Minggu, 29 April 2012

Pengelola Wakaf


                                                            BAB I
                                                     Pendahuluan  
            Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Posisi Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan Nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf bagai mauquf ‘alaih sangat bergantung pada Nazhhir wakaf. Meskipun demikian tidak berarti bahwa Nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanahkan kepadanya.[1]
            Pada umumnya, para ulama telah bersepakat bahwa kekuasaan Nazhir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki wakif. Asaf A.A Fyzee berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Dr. Uswatun Hasanah, bahwa kewajiban Nazhir adalah mengerjakan sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta. Sebagai pengawas harta wakaf, Nazhir dapat mempekerjakan beberapa wakil atau pembantu untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang berkenaan dengan tugas dan kewajibannya. Oleh karena itu Nazhir dapat berupa Nazhir perseorangan, organisasi maupun badan hukum. Nazhir sebagai pihak yang berkewajiban mengawasi dan memelihara wakaf tidak boleh menjual, menggadaikan atau menyewakan harta wakaf kecuali diizinkan oleh pengadilan. Ketentuan ini sesuai dengan masalah kewarisan dalam kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang untuk mengontrol kegiatan Nazhir.[2]   
            Sehingga dengan demikian, keberadaan harta wakaf yang ada di tangan Nazhir dapat dikelola dan diberdayakan secara maksimal untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum Allah SWT.[3]

                                                BAB II
                                            Pembahasan          
                   Pengelola Wakaf/Nazhir Dalam Perspektif Islam
A.   Pengertian Nazhir
            Dalam bahasa Arab, Nazhir (pengelola wakaf) sering disebut wali karena ia bertugas mengelola harta wakaf.
             Wali berasal dari kata al-wala yang berarti dekat. Misalnya saja dar walayah yang berarti rumah dekat. Kata subjeknya adalah al-waliy.[4]
          Jadi, kata walayah atau wilaya-dengan fathah atau kasrah-berarti perlindungan dan kasih sayang, seperti dalam firman Allah SWT: مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ[5] (Tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka), dan firman Allah SWT: اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا[6]  (Allah pelindung orang-orang yang beriman), dan juga kalimat “Aula ‘ala al-yatim”, yang artinya mewasiatkan (anak yatim), serta kalimat “tawalla al-amr”, yang artinya mengelola suatu urusan.[7]
            Secara Syar’i, perwalian didefinisikan dengan memberikan kekuasaan kepada orang lain, baik orang itu menerimanya atau tidak.
B.   Kriteria Nazhir
Perwalian merupakan hal yang niscaya untuk setiap barang yang diwakafkan. Karenanya, setiap harta wakaf mengharuskan adanya seseorang yang mengelolanya. Pengelola wakaf tersebut berkewajiban menjaga harta wakaf, mengembangkan dan mengeksploitasinya, serta memanfaatkan dan membagikan keuntungannya kepada mereka yang berhak. Ia juga berkewajiban mempertahankan dan menutut hak-haknya. Ini semua harus dilaksanakan sesuai syariat.[8]

C.   Syarat-Syarat Perwalian
          Para fuqaha telah menetapkan beberapa syarat bagi seorang Nazhir (pengelola wakaf). Di antara syarat-syarat itu, ada yang telah disepakati dan ada pila yang menimbulkan perbedaan pendapat. Adapun syarat-syarat itu adalah:
  1.      Berakal.
            Syarat ini disepakati oleh para fuqaha untuk sahnya perwalian. Berdasarkan syarat ini, maka perwalian dari orang gila tidaklah sah. Sebab, dia telah kehilangan akal dan tidak bisa membeda-bedakan antara yang baik dan buruk serta tidak bisa mengelola dirinya sendiri. Selain itu, ia tidak berhak melakukan suatu transaksi, karena apa yang dikatakannya tidak dianggap dan tidak memiliki implikasi hukum.[9]
            Sebagaimana terhalangnya seseorang atas hak perwalian saat dimulainya akad, (kondisi) gila juga menjadi penghalang keberlangsungan akad yang telah ditandatanganinya. Karenanya, jika seorang Nazhir menjadi gila total, maka dia harus diberhentikan dan hakim menentukan orang lain sebagai gantinya untuk menempati posisi yang ditinggalkannya.[10]      
            Adapun tentang kembalinya hak perwalian kepada orang gila setelah kesadarannya pulih, harus dibedakan dala tiga kondisi:[11]
a.       Keadaan pertama: Jika ia menjadi Nazhir atas ketentuan waqif.
Dalam keadaan seperti ini, maka hak perwalian wakaf kembali padanya, karena dia lebih berhak sesuai dengan syarat wakif, di mana syaratnya harus diikuti dan dilaksanakan. Oleh karena hak perwalian dicopot darinya-karena adanya penghalang-, maka apabila pengalang itu hilang, apa yang diambil darinya harus dikembalikan.
b.      Keadaan kedua: Jika ia menjadi Nazhir berdasarkan pengangkatan hakim.
Dalam kondisi ini, dia tidak berhak untuk kembali memegang hak perwalian wakaf, karena dia tidak lagi berhak atasnya.
c.       Keadaan ketiga: Jika pemegang hak perwalian adalah mauquf ‘alaih.
Sebagaimana menurut Hanabilah, kemudian dia menjadi gila. Dalam kondisi ini, yang memegang hak perwalian wakaf adalah orang yang menjadi walinya.
            Adapun jika gilanya terputus-putus seperti ia menjadi gila dalam satu waktu dan kembali sadar di waktu yang lain, maka setiap tindakan yang dilakukannya pada saat kesadarannya normal harus diperhitungkan. Sebab, dalam kondisi sadarnya, dia kembali memiliki kekayaan dalam memegang hak perwaliannya.[12]      
  2.      Dewasa
            Menjadi kesepakatan ulama sepenuhnya bahwa Nazhir harus orang yang telah dewasa, sehingga hak perwaliannya dianggap sah dan ucapannya dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, menurut mereka, hak perwalian menuntut syarat ketelitian dan itu tidak bisa dilaksanakan, kecuali oleh orang yang telah dewasa. Di samping itu, anak kecil yang belum dewasa dilarang mengelola dan mempergunakan harta miliknya. Karena itu, sudah selayaknya jika dia dilarang untuk mengelola harta orang lain.[13]
            Namun demikian, para fuqaha mempersoalkan tentang kebolehan pemberian hak pengelolaan kepada anak kecil yang sudah mampu membeda-bedakan (mumayyiz) ataupun belum. Dalam hal ini, mereka membedakan antara anak yang diangkat oleh wakif dan yang diangkat oleh hakim.[14]
  3.      Adil
            Para ulama mendefinisikan adil dengan bermacam-macam definisi yang berbeda secara lafal, tetapi dalam satu makna. Mereka berupaya menjelaskan maksud adil dengan sejelas-jelasnya, sehingga dapat dipahami secara mudah. Hal itu tampak dari definisi berikut ini:[15]
            Ulama Syafi’iyah mendefinisikan adil dengan: “Menjauhi setiap dosa besar dari berbagai macamnya, seperti membunuh, berzina, menuduh orang lain berzina, memakan riba dan harta anak yatim, dan meninggalkan kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil.
            Sedangkan, ulama Hanafiyah sependapat dengan pendapat Abu Hanifah bahwa keadilan seseorang, cukup diketahui dari keislamannya dan dia dikenal tidak pernah melakukan apa-apa yang diharamkan.
            Ulama Hanbaliyah berpendapat bahwa keadilan adalah lurusnya sikap keberagaman seseorang, ucapan dan perbuatannya. Jadi, yang menjadi ciri utamanya ada dua perkara: pertama, baik sikap keagamaannya dan kedua, menjaga kehormatan diri dan pribadinya, yaitu dengan melakukan sesuatu yang dapat memperbaiki dan memperindah perilakunya dan meninggalkan hal yang dapat mengotori dan merusaknya.
            Menurut Ulama Zahiriyah, adil adalah orang yang tidak dikenal suka melakukan dosa besar, juga tidak melakukan dosa kecil secara terang-terangan.
            Menurut Ulama Zaidiyah, adil adalah orang yang bersih dari melakukan segala larangan agama dan konsisten dalam takwa dan menjaga kehormatan diri.
            Sedangkan menurut Ulama Imamiyah, adil adalah konsisten dalam amal baik, yaitu dengan meniggalkan hal-hal yang diharamkan dan mengerjakan semua yang diperintahkan.
            Inilah sebagian pendapat tentang definisi adil dan perbedaan di antara mereka sangatlah tipis. Jadi, dari berbagai definisi di atas, hendaknya orang yang adil itu mempunyai ciri-ciri: menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa-dosa besar dan mencegah dirinya dari dosa-dosa kecil, kebaikan yang dimilikinya lebih banyak dari kejahatannya, dan kebenarannya lebih banyak dari pada kesalahannya. Perlu diingat, bahwa dosa kecil yang dilakukan terus-menerus dapat menjadi dosa besar dan ucapan orang yang banyak melakukan kesalahan dan kerusakan tidaklah dapat dipercaya.   
  4.      Kecakapan Hukum
            Kecakapan didefinisikan sebagai: “Kekuatan seseorang atau kemapuannya dalam mengelola sesuatu yang diserahkan kepadanya”.[16]
            Para fuqaha sepakat untuk menetukan syarat kecakapan bagi seorang pengelola wakaf, karena pelimpahan hak sangat terkait dengan syarat pengelolaan. Dan, tidak termasuk dalam pengelolaan, menyerahkan hak kepada orang yang tidak mampu, sebab hal itu tidak akan mencapai maksud dan tujuan wakaf.[17]
            Jika mayoritas ulama Syafi’iyah, Hanbaliyah, Malikiyah, dan Imamiyah berpendapat bahwa ke kecakapan adalah syarat sahnya penyerahan wakaf kepada pengelola, maka ulama Hanafiyah berpendapat lain. Mereka mengatakan bahwa kecakapan hanyalah syarat keutamaan , bukan syarat pengelolaan wakaf.[18]
            Para ulama yang memberi ketentuan kecakapan bagi pengelola wakaf-memiliki pengalaman dan kemampuan-tidak mengkhususkan ketentuan tersebut bagi laki-laki saja, tetapi juga bagi kaum perempuan. Sebab, menurut mereka, seperti halnya kebolehan memberikan hak perwalian kepada laki-laki dalam mengelola wakaf, maka boleh juga memberikannya kepada perempuan, jika dia bisa memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh fuqaha.[19]  
            Selanjutnya, para fuqaha pun mengharuskan si pengelola wakaf memiliki kecakapan dalam mengelola setiap harta wakaf yang letaknya berbeda-beda. Sebab, jika harta wakaf berlainan tempat, dan jenisnya bermacam-macam, sedangkan pengelolanya hanya satu orang, maka harus dipastikan pengelola yang dipilih mempunyai kemapuan dan kesanggupan untuk mengelola tiap jenis harta wakaf. Dan, penentuan syarat ini berbeda halnya dengan ketentuan syarat adil, karena pembuktiannya cukup dengan satu jenis harta wakaf, agar ia dapat ditetapkan sebagai pengelola harta wakaf lainnya.[20]
  5.      Islam
            Dalam menetapkan syarat islam sebagai syarat sahnya penyerahan wakaf, para fuqaha terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:[21]
            Kelompok pertama: Yaitu mayoritas ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah, Zaidiyah, dan Imamiyah. Mereka berpendapat bahwa-dalam pemberian hak perwalian atas harta wakaf-, orang yang menerimanya harus seorang muslim. Karenanya, tidak boleh memberikan perwalian atas harta wakaf kepada orang kafir. Dengan catatan, jika wakaf itu diperuntukan bagi mauquf ‘alaih yang beragama islam atau wakaf itu diperuntukan bagi sektor umum, seperti masjid dan lembaga pendidikan.
            Kelompok ulama ini berargumentasi dengan menggunakan firman Allah yang artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”
            Inti argumentasinya: “Penelolaan harta wakaf adalah hak perwalian dan tidak ada hak perwalian bagi orang kafir terhadap orang muslim”.
          Akan tetapi jika mauquf a’laih-nya bukan orang muslim, misalnya wakaf itu diberikan kepada orang kafir tertentu, maka boleh memberikan hak pengelolaan itu kepada orang kafir. Demikian pula, jika ada orang kafir yang mewakafkan hartanya untuk anaknya yang kafir, kemudian menentukan mengelolanya dari salah seorang kafir berwasiat kepada orang kafir lainnya untuk menyerahkan hartanya kepada orang kafir yang lain.
            Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhah Al-Thalibin berkata: “Tidak boleh seorang muslim berwasiat kepada orang kafir dzimmi, dan boleh sebaliknya. Menurut pendapat yang paling kuat, boleh seorang kafir dzimmi berwasiat kepada dzimmi lainnya, dengan syarat agamanya yang baik.
            Berdasarkan hal di atas, maka mewaklikan pengelolaan wakaf pada orang kafir, pada dasarnya diperbolehkan jika penerima wakafnya seorang kafir juga dengan ketentuan pengelolaannya beragama secara baik, dalam artian adil.
            Selanjutnya, syarat islam bagi orang yang menerima perwalian dalam pengelolaan wakaf, seperti disyaratkan untuknya pada permulaan (ikrar), dia juga menjadi syarat untuk keberlangsungannya.
            Karenanya, mayoritas fuqaha menetapkan jika, jika pengelola wakaf yang beragama islam keluar dari agamanya (murtad), maka hak perwalian dicabut darinya, baik dia diangkat oleh wakif ataupun oleh hakim.
            Kelompok kedua: Yaitu ulama Hanafiyah. Mereka berpendapat islam bukan syarat sah perwalian wakaf. Karena itu, mereka membolehkan pemberian hak perwalian kepada orang kafir, baik yang memberikan perwalian itu wakif, wakilnya ataupun hakim. Begitu juga dengan penerima wakafnya, baik itu muslim atau non muslim atau sarana umum, seperti masjid atau sarana pendidikan dan sebagainya.
            Dalam hal ini, ulama Hanafiyah memberikan alasan: pemberian hak pengelolaan harta wakaf dimaksudkan untuk menjaga harta wakaf dan mengaturnya, serta mendistribusikan kepada pihak yang berhak menerima harta wakaf tersebut. Maka, dibutuhkan seorang pengelola yang jujur dan dapat dipercaya, sekaligus mampu mengelola dan mengatur wakaf, baik dia melakukannya sendiri atau bersama waklinya. Kriteria semacam ini tidak saja ditemukan pada pribadi seorang muslim, tetapi juga bisa ditemukan pada pribadi non muslim. Bahkan tidak menutup kemungkinan, kriteria ini lebih banyak ditemukan dalam diri seorang non muslim daripada seorang muslim sendiri.
            Selain itu, terdapat syarat tambahan bagi para Nazhir yang berada di negara Indonesia, maka hal ini hanya berlaku bagi orang yang berada di negara Indonesia. Adapun  syarat-syaratnya sebagai berikut:[22]
1.      Syarat Moral
a.       Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalm tinjauan syariah maupun perundang-undangan.
b.      Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharufan kepada sasaran wakaf.
c.       Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha.
d.      Sungguh-sungguh dan menyukai tantangan.
e.       Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual.
2.      Syarat Manajemen
a.       Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.
b.      Visioner.
c.       Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual sosial dan pemberdayaan.
d.      Profesional dalam bidang pengelolaan harta.
e.       Ada masa bakti Nazhir.
f.       Memiliki program kerja yang jelas.
3.      Syarat Bisnis
a.       Mempunyai keinginan.
b.      Mempunyai pengalaman dan siap untuk dimagangkan.
c.       Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya enterpreneur.
Dari persyaratan yang telah dikemukakan diatas menunjukkan bahwa Nazhir menempati posisi yang sangat sentral dalam pengelolaan harta wakaf. Ditinjau dari segi tugas Nazhir, dimana dia berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya, jelas bahwa fungsi dan tidak berfungsunya suatu wakaf tergantung pada peran Nazhir.[23]
  D.    Sistem Manajemen Kenazhiran
Dalam kitab-kitab fikih, ulama tidak mencantumkan nazhir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, karena wakaf merupakan ibadah tabarru (pemberian yang bersifat sunnah). Namun demikian, setelah memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil harta wakaf, maka keberadaan Nazhir sangat dibutuhkan, bahkan menempati peran sentral. Sebab, dipundak Nazhir lah tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf serta menyalurkan hasil atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.[24]
Banyaknya para Nazhir yang mengelola harta wakaf tanpa dibarengi kemampuan yang memadai membuat harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal, bahkan tidak memberi manfaat sama sekali kepada sasaran wakaf. Banyak contoh dari berbagai wilayah tentang tidak tertatanya pengelolaan wakaf yang dikelola oleh Nzahir. Maka dari itu, dalam rangka meningkatkan kemampuan Nazhir diperlukan sistem manajemen SDM yang handal. Sistem pengelolaan SDM ini bertujuan untuk:[25]
  a.       Meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan para Nazhir wakaf di semua tingkatan dalam rangka membangun kemampuan manajerial yang tangguh, profesional dan bertanggung jawab.
  b.      Membentuk sikap dan perilaku Nazhir wakaf sesuai dengan posisi yang seharusnya, yaitu pemegang amanat umat islam yang mempercayakan harta benda untuk dikelola secara baik dan pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
  c.       Menciptakan pola pikir atau presepsi yang sama dalam memahami dan menerapkan pola pengelolaan wakaf, baik dari segi peraturan perundang-undangan maupun teknis manajerial sehingga lebih mudah diadakan kontrol, baik daerah maupun pusat.
  d.      Mengajak para Nazhir wakaf untuk memahami tata cara dan pola pengelolaan yang lebih berorientasi pada kepentingan pelaksanaan Syariat islam secara lebih luas dan dalam jangka panjang. Sehingga wakaf bisa dijadikan sebagai salah satu elemen penting dalam  menunjang penerapan sistem ekonomi  Syariah secara terpadu.
      Setelah diketahui persyaratan minimal seorang Nazhir wakaf dan tujuan diperlukannya pengelolaan SDM kenazhiran secara produktif dan berkualitas. Upaya pembinaan ini yang harus dilakukan berdasarkan standar pola manajemen terkini adalah:[26]
  a.       Pendidikan formal. Melalui sekolah-sekolah umum dan kejuruan dapat dibentuk calon-calon SDM keNazhiran yang siap pakai, dengan catatan sekolah itu sendiri harus dibentuk secara berkualitas dengan memberikan format kurikulum yang mantap dengan disiplin pelajaran yang tinggi, terarah menurut bidang yang dituju. Misalnya, sekolah menengah pertanian maupun tingkat perguruan tingginya (fakultas pertanian) yang diharapkan dapat mengelola tanah-tanah wakaf berupa persawahan, perkebunan, ladang pembibitan dan lain-lain. Atau sekolah-sekolah teknik menengah dan perguruan tinggi yang membuka jurusan sosial, seperti akuntansi, hukum dan lain-lain yang bisa diarahkan untuk memback-up pengembangan secara umum.
  b.      Pendidikan non formal. Bentuk dari pendidikan model ini adalah dengan mengadakan kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan SDM keNazhiran baik yang terkait dengan manajerial organisasi, atau meningkatkan keterampilan dalam bidang profesi seperti administrasi, teknik pengelolaan pertanian, teknik perbankan, pengelolaan kepariwisataan, perdagangan, pemasaran dan lain sebagainya. Pendidikan non formal ini perlu digalakkan oleh beberapa pihak yang terkait dengan dunia perwakafan, seperti Departemen Agama, lembaga-lembaga islam, lembaga-lembaga bisnis, lembaga-lembaga perbankan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan sebagainya dengan mutu pemebelajaran yang lebih ditingkatkan sehingga benar-benar dapat menghasilkan tenaga kerja yang termpil dan siap pakai.
  c.       Pendidikan informal. Berupa latihan-latihan dan kaderisasi langsung di tempat-tempat pengelolaan benda-benda wakaf. Nazhir yang telah ada, ditingkatkan kemampuannya melalui latihan-latihan  yang intensif dan bimbingan yang membuatnya maju dan mapu dalam bidang tugas dan tanggung jawabnya. Medan kerja itu sendiri menjadi “sekolah” dan taman belajar yang lebih praktis yang terkadang bobot dan mutunya lebih praktis yang terkadang bobot dan mutunya lebih mantap dibandingkan dengan sekolah atau kursus. Misalnya nazhir wakaf yang sedang mengelola usaha perdagangan kebutuhan pokok (ritel) akan lebih mudah meningkatkan kemampuannya dalam mengelola usaha tersebut jika dibina dan diarahkan dengan manajemen modern yang praktis dan dicontohkan langsung. Contoh lain, banyak montir yang ahli atau memiliki kemampuan baik karena mereka bisa praktek langsung, walaupun mereka bukan lulusan sekolah teknik dan bukan pula dari lembaga kursus motir. Keahlian ini diperoleh dari pengalaman dan bimbingan supervisornya yang menurunkan ilmunya.
  d.      Pembinaan fisik. Faktor olah raga dan istirahat para tenaga kerja, termasuk para Nazhir tidak boleh diabaikan dalam rangka membangun fisik yang prima. Demikian pula kelengkapan gizi memerlukan perhatian khusus dengan makanan yang mencukupi nilai gizinya. Karena tubuh manusia dibentuk, tumbuh dan berkembang disebabkan adanya gizi makanan yang setiap hari dikonsumsi. Kesehatan tubuh manusia tergantung pada apa yang dimakannya. Sehingga dengan keseimbangan antara kerja, istirahat, olah raga dan asupan makanan bergizi yang cukup akan menjadikan tubuh lebih terlihat energik, dinamis dalam mengemban tugas keNazhiran. Pola pembinaan fisik ini barangkali dianggap terlalu ideal dilakukan oleh sebuah lembaga keNazhiran, akan tetapi bukanlah hal yang tidak mungkin dalam sebuah lembaga pengelola wakaf yang cukup profesional bisa melakukan ini. Atau paling tidak, jika lembaga keNazhiran menganggap upaya pembinaan fisik SDMnya terlalu jauh, paling tidak sebagai salah satu prasyarat menjadi seorang Nazhir harus dipastikan memiliki tubuh yang sehat, sehingga dengan kondisi tersebut yang bersangkutan dapat menjalankan tugas dengan baik.
  e.       Pembinaan mental. Spirit kerja harus terus-menerus dibina agar para pemegang amanah perwakafan senantiasa bergairah dalam melaksanakan pekerjaannya. Demikian pula pembinaan mental budi pekerti (akhlak) yang luhur dibina melalui berbagai kesempatan seperti ceramah-ceramah agama, out bond, simulasi pengembangan diri dan organisasi untk menjaga dan meningkatkan ketahanan mental supaya SDM keNazhiran bisa mengemban amanat untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Menjadi hal yang sering terjadi, dalam sebuah lembaga-lembaga usaha sering diadakan pembinaan-pembinaan kualitas kerjanya, namun mengesampingkan pembinaan mentalnya. Sehingga, walaupun SDM nya sudah memiliki kehandalan dalam pengelolaan usaha, tapi karena mentalnya yang sangat lemah mengakibatkan terjadinya tindakan-tindakan menyimpang, seperti korupsi, mark up anggaran sampai penyimpangan moral pribadinya. Jika kondisi mental para pelaksana tugas keNazhiran lemah atau buruk, maka pengelolaan wakaf tidak akan menghasilkan secara maksimal.

                                                BAB III
                                                Penutup
            Secara sederhana, Nazhir adalah seseorang yang diberi amanat oleh wakif untuk mengelola harta wakaf  sesuai apa yang diinginkan olehnya dengan maksud memenuhi kepentingan maslahat umat atau agama.
            Adapun syarat-syarat untuk menjadi Nazhir, yaitu:
  1.      Berakal.
  2.      Dewasa.
  3.      Adil.
  4.      Cakap hukum.
  5.      Beragama islam.
Pembinaan Nazhir dilakukan berdasarkan standar pola manajemen terkini adalah:
a.       Pendidikan formal.
b.      Pendidikan nin formal.
c.       Pendidikan informal.
d.      Pembinaan fisik.
e.       Pembinaan mental.
            Dalam rangka meningkatkan kemampuan Nazhir diperlukan sistem manajemen SDM yang handal. Sistem pengelolaan SDM bertujuan untuk:
  1.      Meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan.
  2.      Membentuk sikap dan perilaku Nazhir wakaf sesuai dengan posisi yang seharusnya, yaitu sebagai pemegang amanat umat islam.
  3.      Menciptakan pola pikir atau presepsi yang sama dalam memahami dan menerapkan pola pengelolaan wakaf.
  4.      Mengajak para Nazhir wakaf untuk memahami tata cara dan pola pengelolaan yang lebih berorientasi pada  kepentingan pelaksanaan Syariat secara luas dan dalam jangka panjang.

  
                                              Daftar Pustaka
Indonesia, Depag, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, 2006
Indonesia, Depag, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006
Qahaf, Munzhir, Manajemen Wakaf Produktif, terj. oleh Muhyidin Mas Rida. Damaskus: Dar Al-Fikr, 2000
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf : Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, terj.  Ahrul Sani Fathurrahman. Jakarta:  DDR dan IIMaN 2000


[1]  Depag Indonesia, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, 2006), hlm 69-70
[2]  Ibid., hlm 70
[3]  Ibid., hlm 70
[4]  Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, Hukum Wakaf : Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrahman, (Jakarta:  DDR dan IIMaN 2000), hlm 429
[5]  QS Al-anfal, ayat 72
[6]  QS Al-Baqarah, ayat 257
[7]  Muhammad Abid, Hukum Wakaf......, hlm 429
[8]  Ibid., hlm 429-439
[9]  Ibid., hlm 461
[10] Ibid., hlm 462
[11]  Ibid., hlm 462. Lihat pula Mudzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Diterjemahkan oleh Muhyidin Mas Rida, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2000), hlm 297-305
[12]  Ibid., hlm 462
[13]  Ibid., hlm 463
[14]  Ibid., hlm 463
[15]  Ibid., hlm 465-466
[16]  Ibid., hlm 475
[17]  Ibid., hlm 475
[18]  Ibid., hlm 475
[19]  Ibid., hlm 475
[20]  Ibid., hlm 475-476
[21]  Ibid., hlm 476-478
[22]  Depag Indonesia, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), hlm 52
[23]  Ibid., hlm 53
[24]  Ibid., hlm 116
[25] Ibid., hlm 117-118
[26]  Ibid., hlm 118-121

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda