E-Commerce dalam Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan
internet yang sangat pesat menyebabkan terbentuknya sebuah arena baru yang
lazim disebut dengan dunia
maya. Di sini setiap individu memiliki hak dan kemampuan untuk
berhubungan dengan individu yang lain tanpa batasan apa pun yang
menghalanginya.
Inilah
globalisasi yang pada dasarnya telah terlaksana di dunia maya, yang
menghubungkan seluruh
masyarakat digital atau mereka yang sering
menggunakan internet dalam
aktivitas setiap hari. Perkembangan tersebut
berakibat juga pada aspek
sosial, di mana cara berhubungan antar manusia
pun ikut berubah.
Seiring dengan
perkembangan teknologi, kegiatan perdagangan
juga mengalami perkembangan
dari masa ke masa, baik terhadap komoditi
yang diperdagangkan maupun
mekanisme perdagangan itu sendiri. Perdagangan jenis komoditi yang diperdagangkan sangat
dipengaruhi oleh perkembangan kebutuhan hidup manusia yang semakin
kompleks dan beragam serta kemajuan teknolologi yang terus
berkembang pesat. Dengan adanya perkembangan teknologi dalam bidang
perdagangan, muncul yang dinamakan dengan perdagangan elektronik. Di mana para
pihak antara penjual dengan pembeli tidak lagi bertatap muka,
melainkan hanya melalui medium
internet yaitu world wide web, jaringan umum dengan sistem terbuka. Di
sinilah lahirnya kontrak elektronik atau e-contract.[1]
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik pada dasarnya untuk mengatur hak dan
kewajiban masyarakat Indonesia yang bertransaksi melalui dunia maya. Dengan
adanya transaksi elektronik, menambah cakupan bidang ekonomi syariah dimana
seorang penjual yang akan menjual barangnya tidak harus bertemu langsung dengan
pembeli. Hal itu tentunya perlu suatu kajian khusus untuk menganlisis status
transaksi elektronik melalui hukum positif maupun hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Transaksi Elektronik (E-Commerce)
Sebagaimana yang dikemukakan oleh David Baum dan dikutip Onno W.
Purbo dan Aang Arif Wahyudi, bahwa definisi E-commerce adalah:
“E-commerce is dynamic set of technologies, applications, and
bussines proses that link enterprises, consumer, and communities through
electronic transactions and the electronic exchange of goods, service, and
information.”[2]
Apabila dibandingkan dengan pengamat strategi pemasaran online dari
Microsoft yaitu Brenda Kienan, ia mengungkapkan bahwa, “bentuk paling jelas
, e-commerce menjual produk kepada konsumen secara online. Meskipun secara
fakta bisnis apapun yang dilakukan secara elektronik adalah e-commerce.”
Dari penjelasan Brenda, bisnis yang dapat dilakukan dalam dunia e-commerce
tidak hanya sebatas barang. Pada wilayah jasa, e-commerce juga dapat
dilakukan.[3]
Berikutnya, perluasan makna definisi bergulat pada wilayah
media/alat. Perantara media, menjadi hal yang signifikan sebagai pembeda antara
transaksi konvensional dengan e-commerce. Abdul Halim Barkatullah
mengatakan:
“... Pengertian e-commerce meliputi transaksi
perdagangan melalui media elektronik. Dalam arti kata tidak hanya media
internet yang dimaksudkan, tetapi juga melingkupi semua transaksi perdagangan
melalui media elektronik lainnya, seperti; facsimile (fax), telex, EDI, dan
telepon.”[4]
Disini
Barkatullah menambahkan istilah transaksi e-commerce dengan kata “media
elektronik lainnya.” Kata ini dapat memotret segala bentuk e-commerce
dalam kerangka yang lebih luas, dan akan menghasilkan sudut pandang yang
berbeda. E-commerce dalam pengertian Barkatullah, dapat dilakukan bukan
hanya dengan internet semata. Media lain yang dapat digunakan berkomunikasi
dengan perangkat digital, dapat dikategorikan sebagai pendukung sarana e-commerce.[5]
Apabila
dilihat pada dataran hukum positif, redaksi tadilah yang paling mirip dengan
rumusan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut
UU ITE). Meskipun pada awalnya
definisi e-commerce bersifat umum, namun pada saat ini definisi e-commerce
mengalami pergeseran makna dari makna yang sebenarnya. Pemaknaan awal e-commerce
sebagai “perniagaan” elektronik online, kemudian bergeser menjadi jual beli online.[6] Di
Indonesia lebih sering dan umum disebut sebagai “transaksi elektronik” daripada
bahasa asli yakni e-commerce.[7]
Dalam UU ITE pasal 1 ayat 2 disebutkan:
“Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.”[8]
B.
Sejarah Munculnya Undang-Undang Informasi Dan Transasksi Elektronik
1.
Rancangan Penyusunan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (sebelum saat
masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik, disingkat RUU IKTE, dan kemudian manjadi Rancangan
Undang-Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, RUU IETE, dan
kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Informasi Elektronik, dan akhirnya
menjadi Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) adalah
ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum
Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia dan atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. RUU ini disahkan menjadi
Undang-Undang dalam sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 25 Maret 2008.[9]
Rancangan Undang-Undang ini beberapa kali disosialisasikan di
beberapa kota besar di Indonesia, banyak permintaan masyarakat agar RUU ITE
segera disahkan menjadi UU ITE. Beberapa alasan bahwa UU ITE akan memberikan
manfaat, sebagai berikut: menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang
melakukan transaksi elektronik, mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia,
sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi
informasi, melindungi masyarkat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi
informasi.[10]
Pembahasan pertama RUU ITE mulai dirancang sejak Maret 2003 oleh
Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo), dan Ditjen Pos dan
Telekomunikasi, Departemen Perhubungan serta Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, bekerja sama dengan TIM dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
(Unpad) dan Tim Asistensi dari ITB, serta Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi
Universitas Indonesia (UI).[11]
Dalam rancangan tersebut, Pemerintah semula mengusulkan RUU ITE
terdiri 13 BAB dan 49 Pasal serta Penjelasan. Kemudian RUU ITE disahkan menjadi
UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal serta Penjelasan. Dengan demikian
terdapat penambahan sebanyak 5 (lima) Pasal.[12]
Penyusunan RUU ITE merupakan salah satu terobosan yang sangat
penting yakni Tanda Tangan Elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama
dengan tandatangan konvensional (tinta basah dan materai). Undang-Undang ITE
tersebut juga berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum baik
yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat
hukum di Indonesia, penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan dengan metode
penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrase.[13]
C.
Asas, Tujuan serta Prinsip Undang-Undang Informaasi dan Transaksi
Elektronik
1.
Asas UU ITE
Adapun asas UU ITE berdasarkan pemanfaatan teknologi informasi dan
transaksi elektronik antara lain:[14]
a.
Asas
Kepastian hukum ialah landasan hukum bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya
yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
b.
Asas
manfaat berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat
menyejahterakan masyarakat.
c.
Asas
kehati-hatian adalah landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan
segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun
bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
d.
Asas
kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi adalah asas pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada penggunaan
teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan
datang.[15]
2.
Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik ini, diantaranya adalah:[16]
a.
Mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia.
b.
Mengembangkan
perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
c.
Meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelayanan publik.
d.
Membuka
kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan
kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal
mungkin dan bertanggungjawab.
e.
Memberikan
rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara
Teknologi Informasi.
3.
Prinsip
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sangat penting dan ditunggu masyarakat. Cyber Crime yang beredar di
masyarakat telah menimbulkan rasa resah dalam kehidupan masyarakat.
Adapun prinsip-prinsip UU Informasi dan Transaksi Elektronik
adalah:
a.
Perlindungan
hukum bagi masyarakat yang memanfaatkan Informasi dan Transaksi Elektronik.
b.
Tidak
mengekang. UU Informasi dan Transaksi Elektronik sama sekali tidak mengekang
kebebasan internet dan kebebasan berekspresi itu tetap sesuai dengan norma dan
etika berbangsa dan bernegara.[17]
D.
Bentuk Pembayaran
Secara umum, bentuk pembayaran transaksi elektronik dibagai menjadi
dua:[18]
1.
Full
Payment. Pada mode pembayaran ini diperlukan suatu kepercayaan dari pembeli,
karena pembeli membayar terlebih dahulu barang-barang secara penuh dengan
metode pembayaran yang telah disepakati sebelumnya. Untuk contoh penerapan,
dapat dilihat pada amazon.com.
2.
Made
by Order (sistem uang muka). Dalam beberapa kasus, para pembeli tidak terlalu
percaya pada aspek bisnis dalam negara berkembang. Hal ini didasarkan pada
kondisi umum yang menunjang terbangunnya trust tersebut, misalnya aspek
keamanan dan perekonomian. Dengan begitu, bangunan transaksi yang biasanya
dilakukan dengan pemesanan terlebih dahulu pada merchant. Yang menjadi
kegelisahan dengan sistem ini, banyak para merchant yang harus
menanggung kerugian karena dalam sejumlah kasus berpotensi tidak adanya kelanjutan
dari para pemesan. Akibatnya perusahaan tersebut menerapkan kebijakan ganda.
Mereka terlebih dahulu meminta uang muka (down payment) sebelum produksi
massal dilakukan. Pihak merchant-dalam hal ini perusahaan, tidak mengambil
kebijakan dengan meminta pembayaran secara penuh, karena barang pesanan
tersebut terbilang mahal, yang dapat berpotensi gagalnya sebuah transaksi.
Dapat ditarik contoh hal ini misalnya produksi mebel (furniture) pada
Gecko Jogjakarta Furniture dengan alamat http://www.neogeckojogjakarta.com.
E.
Ketentuan Transaksi Elektronik Dalam UU Nomor 11 Tahun 2008
Hukum
transaksi elektronik diatur dalam pasal 17-22 UU Nomor 11 Tahun 2008. Adapun
bunyi dari masing-masing pasal tersebut ialah:[19]
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik
dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
selama transaksi berlangsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dari
3 ayat pada pasal 17 menjelaskan bahwa lingkup transaksi elektronik yang bersifat
publik maupun privat telah diatur dalam Peraturan Pemerintah dan haruslah
mengikuti aturan UU yang berlaku.
Pasal 18
(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke
dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih
hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan
hukum dalam Transaksi Elektronik internasional,
hukum yang berlaku didasarkan pada asas
Hukum Perdata Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk
menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang
menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi
Elektronik internasional yang dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan
forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas
Hukum Perdata Internasional.
Kelima ayat pada pasal 18 menjelaskan bahwa transaksi elektronik
baru mengikat ketika telah diadakan kontrak elektronik, selanjutnya para pihak
diberi kewenangan untuk memilih lembaga penyelesaian sengketa. Apabila para pihak
tidak memilih lembaga penyelesaian sengketa, maka yang berlaku untuk menangani
sengketa didasarkan pada asas hukum perdata internasional.
Pasal 19
Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem
Elektronik yang disepakati.
Inti
dari pasal 19 yaitu bahwa kesepakatan merupakan syarat utama dalam melakukan
transaksi elektronik. Apabila tidak ada kesepakatan, maka secara otomatis tidak
ada transaksi elektronik.
Pasal 20
(1) Kecuali ditentukan lain oleh para
pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui
Penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
Dua
ayat pada pasal 20 menyatakan bahwa tindak lanjut dari pesetujuan dengan
melakukan penerimaan elektronik dan adanya pengiriman barang elektronik.
Pasal 21
(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan
Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas
segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. jika dilakukan sendiri, segala akibat
hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para
pihak yang bertransaksi;
b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa,
segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab
pemberi kuasa; atau
c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik,
segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab
penyelenggara Agen Elektronik.
(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik
disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik,
segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara
Agen Elektronik.
(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik
disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum
menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Empat
ayat (ayat 1-4) pada pasal 21 menjelaskan pertanggung jawaban transaksi
elektronik ketika transaksi elektronik mengalami kerugian, dan satu ayat (ayat
5) pada pasal 21 menjelaskan pengecualian pertanggung jawaban transaksi
elektronik.
Pasal 22
(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu
harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam
pasal ini menjelaskan bahwa agen elektronik haruslah menyediakan fitur karena
memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi dalam proses transaksi
dan ketentuan penyelenggara agen elektronik diatur dalam Peraturan Pemerintah.
F. Transaksi Elektronik Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012
Selain
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2102
juga mengatur tentang transaksi elektronik. PP ini sebagai penguat (jo) adanya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan
transaksi elektronik yaitu pasal 40-51, bunyi dari masing-masing pasal yaitu:
Pasal 40
(1) Penyelenggaraan Transaksi
Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik atau privat.
(2) Penyelenggaraan Transaksi
Elektronik dalam lingkup publik meliputi:
a. penyelenggaraan Transaksi
Elektronik oleh Instansi atau oleh pihak lain yang menyelenggarakan layanan
publik sepanjang tidak dikecualikan oleh Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik; dan
b. penyelenggaraan Transaksi
Elektronik dalam lingkup publik lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Penyelenggaraan Transaksi
Elektronik dalam lingkup privat meliputi Transaksi Elektronik:
a. antar-Pelaku Usaha;
b. antara Pelaku Usaha dengan
konsumen;
c. antar pribadi;
d. antar-Instansi; dan
e. antara Instansi dengan
Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup
publik atau privat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang
menggunakan Sistem Elektronik untuk pelayanan publik, dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal
ini hanya menjelaskan lebih lanjut pasal 17 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang
ruang lingkup transaksi elektronik.
Pasal 41
(1) Penyelenggaraan Transaksi
Elektronik dalam lingkup publik atau privat yang menggunakan Sistem Elektronik
untuk kepentingan pelayanan publik wajib menggunakan Sertifikat Keandalan
dan/atau Sertifikat Elektronik.
(2) Dalam hal menggunakan
Sertifikat Keandalan, penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik
wajib disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan Indonesia yang sudah
terdaftar.
(3) Dalam hal menggunakan Sertifikat Elektronik,
penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik wajib menggunakan
jasa penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia yang sudah tersertifikasi.
Pasal 42
(1) Penyelenggaraan Transaksi
Elektronik dalam lingkup privat dapat menggunakan Sertifikat Keandalan dan/atau
Sertifikat Elektronik
(2) Dalam hal menggunakan
Sertifikat Keandalan, penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup privat
dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan Indonesia yang sudah
terdaftar.
(3) Dalam hal menggunakan Sertifikat Elektronik,
penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup privat dapat menggunakan
jasa penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia yang sudah terdaftar.
Pasal 41 dan 42,
menjaskan bahwa dalam melakukan transaksi elektronik haruslah menggunkan
sertifikat elektronik yang telah disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan
Indonesia yang sudah terdaftar.
Pasal 43
(1) Penyelenggaraan Transaksi
Elektronik di wilayah Negara Republik Indonesia harus:
a. memperhatikan aspek
keamanan, keandalan, dan efisiensi;
b. melakukan penyimpanan data
transaksi di dalam negeri;
c. memanfaatkan gerbang
nasional, jika dalam penyelenggaraannya melibatkan lebih dari satu
Penyelenggara Sistem Elektronik; dan
d. memanfaatkan jaringan Sistem
Elektronik dalam negeri.
(2) Dalam hal gerbang nasional dan jaringan Sistem
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d belum dapat
dilaksanakan, penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat menggunakan sarana
lain atau fasilitas dari luar negeri setelah memperoleh persetujuan dari
Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor terkait.
(3) Dalam pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam Transaksi Elektronik wajib
memperhatikan peraturan perundang-undangan dari Instansi Pengawas dan Pengatur
Sektor terkait.
Pasal 44
(1) Pengirim wajib memastikan
Informasi Elektronik yang dikirim benar dan tidak bersifat mengganggu.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengiriman Informasi Elektronik diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 45
(1) Dalam hal diperlukan,
institusi tertentu dapat menyelenggarakan Transaksi Elektronik yang bersifat
khusus.
(2) Ketentuan mengenai
Transaksi Elektronik yang bersifat khusus diatur tersendiri oleh Instansi
Pengawas dan Pengatur Sektor terkait.
Pasal
43-45 berbicara mengenai aturan-aturan umum yang harus dipatuhi oleh
pihak-pihak yang melakukan transaksi elektronik. Pasal-pasal tersebut menjadi
acuan umum agar terjaminnya transaksi elektronik yang tertib.
Pasal 46
(1) Transaksi Elektronik yang
dilakukan para pihak memberikan akibat hukum kepada para pihak.
(2) Penyelenggaraan Transaksi
Elektronik yang dilakukan para pihak wajib memperhatikan:
a. iktikad baik;
b. prinsip kehati-hatian;
c. transparansi;
d. akuntabilitas; dan
e. kewajaran.
Pasal ini menjelaskan
asas-asas yang harus diperhatikan oleh para pihak yang bertransaksi.
Pasal 47
(1) Transaksi Elektronik dapat dilakukan berdasarkan
Kontrak Elektronik atau bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan
yang dilakukan oleh para pihak.
(2) Kontrak Elektronik dianggap
sah apabila:
a. terdapat kesepakatan para
pihak;
b. dilakukan oleh subjek hukum
yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. terdapat hal tertentu; dan
d. objek transaksi tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban
umum.
Pasal 48
(1) Kontrak Elektronik dan
bentuk kontraktual lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) yang
ditujukan kepada penduduk Indonesia harus dibuat dalam Bahasa Indonesia.
(2) Kontrak Elektronik yang
dibuat dengan klausula baku harus sesuai dengan ketentuan mengenai klausula
baku sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Kontrak Elektronik paling
sedikit memuat:
a. data identitas para pihak;
b. objek dan spesifikasi;
c. persyaratan Transaksi
Elektronik;
d. harga dan biaya;
e. prosedur dalam hal terdapat
pembatalan oleh para pihak;
f. ketentuan yang memberikan
hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau
meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
g. pilihan hukum penyelesaian
Transaksi Elektronik.
Pasal 49
(1) Pelaku Usaha yang
menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang
lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang
ditawarkan.
(2) Pelaku Usaha wajib
memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.
(3) Pelaku Usaha wajib
memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim
apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
(4) Pelaku Usaha wajib
menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim.
(5) Pelaku Usaha tidak dapat
membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar
kontrak.
Pasal-pasal ini
menjelaskan aspek-aspek yang berkiatan dengan kontrak elektronik yang akan
menghasilkan transaksi elektronik.
Pasal 50
(1) Transaksi Elektronik
terjadi pada saat tercapainya kesepakatan para pihak.
(2) Kesepakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh Pengirim telah diterima
dan disetujui oleh Penerima.
(3) Kesepakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan cara:
a. tindakan penerimaan yang
menyatakan persetujuan; atau
b. tindakan penerimaan dan/atau
pemakaian objek oleh Pengguna Sistem Elektronik.
Pasal ini berbicara masalah
persetujuan dan kesepakatan yang akan memunculkan transaksi elektronik.
Pasal 51
(1) Dalam penyelenggaraan
Transaksi Elektronik para pihak wajib menjamin:
a. pemberian data dan informasi
yang benar; dan
b. ketersediaan sarana dan
layanan serta penyelesaian pengaduan.
(2) Dalam penyelenggaraan
Transaksi Elektronik para pihak wajib menentukan pilihan hukum secara setimbang
terhadap pelaksanaan Transaksi Elektronik.
Pasal
ini merupakan jaminan penyelenggaraan transaksi elektronik dan merupakan
pilihan hukum bagi pelaksanaan transaksi elektronik.
G.
Tinjaun Hukum Islam
Dalam wilayah hukum Islam, hingga detik ini e-commerce tidak
menjadi polemik dikalangan para ulama. Hal ini dikarenakan banyaknya
keuntungan-keuntungan, selain dari bentuk kejelasan yang dapat dipahami
bersama. Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa fatwa yang melindungi dalam
“bentuk berbeda” dalam transaksi ini. Kaidah yang dapat diterapkan berkiatan
dengan al-‘ādat dan ‘urf. Sebut saja dalam hal ini misalnya “al-‘ādatu
muhkamātun.” (Kebiasaan yang biasa dilakukan masyarakat, dapat menjadikan
tradisi hukum).
a.
Dasar
Hukum. Dalam kajian muamalah, akad e-commerce dapat diqiyaskan dengan
hukum as-salam atau salaf. Akad pada wilayah ini dilakukan
terlebih dahulu, lalu barang diserahkan pada waktu berikutnya. Menurut Haris
Faulidi, cikal bakal e-commerce pada masa Nabi, yang ditandai dengan
surat al-Baqarah ayat: 282.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.”
Kemunculan ayat ini memang dapat bermakna ganda. Pertama, tentang
hutang-piutang yang wajib dicatatkan. Kedua, karena maraknya transaksi salaf
(as-salaf) yang biasa berkembang pada waktu itu. Hadis riwayat Bukhari yang
menguatkan indikasi terjadinya jual-beli salaf sebagai berikut:
“..............Barang siapa yang melakukan salaf, hendaklah
melakukannya dengan takaran, timbangan, dan batas waktu yang jelas.”
Dengan begitu, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa transaksi as-salam
sangat diperbolehkan dalam hukum Islam, dengan hukum dasar adanya kejelasan dan
kepentingan bersama (maslahat). Unsur lain yang juga diperbolehkan
secara syara’ jika hukum asal terhadap sesuatu dibolehkan, kecuali ada illat
yang dapat mempengaruhi hukum asal. Illat yang dimaksud, misalnya jika e-commerce
tidak terdapat adanya “jaminan kepercayaan” untuk saling merelakan, maka illat
tersebut dapat merubah hukum asal.[20]
Masalah ini dalam kajian muamalah disebut sebagai as-salam dan
terbagi menjadi dua jenis, antara lain:
I. Jual-beli salaf.
Metode ini dikenal dengan memberikan uang terlebih dahulu, setelah itu barang
akan diserahkan kemudian. Jual-beli dengan metode ini terdapat asumsi bahwa
tempat penyerahan barang diketahui masing-masing pihak. Apabila menilik sekilas
pada model ini sangat menguntungkan pihak penjual. Pada dasarnya, penjual
mensyaratkan adanya pembayaran sebelum penyerahan. Dalam hal ini peletakan
resiko ada pada pihak pembeli, jika ternyata penerimaan barang terlambat.
II. Jual-beli istisnā.
Pada dasarnya jika ditilik bentuk tempat penyerahan barang, hampir mirip dengan
salaf. Perbedaan yang mencolok adalah pada saat penyerahan uang-sebagai
alat tukar, yang diserahkan dikemudian hari, setelah barang pesanan diantarkan.
Dalam dataran mikro misalnya bentuk jual-beli pada layanan delivery.
Pada layanan jasa-antar ini misalnya, pesanan makanan cepat saji. Calon pembeli
dapat menghubungi melalui nomor telepon tertentu dan memberikan alamat
pengiriman. Di waktu mendatang, barang tersebut akan tiba. Jenis transaksi ini
juga menjadi kebiasaan mukallaf yang membawa maslahat. Sama halnya dengan
jual-beli salaf, namun dalam beberapa hal harus ada sikap “trust” yang
dibangun terlebih dahulu. Pihak penjual meyakini bahwa pemesan benar-benar
menginginkan barang tersebut. Sekalipun hanya membohongi penjual, dampak
kerugian yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Lain halnyan jika pesanan yang
dimaksud dalam jumlah yang besar, pihak penjual terbangun “trust business”
dengan hadirnya pihak pemesan, atau secara umum trust bagi penjual dalam
kasus ini, jika pihak mereka sangat mengetahui keadaan pemesan. Pada intinya,
peletakkan resiko dapat terjadi pada pihak penjual.[21]
b.
Syarat
transaksi. Kaum cendikiawan muslim telah menyepakati, metode ini tentunya ada
beberapa pra-syarat yang harus dipenuhi. Antara lain:
Pertama,
shighat. Shighat merupakan pernyataan ijab-qabul. Indikasi dari
terpenuhinya shighat dengan adanya bentuk penawaran dari merchant. Lalu
pada user mengesahkan dengan melakukan “klik,” mengisi formulir, dan menentukan
jenis pembayaran dan menyepakati keberadaan tempat penyerahan. Dari aktifitas
ini, dinyatakan sah secara akad, karena adanya unsur komunikasi yang ditandai
dengan aktifitas user tadi. Secara logika, pelaku dapat dikenai hukum
sebagai mukallaf, karena dianggap mengerti terhadap segala penawaran dari merchant.
Dalam hukum positif, dikenal dengan sebutan “fiktie hukum.”
Kedua,
rab as-salam (pelaku). Pelaku yang dimaksud dalam hal ini adalah kedua
belah pihak, baik dari pihak penjual maupun pembeli. Meskipun dalam pelaku
bisnis pada jenis ini, pihak penjual hanya diwakili bentuk sistem-misalnya
website-secara hukum dapat disahkan, karena adanya sistem yang rapi, sehingga
dapat dipahami (komunikatif dua arah). Dalam kaidah fiqih pembeli disebut dengan
al-muslam, dan pihak penjual disebut dengan al-muslam ‘alaih.
Ketiga,
obyek transaksi (al-muslam fih). Dalam term tersebut secara umum, para
pemikir ekonomi Islam hanya mengatakan bahwa wajib adanya barang yang
diperjualbelikan. Barang tersebut haruslah dapat diketahui jenis, bentuk,
ukuran, manfaat-nya. Meskipun keadaan barang yang menjadi obyek, dapat
terwakili melalui penawaran dalam bentuk gambar yang disertai beberapa
penjelasan.
Terkait
dengan obyek transaksi, terdapat sistem pembayaran (harga). Hal-hal yang
menyangkut alat tukar (rasmāl as-salam), juga harus diketahui bersama.
Selain itu, titik tekan pada obyek transaksi juga harus diketahui tempat yang
disepakati untuk menyerahkan barang.[22]
BAB III
PENUTUP
Pada awalnya, definisi e-commerce bersifat umum, namun pada
saat ini definisi e-commerce mengalami pergeseran makna dari makna yang
sebenarnya. Pemaknaan awal e-commerce sebagai “perniagaan” elektronik
online, kemudian bergeser menjadi jual
beli online. Di Indonesia lebih sering dan umum disebut sebagai “transaksi
elektronik” daripada bahasa asli yakni e-commerce.
Beberapa alasan UU ITE disahkan yaitu: menjamin kepastian hukum
bagi masyarakat yang melakukan transaksi elektronik, mendorong pertumbuhan
ekonomi Indonesia, sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan
berbasis teknologi informasi, melindungi masyarakat pengguna jasa dengan
memanfaatkan teknologi informasi.
Adapun asas-asas UU ITE yaitu: Pertama, asas kepastian hukum.
Kedua, asas manfaat. Ketiga, asas kehati-hatian. Keempat, asas iktikad yang
baik. Kelima, asas kebebasan memilih teknologi.
Tujuan dibuatnya UU ITE yaitu: Pertama, mencerdaskan kehidupan
bangsa. Kedua, Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional. Ketiga,
Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan publik. Keempat, membuka
kesempatan yang luas kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan
kemampuan di bidang IT. Kelima, memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian
hukum bagi pengguna IT.
Bentuk pembayaran e-commerce secara umum dapat dibagi menjadi dua:
Pertama Full Payment (pembayaran secara keseluruhan). Dan kedua, Made By Order
(sistem uang muka).
Prinsip UU ITE adalah: Satu, perlindungan hukum bagi masyarakat
yang memanfaatkan informasi dan Transaksi Ekonomi. Kedua, tidak mengekang.
Pada dasarnya transaksi elektronik diatur dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik.
Ditinjau dari hukum Islam e-commerce dapat disamakan dengan
jual-beli secara salam, dan jual beli secara salam dibagi menjadi
jual-beli salaf dan jual-beli istisnā.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Husain At-Tariqi, Abdullah, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar, dan Tujuan,
Terj. M. Irfan Syofwani, Cet. I, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004.
Ascarya, Akad & Produk Bank
Syariah, Cet. I, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Ridlo, Ali, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pencemaran Nama Baik
Pada Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Rivai, Veithzal dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial
Management: Teori, Konsep dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan,
Nasabah Praktisi, dan Mahasiswa, Cet. I, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2008.
Roosdiyana, Fatma, Keabsahan Kontrak Elektronik Dalam
Penyelenggaraan Transaksi Elektronik, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, 2010.
Subekti dan R. Tjirosudibio, R,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Cet-
XXXIX, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008.
Zaman, Badru, Mencegah Mudharat Dalam Transaksi Elektronik
(Perspektif Hukum Islam), Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik.
[1] Fatma
Roosdiyana, Keabsahan Kontrak Elektronik Dalam Penyelenggaraan Transaksi
Elektronik, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2010, hlm.
1-2.
[2] Badru Zaman, Mencegah
Mudharat Dalam Transaksi Elektronik (Perspektif Hukum Islam), Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 22.
[3] Ibid.,
hlm. 23.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6]
Ibid.,
hlm.
21.
[7] Ibid., hlm.
24.
[8] Pasal 1 Ayat
(2) UU ITE, dalam BAB “ketentuan umum.”
[9]
Ali Ridlo, Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Pencemaran Nama Baik Pada Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 51.
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid., hlm.
53.
[14] Ibid.,
hlm. 56-57.
[15] Pasal 3 UU No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
[16] Pasal 4.
[17] Ali Ridlo, Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Pencemaran Nama Baik Pada Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun
2008......, hlm.
58.
[18] Badru Zaman, Mudharat
Dalam Transaksi........, hlm. 33-34.
[19]
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008, hal. 5-6
[20] Badru Zaman, Mudharat
Dalam Transaksi........,hlm. 44.
[21] Ibid.,
hlm. 44-45. Lihat pula Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Cet. I
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008)., hlm. 90-99. Abdullah Abdul Husain
At-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar, dan Tujuan, Terj. M. Irfan
Syofwani, Cet. I (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hlm. 250-252. Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic
Financial Management: Teori, Konsep dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga
Keuangan, Nasabah Praktisi, dan Mahasiswa, Cet. I (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008), hlm. 173-176.
[22] Ibid.,
hlm 45-47.
2 Komentar:
mantap kawan artikelnya. Terima kasih membantu saya mengingat masa lalu..
Sukses.. Sob
http://badru-zaman.blogspot.com
oke...
terima kasih sudah membaca
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda