Isthsan & Istislah
A. Istihsan
1. Pengertian
Secara
harfiah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung
sesuatu yang menganggapnya kebaikan.
Sedangkan secara terminologi Imam Al-Bazdawi,
ahli ushul fiqh, istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas
yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.
Menurutnya, dalam kasus-kasus tertentu metode qiyas sulit untuk diterapkan,
karena illat yang ada pada qiyas amat lemah. Oleh karena itu, perlu dicarikan
metode lain yang mengandung motivasi hukum yang lebih kuat, sehingga hukum yang
diterapkan dalam kasus tersebut lebih tepat dan sejalan dengan tujuan-tujuan
syara’.
Ahli
ushul fiqh Hanafi bernama Imam Al-Sarakhsi, mengatakan ‘istihsan itu berarti
meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya
dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia’.
Iman
Malik sebagaimana dinuklilkan Imam Syatibi, ahli ushul fiqh Maliki,
mendefinisikan istihsan dengan memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika
berhadapan dengan kaidah umum. Kemudian ia menambahkan hakikat istihsan adalah
mendahulukan maslahah al-mursalah dari pada qiyas. Artinya, apabila terjadi
perbenturan antara qiyas dengan maslahah al-mursalah, maka yang diambil adalah
maslaha al-mursalah, dan qiyas ditinggalkan, karena apabila qiyas tetap
digunakan dalam kasus seperti ini, maka tujuan syara’ dalam mensyariatkan hukum
tidak tercapai.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa istihsan menurut istilah ulama ushul ialah
istiuhsan itu, berpindah dari suatu hukum yang sudah diberikan kepada hukum
lain yang sebandingnya karena adanya suatu sebab yang dipandang lebih kuat atau
baik. Maka dapat disimpulkan bahwa esensi dari istihsan itu adalah :
a) Menarjih
qiyas al-khafi dari qiyas al-jali, karena ada dalil yang mendukungnya.
b) Memberlakukan
pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli atau kaidah
umum, didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya.
2. Dasar-dasar Istihsan
Dasar-dasar
istihsan terdapat dalam Al-quran danm hadis Rasulullah SAW antara lain:
a. Dasarnya
dalam Al-quran
“Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang berakal.”
b. Dasarnya
dalam hadist
“Anas RA, berkata, Rasulullah SAW bersabda :
sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya, dan sebaik-baik ibadah
adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya.”
3. Macam-macam Istihsan
Macam istihsan ada dua:
1) Memindahkan
hukum dari qiyas jalli pada qiyas khafi.
2) Pemindahan
hukum dari hukum yang bersifat umum pada hukum pengecualian.
Ulama hanafiyyah membagi istihsan
menjadi dua macam, yaitu:
a) Istihsan
qiyas, yaitu ada dua : illat yang terdapat dalam qiyas yang salah satu darinya
dijadikan dasar istihsan karena dipandang lebih baik daripada yang lain.
b) Istihsan
yang menolak qiyas, yaitu yang bertentangan dengan illat-illat qiyas, yang
dapat pula ditinjau dari tiga bagian yaitu:
1. Istihsan
sunah, yaitu suatu penetapan istihsan yang menolak qiyas karena berdasarkan
suatu hadist.
2. Istihsan
ijma’, yaitu suatu penetapan istihsan yang menolak qiyas karena berdasarkan
ijma’.
3. Istihsan
dharurat, yaitu penetapan istihsan yang bertentangan dengan qiyas karena
pertimbangan darurat.
4. Kehujjahan istihsan
Terdapat
perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihasan sebagai salah
satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara’.
a) Ulama
Hanafiyyah
Abu
zahrah berpendapat bahwa abu hanifah bayak sekali menggunakan istihsan. Begitu
pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab ushul yang menyebutkan
bahwa hanifiyyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqhnya
banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
b) Ulama
Malikiyyah
Asy-syatibi
berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum
sebagaimana pendapat imam maliki dan imam abu hanifah. Begitu pula menurut abu
zahrah, bahwa imam malik sering berfatwa dengan menggunakn istihsan.
c) Ulama
Hanbillah
Dalam
beberapa kitab ushul disebutkan bahwa golongan hanabillah mengakui adanya
istihsan, sebagaimana dikatakan oleh imam al amudi dan ibnu hazib.
d) Ulama
Syafi’iah
Golongan al
syafi’i secar mashur tidak mengakui adanya istihsan dan mereka betul-betul
menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak menggunaknnya
sebagai dalil. Bahkan imam syafi’i berkata : “ Barang siapa yang menggunakan
istihsan berarti ia telah mebuat syariat.” Beliau juga berkata, “ segala urusan
itu telah diatur oleh Allah SWT, setidaknya ada yang menyerupainya sehingga
dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan.”
Menurut ulama hanafiyyah, malikiyah dan
hanbillah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’.
Alasan yang mereka kemukakan adalah :
Ø Ayat-ayat
yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia,
yaitu firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 185. “...... Allah menghendaki
kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu......”
Ø Rasulullah
dalam riwayat Abdullah ibnu mas’ud mengatakan “ sesuatu yang dipandang baik
oleh umat islam, maka ia juga baik dihadapan Allah.”
Ø Hasil
penelitian dari berbagai ayat dan hadist terdapat berbagai permasalahan yang
terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan
qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syariat islam
ditunjukkan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia.
B. Istihlah
1.
Pengertian
Menurut
bahasa istihlah adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan
manusia baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan atau kesenangan
atau dalam arti menolak atau menghindarkan kemadharatan atau kesusahan. Pengertian yang lain menyatakan Istishlah adalah
logika yang baik tentu baik untuk dipergunakan. Istishlah merupakan suatu konsep
dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan
manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu hukum
sekunder.
Istishlah merupakan istilah lain yang digunakan oleh para ulama bagi
mashlahah mursalah, selain daripadanya
adalah al Munâsib al Mursal dan
adapula istidlal al mursal serta mashlahah muthlaqah. Ketiga
istilah itu bermuara pada satu permasalahan yaitu mashlahah.Karenanya juga konsep ini
lebih dikenal dengan sebutan, al-mashlahah
al-mursalah atau al-mashalih
al-mursalah.
Sedangkan menurut para ahli ilmu usul fiqh
adalah suatu kemaslahatan dimana Syara’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk
merelisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang yang menunjukkan atas
pengakuannya atau pembatalannya.
2.
Syarat-syarat Istihlah/maslahah mursalah
Golongan-golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah atau
dalam kata lain istihlah dalam pembentukan hukum telah mensyaratkan sejumlah
syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah tidak tercampur dengan hawa
nafsu, tujuan dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Syarat-syatar
itu antara lain:
a)
Maslahah
itu harus hakikat, bukan dugaan
b)
Maslahah
harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak
khusus untuk beberapa orang dalamjumlah sedikit.
c)
Maslahah
itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syar’i.
d) Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, dimana nash yang
sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.
3.
Macam-macam
Ulama ushul
membagi maslahah kepada tiga bagian, yaitu:
a)
Maslahah
dharuriyah
Maslahah
dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan
manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah
kerusakakn, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini
dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus
dipelihara, yaitu; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
b)
Maslahah
hajjiyah
Maslahah
hajjiyah adalah semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan
dasar yang lain (yang ada pada maslahah dhururiyah) yang dibutuhkan oleh
masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindari kesulitan dan
menghilangkan kesempitan. Hujjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya
memimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan
ibadah, adat, muamalat, dan bidang jinayat.
c)
Maslahah
tahsiniyah
Maslahah
tahsiniyah adalah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan
oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.
Tahsiniyah ini, juga masuk dalam lapangan ibadah, adat dan muamalat dan bidang
uqubat.
4.
Kehujjahan
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbadaan pendapat
dikalangan ulama ushul di antaranya:
o Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut
ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama-ulama Hanafiyyah, dan sebagian ulama Malikiyyah,
seperti Ibnu Hajib, dan ahli zahir.
o Maslahah mursalah dapt menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama
Maliki dan sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul
o Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah; ‘Sesunguhnya
berhujjah dengan meslahah mursalah dilakukan olehsemua mazhab, karena mereka
melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan yang lainnya karena
adanya ketentuan-ketantuan hukum yang mengikat.’
5. Pandangan Para Ulama Mengenai Istishlah
Masalah istihslah merupakan permasalahan yang menjadi bahan
perdebatan dikalangan para ulama. Perlu kita ketahui bahwa yang menjadi perbedaan
pendapat adalah pada posisi mashlahah mursalah dijadikan sebagai salah satu
sumber hukum Islam. Sedangkan pada posisi, mashlahah mursalah sebagai suatu
kemaslahatan yang harus dijaga sebagaimana tujuan syar’iat, maka seluruh ulama
menyepakatinya.
Dalam kitab al Ihkam, al Amidi mengatakan bahwa para ulama dari
golongan. Syafi’I, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang
kepada istishlah, kecuali Imam Malik, dan diapun tidak sependapat dengan
pengikutnya. Para ulama tersebut sepakat untuk tidak memakai istishlah dalam
setiap kemaslahatan, kecuali dalam kemaslahatan penting dan khusus secara
qath’i. Mereka tidak menggunakannya dalam kemaslahatan yang tidak penting,
tidak berlaku umum, serta tidak kuat.
Adapun al Syathibi mengatakan bahwa pendapat tentang adanya
perbedabatan dikalangan ulama perihal mashlahah mursalah dapat dibagi menjadi
empat pendapat, yaitu :
1. al Qadhi dan beberapa ahli
menolaknya dan menganggap sebagai sesuatu yang tidak ada dasarnya.
2. Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak.
3. Imam al Syafi’I dan para pembesar golongan Hanafiyah memakai
mashlahah mursalah dalam permasalahan yang tidak dijumpai dasar hukumnya yang
sahih.
4. Sedangkan al Ghazali dalam al Musytasyfa menolaknya namun dalam
syafa’ul Ghalil Menerimanya.
Abu Hanifah dan ulama fiqih Iraq tidak menggunakan Istishlah seperti
Ibrahim Al Nakha’I, mereka senanatiasa berhujjah untuk kemaslahatan. Mereka
hanya memakai istihsan dan menganggap bahwa istishlah itu merupakan bagian dari
istihsan yang bersandarkan kepada adat, kepentingan dan kemaslahatan. Namun
bila mereka dikatakan berhujjah dengan istishlah, mereka tidak mengakuinya dan
hanya mengangap bahwa mereka telah berdalil dengan istihsan dan urf.
Abu Hanifah membagi sanad Istihsan kepada empat macam, yaitu ;
istihsan dengan nash, istihsan dengan ijma’, istihsan dengan qiyas khafi dan
istihsan dengan darurat. Pada istihsan dengan daruratlah Abu Hanifah
menyandarkan perpindahan dalil karena tujuan kemaslahatan. Berdasarkan hal
tersebut dapat diketahui bahwa para ulama telah mengeluarkan berbagai istinbath
hukum dengan cara istishlah yang sama artinya dengan istihsan menurut Abu
Hanifah.
Adapun penggunaan Urf khususnya di kalangan Hanafiyyah lebih luas
dibanding istishlah terhadap hal-hal yang tidak ada nash-nya. Hal ini tentunya
bebas bagi tiap-tiap daerah dalam kehidupannya dengan maksud untuk mencapai
kemaslahatan hidup mereka.
Tak heran kalau banyak
hukum yang didasarkan pada ‘urf menurut Hanafiyyah sebenarnya sama dengan
istishlah menurut ulama lainnya.
Perbedaan tersebut diatas
terjadi karena adaya perbedaan paradigma mengenai kedudukan mashlahat dalam
nash. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh Atjep Djazuli dan Nurol Aen perbedaan tersebut terbagi menjadi tiga,
yaitu :
1. Ulama yang berpendapat bahwa nash-nash syara’ tidak akan dapat
diketahui terkecuali semata-mata dari segi dhahirnya, sehingga maslahatpun
dapat diakui bila secara tegas disebutkan oleh nash. Mereka adalah madzhab al
Dzahiri.
2. Ulama yang mengambil mashlahat dari seuatu yang tersirat pada
nash yaitu dengan mengetahui illat, maksud dan tujuannya. Hanya saja ketiga hal
itu dibatasi bila ada dalil atau nash khusus yang merupakan syahid/buktinya.
Hal itu diperoleh dengan cara qiyas yang digunakan oleh al Syafi’i dan al Ghazali.
3. Ulama yang menetapkan bahwa kemaslahatan itu ditetapkan oleh
syara’ baik tersurat maupun tersirat, baik ada syahidnya secara khusus maupun
secara umum. Mereka adalah imam Malik dan pengikutnya.
Perbedaan paradigma tersebut, melahirkan argumentasi pada penolakan
dan penerimaan mashlahah mursalahah sebagaimana dipaparkan oleh Atjep Djazuli
dan Nurol Aen sebagai berikut :
Pendapat yang menolak mashlahah mursalah
dengan alasan :
a. Kemaslahatan yang tidak ada syahidnya yang berupa dalil khusus
adalah semacam mencari kenikmatan dengan mengiktui hawa nafsu.
b. Kita tidak dapat menyebutkan ada kemaslahatan padahal tidak
terdapat dalam nash dan tidak pula dihasilkan dengan qiyas sedangkan syari’ah
Islam telah sempurna.
c. Karena mashlahah mursalah adalah kemaslahatan yang terlepas dari
dalil, tidak ada yang menunjukannya dan tidak ada pula yang melarangnya, maka
ia menjadi berada dalam keraguan antara diakui syara’ atau tidak, sehingga
dalam keraguraguan lapangan hawa nafsu dapat berperan sangat besar.
d. Apabila mengambil maslahah mursalah pasti akan berbeda hukum
dengan berbedanya Negara bahkan akan berbeda hukum dengan berbedanya individu-individu
di dalam satu masalah yang sama, sehingga dalam suatu Negara suatu masalah
haram dan bagi Negara lain halal.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda