Urgensi Khusuk Dalam Shalat
Salah
satu kewajiban seorang muslim adalah menegakkan shalat lima waktu, kemudian
disempurnakan dengan shalat nafilah atau yang sering disebut shalat sunnah.
Shalat nafilah terbagi macam-macam dan tata cara pelaksanaannya sesuai dengan
apa yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.
Shalat
juga merupakan rukun islam ke dua setelah seorang muslim membaca syahadat.
Ketika seorang muslim enggan melaksanakan, bahkan mengingkari rukun islam yang
ke dua tersebut, maka ia bisa disamakan dengan golongan kafir, karena Nabi SAW
pernah bersabda bahwa pembeda antara seorang muslim dan kafir adalah shalatnya,
ketika ia meninggalkan secara sengaja maka ia termasuk golongan orang kafir.
Beberapa
ulama berijtihad bahwa jika ada orang muslim yang sengaja meninggalkan shalat
ia dianggap telah kafir. Apabila ia akan mengerjakan shalat dan ibadah lainnya
(zakat, puasa, haji, dan ibadah lain), maka ia harus bersyahadat kembali karena
ia dianggap telah keluar dari agama islam. Persaksian tersebut tidak harus
disaksikan oleh orang lain, cukup baginya bersaksi secara pribadi.
Begitu
pentingnya ibadah shalat, sehingga apabila ada yang meninggalakan secara
sengaja dianggap telah keluar dari agama islam (murtad). Tidak hanya itu,
shalat ternyata mampu mencegah dari melakukan perbuatan keji dan munkar.
Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT:
“Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”
Suatu
pertanyaan besar, apakah setiap shalat yang dilakukan seseorang secara otomatis
mendapatkan pahala dari Allah? Apakah ada syarat-syarat yang harus dilakukan?
Salah
satu syarat mendapat pahala dalam shalat yaitu dengan menghadirkan rasa khusuk
dalam qalbu. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya diantara
kamu ada orang yang shalat dan tidak ditulis baginya pahala shalatnya kecuali
hanya sepertiganya, seperempatnya, seperlimanya, seperenamnya, atau
sepersepuluhnya saja. Tidaklah ditulis bagi shalatnya kecuali apa
diangan-angankannya. Barang siapa yang shalat dua rakaat saja dalam keadaan
menghadap Allah dengan hatinya (khusuk), maka selamatlah dia dari dosa-dosanya,
seperti pada hari dilahirkan ibunya.” (Hadist)
Berdasarkan
hadist tersebut, tidak setiap shalat seseorang bisa mendapatkan pahala secara
penuh, melainkan tergantung khusuk atau tidaknya seseorang. Allah SWT juga
berfirman:
“Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengigat
Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang
rugi” (Q.S Al-Munafiqun: 9)
Yang
dimaksud melalaikan kamu dari mengigat Allah ada dua kemungkinan. Kemungkinan
pertama ialah lalai dari apa yang diperintahkan Allah karena terlalu sibuk
mengurusi kepentingan dunia. Kemungkinan kedua ialah melaksanakan shalat,
tetapi hatinya tidak mengingat Allah SWT atau tidak khusuk.
Lebih
jauh lagi Syaikh Muhammad Abduh membagi dua golongan orang yang khusuk. Pertama
khusuk munafiq, artinya seseorang melaksanakan ibadah shalat secara dzahirnya
khusuk dari segi bacaan dan gerakan, tetapi hatinya melayang-layang entah kemana.
Mungkin sibuk memikirkan dunia atau hal-hal lain diluar shalat. Kedua, khusuk
iman, artinya seseorang melaksanakan shalat secara fisik maupun non fisik ia
selalu menghadirkan hatinya kepada Allah, seperti ungkapan berikut:
“Beribadahlah kamu
kepada Allah seakan-akan kamu melihatnya, maka jika kamu tidak mampu
melihatnya, sesungguhnya Allah melihatmu”
Abu
Al-Aliyah seorang ulama besar pernah
ditanya tentang firman Allah SWT:
“Celakalah orang-orang
yang shalat” (Q.S Al-Ma’un:5)
Lalu
ia menjawab: “Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya dan tidak mengetahui genap
atau ganjilkah rakaatnya.” Ulama lain yang bernama Hasan berkata: “Yaitu orang
yang dari waktu shalatnya, sehingga shalat itu keluar” Kedua penafsiran
tersebut sama-sama bisa diterima, karena penafsiran Abu al-Aliyah Q.S Al-Ma’un ayat
5 menurut penulis dijelaskan dengan ayat 6, kemudian ayat 6 dijelaskan dengan
ayat 7 yang berbunyi:
“(Orang-orang celaka
adalah) orang-orang yang lalai shalatnya (6) Yaitu orang-orang yang riya dalam
shalatnya” (7) (Q.S Al-Ma’un:6-7)
Sedangkan
Penafsiran Hasan terhadap Q.S Al-Ma’un ayat 5 ditafsirkan dengan ayat 6
berdasarkan artian secara dzahirnya.
“(Orang yang celaka
adalah) orang-orang yang lalai shalatnya (Q.S Al-Maun:6)
Dalam
Q.S Al-Mu’minun ayat 1 sampai 2 dijelaskan bahwa orang beriman yang beruntung
salah satunya adalah orang yang menegakkan shalat secara khusu’. Apabila ia
bisa melaksanakan shalat secara khusu’, maka ia dijanjikan masuk ke dalam surga
Firdaus. Sebagaima yang disabdakan oleh Nabi SAW:
“Telah diturunkan
kepadaku sepuluh ayat. Barang siapa yang mengamalkannya, niscaya dia akan masuk
surga”. Kemudian beliau menyebut Surah Al-Mu’minun ayat
satu sampai sepuluh.
Q.S
Al-Mu’minun Ayat 1-2 berbunyi:
“Sungguh beruntunglah orang-orang
yang beriman (1) Yaitu orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya (2)”
(Q.S Al-Mu’minun: 1-2)
Berdasarkan
Asbab An-Nuzul riwayat Abu Hurairah R.A,
dahulu Rasulullah SAW memandang ke langit apabila shalat. Maka, Allah
menurunkan ayat ini. Setelah itu, beliau shalat dengan menundukkan kepalanya.
(Hadist shahih riwayat Hakim)
Adapun
khusu’ yang dimaksud dalam ayat diatas adalah mengosongkan hati (dari hal-hal
duniawi) dan menegakkan anggota badan (saat melaksanakan shalat).
Pada
dasarnya, semua manusia yang tinggal di bumi mengakui bahwa shalat dengan
khusu’ itu sangat sulit. Para sahabat nabi pun sampai berjuang mati-matian
melawan hawa nafsu dan godaan setan yang selalu menggodanya dimana dan kapan pun
berada. Ada suatu kisah bahwa dulu Rasulullah SAW pernah menjajanjikan suatu
hadiah berupa sorban dalam suatu perlombaan bagi para sahabatnya yang bisa
melaksankan shalat secara khusu’. Dimulai dari Abu Bakar sampai dengan Ali Ibn
Thalib untuk menegakkan shalat secara khusu’, namun tidak ada satu sahabat pun
yang bisa shalat khusu’ secara keseluruhan dalam perlombaan itu, sehingga tidak
ada yang bisa memiki sorban yang telah dijanjikan oleh Rasulullah SAW.
Kesulitan
manusia untuk melakukan shalat secara khusu’ memang sangat dirasakan, tetapi bukan
berarti hal tersebut tidak bisa dilakukan, banyak kisah-kisah orang yang sangat
khusu’ dalam menegakkan shalatnya, sehingga apa yang terjadi disekitarnya tidak
dirasakan olehnya. Dibawah ini ada beberapa kisah teladan orang-orang yang
khusu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Khalaf
Ibn Ayyub pernah berdiri dalam shalat. Tiba-tiba ada lebah yang menyengatnya
sehingga dia terluka dan mengalirkan banyak darah, sedangkan ia tidak merasakan
hal itu, hingga pada akhirnya Ibn Sa’id keluar dan memberi tahukan hal itu. Dia
lalu membasuh pakaiannya yang terkena darah, kemudian ditanyakan hal itu
padanya: “Kamu disengat lebah dan berdarah, mengapa kamu tidak merasakannya?
Maka dia balik bertanya: “Adakah merasakan seperti itu bila aku sedang
dihadapan Tuhan Raja Maha Perkasa, sedangkan malaikat maut berada di
tengkuk-Nya dan Sirat di bawah telapak kaki-Nya.”
Amir
Ibn Zarr terserang sakit yang dapat melumpuhkan tangannya. Dia adalah seorang
yang tinggi zuhudnya. Para dokter berkata padanya: “Tangan ini harus dipotong”.
Dia menjawab: “Potonglah”. Mereka berkata: “Kami tidak bisa memotongnya kecuali
kamu kamu diikat dengan tali”. Dia berkata: “Jangan sekarang! Tetapi potonglah
tanganku nanti ketika aku sedang shalat”. Ketika masuk dalam waktu shalat maka
dipotonglah tangannya dan ia tidak merasakannya.
Muslim
Ibn Yasar adalah seorang dari orang-orang yang terkenal khusu’. Ketika ia
sedang shalat, ia tidak menyadari bahwa salah satu tiang penyangga masjid roboh
sehingga ia tertimpa bengunan masjid.
Amir
Ibn Abdullah dikenal sebagai orang yang sangat khusu’ dalam shalatnya. Sehingga
adakalanya putrinya memainkan rebana dihadapannya, tetapi ia sama sekali tidak
merasa terganggu. Kaum wanita bercakap-cakap sekehendak hati mereka namun ia
tidak merasa terganggu karena ia tidak mendengar semua itu, Suatu hari ditanya
padanya: “Adakah hatimu membisikkan sesuatu ketika sedang shalat?”. Jawabnya:
“Ya aku dingatkan bahwa aku ini sedang berdiri dengan Allah SWT dan kelak aku
pasti menuju akherat.” Mereka bertanya lagi: “Apakah terlintas dalam hatimu
sesuatu urusan dunia, seperti yang kami alami?”. Jawabnya: ”Seandainya tubuhku
dicabik-cabik oleh sejumlah tombak, lebih kusukai dari pada mengalami seperti
yang kalian alami”. Kemudian diriwayatkan pula, ia sering berkata: “Seandainya
tirai ghaib tersingkap bagiku, niscaya tidak sedikit pun keyakinanku akan
berubah”.
Ali
Ibn Abi Thalib suatu ketika berperang dan pada akhirnya ia tertembus panah
tangannya. Ia dan para sahabat disekitarnya sudah berusaha mencabut panah
tersebut, namun tidak berhasil karena setiap kali panahnya dicabut ia merasa
kesakitan, sehingga membuat para sahabat yang ada disekitarnya tidak tega untuk
mencabut panah tersebut dari tangannya. Kemudian Ali mencoba memberikan
permintaan pada para sahabatnya untuk mencabut panah yang ada ditangannya pada
saat shalat, dan akhirnya panah tersebut bisa lepas dari tangannya pada saat ia
sedang melaksanakan shalat.
Itulah
kisah teladan para ulama-ulama genarasi dahulu. Mereka senatiasa menjaga
kekhusu’an pada setiap shalat fardhu atau shalat sunnah. Fikiran dan hati
mereka selalu tertuju pada Allah SWT, dan senantiasa menjauhkan keduanya dari
urusan duniawi ataupun godaan setan. Sebagai generasi penerus ulama, sudah
selayaknya bagi seorang mukmin untuk mengakkan shalat secara khusu’. Sudah
dijelaskan pada hadist diatas bahwa besar atau kecilnya pahala yang diterima
seseorang tergantung pada khusu’ atau tidaknya ia dalam melaksanakan shalat.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda