Minggu, 29 April 2012

Istihsan


ISTIHSAN
  1.      Definisi[1]
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik sesuatu. Menurut istilah ulama ushul adalah beralihnya pemikiran sorang mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada perkecualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.
Apabila terjadi suatu peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada dua pendapat yang berbeda: sudut pandang lahiriyah yang menghendaki suatu hukum dan sudut pandang secara sembunyi yang menuntut hukum yang lain. Seorang mujtahid menemukan dalil yang memenangkan pandangan secara tersembunyi, lalu pindah dari sudut pandang lahiriyah. Inilah yang menurut syara’ yang disebut al istihsan. Demikian juga jika hukum itu bersifat umum, sedangkan dari diri mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian atas sebagian hukum umum ini, lalu ia menghukumi perkecualian itu dengan hukum yang lain. Maka ini juga disebut al istihsan.
  2.      Macam-macam al istihsan[2]
Dari pengertian al istihsan secara syara’, dapat ditarik kesimpulan bahwa al istihsan itu ada dua:
a.       Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil, dan
b.      Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
Contoh-contoh macam Istihsan bentuk pertama:
Ulama fikih kelompok Hanafi menyebutkan bahwa seorang yang mewakafkan tanah sawahnya maka hak pengairan, minum dan jalan adalah termasuk wakaf secara istihsan. Sedangkan menurut kias, hal-hal itu tidak masuk kecuali dengan nash, seperti halnya jual beli. Adapun bentuk istihsannya: Tujuan wakaf adalah orang yang diberi hak wakaf dapat memanfaatkan barang yang diwakafkan. Sedangkan pemanfaatan tanah sawah itu harus dengan memberi minum, mengairi dan jalan, sehingga hal-hal itu termasuk wakaf tanpa harus menyebutkannya. Karena tujuan tidak dapat terwujud kecuali dengan hal-hal itu.
Kias yang nyata adalah meyamakan wakaf contoh diatas dengan jual beli, karena sama-sama mengeluarkan hak milik dari pemiliknya. Sedangkan kias yang tersembunyi adalah menyamakan wakaf tersebut dengan sewa-menyewa, karena sama-sama demi pemanfaatan. Seperti masuknya pengairan, minum, dan jalan dalam bagian sewa-menyewa tanah lumpur tanpa menyebutkannya, maka hal-hal itu masuk juga dalam bagian wakaf tanah lumpur tanpa menyebutkannya.
Ahli fikih ulama Hanafi menetapkan bahwa jika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli tentang harga barang sebelum barang itu diterima, lalu penjual mendakwa bahwa harganya seratus pound sedangkan pembeli juga mendakwa bahwa harganya sembilan puluh pound maka keduanya harus bersumpah, menurut istihsan. Sedangkan kias menetapkan bahwa penjual tidak bersumpah, karena penjual yang mendakwa lebih banyak, yaitu sepuluh, sedangkan pembeli mengingkarinya. Padahal kesaksian itu wajib bagi orang yang mengingkari, maka penjual tidak wajib bersumpah. Alasan istihsannya bahwa penjual jelas orang yang mendakwa dan sumpah itu wajib bagi orang yang mendakwa bila dihubungkan dengan tambahan. Pengingkaran adalah hak pembeli dalam penerimaan barang setelah mnyerahkan uang sembilan puluh pound. Pembeli adalah jelas orang yang mengingkari adanya tambahan yang didakwakan oleh penjual yaitu sepuluh, dan ia  adalah pendakwa tentang hak penerimaan barang setelah menyerahkan sembilan puluh pound. Jadi keduanya adalah pendakwa dari satu sisi dan orang yang ingkar disisi lain, maka keduanya harus bersumpah.
Kias yang nyata: Menyamakan kejadian ini dengan semua yang terjadi antara pendakwa dan orang yang ingkar, kesaksian itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari.
Kias yang tersembunyi: Menyamakan kejadian di atas dengan setiap kejadian antara dua orang yang saling mendakwa. Masing-masing dalam waktu yang bersamaan dikatakan sebagai pendakwa dan sekaligus orang yang ingkar, maka keduanya harus bersumpah.
Ulama fikih kelompok Hanafi menetapkan bahwa sisa (makanan atau  minuman) burung buas, seperti garuda, gagak, elang, rajawali, dan sejenisnya adalah suci menurut istihsan, tetapi najis menurut kias.
Alasan kias: (makanan atau minuman) itu adalah sisa dari binatang yang haram dagingnya, seperti halnya sisa binatang buas (berkaki empat) misalnya macan tutul, harimau, singa, dan serigala. Hukum (makanan dan minuman) sisa binatang itu mengikuti hukum dagingnya.
Alasan Istihsan: Burung yang buas, meskipun dagingnya haram tetapi air liur yang keluar dari dagingnya tidak bercampur dengan sisa tersebut, karena ia minum dengan paruhnya, sedangkan paruh adalah tulang yang suci. Sedangkan binatang buas (berkaki empat) minum dengan lidahnya yang bercampur dengan air liurnya, sehingga sisanya menjadi najis.
Dalam setiap contoh dari contoh-contoh di atas terjadi kontradiksi dua kias dalam satu kejadian. Pertama, nyata yang langsung dapat dipaham. Kedua, samar yang sulit untuk dipaham. Namun mujtahid memiliki dalil yang menjadikan dia memengkan kias yang samar, lalu berpindah dari kias yang nyata ke kias yang samar, itulah istihsan. Sedangkan dalil yang dijadikan dasar disebut alasan istihsan.
Contoh-contoh Istihsan bentuk kedua:
Syari’ melarang jual beli atau akad pada barang yang tidak ada di tempat akad. Tetapi secara istihsan, diperbolehkan pesan memesan, sewa menyewa, muzara’ah (bagi hasil dari hasil tanah dengan jumlah tertentu antara pemilik tanah dengan penggarap), dan meminta pekerjaan. Semua itu adalah akad, sedangkan yang diakadi tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan adalah kebutuhan saling kenal di antara manusia.
  3.      Kekuatan Istihsan Sebagai Hujah[3]
Di antara orang-orang yang berhujah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok Hanafi. Mereka beralasan: Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambil dalil dengan kias yang samar yang mengalahkan kias yang nyata, atau memenagngkan kias atas kias lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar. 
  4.      Alasan Ulama Yang Tidak Berhujjah Dengan Istihsan[4]
Sebagian kelompok mujtahid mengingkari kebenaran istihsan, mereka menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Di antara tokohnya adalah Imam Syafi’i, seperti telah dinukilnya: Siapa yang menggunakan istihsan berarti mebuat syariat. Artinya orang itu membuat hukum syariat sendiri. Ditetapkan dalam Risalah Ushuliyahnya: Perumpamaan orang yang menetapkan hukum dengan istihsan adalah seperti orang yang shalat menghadap ke arah yang dianggapnya baik itu adalah ka’bah, tanpa menggunakan dalil-dalil yang telah ditetapkan syari’ dalam menentukan arah ka’bah. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa istihsan adalah berenak-enak, seandainya melakukan istihsan dalam beragama diperbolehkan, niscaya boleh juga dilakukan oleh orang-orang yang punya akal meskipun bukan ahli ilmu. Dan niscaya boleh menciptakan syariat dalam agama di setiap permasalahan, serta setiap orang boleh membuat syariat untuk dirinya sendiri.
Kelompok yang setuju dengan istihsan itu berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh kelompok yang tidak setuju. Seandainya mereka sepakat atas batasan definisinya mereka tidak akan berbeda pendapat mengenai kehujahan istihsan. Karena istihsan, kenyataanya adalah berpindah dari dalil yang  jelas atau dari hukum yang umum karena ada dalil yang jelas atau dari hukum yang umum karena ada dalil yang menuntut untuk itu, tidak melulu membuat syariat seenaknya sendiri. Semua hakim seringkali menyalahkan pemikirannya dalam banyak kejadian karena hakikat kemaslahatan yang menuntut pindah dalam bagian hukum ini dari hal-hal yang ditetapkan undang-undang. Dan hal itu tiada lain kecuali salah satu bentuk istihsan.
Oleh karena itu, Imam as Syatibi dalam kitab al Muubiqat menerangkan: Orang yang melakukan istihsan tidak menggantungkan pada daya rasa dan keinginannya, namun harus menguntungkan pada apa yang diketahuinya tentang tujuan syari’ secara global dalam hikmah sesuatu yang ditampakkan. Seperti masalah-masalah yang dituntut oleh kias sebagai “perintah”, hanya saja perintah itu dalam satu sisi dapat menyebabkan rusaknya kemaslahatan atau menarik suatu kerusakan dari sisi yang lain. 


[1]  Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Darul Qalam, Kuwait, halaman 104
[2]  Ibid, halaman 104-107
[3]  Ibid, halaman 108
[4]  Ibid, halaman 108-109

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda