Istihsan
ISTIHSAN
1.
Definisi[1]
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik sesuatu. Menurut
istilah ulama ushul adalah beralihnya pemikiran sorang mujtahid dari tuntutan
kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada perkecualian
karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.
Apabila terjadi suatu peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya,
maka dalam pembahasannya ada dua pendapat yang berbeda: sudut pandang lahiriyah
yang menghendaki suatu hukum dan sudut pandang secara sembunyi yang menuntut
hukum yang lain. Seorang mujtahid menemukan dalil yang memenangkan pandangan
secara tersembunyi, lalu pindah dari sudut pandang lahiriyah. Inilah yang
menurut syara’ yang disebut al istihsan. Demikian juga jika hukum itu bersifat
umum, sedangkan dari diri mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian atas
sebagian hukum umum ini, lalu ia menghukumi perkecualian itu dengan hukum yang
lain. Maka ini juga disebut al istihsan.
2.
Macam-macam al istihsan[2]
Dari pengertian al istihsan secara syara’, dapat ditarik kesimpulan
bahwa al istihsan itu ada dua:
a.
Mengunggulkan
kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil, dan
b.
Mengecualikan
sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
Contoh-contoh macam Istihsan bentuk pertama:
Ulama fikih kelompok Hanafi menyebutkan bahwa seorang yang mewakafkan
tanah sawahnya maka hak pengairan, minum dan jalan adalah termasuk wakaf secara
istihsan. Sedangkan menurut kias, hal-hal itu tidak masuk kecuali dengan nash,
seperti halnya jual beli. Adapun bentuk istihsannya: Tujuan wakaf adalah orang
yang diberi hak wakaf dapat memanfaatkan barang yang diwakafkan. Sedangkan
pemanfaatan tanah sawah itu harus dengan memberi minum, mengairi dan jalan,
sehingga hal-hal itu termasuk wakaf tanpa harus menyebutkannya. Karena tujuan
tidak dapat terwujud kecuali dengan hal-hal itu.
Kias yang nyata adalah meyamakan wakaf contoh diatas dengan jual
beli, karena sama-sama mengeluarkan hak milik dari pemiliknya. Sedangkan kias
yang tersembunyi adalah menyamakan wakaf tersebut dengan sewa-menyewa, karena
sama-sama demi pemanfaatan. Seperti masuknya pengairan, minum, dan jalan dalam
bagian sewa-menyewa tanah lumpur tanpa menyebutkannya, maka hal-hal itu masuk
juga dalam bagian wakaf tanah lumpur tanpa menyebutkannya.
Ahli fikih ulama Hanafi menetapkan bahwa jika terjadi perselisihan
antara penjual dan pembeli tentang harga barang sebelum barang itu diterima,
lalu penjual mendakwa bahwa harganya seratus pound sedangkan pembeli juga
mendakwa bahwa harganya sembilan puluh pound maka keduanya harus bersumpah,
menurut istihsan. Sedangkan kias menetapkan bahwa penjual tidak bersumpah,
karena penjual yang mendakwa lebih banyak, yaitu sepuluh, sedangkan pembeli
mengingkarinya. Padahal kesaksian itu wajib bagi orang yang mengingkari, maka
penjual tidak wajib bersumpah. Alasan istihsannya bahwa penjual jelas orang
yang mendakwa dan sumpah itu wajib bagi orang yang mendakwa bila dihubungkan
dengan tambahan. Pengingkaran adalah hak pembeli dalam penerimaan barang
setelah mnyerahkan uang sembilan puluh pound. Pembeli adalah jelas orang yang
mengingkari adanya tambahan yang didakwakan oleh penjual yaitu sepuluh, dan
ia adalah pendakwa tentang hak
penerimaan barang setelah menyerahkan sembilan puluh pound. Jadi keduanya
adalah pendakwa dari satu sisi dan orang yang ingkar disisi lain, maka keduanya
harus bersumpah.
Kias yang nyata: Menyamakan kejadian ini dengan semua yang terjadi
antara pendakwa dan orang yang ingkar, kesaksian itu wajib bagi orang yang
mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari.
Kias yang tersembunyi: Menyamakan kejadian di atas dengan setiap
kejadian antara dua orang yang saling mendakwa. Masing-masing dalam waktu yang
bersamaan dikatakan sebagai pendakwa dan sekaligus orang yang ingkar, maka
keduanya harus bersumpah.
Ulama fikih kelompok Hanafi menetapkan bahwa sisa (makanan
atau minuman) burung buas, seperti
garuda, gagak, elang, rajawali, dan sejenisnya adalah suci menurut istihsan,
tetapi najis menurut kias.
Alasan kias: (makanan atau minuman) itu adalah sisa dari binatang
yang haram dagingnya, seperti halnya sisa binatang buas (berkaki empat)
misalnya macan tutul, harimau, singa, dan serigala. Hukum (makanan dan minuman)
sisa binatang itu mengikuti hukum dagingnya.
Alasan Istihsan: Burung yang buas, meskipun dagingnya haram tetapi
air liur yang keluar dari dagingnya tidak bercampur dengan sisa tersebut,
karena ia minum dengan paruhnya, sedangkan paruh adalah tulang yang suci.
Sedangkan binatang buas (berkaki empat) minum dengan lidahnya yang bercampur
dengan air liurnya, sehingga sisanya menjadi najis.
Dalam setiap contoh dari contoh-contoh di atas terjadi kontradiksi
dua kias dalam satu kejadian. Pertama, nyata yang langsung dapat dipaham.
Kedua, samar yang sulit untuk dipaham. Namun mujtahid memiliki dalil yang
menjadikan dia memengkan kias yang samar, lalu berpindah dari kias yang nyata
ke kias yang samar, itulah istihsan. Sedangkan dalil yang dijadikan dasar
disebut alasan istihsan.
Contoh-contoh Istihsan bentuk kedua:
Syari’
melarang jual beli atau akad pada barang yang tidak ada di tempat akad. Tetapi
secara istihsan, diperbolehkan pesan memesan, sewa menyewa, muzara’ah (bagi
hasil dari hasil tanah dengan jumlah tertentu antara pemilik tanah dengan
penggarap), dan meminta pekerjaan. Semua itu adalah akad, sedangkan yang
diakadi tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan adalah kebutuhan saling
kenal di antara manusia.
3.
Kekuatan Istihsan Sebagai Hujah[3]
Di
antara orang-orang yang berhujah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok
Hanafi. Mereka beralasan: Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambil
dalil dengan kias yang samar yang mengalahkan kias yang nyata, atau
memenagngkan kias atas kias lain yang menentangnya karena kepentingan umum
dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu adalah
pengambilan dalil yang benar.
Sebagian kelompok mujtahid mengingkari kebenaran istihsan, mereka
menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya
sendiri. Di antara tokohnya adalah Imam Syafi’i, seperti telah dinukilnya:
Siapa yang menggunakan istihsan berarti mebuat syariat. Artinya orang itu
membuat hukum syariat sendiri. Ditetapkan dalam Risalah Ushuliyahnya: Perumpamaan orang yang menetapkan hukum dengan
istihsan adalah seperti orang yang shalat menghadap ke arah yang dianggapnya
baik itu adalah ka’bah, tanpa menggunakan dalil-dalil yang telah ditetapkan
syari’ dalam menentukan arah ka’bah. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa
istihsan adalah berenak-enak, seandainya melakukan istihsan dalam beragama
diperbolehkan, niscaya boleh juga dilakukan oleh orang-orang yang punya akal
meskipun bukan ahli ilmu. Dan niscaya boleh menciptakan syariat dalam agama di
setiap permasalahan, serta setiap orang boleh membuat syariat untuk dirinya
sendiri.
Kelompok yang setuju dengan istihsan itu berbeda dengan apa yang
dikehendaki oleh kelompok yang tidak setuju. Seandainya mereka sepakat atas
batasan definisinya mereka tidak akan berbeda pendapat mengenai kehujahan istihsan.
Karena istihsan, kenyataanya adalah berpindah dari dalil yang jelas atau dari hukum yang umum karena ada
dalil yang jelas atau dari hukum yang umum karena ada dalil yang menuntut untuk
itu, tidak melulu membuat syariat seenaknya sendiri. Semua hakim seringkali
menyalahkan pemikirannya dalam banyak kejadian karena hakikat kemaslahatan yang
menuntut pindah dalam bagian hukum ini dari hal-hal yang ditetapkan
undang-undang. Dan hal itu tiada lain kecuali salah satu bentuk istihsan.
Oleh karena itu, Imam as Syatibi dalam kitab al Muubiqat menerangkan: Orang yang melakukan istihsan tidak
menggantungkan pada daya rasa dan keinginannya, namun harus menguntungkan pada
apa yang diketahuinya tentang tujuan syari’ secara global dalam hikmah sesuatu
yang ditampakkan. Seperti masalah-masalah yang dituntut oleh kias sebagai
“perintah”, hanya saja perintah itu dalam satu sisi dapat menyebabkan rusaknya
kemaslahatan atau menarik suatu kerusakan dari sisi yang lain.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda