Jumat, 07 Februari 2014

E-Commerce dalam Islam



                                                                     BAB I
                                                             PENDAHULUAN
Perkembangan internet yang sangat pesat menyebabkan terbentuknya sebuah arena baru yang lazim disebut dengan dunia maya. Di sini setiap individu memiliki hak dan kemampuan untuk berhubungan dengan individu yang lain tanpa batasan apa pun yang menghalanginya.
Inilah globalisasi yang pada dasarnya telah terlaksana di dunia maya, yang menghubungkan seluruh masyarakat digital atau mereka yang sering menggunakan internet dalam aktivitas setiap hari. Perkembangan tersebut berakibat juga pada aspek sosial, di mana cara berhubungan antar manusia pun ikut berubah.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kegiatan perdagangan juga mengalami perkembangan dari masa ke masa, baik terhadap komoditi yang diperdagangkan maupun mekanisme perdagangan itu sendiri. Perdagangan jenis komoditi yang diperdagangkan sangat dipengaruhi oleh perkembangan kebutuhan hidup manusia yang semakin kompleks dan beragam serta kemajuan teknolologi yang terus berkembang pesat. Dengan adanya perkembangan teknologi dalam bidang perdagangan, muncul yang dinamakan dengan perdagangan elektronik. Di mana para pihak antara penjual dengan pembeli tidak lagi bertatap muka, melainkan hanya melalui medium internet yaitu world wide web, jaringan umum dengan sistem terbuka. Di sinilah lahirnya kontrak elektronik atau e-contract.[1]
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada dasarnya untuk mengatur hak dan kewajiban masyarakat Indonesia yang bertransaksi melalui dunia maya. Dengan adanya transaksi elektronik, menambah cakupan bidang ekonomi syariah dimana seorang penjual yang akan menjual barangnya tidak harus bertemu langsung dengan pembeli. Hal itu tentunya perlu suatu kajian khusus untuk menganlisis status transaksi elektronik melalui hukum positif maupun hukum Islam.  







 BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Transaksi Elektronik (E-Commerce)
Sebagaimana yang dikemukakan oleh David Baum dan dikutip Onno W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi, bahwa definisi E-commerce adalah:
“E-commerce is dynamic set of technologies, applications, and bussines proses that link enterprises, consumer, and communities through electronic transactions and the electronic exchange of goods, service, and information.”[2]
Apabila dibandingkan dengan pengamat strategi pemasaran online dari Microsoft yaitu Brenda Kienan, ia mengungkapkan bahwa, “bentuk paling jelas , e-commerce menjual produk kepada konsumen secara online. Meskipun secara fakta bisnis apapun yang dilakukan secara elektronik adalah e-commerce.” Dari penjelasan Brenda, bisnis yang dapat dilakukan dalam dunia e-commerce tidak hanya sebatas barang. Pada wilayah jasa, e-commerce juga dapat dilakukan.[3]
Berikutnya, perluasan makna definisi bergulat pada wilayah media/alat. Perantara media, menjadi hal yang signifikan sebagai pembeda antara transaksi konvensional dengan e-commerce. Abdul Halim Barkatullah mengatakan:
... Pengertian e-commerce meliputi transaksi perdagangan melalui media elektronik. Dalam arti kata tidak hanya media internet yang dimaksudkan, tetapi juga melingkupi semua transaksi perdagangan melalui media elektronik lainnya, seperti; facsimile (fax), telex, EDI, dan telepon.”[4]
Disini Barkatullah menambahkan istilah transaksi e-commerce dengan kata “media elektronik lainnya.” Kata ini dapat memotret segala bentuk e-commerce dalam kerangka yang lebih luas, dan akan menghasilkan sudut pandang yang berbeda. E-commerce dalam pengertian Barkatullah, dapat dilakukan bukan hanya dengan internet semata. Media lain yang dapat digunakan berkomunikasi dengan perangkat digital, dapat dikategorikan sebagai pendukung sarana e-commerce.[5]
Apabila dilihat pada dataran hukum positif, redaksi tadilah yang paling mirip dengan rumusan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE).     Meskipun pada awalnya definisi e-commerce bersifat umum, namun pada saat ini definisi e-commerce mengalami pergeseran makna dari makna yang sebenarnya. Pemaknaan awal e-commerce sebagai “perniagaan” elektronik online, kemudian bergeser  menjadi jual beli online.[6] Di Indonesia lebih sering dan umum disebut sebagai “transaksi elektronik” daripada bahasa asli yakni e-commerce.[7] Dalam UU ITE pasal 1 ayat 2 disebutkan:
“Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.”[8]
B.     Sejarah Munculnya Undang-Undang Informasi Dan Transasksi Elektronik
1.      Rancangan Penyusunan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (sebelum saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, disingkat RUU IKTE, dan kemudian manjadi Rancangan Undang-Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, RUU IETE, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Informasi Elektronik, dan akhirnya menjadi Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia dan atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang dalam sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 25 Maret 2008.[9]
Rancangan Undang-Undang ini beberapa kali disosialisasikan di beberapa kota besar di Indonesia, banyak permintaan masyarakat agar RUU ITE segera disahkan menjadi UU ITE. Beberapa alasan bahwa UU ITE akan memberikan manfaat, sebagai berikut: menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi elektronik, mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi, melindungi masyarkat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.[10]
Pembahasan pertama RUU ITE mulai dirancang sejak Maret 2003 oleh Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo), dan Ditjen Pos dan Telekomunikasi, Departemen Perhubungan serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan, bekerja sama dengan TIM dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) dan Tim Asistensi dari ITB, serta Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia (UI).[11]
Dalam rancangan tersebut, Pemerintah semula mengusulkan RUU ITE terdiri 13 BAB dan 49 Pasal serta Penjelasan. Kemudian RUU ITE disahkan menjadi UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal serta Penjelasan. Dengan demikian terdapat penambahan sebanyak 5 (lima) Pasal.[12]       
Penyusunan RUU ITE merupakan salah satu terobosan yang sangat penting yakni Tanda Tangan Elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tandatangan konvensional (tinta basah dan materai). Undang-Undang ITE tersebut juga berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia, penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrase.[13]
C.    Asas, Tujuan serta Prinsip Undang-Undang Informaasi dan Transaksi Elektronik
1.      Asas UU ITE
Adapun asas UU ITE berdasarkan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik antara lain:[14]
a.       Asas Kepastian hukum ialah landasan hukum bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
b.      Asas manfaat berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat menyejahterakan masyarakat.
c.       Asas kehati-hatian adalah landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
d.      Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi adalah asas pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.[15]
2.      Tujuan 
Adapun tujuan dibuatnya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini, diantaranya adalah:[16]
a.       Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia.    
b.      Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c.       Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik.
d.      Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggungjawab.
e.       Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
3.      Prinsip     
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sangat penting dan ditunggu masyarakat. Cyber Crime yang beredar di masyarakat telah menimbulkan rasa resah dalam kehidupan masyarakat.
Adapun prinsip-prinsip UU Informasi dan Transaksi Elektronik adalah:
a.       Perlindungan hukum bagi masyarakat yang memanfaatkan Informasi dan Transaksi Elektronik.
b.      Tidak mengekang. UU Informasi dan Transaksi Elektronik sama sekali tidak mengekang kebebasan internet dan kebebasan berekspresi itu tetap sesuai dengan norma dan etika berbangsa dan bernegara.[17]
D.    Bentuk Pembayaran
Secara umum, bentuk pembayaran transaksi elektronik dibagai menjadi dua:[18]
1.      Full Payment. Pada mode pembayaran ini diperlukan suatu kepercayaan dari pembeli, karena pembeli membayar terlebih dahulu barang-barang secara penuh dengan metode pembayaran yang telah disepakati sebelumnya. Untuk contoh penerapan, dapat dilihat pada amazon.com.
2.      Made by Order (sistem uang muka). Dalam beberapa kasus, para pembeli tidak terlalu percaya pada aspek bisnis dalam negara berkembang. Hal ini didasarkan pada kondisi umum yang menunjang terbangunnya trust tersebut, misalnya aspek keamanan dan perekonomian. Dengan begitu, bangunan transaksi yang biasanya dilakukan dengan pemesanan terlebih dahulu pada merchant. Yang menjadi kegelisahan dengan sistem ini, banyak para merchant yang harus menanggung kerugian karena dalam sejumlah kasus berpotensi tidak adanya kelanjutan dari para pemesan. Akibatnya perusahaan tersebut menerapkan kebijakan ganda. Mereka terlebih dahulu meminta uang muka (down payment) sebelum produksi massal dilakukan. Pihak merchant-dalam hal ini perusahaan, tidak mengambil kebijakan dengan meminta pembayaran secara penuh, karena barang pesanan tersebut terbilang mahal, yang dapat berpotensi gagalnya sebuah transaksi. Dapat ditarik contoh hal ini misalnya produksi mebel (furniture) pada Gecko Jogjakarta Furniture dengan alamat http://www.neogeckojogjakarta.com.
E.     Ketentuan Transaksi Elektronik Dalam UU Nomor 11 Tahun 2008
Hukum transaksi elektronik diatur dalam pasal 17-22 UU Nomor 11 Tahun 2008. Adapun bunyi dari masing-masing pasal tersebut ialah:[19]
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dari 3 ayat pada pasal 17 menjelaskan bahwa lingkup transaksi elektronik yang bersifat publik maupun privat telah diatur dalam Peraturan Pemerintah dan haruslah mengikuti aturan UU yang berlaku.
Pasal 18
(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional,
hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Kelima ayat pada pasal 18 menjelaskan bahwa transaksi elektronik baru mengikat ketika telah diadakan kontrak elektronik, selanjutnya para pihak diberi kewenangan untuk memilih lembaga penyelesaian sengketa. Apabila para pihak tidak memilih lembaga penyelesaian sengketa, maka yang berlaku untuk menangani sengketa didasarkan pada asas hukum perdata internasional.
Pasal 19
Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati.
Inti dari pasal 19 yaitu bahwa kesepakatan merupakan syarat utama dalam melakukan transaksi elektronik. Apabila tidak ada kesepakatan, maka secara otomatis tidak ada transaksi elektronik.   
Pasal 20
(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
Dua ayat pada pasal 20 menyatakan bahwa tindak lanjut dari pesetujuan dengan melakukan penerimaan elektronik dan adanya pengiriman barang elektronik.
Pasal 21
(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Empat ayat (ayat 1-4) pada pasal 21 menjelaskan pertanggung jawaban transaksi elektronik ketika transaksi elektronik mengalami kerugian, dan satu ayat (ayat 5) pada pasal 21 menjelaskan pengecualian pertanggung jawaban transaksi elektronik.
Pasal 22
(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam pasal ini menjelaskan bahwa agen elektronik haruslah menyediakan fitur karena memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi dalam proses transaksi dan ketentuan penyelenggara agen elektronik diatur dalam Peraturan Pemerintah.
F.     Transaksi Elektronik Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012  
Selain Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2102 juga mengatur tentang transaksi elektronik. PP ini sebagai penguat (jo) adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan transaksi elektronik yaitu pasal 40-51, bunyi dari masing-masing pasal yaitu:
Pasal 40
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik atau privat.
(2) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik meliputi:
a. penyelenggaraan Transaksi Elektronik oleh Instansi atau oleh pihak lain yang menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan
b. penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup privat meliputi Transaksi Elektronik:
a. antar-Pelaku Usaha;
b. antara Pelaku Usaha dengan konsumen;
c. antar pribadi;
d. antar-Instansi; dan
e. antara Instansi dengan Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik atau privat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang menggunakan Sistem Elektronik untuk pelayanan publik, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
            Pasal ini hanya menjelaskan lebih lanjut pasal 17 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ruang lingkup transaksi elektronik.
   Pasal 41
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik atau privat yang menggunakan Sistem Elektronik untuk kepentingan pelayanan publik wajib menggunakan Sertifikat Keandalan dan/atau Sertifikat Elektronik.
(2) Dalam hal menggunakan Sertifikat Keandalan, penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik wajib disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan Indonesia yang sudah terdaftar.
(3) Dalam hal menggunakan Sertifikat Elektronik, penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik wajib menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia yang sudah tersertifikasi.

Pasal 42
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup privat dapat menggunakan Sertifikat Keandalan dan/atau Sertifikat Elektronik
(2) Dalam hal menggunakan Sertifikat Keandalan, penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup privat dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan Indonesia yang sudah terdaftar.
(3) Dalam hal menggunakan Sertifikat Elektronik, penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup privat dapat menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia yang sudah terdaftar.
Pasal 41 dan 42, menjaskan bahwa dalam melakukan transaksi elektronik haruslah menggunkan sertifikat elektronik yang telah disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan Indonesia yang sudah terdaftar.

Pasal 43
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik di wilayah Negara Republik Indonesia harus:
a. memperhatikan aspek keamanan, keandalan, dan efisiensi;
b. melakukan penyimpanan data transaksi di dalam negeri;
c. memanfaatkan gerbang nasional, jika dalam penyelenggaraannya melibatkan lebih dari satu Penyelenggara Sistem Elektronik; dan
d. memanfaatkan jaringan Sistem Elektronik dalam negeri.
(2) Dalam hal gerbang nasional dan jaringan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d belum dapat dilaksanakan, penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat menggunakan sarana lain atau fasilitas dari luar negeri setelah memperoleh persetujuan dari Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor terkait.
(3) Dalam pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam Transaksi Elektronik wajib memperhatikan peraturan perundang-undangan dari Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor terkait.

Pasal 44
(1) Pengirim wajib memastikan Informasi Elektronik yang dikirim benar dan tidak bersifat mengganggu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengiriman Informasi Elektronik diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 45
(1) Dalam hal diperlukan, institusi tertentu dapat menyelenggarakan Transaksi Elektronik yang bersifat khusus.
(2) Ketentuan mengenai Transaksi Elektronik yang bersifat khusus diatur tersendiri oleh Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor terkait.
Pasal 43-45 berbicara mengenai aturan-aturan umum yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang melakukan transaksi elektronik. Pasal-pasal tersebut menjadi acuan umum agar terjaminnya transaksi elektronik yang tertib.
Pasal 46
(1) Transaksi Elektronik yang dilakukan para pihak memberikan akibat hukum kepada para pihak.
(2) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik yang dilakukan para pihak wajib memperhatikan:
a. iktikad baik;
b. prinsip kehati-hatian;
c. transparansi;
d. akuntabilitas; dan
e. kewajaran.
Pasal ini menjelaskan asas-asas yang harus diperhatikan oleh para pihak yang bertransaksi.
Pasal 47
(1) Transaksi Elektronik dapat dilakukan berdasarkan Kontrak Elektronik atau bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak.
(2) Kontrak Elektronik dianggap sah apabila:
a. terdapat kesepakatan para pihak;
b. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. terdapat hal tertentu; dan
d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pasal 48
(1) Kontrak Elektronik dan bentuk kontraktual lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) yang ditujukan kepada penduduk Indonesia harus dibuat dalam Bahasa Indonesia.
(2) Kontrak Elektronik yang dibuat dengan klausula baku harus sesuai dengan ketentuan mengenai klausula baku sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Kontrak Elektronik paling sedikit memuat:
a. data identitas para pihak;
b. objek dan spesifikasi;
c. persyaratan Transaksi Elektronik;
d. harga dan biaya;
e. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
f. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
g. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
    
Pasal 49
(1) Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
(2) Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.
(3) Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
(4) Pelaku Usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim.
(5) Pelaku Usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.
Pasal-pasal ini menjelaskan aspek-aspek yang berkiatan dengan kontrak elektronik yang akan menghasilkan transaksi elektronik.

Pasal 50
(1) Transaksi Elektronik terjadi pada saat tercapainya kesepakatan para pihak.
(2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh Pengirim telah diterima dan disetujui oleh Penerima.
(3) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan cara:
a. tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan; atau
b. tindakan penerimaan dan/atau pemakaian objek oleh Pengguna Sistem Elektronik.
Pasal ini berbicara masalah persetujuan dan kesepakatan yang akan memunculkan transaksi elektronik.

Pasal 51
(1) Dalam penyelenggaraan Transaksi Elektronik para pihak wajib menjamin:
a. pemberian data dan informasi yang benar; dan
b. ketersediaan sarana dan layanan serta penyelesaian pengaduan.
(2) Dalam penyelenggaraan Transaksi Elektronik para pihak wajib menentukan pilihan hukum secara setimbang terhadap pelaksanaan Transaksi Elektronik.
Pasal ini merupakan jaminan penyelenggaraan transaksi elektronik dan merupakan pilihan hukum bagi pelaksanaan transaksi elektronik.
G.    Tinjaun Hukum Islam
Dalam wilayah hukum Islam, hingga detik ini e-commerce tidak menjadi polemik dikalangan para ulama. Hal ini dikarenakan banyaknya keuntungan-keuntungan, selain dari bentuk kejelasan yang dapat dipahami bersama. Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa fatwa yang melindungi dalam “bentuk berbeda” dalam transaksi ini. Kaidah yang dapat diterapkan berkiatan dengan al-‘ādat dan ‘urf. Sebut saja dalam hal ini misalnya “al-‘ādatu muhkamātun.” (Kebiasaan yang biasa dilakukan masyarakat, dapat menjadikan tradisi hukum).
a.       Dasar Hukum. Dalam kajian muamalah, akad e-commerce dapat diqiyaskan dengan hukum as-salam atau salaf. Akad pada wilayah ini dilakukan terlebih dahulu, lalu barang diserahkan pada waktu berikutnya. Menurut Haris Faulidi, cikal bakal e-commerce pada masa Nabi, yang ditandai dengan surat al-Baqarah ayat: 282.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
   Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Kemunculan ayat ini memang dapat bermakna ganda. Pertama, tentang hutang-piutang yang wajib dicatatkan. Kedua, karena maraknya transaksi salaf (as-salaf) yang biasa berkembang pada waktu itu. Hadis riwayat Bukhari yang menguatkan indikasi terjadinya jual-beli salaf sebagai berikut:
“..............Barang siapa yang melakukan salaf, hendaklah melakukannya dengan takaran, timbangan, dan batas waktu yang jelas.”
Dengan begitu, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa transaksi as-salam sangat diperbolehkan dalam hukum Islam, dengan hukum dasar adanya kejelasan dan kepentingan bersama (maslahat). Unsur lain yang juga diperbolehkan secara syara’ jika hukum asal terhadap sesuatu dibolehkan, kecuali ada illat yang dapat mempengaruhi hukum asal. Illat yang dimaksud, misalnya jika e-commerce tidak terdapat adanya “jaminan kepercayaan” untuk saling merelakan, maka illat tersebut dapat merubah hukum asal.[20]
Masalah ini dalam kajian muamalah disebut sebagai as-salam dan terbagi menjadi dua jenis, antara lain:
                                                            I.   Jual-beli salaf. Metode ini dikenal dengan memberikan uang terlebih dahulu, setelah itu barang akan diserahkan kemudian. Jual-beli dengan metode ini terdapat asumsi bahwa tempat penyerahan barang diketahui masing-masing pihak. Apabila menilik sekilas pada model ini sangat menguntungkan pihak penjual. Pada dasarnya, penjual mensyaratkan adanya pembayaran sebelum penyerahan. Dalam hal ini peletakan resiko ada pada pihak pembeli, jika ternyata penerimaan barang terlambat.
                                                         II.   Jual-beli istisnā. Pada dasarnya jika ditilik bentuk tempat penyerahan barang, hampir mirip dengan salaf. Perbedaan yang mencolok adalah pada saat penyerahan uang-sebagai alat tukar, yang diserahkan dikemudian hari, setelah barang pesanan diantarkan. Dalam dataran mikro misalnya bentuk jual-beli pada layanan delivery. Pada layanan jasa-antar ini misalnya, pesanan makanan cepat saji. Calon pembeli dapat menghubungi melalui nomor telepon tertentu dan memberikan alamat pengiriman. Di waktu mendatang, barang tersebut akan tiba. Jenis transaksi ini juga menjadi kebiasaan mukallaf yang membawa maslahat. Sama halnya dengan jual-beli salaf, namun dalam beberapa hal harus ada sikap “trust” yang dibangun terlebih dahulu. Pihak penjual meyakini bahwa pemesan benar-benar menginginkan barang tersebut. Sekalipun hanya membohongi penjual, dampak kerugian yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Lain halnyan jika pesanan yang dimaksud dalam jumlah yang besar, pihak penjual terbangun “trust business” dengan hadirnya pihak pemesan, atau secara umum trust bagi penjual dalam kasus ini, jika pihak mereka sangat mengetahui keadaan pemesan. Pada intinya, peletakkan resiko dapat terjadi pada pihak penjual.[21] 
b.      Syarat transaksi. Kaum cendikiawan muslim telah menyepakati, metode ini tentunya ada beberapa pra-syarat yang harus dipenuhi. Antara lain:
Pertama, shighat. Shighat merupakan pernyataan ijab-qabul. Indikasi dari terpenuhinya shighat dengan adanya bentuk penawaran dari merchant. Lalu pada user mengesahkan dengan melakukan “klik,” mengisi formulir, dan menentukan jenis pembayaran dan menyepakati keberadaan tempat penyerahan. Dari aktifitas ini, dinyatakan sah secara akad, karena adanya unsur komunikasi yang ditandai dengan aktifitas user tadi. Secara logika, pelaku dapat dikenai hukum sebagai mukallaf, karena dianggap mengerti terhadap segala penawaran dari merchant. Dalam hukum positif, dikenal dengan sebutan “fiktie hukum.”
Kedua, rab as-salam (pelaku). Pelaku yang dimaksud dalam hal ini adalah kedua belah pihak, baik dari pihak penjual maupun pembeli. Meskipun dalam pelaku bisnis pada jenis ini, pihak penjual hanya diwakili bentuk sistem-misalnya website-secara hukum dapat disahkan, karena adanya sistem yang rapi, sehingga dapat dipahami (komunikatif dua arah). Dalam kaidah fiqih pembeli disebut dengan al-muslam, dan pihak penjual disebut dengan al-muslam ‘alaih.
Ketiga, obyek transaksi (al-muslam fih). Dalam term tersebut secara umum, para pemikir ekonomi Islam hanya mengatakan bahwa wajib adanya barang yang diperjualbelikan. Barang tersebut haruslah dapat diketahui jenis, bentuk, ukuran, manfaat-nya. Meskipun keadaan barang yang menjadi obyek, dapat terwakili melalui penawaran dalam bentuk gambar yang disertai beberapa penjelasan.
Terkait dengan obyek transaksi, terdapat sistem pembayaran (harga). Hal-hal yang menyangkut alat tukar (rasmāl as-salam), juga harus diketahui bersama. Selain itu, titik tekan pada obyek transaksi juga harus diketahui tempat yang disepakati untuk menyerahkan barang.[22]


  BAB III
PENUTUP
Pada awalnya, definisi e-commerce bersifat umum, namun pada saat ini definisi e-commerce mengalami pergeseran makna dari makna yang sebenarnya. Pemaknaan awal e-commerce sebagai “perniagaan” elektronik online, kemudian bergeser  menjadi jual beli online. Di Indonesia lebih sering dan umum disebut sebagai “transaksi elektronik” daripada bahasa asli yakni e-commerce.
Beberapa alasan UU ITE disahkan yaitu: menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi elektronik, mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi, melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Adapun asas-asas UU ITE yaitu: Pertama, asas kepastian hukum. Kedua, asas manfaat. Ketiga, asas kehati-hatian. Keempat, asas iktikad yang baik. Kelima, asas kebebasan memilih teknologi.
Tujuan dibuatnya UU ITE yaitu: Pertama, mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua, Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional. Ketiga, Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan publik. Keempat, membuka kesempatan yang luas kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang IT. Kelima, memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna IT.
Bentuk pembayaran e-commerce secara umum dapat dibagi menjadi dua: Pertama Full Payment (pembayaran secara keseluruhan). Dan kedua, Made By Order (sistem uang muka).
Prinsip UU ITE adalah: Satu, perlindungan hukum bagi masyarakat yang memanfaatkan informasi dan Transaksi Ekonomi. Kedua, tidak mengekang.
Pada dasarnya transaksi elektronik diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Ditinjau dari hukum Islam e-commerce dapat disamakan dengan jual-beli secara salam, dan jual beli secara salam dibagi menjadi jual-beli salaf dan jual-beli istisnā.

                                                       DAFTAR PUSTAKA
Abdul Husain At-Tariqi, Abdullah, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar, dan Tujuan, Terj. M. Irfan Syofwani, Cet. I, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004.
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Cet. I, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Ridlo, Ali, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pencemaran Nama Baik Pada Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Rivai, Veithzal dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management: Teori, Konsep dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah Praktisi, dan Mahasiswa, Cet. I, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008. 

Roosdiyana, Fatma, Keabsahan Kontrak Elektronik Dalam Penyelenggaraan Transaksi Elektronik, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2010.
Subekti dan R. Tjirosudibio, R,  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Cet- XXXIX, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008.
Zaman, Badru, Mencegah Mudharat Dalam Transaksi Elektronik (Perspektif Hukum Islam), Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.




[1] Fatma Roosdiyana, Keabsahan Kontrak Elektronik Dalam Penyelenggaraan Transaksi Elektronik, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2010, hlm. 1-2.
[2] Badru Zaman, Mencegah Mudharat Dalam Transaksi Elektronik (Perspektif Hukum Islam), Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 22. 

[3] Ibid., hlm. 23.

[4] Ibid
[5] Ibid

[6] Ibid., hlm. 21.

[7] Ibid., hlm. 24.

[8] Pasal 1 Ayat (2) UU ITE, dalam BAB “ketentuan umum.”  

[9] Ali Ridlo, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pencemaran Nama Baik Pada Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 51.
[10]  Ibid., hlm. 52.

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] Ibid., hlm. 53.

[14] Ibid., hlm. 56-57.

[15] Pasal 3 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

[16] Pasal 4.

[17] Ali Ridlo, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pencemaran Nama Baik Pada Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008......, hlm. 58.

[18] Badru Zaman, Mudharat Dalam Transaksi........, hlm. 33-34.
[19] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, hal. 5-6
[20] Badru Zaman, Mudharat Dalam Transaksi........,hlm. 44.
[21] Ibid., hlm. 44-45. Lihat pula Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Cet. I (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008)., hlm. 90-99. Abdullah Abdul Husain At-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar, dan Tujuan, Terj. M. Irfan Syofwani, Cet. I (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hlm. 250-252.  Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management: Teori, Konsep dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah Praktisi, dan Mahasiswa, Cet. I (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 173-176.  
[22] Ibid., hlm 45-47.

2 Komentar:

Pada 13 Februari 2014 pukul 06.31 , Blogger Unknown mengatakan...

mantap kawan artikelnya. Terima kasih membantu saya mengingat masa lalu..

Sukses.. Sob

http://badru-zaman.blogspot.com

 
Pada 8 Maret 2014 pukul 23.09 , Blogger Ade Lanuari Abdan Syakuro mengatakan...

oke...
terima kasih sudah membaca

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda