Minggu, 29 April 2012

Saddudz Dzari’ah


Saddudz Dzari’ah
“Mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan, atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang pada kerusakan”
            Maka apabila sesesuatu perbuatan yang bebas dari kerusakan dapat menjadi jalan kepada kerusakan, hendaklah kita larang perbuatan itu.
            Telah masyhur dalam kalangan ahli ushul bahwa yang berpegang kepada dasar Saddudz Dzari’ah ini, hanyalah Malik sendiri. Menurut pentahqiqkan Al Qarafi, semua madzhab memegangi dasar  Saddudz Dzari’ah, sama dengan Mashlahat Mursalah dan Uruf.
            Alhasil, Saddudz Dzari’ah itu, adalah suatu perbuatan yang tidak ditegah syara’ bila dipandang dapat mengakibatkan yang mengerjakannya kepada suatu hukum yang terang ditegah syara’. Tegasnya menegah suatu hukum untuk menutup jalan sampai kepada yang ditegah, seperti : menegah orang minum seteguk minuman keras (minuman yang memabukkan) padahal seteguk itu tidak memabukkan, untuk menutup jalan kepada minum banyak.
            Malik dan Ahmad memegangi dasar Saddudz Dzari’ah. Fuqaha yang sedikit memakainya ialah Asy Syafi’y.
            Dzarai’ ini, sebagaimana dipergunakan untuk menolak kefasadan, dipergunakan juga untuk mencari kemanfaatan.
            Al Qarafi mengatakan bahwa; Dzari’ah ini, sebagaimana wajib kita menutup, wajib juga kita membukannya. Karenanya, ada dzari’ah yang dimakruhkan, disunnatkan dan dimubahkan. Dzari’ah adalah wasilah. Sebagaimana dzari’ah kepada haram, diharamkan, maka wasilah kepada wajib, tentu diwajibkan, seperti berjalan ke Jum’at. Dalam pada itu, dalam mempergunakan dasar ini tidak boleh berlebih-lebihan, karena orang yang terlalu mempergunakannya, mungkin tidak akan mengerjakan sesuatu yang mubah atau mandub, atau wajib, lantaran takut terjerumus dalam kezaliman, seperti tidak mau mengurusi harta anak yatim, karena takut mendapat tuduhan yang jelek dari masyarakat.
            Karenanya, Ibnul Arabi memberi suatu pedoman: Sesuatu yang haram karena dzari’ah dapat ditetapkan keharamannya jika yang diharamkan yang disumbat dzari’ahnya, sesuatu yang haram dengan nash, bukan dengan qiyas dan dzari’ah. Penetapan ini menghasilkan dua prinsip:
  a.       Kita pergunakan dzari’ah apabila menyampaikan kepada kerusakan yang dinashkan, atau yang diqiyaskan, jika menyampaikan kepada halal yang manshush.
  b.      Segala urusan yang mempunyai hubungan dengan soal-soal amanah, tidaklah dicegah lantaran terkadang-kadang terjadi khianat padanya.
Karenanya, haruslah kita memperhatikan masalah pemakaian dzari’ah ini dengan istihsan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda