muslim. Bagi non-Muslim tidak punya alasan untuk membuat asumsi yang demikian. Sah baginya mengesampingkan urusan-urusan agama dan meneliti makna syariah, seperti yang diinterpretasikan oleh orang-orang di dunia ini, untuk urusan dunia ini. Jika ia menyimpulkan bahwa dalam bidang-bidang tertentu bagian-bagian syariah tidak konsisten, tidak dapat melihat kebenarannya atau tidak mengikat kecuali sebagai sebuah ekspresi agama yang benar, maka ia tidak punya pilihan lain kecuali percaya bahwa ada sesuatu yang kurang menarik yang menghalangi syariah dari porsi yang sesungguhnya untuk meningkatkan kesejahteraan material masyarakat.[8]  
Coulson maupun Kerr adalah penganut positivism. Sacara prinsip, mereka tertarik pada kepentingan-kepentingan material masyarakat, dan menilai syariah menurut pandangan manusia. Syariah menurut mereka adalah agamis , karenanya bukan hokum dalam pengertian modern.  
C.    Reformasi Islam Ala Kerr
Dalam bukunya, Islamic Reform, Kerr membicarakan teori politik dan hokum Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Menurutnya, ada arti ganda dalam pemikiran social tradisional dan modern, dan teori yuristik ala khalifah dan Yurisprudensi Tradisoanal tidak lain kecuali idealism.[9] Ia mengatakan:
“Yang mendasari tradisi pemikiran social islam adalah kesadaran pesimistis tentang ketegangan antara ideal dan aktualis, spiritual dan temporal, kebaikan dan kekuasaan, perintah Tuhan dan tingkah laku manusia. Pada abad-abad terakhir, para sarjana muslim biasanya tidak berfikir bahwa mereka harus mendamaikan dua perangkat unsure yang berbeda ini. Meskipun mereka mengembagkan prakteknya sendiri, tetapi sebagian besar tidak mengetahui, mekanisme psikologi dan social. Tetapi penyebaran kultur sekuler di dunia islam modern telah mengubahnya. Selain memberikan pengertian akan ketegangan absolute, ia memperuncing ketegangan, dan membuat solusinya sebagai problem yang vital.”[10]   
Jadi ia salah berpendapat tentang hokum islam. Pemikiran social dan ketegangan yang diduga ada di dalamnya tidak memiliki apa-apa untuk dilakukan dengan hokum Tuhan Yang Maha Bijak yang mendahului masyarakat sedangkan masyarakat idealnya harus mnyesuaikan diri dengannya. Menurut Kerr, begitu pula Coulson, hokum Tuhan adalah pendapat para ulamadan perbedaan pendapat yang ada tentangnya dianggap sebagai konflik dan ketegangan dalam hokum itu sendiri. Mereka berdua salah terutama dalam menilai hokum Tuhan menrut standar manusia. Usaha-usaha para ulama, dalam menafsirkan hokum Tuhan, adalah untuk memahami dan menemukan hokum bukan untuk menentukan atau menciptakannya.
Hukum Tuhan harus dipelihara dalam bentuk idealnya sebagaimana diperintahkan oleh Allah,[11] atau jika tidak maka ia kehilangan kemampuannya untuk mengontrol masyarakat yang menjadi tujuan pokoknya . Pendapat para orientalis yang salah itu sebagian besar dikarenakan fakta bahwa kebaikan sejati dapat diketahui secara rasional dan hokum harus ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan social, sedangkan semua kebutuhan semacam itu telah disediakan oleh Hukum Tuhan dan hanya Tuhan yang mengetahui apa-apa yang benar-benar baik bagi umat manusia . Hukum (islam) adalah sempurna dan untuk sepanjang masa,[12] kebutuhan social harus ditentukan oleh hokum dan bukan sebaliknya. Dengan demikian tidak akan terjadi perubahan, demikian pula tidak ada ketegangan dalam syariah.
Para orientalis tidak menyadari fakta bahwa hokum Tuhan, jika diterapkan secara totalitas, mengontrol perubahan social dan menjaganya agar tidak keluar batas, karena hokum tidak membolehkan masyarakat menyimpang dari tambatannya. Masyarakat islam, harus diingat, adalah produk hokum dan idealnya harus meyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuannya. Hukum, seperti yang telah dijelaskan, yang belum berubah memiliki kemampuan yang menakjubkan untuk mengakomodasi perubahan. Perubahan-perubahan semacam itu jarang terjadi. Menurut Moore, suatu penemuan dan hubungan budaya dapat meningkatkan perubahan tetapi semua itu bias dieselesaikan dengan hokum darurat. Perkembangan masyarakat tidak terhambat karena syariah, tetapi mendukung, karena unsure yang rusak dibuang oleh hokum negative. Islam memilih penggunaannya yang memberikan kesejahteraan masyarakat, dan menolak penyalahgunaannya.
Kerr salah dalam catatannya bahwa para sarjana muslim zaman dahulu tidak berfikir bahwa mereka mesti mendamaikan unsure-unsur yang bertentangan. Di sisi lain mereka benar dalam usaha mereka untuk melindungi hokum dalam bentuk idealnya, karena hokum bertindak sebagai standar keputusan dan secara otomatis mengesampingkan unsure-unsur yang bertentangan: ‘Jika kamu berbeda dalam sesuatu di antara kamu sendiri, kembalilah pada Allah dan Rasul-Nya’[13].
Pernyataan yang dibrikan oleh Kerr janggal. Ia memberikan kedaulatan kepada para penafsir hokum Tuhan dan menekankan kebutuhan akan perantara yang secara otoritatif dapat menentukan apakah firman Tukan itu? Ia mengatakan:
“Dalam teori-teori islam klasiktentang khalifahdan yusrisprudensi titik pangkalnya adalah asumsi bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban ditentukan dan diwahyukan oleh Allah. Karena itu, Ia-atau hokum yang Ia wahyukan- adalah kedaulatan tertinggi. Sebaliknya, hokum yang diwahyukan harus ditafsirkan dan diterapkan oleh orang-orang yang memenuhi syarat, dan dalam pengertian sekunder inilah kedaulatan. Pengaitan kedaulatan tertinggi kepada Tuhan tentu saja tidak memiliki arti praktis hingga beberapa perantara diidentifikasi bahwa secara otoritatif bias menetukan apa titah-titah Allah itu. Tempat kedaulatan pada tingkat kedua tentu menjadi penting, karena di sini karakter konstitusional dan system hokum sebagai alat fungsional itu akan ditentukan”[14]
Disini ia membicarakan kedaulatan dalam kaitan kedaulatan tertinggi dasn kekuasaan proseduraldan menimbulkan perbedaandi antara keduanya. Di manapun juga dalam pemikiran politik, ide baru semacam itu tidak dapat ditemukan. Ia harus mengetahi bahwa kedaulatan tidak dapat dibagi, Allah Maha Tinggidan tidak seorang pun dapat berfikir untuk membagi kedaulatan-Nya. Ia tidak bias turun secara pribadiuntuk menunjuk  berbagai kelas atau individu tertentu untuk melaksanakan hokum-Nya, karenanya hal itu merupakan kewajiban bagi orang-orang yang memenuhi syarat untuk menginterpretasikan dan menerapkan hokum sebagaimana diperintahkan oleh Allah: ”Sesungguhnya Kami telahmenurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili diantara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu?”[15] “Barang siapa memutuskan perkara tidak menurut apa yang diturunkan Allah, berarti mereka adalah orang fasik.”[16] Jadi, tugas menafsirkan dan menerapkan hokum harus dijlankan sebagaimana yang ditentukan. Mereka harus melaksanakannya seperti yang ditunjukkan Allah dan benar-benar sesuai dengan isi kandungan hokum. Kalau ada perselisihan pendapat maka keputusan akhir terserah kepada Allah: “Tentang suatu apapu kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.”[17] Kekuasaan Allah terbatas tidak dapat dibagi.
Ia membicarakan beberapa perantara yang harus dikenal secara otoritatif untuk menentukan apaka titah-titah Allah itu. Ini berarti bahwaharus ada suatu kelas orang suci, sedangkan islam tidak mengakui kependetaan atau wewenang kesucian apa pun, karenanya masalah teokrasi benar-benar ditolak. Tidak ada orang atau golongan yang diberi hak istimewa untuk berhubungan secara pribadi dengan Allah, islam tidak menyetjui pendetaisme dalam berbagai bentuknya. Kerr nampaknya ingin memasukkan ke dalam islam pergumulan panjang bangsa Barat antara Negara dan gereja.
Menrutnya, hokum berarti hokum buatan manusia. Ia mengajukan pertanyaan: Apakah Syariah Islam, seperti yang difahami secara tradisional, merupakan system hokum positif? Moralitas agama dan hokum positif tentu saja dapat serupa. Tetapi, dalam istilah hokum positif, keduanya tidak dapat menjadi satu dan sama, dan hokum yang tidak diundangkan dan diakui secara manusiawi, yang ketaatannya tidak dapat diketahui dengan kemampuan manusia, adalah bukan hokum.[18]    
Ini adalah pertanyaan yang bertentangan. Ia menyatakan syariah sebagai hokum Tuhan tetapi di sini ia mengatakan bahwa syariah bukan hokum. Menurutnya, kata hokum menunjuk pada apa yang secara manusiawi diundangkan dan diakui, sedangkan hokum Tuhan tidak dapat disangkal adalah hokum yang tertinggi. Ia membicarakan hokum positif tetapi hokum dapat positif dapat tetap positif karena ia ditentukan oleh fakta-fakta social yang bias mengalami perubahan. Jadi, hokum positif itu sebenarnya adalah hokum yang terus-menerus berubah dan tidak stabil, namun ia menyebutnya hokum positif dan mengkritik syariah karena tidak positif dalam pengertian ini. Jika ia hanya bias mengetahui arti kata ‘positif’, ia tidak akan menyapuratakan pernyataan itu pada syariah.
Apa yang ia inginkan adalah bahwa akal manusia diberi kekuasaan penuh dalam menafsirkan syariah, dan fakta-fakta social akhirnya merupakan factor penentu hokum syariah dan tidaka ada daerah tengah-tengah. Ia mengatakan:
Pergeseran dari kesalehan islam tradisional dan penerimaan terhadap aoa yang dianggap sebagai masalah social yang ditakdirkan Tuhan bagi etos teknologi social baru-dari ide  voluntarisme Tuhan kepada ide Voluntarisme manusia- adalah disimbolkan, jika tidak dijelaskan secara tepat, dalam kegagalan para reformis islam dari genersi Muhammad Abduh dan Rasyid    Ridha untuk menentukan daerah tengah. Di Eropa tradisi voluntarisme Tuhan yang bersifat teologis yang cocok secara berangsur-angsur telah memberikan baik kepada teologi keadilan alaminya kaum Thomis maupun, kemudian, kepada derivasi sekularnya jauh sebelum filsafat-filsafat voluntaris manusia muncul. Derivasi secular telah mencapai kemenangan modern mereka, sebagian memperlihatkan diri melalui panji-panji manusia super dan karenanya repulsive, tetapi yang laindiperlunak dengan tradisi-tradisi peradaban. Di dunia islamlangkah perubahan sangat cepat-yang ditekan, secara signifika, oleh manifestasi-manifestasi keinginan dan kekuasaan Barat daripada kelayakannya- mnyebabkan perubahan sikap langsung dari kepasifan aliran Asy’ariyah menuju ketegasan yang member cirri nasionalisme kontemporer. Dalam proses ini, pembaharu-pembaharu intelektual yang diminta untuk menyediakan jawaban bagi kebutuhan-kebutuhan paling modern dengan daya tarik yang fantasis pada periode awal sejarah islam yang tidak terelakkan cenderung jatuh di tengah jalan, secara alternative menimbulkan protes yang tidak berdaya terhadap ketidakpastian masalah social modern atau menambah semangat bertempur dan harga diri[19]    
  

[1]  Friedman, Legal Theory, hlm. 86
[2]  Ibid., hlm. 86-87
[3]  Coulson, A History, hlm. 5-6
[4]  Ibid., hlm. 225
[5]  Ibid
[6]  Kerr, Islamic Reform, hlm. 19.
[7]  Ibid., hlm. 56.
[8]  Ibid., hlm. 8.
[9]  Kerr, Islamic Reform, hlm. 19.
[10]  Ibid., hlm. 1
[11]  Quran, 5: 47.
[12]  Ibid., 5: 3.
[13]  Ibid., 4: 59
[14]  Kerr, Islamic Reform, hlm 4.
[15]  Quran, 4: 105.
[16]  Ibid., 5:47.
[17]  Ibid., 42: 10.
[18] Kerr, Islamic Reform, hlm 6.
[19]  Ibid., hlm. 223.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda