Pengelola Wakaf
BAB I
Pendahuluan
Nazhir adalah
pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Posisi Nazhir sebagai pihak yang
bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang
penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan Nazhir dalam
perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf bagai mauquf ‘alaih sangat
bergantung pada Nazhhir wakaf. Meskipun demikian tidak berarti bahwa Nazhir mempunyai
kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanahkan kepadanya.[1]
Pada umumnya, para
ulama telah bersepakat bahwa kekuasaan Nazhir wakaf hanya terbatas pada
pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang
dikehendaki wakif. Asaf A.A Fyzee berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Dr.
Uswatun Hasanah, bahwa kewajiban Nazhir adalah mengerjakan sesuatu yang layak
untuk menjaga dan mengelola harta. Sebagai pengawas harta wakaf, Nazhir dapat
mempekerjakan beberapa wakil atau pembantu untuk menyelenggarakan urusan-urusan
yang berkenaan dengan tugas dan kewajibannya. Oleh karena itu Nazhir dapat
berupa Nazhir perseorangan, organisasi maupun badan hukum. Nazhir sebagai pihak
yang berkewajiban mengawasi dan memelihara wakaf tidak boleh menjual,
menggadaikan atau menyewakan harta wakaf kecuali diizinkan oleh pengadilan.
Ketentuan ini sesuai dengan masalah kewarisan dalam kekuasaan kehakiman yang
memiliki wewenang untuk mengontrol kegiatan Nazhir.[2]
Sehingga dengan
demikian, keberadaan harta wakaf yang ada di tangan Nazhir dapat dikelola dan diberdayakan
secara maksimal untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak yang bisa
dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum Allah SWT.[3]
BAB
II
Pembahasan
Pengelola
Wakaf/Nazhir Dalam Perspektif Islam
A.
Pengertian Nazhir
Dalam bahasa Arab,
Nazhir (pengelola wakaf) sering disebut wali karena ia bertugas mengelola harta
wakaf.
Wali berasal dari kata al-wala yang
berarti dekat. Misalnya saja dar walayah yang berarti rumah dekat. Kata
subjeknya adalah al-waliy.[4]
Jadi, kata walayah atau wilaya-dengan fathah atau kasrah-berarti
perlindungan dan kasih sayang, seperti dalam firman Allah SWT: مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ[5] (Tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi
mereka), dan firman Allah SWT: اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا[6] (Allah pelindung orang-orang yang beriman), dan juga
kalimat “Aula ‘ala al-yatim”, yang artinya mewasiatkan (anak yatim), serta
kalimat “tawalla al-amr”, yang artinya mengelola suatu urusan.[7]
Secara
Syar’i, perwalian didefinisikan dengan memberikan kekuasaan kepada orang lain,
baik orang itu menerimanya atau tidak.
B.
Kriteria Nazhir
Perwalian
merupakan hal yang niscaya untuk setiap barang yang diwakafkan. Karenanya,
setiap harta wakaf mengharuskan adanya seseorang yang mengelolanya. Pengelola
wakaf tersebut berkewajiban menjaga harta wakaf, mengembangkan dan
mengeksploitasinya, serta memanfaatkan dan membagikan keuntungannya kepada
mereka yang berhak. Ia juga berkewajiban mempertahankan dan menutut hak-haknya.
Ini semua harus dilaksanakan sesuai syariat.[8]
C.
Syarat-Syarat Perwalian
Para
fuqaha telah menetapkan beberapa syarat bagi seorang Nazhir (pengelola wakaf).
Di antara syarat-syarat itu, ada yang telah disepakati dan ada pila yang
menimbulkan perbedaan pendapat. Adapun syarat-syarat itu adalah:
1.
Berakal.
Syarat ini disepakati oleh para
fuqaha untuk sahnya perwalian. Berdasarkan syarat ini, maka perwalian dari
orang gila tidaklah sah. Sebab, dia telah kehilangan akal dan tidak bisa
membeda-bedakan antara yang baik dan buruk serta tidak bisa mengelola dirinya
sendiri. Selain itu, ia tidak berhak melakukan suatu transaksi, karena apa yang
dikatakannya tidak dianggap dan tidak memiliki implikasi hukum.[9]
Sebagaimana terhalangnya seseorang
atas hak perwalian saat dimulainya akad, (kondisi) gila juga menjadi penghalang
keberlangsungan akad yang telah ditandatanganinya. Karenanya, jika seorang
Nazhir menjadi gila total, maka dia harus diberhentikan dan hakim menentukan
orang lain sebagai gantinya untuk menempati posisi yang ditinggalkannya.[10]
Adapun tentang kembalinya hak
perwalian kepada orang gila setelah kesadarannya pulih, harus dibedakan dala
tiga kondisi:[11]
a.
Keadaan
pertama: Jika ia menjadi Nazhir atas ketentuan waqif.
Dalam
keadaan seperti ini, maka hak perwalian wakaf kembali padanya, karena dia lebih
berhak sesuai dengan syarat wakif, di mana syaratnya harus diikuti dan
dilaksanakan. Oleh karena hak perwalian dicopot darinya-karena adanya
penghalang-, maka apabila pengalang itu hilang, apa yang diambil darinya harus
dikembalikan.
b.
Keadaan
kedua: Jika ia menjadi Nazhir berdasarkan pengangkatan hakim.
Dalam
kondisi ini, dia tidak berhak untuk kembali memegang hak perwalian wakaf,
karena dia tidak lagi berhak atasnya.
c.
Keadaan
ketiga: Jika pemegang hak perwalian adalah mauquf ‘alaih.
Sebagaimana
menurut Hanabilah, kemudian dia menjadi gila. Dalam kondisi ini, yang memegang
hak perwalian wakaf adalah orang yang menjadi walinya.
Adapun jika gilanya terputus-putus
seperti ia menjadi gila dalam satu waktu dan kembali sadar di waktu yang lain,
maka setiap tindakan yang dilakukannya pada saat kesadarannya normal harus
diperhitungkan. Sebab, dalam kondisi sadarnya, dia kembali memiliki kekayaan
dalam memegang hak perwaliannya.[12]
2.
Dewasa
Menjadi kesepakatan ulama sepenuhnya
bahwa Nazhir harus orang yang telah dewasa, sehingga hak perwaliannya dianggap
sah dan ucapannya dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, menurut mereka, hak
perwalian menuntut syarat ketelitian dan itu tidak bisa dilaksanakan, kecuali
oleh orang yang telah dewasa. Di samping itu, anak kecil yang belum dewasa
dilarang mengelola dan mempergunakan harta miliknya. Karena itu, sudah
selayaknya jika dia dilarang untuk mengelola harta orang lain.[13]
Namun demikian, para fuqaha
mempersoalkan tentang kebolehan pemberian hak pengelolaan kepada anak kecil
yang sudah mampu membeda-bedakan (mumayyiz) ataupun belum. Dalam hal ini,
mereka membedakan antara anak yang diangkat oleh wakif dan yang diangkat oleh
hakim.[14]
3.
Adil
Para ulama mendefinisikan adil
dengan bermacam-macam definisi yang berbeda secara lafal, tetapi dalam satu
makna. Mereka berupaya menjelaskan maksud adil dengan sejelas-jelasnya,
sehingga dapat dipahami secara mudah. Hal itu tampak dari definisi berikut ini:[15]
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan adil
dengan: “Menjauhi setiap dosa besar dari berbagai macamnya, seperti membunuh,
berzina, menuduh orang lain berzina, memakan riba dan harta anak yatim, dan
meninggalkan kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil.
Sedangkan, ulama Hanafiyah
sependapat dengan pendapat Abu Hanifah bahwa keadilan seseorang, cukup
diketahui dari keislamannya dan dia dikenal tidak pernah melakukan apa-apa yang
diharamkan.
Ulama Hanbaliyah berpendapat bahwa
keadilan adalah lurusnya sikap keberagaman seseorang, ucapan dan perbuatannya.
Jadi, yang menjadi ciri utamanya ada dua perkara: pertama, baik sikap
keagamaannya dan kedua, menjaga kehormatan diri dan pribadinya, yaitu dengan
melakukan sesuatu yang dapat memperbaiki dan memperindah perilakunya dan
meninggalkan hal yang dapat mengotori dan merusaknya.
Menurut Ulama Zahiriyah, adil adalah
orang yang tidak dikenal suka melakukan dosa besar, juga tidak melakukan dosa
kecil secara terang-terangan.
Menurut Ulama Zaidiyah, adil adalah
orang yang bersih dari melakukan segala larangan agama dan konsisten dalam
takwa dan menjaga kehormatan diri.
Sedangkan menurut Ulama Imamiyah,
adil adalah konsisten dalam amal baik, yaitu dengan meniggalkan hal-hal yang
diharamkan dan mengerjakan semua yang diperintahkan.
Inilah sebagian pendapat tentang
definisi adil dan perbedaan di antara mereka sangatlah tipis. Jadi, dari
berbagai definisi di atas, hendaknya orang yang adil itu mempunyai ciri-ciri:
menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa-dosa besar dan mencegah dirinya dari
dosa-dosa kecil, kebaikan yang dimilikinya lebih banyak dari kejahatannya, dan
kebenarannya lebih banyak dari pada kesalahannya. Perlu diingat, bahwa dosa
kecil yang dilakukan terus-menerus dapat menjadi dosa besar dan ucapan orang
yang banyak melakukan kesalahan dan kerusakan tidaklah dapat dipercaya.
4.
Kecakapan
Hukum
Kecakapan didefinisikan sebagai:
“Kekuatan seseorang atau kemapuannya dalam mengelola sesuatu yang diserahkan
kepadanya”.[16]
Para fuqaha sepakat untuk menetukan
syarat kecakapan bagi seorang pengelola wakaf, karena pelimpahan hak sangat
terkait dengan syarat pengelolaan. Dan, tidak termasuk dalam pengelolaan,
menyerahkan hak kepada orang yang tidak mampu, sebab hal itu tidak akan
mencapai maksud dan tujuan wakaf.[17]
Jika mayoritas ulama Syafi’iyah,
Hanbaliyah, Malikiyah, dan Imamiyah berpendapat bahwa ke kecakapan adalah
syarat sahnya penyerahan wakaf kepada pengelola, maka ulama Hanafiyah
berpendapat lain. Mereka mengatakan bahwa kecakapan hanyalah syarat keutamaan ,
bukan syarat pengelolaan wakaf.[18]
Para ulama yang memberi ketentuan
kecakapan bagi pengelola wakaf-memiliki pengalaman dan kemampuan-tidak
mengkhususkan ketentuan tersebut bagi laki-laki saja, tetapi juga bagi kaum
perempuan. Sebab, menurut mereka, seperti halnya kebolehan memberikan hak
perwalian kepada laki-laki dalam mengelola wakaf, maka boleh juga memberikannya
kepada perempuan, jika dia bisa memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan
oleh fuqaha.[19]
Selanjutnya, para fuqaha pun
mengharuskan si pengelola wakaf memiliki kecakapan dalam mengelola setiap harta
wakaf yang letaknya berbeda-beda. Sebab, jika harta wakaf berlainan tempat, dan
jenisnya bermacam-macam, sedangkan pengelolanya hanya satu orang, maka harus
dipastikan pengelola yang dipilih mempunyai kemapuan dan kesanggupan untuk
mengelola tiap jenis harta wakaf. Dan, penentuan syarat ini berbeda halnya
dengan ketentuan syarat adil, karena pembuktiannya cukup dengan satu jenis
harta wakaf, agar ia dapat ditetapkan sebagai pengelola harta wakaf lainnya.[20]
5.
Islam
Dalam menetapkan syarat islam
sebagai syarat sahnya penyerahan wakaf, para fuqaha terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu:[21]
Kelompok
pertama: Yaitu mayoritas ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah, Zaidiyah, dan
Imamiyah. Mereka berpendapat bahwa-dalam pemberian hak perwalian atas harta
wakaf-, orang yang menerimanya harus seorang muslim. Karenanya, tidak boleh
memberikan perwalian atas harta wakaf kepada orang kafir. Dengan catatan, jika
wakaf itu diperuntukan bagi mauquf ‘alaih yang beragama islam atau wakaf itu
diperuntukan bagi sektor umum, seperti masjid dan lembaga pendidikan.
Kelompok ulama ini berargumentasi
dengan menggunakan firman Allah yang artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak
akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman”
Inti argumentasinya: “Penelolaan
harta wakaf adalah hak perwalian dan tidak ada hak perwalian bagi orang kafir
terhadap orang muslim”.
Akan tetapi jika mauquf a’laih-nya bukan orang muslim, misalnya
wakaf itu diberikan kepada orang kafir tertentu, maka boleh memberikan hak pengelolaan
itu kepada orang kafir. Demikian pula, jika ada orang kafir yang mewakafkan
hartanya untuk anaknya yang kafir, kemudian menentukan mengelolanya dari salah
seorang kafir berwasiat kepada orang kafir lainnya untuk menyerahkan hartanya
kepada orang kafir yang lain.
Imam An-Nawawi
dalam kitab Raudhah Al-Thalibin berkata: “Tidak boleh seorang
muslim berwasiat kepada orang kafir dzimmi, dan boleh sebaliknya. Menurut
pendapat yang paling kuat, boleh seorang kafir dzimmi berwasiat kepada dzimmi
lainnya, dengan syarat agamanya yang baik.
Berdasarkan hal di
atas, maka mewaklikan pengelolaan wakaf pada orang kafir, pada dasarnya
diperbolehkan jika penerima wakafnya seorang kafir juga dengan ketentuan
pengelolaannya beragama secara baik, dalam artian adil.
Selanjutnya,
syarat islam bagi orang yang menerima perwalian dalam pengelolaan wakaf,
seperti disyaratkan untuknya pada permulaan (ikrar), dia juga menjadi syarat
untuk keberlangsungannya.
Karenanya,
mayoritas fuqaha menetapkan jika, jika pengelola wakaf yang beragama islam
keluar dari agamanya (murtad), maka hak perwalian dicabut darinya, baik dia
diangkat oleh wakif ataupun oleh hakim.
Kelompok kedua:
Yaitu ulama Hanafiyah. Mereka berpendapat islam bukan syarat sah perwalian
wakaf. Karena itu, mereka membolehkan pemberian hak perwalian kepada orang
kafir, baik yang memberikan perwalian itu wakif, wakilnya ataupun hakim. Begitu
juga dengan penerima wakafnya, baik itu muslim atau non muslim atau sarana
umum, seperti masjid atau sarana pendidikan dan sebagainya.
Dalam hal ini,
ulama Hanafiyah memberikan alasan: pemberian hak pengelolaan harta wakaf
dimaksudkan untuk menjaga harta wakaf dan mengaturnya, serta mendistribusikan
kepada pihak yang berhak menerima harta wakaf tersebut. Maka, dibutuhkan
seorang pengelola yang jujur dan dapat dipercaya, sekaligus mampu mengelola dan
mengatur wakaf, baik dia melakukannya sendiri atau bersama waklinya. Kriteria
semacam ini tidak saja ditemukan pada pribadi seorang muslim, tetapi juga bisa
ditemukan pada pribadi non muslim. Bahkan tidak menutup kemungkinan, kriteria
ini lebih banyak ditemukan dalam diri seorang non muslim daripada seorang
muslim sendiri.
Selain itu,
terdapat syarat tambahan bagi para Nazhir yang berada di negara Indonesia, maka
hal ini hanya berlaku bagi orang yang berada di negara Indonesia. Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:[22]
1.
Syarat
Moral
a.
Paham
tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalm tinjauan syariah maupun
perundang-undangan.
b.
Jujur,
amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharufan
kepada sasaran wakaf.
c.
Tahan
godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha.
d.
Sungguh-sungguh
dan menyukai tantangan.
e.
Punya
kecerdasan, baik emosional maupun spiritual.
2.
Syarat
Manajemen
a.
Mempunyai
kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.
b.
Visioner.
c.
Mempunyai
kecerdasan yang baik secara intelektual sosial dan pemberdayaan.
d.
Profesional
dalam bidang pengelolaan harta.
e.
Ada
masa bakti Nazhir.
f.
Memiliki
program kerja yang jelas.
3.
Syarat
Bisnis
a.
Mempunyai
keinginan.
b.
Mempunyai
pengalaman dan siap untuk dimagangkan.
c.
Punya
ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya enterpreneur.
Dari persyaratan yang telah dikemukakan diatas menunjukkan bahwa
Nazhir menempati posisi yang sangat sentral dalam pengelolaan harta wakaf.
Ditinjau dari segi tugas Nazhir, dimana dia berkewajiban untuk menjaga,
mengembangkan dan melestarikan manfaat dari harta yang diwakafkan bagi
orang-orang yang berhak menerimanya, jelas bahwa fungsi dan tidak berfungsunya
suatu wakaf tergantung pada peran Nazhir.[23]
D.
Sistem Manajemen Kenazhiran
Dalam kitab-kitab fikih, ulama tidak mencantumkan nazhir wakaf
sebagai salah satu rukun wakaf, karena wakaf merupakan ibadah tabarru (pemberian yang bersifat sunnah).
Namun demikian, setelah memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan
manfaat dari hasil harta wakaf, maka keberadaan Nazhir sangat dibutuhkan,
bahkan menempati peran sentral. Sebab, dipundak Nazhir lah tanggung jawab dan
kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf serta menyalurkan hasil
atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.[24]
Banyaknya para Nazhir yang mengelola harta wakaf tanpa dibarengi
kemampuan yang memadai membuat harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal,
bahkan tidak memberi manfaat sama sekali kepada sasaran wakaf. Banyak contoh
dari berbagai wilayah tentang tidak tertatanya pengelolaan wakaf yang dikelola
oleh Nzahir. Maka dari itu, dalam rangka meningkatkan kemampuan Nazhir
diperlukan sistem manajemen SDM yang handal. Sistem pengelolaan SDM ini
bertujuan untuk:[25]
a.
Meningkatkan
dan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan para Nazhir wakaf di
semua tingkatan dalam rangka membangun kemampuan manajerial yang tangguh,
profesional dan bertanggung jawab.
b.
Membentuk
sikap dan perilaku Nazhir wakaf sesuai dengan posisi yang seharusnya, yaitu
pemegang amanat umat islam yang mempercayakan harta benda untuk dikelola secara
baik dan pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
c.
Menciptakan
pola pikir atau presepsi yang sama dalam memahami dan menerapkan pola
pengelolaan wakaf, baik dari segi peraturan perundang-undangan maupun teknis
manajerial sehingga lebih mudah diadakan kontrol, baik daerah maupun pusat.
d.
Mengajak
para Nazhir wakaf untuk memahami tata cara dan pola pengelolaan yang lebih
berorientasi pada kepentingan pelaksanaan Syariat islam secara lebih luas dan
dalam jangka panjang. Sehingga wakaf bisa dijadikan sebagai salah satu elemen
penting dalam menunjang penerapan sistem
ekonomi Syariah secara terpadu.
Setelah diketahui
persyaratan minimal seorang Nazhir wakaf dan tujuan diperlukannya pengelolaan
SDM kenazhiran secara produktif dan berkualitas. Upaya pembinaan ini yang harus
dilakukan berdasarkan standar pola manajemen terkini adalah:[26]
a.
Pendidikan
formal. Melalui sekolah-sekolah umum dan kejuruan dapat dibentuk calon-calon
SDM keNazhiran yang siap pakai, dengan catatan sekolah itu sendiri harus
dibentuk secara berkualitas dengan memberikan format kurikulum yang mantap
dengan disiplin pelajaran yang tinggi, terarah menurut bidang yang dituju.
Misalnya, sekolah menengah pertanian maupun tingkat perguruan tingginya
(fakultas pertanian) yang diharapkan dapat mengelola tanah-tanah wakaf berupa
persawahan, perkebunan, ladang pembibitan dan lain-lain. Atau sekolah-sekolah
teknik menengah dan perguruan tinggi yang membuka jurusan sosial, seperti
akuntansi, hukum dan lain-lain yang bisa diarahkan untuk memback-up
pengembangan secara umum.
b.
Pendidikan
non formal. Bentuk dari pendidikan model ini adalah dengan mengadakan
kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan SDM keNazhiran baik yang terkait dengan
manajerial organisasi, atau meningkatkan keterampilan dalam bidang profesi
seperti administrasi, teknik pengelolaan pertanian, teknik perbankan,
pengelolaan kepariwisataan, perdagangan, pemasaran dan lain sebagainya.
Pendidikan non formal ini perlu digalakkan oleh beberapa pihak yang terkait
dengan dunia perwakafan, seperti Departemen Agama, lembaga-lembaga islam,
lembaga-lembaga bisnis, lembaga-lembaga perbankan, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), perguruan tinggi dan sebagainya dengan mutu pemebelajaran yang lebih
ditingkatkan sehingga benar-benar dapat menghasilkan tenaga kerja yang termpil
dan siap pakai.
c.
Pendidikan
informal. Berupa latihan-latihan dan kaderisasi langsung di tempat-tempat
pengelolaan benda-benda wakaf. Nazhir yang telah ada, ditingkatkan kemampuannya
melalui latihan-latihan yang intensif
dan bimbingan yang membuatnya maju dan mapu dalam bidang tugas dan tanggung jawabnya.
Medan kerja itu sendiri menjadi “sekolah” dan taman belajar yang lebih praktis
yang terkadang bobot dan mutunya lebih praktis yang terkadang bobot dan mutunya
lebih mantap dibandingkan dengan sekolah atau kursus. Misalnya nazhir wakaf
yang sedang mengelola usaha perdagangan kebutuhan pokok (ritel) akan lebih
mudah meningkatkan kemampuannya dalam mengelola usaha tersebut jika dibina dan
diarahkan dengan manajemen modern yang praktis dan dicontohkan langsung. Contoh
lain, banyak montir yang ahli atau memiliki kemampuan baik karena mereka bisa
praktek langsung, walaupun mereka bukan lulusan sekolah teknik dan bukan pula
dari lembaga kursus motir. Keahlian ini diperoleh dari pengalaman dan bimbingan
supervisornya yang menurunkan ilmunya.
d.
Pembinaan
fisik. Faktor olah raga dan istirahat para tenaga kerja, termasuk para Nazhir
tidak boleh diabaikan dalam rangka membangun fisik yang prima. Demikian pula
kelengkapan gizi memerlukan perhatian khusus dengan makanan yang mencukupi
nilai gizinya. Karena tubuh manusia dibentuk, tumbuh dan berkembang disebabkan
adanya gizi makanan yang setiap hari dikonsumsi. Kesehatan tubuh manusia
tergantung pada apa yang dimakannya. Sehingga dengan keseimbangan antara kerja,
istirahat, olah raga dan asupan makanan bergizi yang cukup akan menjadikan
tubuh lebih terlihat energik, dinamis dalam mengemban tugas keNazhiran. Pola
pembinaan fisik ini barangkali dianggap terlalu ideal dilakukan oleh sebuah
lembaga keNazhiran, akan tetapi bukanlah hal yang tidak mungkin dalam sebuah
lembaga pengelola wakaf yang cukup profesional bisa melakukan ini. Atau paling
tidak, jika lembaga keNazhiran menganggap upaya pembinaan fisik SDMnya terlalu
jauh, paling tidak sebagai salah satu prasyarat menjadi seorang Nazhir harus
dipastikan memiliki tubuh yang sehat, sehingga dengan kondisi tersebut yang
bersangkutan dapat menjalankan tugas dengan baik.
e.
Pembinaan
mental. Spirit kerja harus terus-menerus dibina agar para pemegang amanah
perwakafan senantiasa bergairah dalam melaksanakan pekerjaannya. Demikian pula
pembinaan mental budi pekerti (akhlak) yang luhur dibina melalui berbagai
kesempatan seperti ceramah-ceramah agama, out bond, simulasi pengembangan diri
dan organisasi untk menjaga dan meningkatkan ketahanan mental supaya SDM
keNazhiran bisa mengemban amanat untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Menjadi
hal yang sering terjadi, dalam sebuah lembaga-lembaga usaha sering diadakan
pembinaan-pembinaan kualitas kerjanya, namun mengesampingkan pembinaan
mentalnya. Sehingga, walaupun SDM nya sudah memiliki kehandalan dalam
pengelolaan usaha, tapi karena mentalnya yang sangat lemah mengakibatkan
terjadinya tindakan-tindakan menyimpang, seperti korupsi, mark up
anggaran sampai penyimpangan moral pribadinya. Jika kondisi mental para
pelaksana tugas keNazhiran lemah atau buruk, maka pengelolaan wakaf tidak akan
menghasilkan secara maksimal.
BAB
III
Penutup
Secara sederhana,
Nazhir adalah seseorang yang diberi amanat oleh wakif untuk mengelola harta
wakaf sesuai apa yang diinginkan olehnya
dengan maksud memenuhi kepentingan maslahat umat atau agama.
Adapun
syarat-syarat untuk menjadi Nazhir, yaitu:
1.
Berakal.
2.
Dewasa.
3.
Adil.
4.
Cakap
hukum.
5.
Beragama
islam.
Pembinaan Nazhir dilakukan berdasarkan standar pola manajemen
terkini adalah:
a.
Pendidikan
formal.
b.
Pendidikan
nin formal.
c.
Pendidikan
informal.
d.
Pembinaan
fisik.
e.
Pembinaan
mental.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan
Nazhir diperlukan sistem manajemen SDM yang handal. Sistem pengelolaan SDM
bertujuan untuk:
1.
Meningkatkan
dan mengembangkan pengetahuan.
2.
Membentuk
sikap dan perilaku Nazhir wakaf sesuai dengan posisi yang seharusnya, yaitu
sebagai pemegang amanat umat islam.
3.
Menciptakan
pola pikir atau presepsi yang sama dalam memahami dan menerapkan pola
pengelolaan wakaf.
4.
Mengajak
para Nazhir wakaf untuk memahami tata cara dan pola pengelolaan yang lebih
berorientasi pada kepentingan pelaksanaan Syariat secara luas dan dalam jangka
panjang.
Daftar Pustaka
Indonesia, Depag, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, 2006
Indonesia,
Depag, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006
Qahaf, Munzhir,
Manajemen Wakaf Produktif, terj. oleh Muhyidin Mas Rida. Damaskus: Dar
Al-Fikr, 2000
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah,
Hukum Wakaf : Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang
Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf,
terj. Ahrul Sani Fathurrahman. Jakarta: DDR dan IIMaN 2000
[1] Depag Indonesia, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, 2006), hlm 69-70
[4] Muhammad
Abid Abdullah Al Kabisi, Hukum Wakaf : Kajian Kontemporer Pertama Dan
Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas
Sengketa Wakaf, Diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrahman, (Jakarta: DDR dan IIMaN 2000), hlm 429
[5] QS Al-anfal, ayat 72
[7] Muhammad Abid, Hukum Wakaf......, hlm 429
[11] Ibid., hlm 462. Lihat pula Mudzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Diterjemahkan
oleh Muhyidin Mas Rida, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2000), hlm 297-305
[22] Depag Indonesia, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), hlm 52
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda