Saddudz Dzari’ah
Saddudz Dzari’ah
“Mencegah sesuatu yang menjadi
jalan kerusakan untuk menolak kerusakan, atau menyumbat jalan yang menyampaikan
seseorang pada kerusakan”
Maka
apabila sesesuatu perbuatan yang bebas dari kerusakan dapat menjadi jalan
kepada kerusakan, hendaklah kita larang perbuatan itu.
Telah
masyhur dalam kalangan ahli ushul bahwa yang berpegang kepada dasar Saddudz
Dzari’ah ini, hanyalah Malik sendiri. Menurut pentahqiqkan Al Qarafi, semua
madzhab memegangi dasar Saddudz
Dzari’ah, sama dengan Mashlahat Mursalah dan Uruf.
Alhasil, Saddudz Dzari’ah itu,
adalah suatu perbuatan yang tidak ditegah syara’ bila dipandang dapat
mengakibatkan yang mengerjakannya kepada suatu hukum yang terang ditegah
syara’. Tegasnya menegah suatu hukum untuk menutup jalan sampai kepada yang
ditegah, seperti : menegah orang minum seteguk minuman keras (minuman yang
memabukkan) padahal seteguk itu tidak memabukkan, untuk menutup jalan kepada
minum banyak.
Malik dan Ahmad memegangi dasar
Saddudz Dzari’ah. Fuqaha yang sedikit memakainya ialah Asy Syafi’y.
Dzarai’ ini, sebagaimana
dipergunakan untuk menolak kefasadan, dipergunakan juga untuk mencari
kemanfaatan.
Al Qarafi mengatakan bahwa; Dzari’ah
ini, sebagaimana wajib kita menutup, wajib juga kita membukannya. Karenanya, ada
dzari’ah yang dimakruhkan, disunnatkan dan dimubahkan. Dzari’ah adalah wasilah.
Sebagaimana dzari’ah kepada haram, diharamkan, maka wasilah kepada wajib, tentu
diwajibkan, seperti berjalan ke Jum’at. Dalam pada itu, dalam mempergunakan
dasar ini tidak boleh berlebih-lebihan, karena orang yang terlalu
mempergunakannya, mungkin tidak akan mengerjakan sesuatu yang mubah atau
mandub, atau wajib, lantaran takut terjerumus dalam kezaliman, seperti tidak
mau mengurusi harta anak yatim, karena takut mendapat tuduhan yang jelek dari
masyarakat.
Karenanya, Ibnul Arabi memberi suatu
pedoman: Sesuatu yang haram karena dzari’ah dapat ditetapkan keharamannya jika
yang diharamkan yang disumbat dzari’ahnya, sesuatu yang haram dengan nash,
bukan dengan qiyas dan dzari’ah. Penetapan ini menghasilkan dua prinsip:
a. Kita pergunakan dzari’ah apabila
menyampaikan kepada kerusakan yang dinashkan, atau yang diqiyaskan, jika
menyampaikan kepada halal yang manshush.
b. Segala urusan yang mempunyai hubungan
dengan soal-soal amanah, tidaklah dicegah lantaran terkadang-kadang terjadi
khianat padanya.
Karenanya,
haruslah kita memperhatikan masalah pemakaian dzari’ah ini dengan istihsan.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda