Kekerasan DI/TII Atas Nama Siapa?
Bukan lagi bambu runcing atau senapan,
bukan hal yang tabu lagi main belakang seperti bully-bully-an atau culik-culikan. Bahkan eksistensi pelaku
kekerasan dan kejahatan di hadapan publik pun ingin semakin diperlihatkan.
Mungkin biar nge-hits, sambil
membatin dan besorak,”Terima kasih media sosial!”. Ancaman kekerasan dan terorisme
semakin menjadi di tempat-tempat publik dan ditunjukkan secara langsung tidak
main-main. Tidak hanya menyasar masyarakat awwam sebagai tameng, melainkan juga
semakin gencar menyerang aparat keamanan.
Tidak hanya masalah ekonomi, politik, dan sosial, namun motif agama
disebut-sebut turut ambil bagian dari serentetan kasus kekerasan. Tentu publik
tidak akan lupa dengan teror begal, klithih,
bom Thamrin Januari 2016 lalu yang dengan frontalnya menyerang sebuah pos
polisi atauaksi seruduk polisi di
markasnya, aksi kekerasan terhadap pemeluk Ahamadiyah di Kota Bogor (2011) dan
kekerasan serupa terhadap pemeluk Syiah di Sampang (2012).
Terorisme
dan kekerasan saling berkaitan seperti dua sisi mata uang yang tak
terpisahkan. Dua hal tersebutdapat dilakukan
oleh individu, maupun kelompok/golongan tertentu. Penyebab terjadinya kekerasanpun
beragam, ada kekerasan yang sifatnya sebatas sensivitas golongan belaka, ada
juga kekerasan karena motif ekonomi, sosial, politik,dn lain sebagainya. Dari
sekian banyak kasus kekerasan yang mencuat, kekerasan atas motif agama menjadi
isu yang paling cepat dan sensitif.
Berdasar
pengamatan para ahli sosial, kekerasan atas nama agama bisa dilakukan oleh
agama apapun, mulai dari agama Samawi(turun dari langit) seperti Yahudi,
Kristen, dan Islam, maupun agama Ardi (lahir di bumi) seperti
Konfusianisme.Pertanyannya, kenapa hal itu bisa terjadi? Bukankah agama
diciptakan oleh Tuhan untuk menebar kedamaian, kasih sayang, dan cinta kapada
sesama makhluk-Nya?Bukankah dapat dipastikan bahwa setiap agama punya misi
perdamaian? Adakah yang salah dengan agamanya, atau pengikutnya?
Kekerasan
atas nama agama merupakan fenomena yang bisa dialami dan hampir pernah
ditemukan dalam masyarakat dengan latar beragam, di kawasan manapun dan dalam
lingkup seluas apapun. Tampaknya agama memang terbukti menjadi isu yang sangat
politis untuk memicu konflik.
Katakanlah
Indonesia. Teror ISIS menjadi isu yang masih hangat dan paling diburu saat ini
terkait kejahatan fisik. Namun gerakan yang membawa misi mendirikan gerakan
Islam secara radikal ini bukan yang pertama yang tercatat terjadi di Indonesia.
Dalam sejarah berdirinya bangsa ini, pada tanggal 7 September tahun 1949 pernah
diproklamasikanlah negara Islam oleh S.M Kartosoewirdjo. Awal mulanya dia mendirikan
gerakan DI (Darul Islam)/TII (Tentara Islam Indonesia) yang kelak
bermetamorfosa menjadi NII (Negara Islam Indonesia) di Jawa Barat sebagai
bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, namun lama kelamaan gerakan
ini menjadi gerakan politik untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia.
Kartosoewirdjo dibaiat oleh para pengikutnya untuk menjadi Imam gerakan ini,
kemudian dengan doktrin “politik hijrah” dia melakukan sejumlah pemberontakan
dan perlawanan politisterhadap Belanda dan pemerintahan Indonesia.
Pemberontakan tidak hanya terjadi di Jawa Barat, namun terdapat pula di
Acehyang dikomandoi oleh Daud Beureueh dan Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Mereka berdua
tentunya melakukan upaya pemberontakan sebagai bentuk ketaatan kepada Imam, dan
tentunya dibarengi dengan berbagai macam ambisi politi,s seraya menguatkan hegemoni,
dominasi wilayah suci, serta identitas politik mereka.
Arus politik identitas umat Islam,
paling tidak melahirkan tiga bentuk kekerasan. Pertama, kekerasan fisik seperti pengerusakan, penutupan tempat
ibadah seperti gereja dan masjid maupun tindakan kekerasan fisik lainnya yang
menyebabkan obyek kekerasan tersebut menjadi terluka, trauma, maupun terbunuh. Kedua, kekerasan simbolik yang dapat
berupa kekerasan semiotik seperti bentuk-bentuk tulisan atau ceramah-ceramah
yang bernada melecehkan suatu agama. Ketiga,
kekerasan struktural. Kekerasan yang dilakukan oleh negara, baik melalui
perangkat hukum maupun aparatnya sendiri. Secara nyata, pemberontakan DI/TII
setidaknya merepresentasikan kekerasan fisik dan kekerasan simbolik yang
berakibat menghancurkan tatanan ruang, serta sosial.
Akibat pemberontakan DI/TII di Jawa
Barat, pada periode 1953-1960 terdapat 22.895 korban yang tewas, 115.822 rumah
hancur, dan negara dirugikan hampir Rp 650 juta. Dalam risalah persidangan,
dinyatakan bahwa pemberontakan DI/TII mengganggu upaya pemerintah Orde Lama
mencapai Tri-Program: Pemenuhan sandang-pangan, penjagaan kemanan, serta
operasi perebutanIrian Barat.
Pemberontakan Aceh yang dipimpin
Daud Bareuruh menelan korban kurang lebih seribu orang. Menurut Internasional
Crisis Group (ICG) lembaga penelitian yang berpusat di Belgia, pernah menaksir
ongkos perang Aceh mencapai US $800 juta atau sekitar Rp 7 triliun, dan itu
belum termasuk anggaran untuk memperbaiki sarana umum yang dirusak mortir,
seperti tiang listrik, jalan, jembatan, sekolah, dan pasar.
Tak hanya merugikan dalam hal
ekonomi, perang Aceh juga berdampak buruk terhadap ekonomi provinsi lain.
Menurut Martin Panggabean, “Perang berkelanjutan” bisa merusak kegiatan
produksi di Aceh, pada gilirannya merusak rantai produksi antara Aceh dan
provinsi lain. Aceh selama ini dikenal sebagai pemasok produk-produk primer
(gas, kayu, dan lai-lain) ke wilayah
lain. Bila proses produksi terganggu, ekonomi Aceh jelas akan langsung terkena
dampaknya. Kesulitan mendapatkan bahan mentah, misalnya diperkirakan akan
melorotkan hasil produksi Aceh sampai 14 persen. Saat bersamaan, kerusakan akan
menimpa Sumatera Utara. Apabila dikalkulasi, hasilnya akan berkurang 0,6
persen. Begitu pula dengan produksi Sumatera Barat, akan tepangkas 0,3 persen,
dan Jambi 0,1 persen.
Dampak peperangan juga telah
menghambat pasokan bahan mentah dari Aceh ke wilayah lain. Akibatnya, produksi
di seluruh daerah Sumatera diperkirakan akan anjlok hingga 11 persen. Dari
semua daerah di Sumatera, Provinsi Sumatera Selatan-lahyang diperkirakan akan
menanggung dampak terburuk bila perang berlangsung lama di Aceh, karena selama
ini minyak dan gas dari Aceh mengalir kesana sebelum diekspor ke negara lain
(Tempo: 2011).
Dampak
pemberontakan atau perang tentunya sangat merugikan Provinsi, terutama negara
dalam beberapa sektor. Hal ini dikarenakan doktrin mengenai wajibnya mendirikan
negara Islam versi DI/TII didasari bahwa Islam sebagai simbol perjuangan
politik yang dapat menyatukan berbagai kepentingan golongan masyarakat. Bagi
mereka, Islam membawa misi kebenaran, keadilan, kesejahteraan dan membela kepentingan
mereka yang tertindas. Bahkan perjuangan itu merupakan aktualisasi dari ajaran
Islam, sehingga merupakan fitrah apabila mereka menjadikan ajaran Islam sebagai
Way of Live. Sayangnya, pandangan tentang idealisme Islam disampaikan
dengan cara-cara yang kurang santun dan ada beberapa doktrin agama
diselewengkan untuk mencapai kekuasaan tertentu. Pemberontakan yang dilakukan
oleh Kartosoewirdjo karena tidak mampu membedakan fenomena Islam sebagaidoktrin(Islamics),
dan fenomena ketika doktrin itu masuk, kemudian berproses dalam sebuah
masyarakat-kultural (Islamicate), lalu mewujudkan diri dalam konteks
sosial-sejarah tertentu, serta ketika Islam menjadi sebuah fenomena dunia Islam
yang berpositif dalam lembaga-lembaga negara (Islamdom). Pencampuran
terma Islamics, Islamicate, dan Islamdomtentunya akan
sangat bias dan utopis jika diaktulisasikan dalam konsep negara bangsa (Nation
State) sebagaimana yang dilakukan oleh Kartosoewirdjo.
Dalam buku Haluan Politik Islam (1946),
Kartosoewirdjo membayangkan sebuah negara yang damai senstosa dan hukum Tuhan
tegak mengatur hajat hidup orang banyak, dengan nama Negara Islam Indonesia.
Untuk mencapainya, menurut dia dibutuhkan dua tahap revolusi. Tahap pertama
adalah revolusi nasional, yaitu pengusiran penjajah dari bumi Indonesia.
Revolusi ini selesai pada 1945 ketika Soekarno-Hatta memprokalmasikan
kemerdekaan. Setelah itu, masuk revolusi tahap kedua, yakni “revolusi sosial.”
Pada masa inilah Indonesia harus berada di jalan Tuhan dengan mencontoh
perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad.
Dia menyamakan kondisi Makkah
sebelum Nabi Hijrah dengan Indonesia sebelum 1945: Jahiliyah, tak ada tuntunan,
dijajah dan diperangi ideologi lain. Nabi pun hijrah Madinah untuk mencapai kegemilangan.
Di Madinah umat muslim mencapai masa keemasan. Agar Indonesia sama seperti
periode Madinah, menurut Kartosoewirdjo, rakyat Indonesia juga harus hijrah di
semua lini: politik, sosial, ekonomi. Caranya dengan jihad fisabilillah, bukan
jihad fillah atau jihad yang mengekang hawa nafsu. Jihad itu, menurut
Kartosoewirdjo, harus dirumuskan dan dilakukan secara cermat di semua sektor.
Karena jihad adalah menegakkan hukum Tuhan yang sulit, dan bertempur dengan
ideologi-ideologi lain, satu-satunya jalan adalah berperang. “Perang menghadapi
negara Pancasila menjadi wajib hukumnya.” Tulisnya dalam Perdjalanan Soetji
Isra’ dan Mi’raj Rasoeloellah (1953).
Sebelum bisa berjihad dan hijrah,
rakyat Indonesia harus beriman terlebih dahulu, yakin bahwa hukum-hukum
Allahadalah hukum terbaikuntuk mengatur perikehidupan. Kartosoewirdjo menyebut
periode ini sebagai sebagai periode “revolusi individu.” Para cerdik cendikia
sepertinya dan juga kadernya harus mendorong revolusi individu ini seraya
melakukan revolusi sosial. Konsep iman, jihad, hijrah yang kemudian menjadi
basis ideologi Darul Islam dalam mencapai Negara Islam Indonesia dan dia
sebagai imamnya. Dia bergerilya masuk hutan menentang pemerintahan yang
dipimpin Soekarno, negara yang kemerdekaannya juga dia perjuangkan.
Kartosoewirdjo selalu menghubungkan
apa yang terjadi di Indonesia dengan peristiwa yang menyertai hirah Nabi. Medio
1947, ketika mengumumkan “perang suci” menghalau Belanda, dia menyamakan dengan
proklamasi Nabi memerangi kaum Quraish. Begitu pula Revolusi Gunung Cupu pada
17 Februari 1948, dan terakhir proklamasi Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus
1949. Tegaknya Negara Islam di Indonesia bagi Kartosoewirdjo merupakan
satu-satunya cara untuk menghilangkan ketidakadilan dan meningkatkan kesejahteraan
hidup umat Islam. Oleh karena itu, dia menyatakan perang terhadap pemerintah
NKRI yang thaghutdan zalim, karena tidak menegakkan syariah Islam
walaupun kebanyakan mereka umat Muslim.
Sesungguhnya
ajaran substantif agama Islam melarang setiap bentuk terorisme, namun demikian,
beberapa kelompok teroris masih saja menyatakan bahwa tindakan mereka itu berdasarkan
tuntunan agama. Apabila ditelusuri lebih dekat bahwa orang-orang yang melakukan
pembantaian atau menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya adalah
orang-orang yang menyimpang. Mereka tidak mengetahui kebenaran agama dan tidak
mampu untuk hidup didalamnya, serta tidak mengerti akhlaq agama. Setiap orang
yang benar-benar percaya kepada keberadaan Allah, sungguh-sungguh takut
kepada-Nya, dan bersandar pada kitab yang telah diturunkan-Nya, tidak akan
pernah sanggup mengambil segala bentuk tindakan kekerasan untuk menyakiti
orang-orang tak bersalah. Karena itulah para pelaku tindakan terorisme dan para
pelaku kekerasan atas nama agama, tidak bisa dikatakan sebagai kelompok agama. Secara
tersirat pendapat ini menyatakan bahwa kekerasan atas nama agama tidak mungkin
dilakukan oleh orang beragama secara kaffah. Kekerasan atas nama agama
hanya bisa dilakukan oleh orang yang memahami agama secara partikular,
tekstual, rigid, kaku, dan simbolik.
Perjumpaan
keragaman yang ekstrem akan terjadi di mana saja dan kapan saja. Saat itu,
setiap pihak idealnya hadir dengan nilai-nilai keterbukaan, toleransi, dan
semangat kebersamaan sebagai umat manusia untuk menciptakan pribadi dialogis
yang utuh dan otentik, terbuka, dan disiplin. Dengan adanya pribadi dialogis
diharapkan dapat membentuk ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa,
persaudaraan sesama penduduk Indonesia) dan ukhuwah basyariyah(persaudaraan
sesama manusia, tanpa melihat latar belakang).
Perlu
upaya deradikalisasi atas nama agama yang harus dilakukan oleh pemerintah, LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) baik sebagai bagian dari upaya preventif maupun
represif. Organisasi Massa seperti Muhammadiyah dan NUjuga akan mampu menjadi
partner yang efektif guna menghilangkan pemahaman agama yang partikular,
tekstual, rigid, kaku, dan simbolik, sebagai bentuk pencegahan terjadinya
kekerasan dan juga pencegahan gerakan-gerakan neo-NII di era modern inimelalui
berbagai kegiatan seperti sosialisasi dan kampanye mengenai deradikalisasi
kepada masyarakat umum, pembinaan serta permberdayaan terhadap mantan pelaku
radikalisasi.
Partisipasi masyarakat dalam tindakan preventif secara umum perlu
ditingkatkan kembali. Meskipun kenyataannya DI/TII telah diberangus oleh
pemerintah, tapi tidak dipungkiri akan muncul Neo-DI/TII di era modern, dengan
nama yang berbeda, namun memegang ideologi dan aksi yang sama. Melalui sektor
pendidikan, para guru dan dosen dapat memberikan wawasan kekinian dengan cara
memberikan pembelajaran berbasis humanisme, toleransi, pluralitas, inklusif dan
multikulturalisme. Mengingat institusi pendidikan merupakan lahan subur penanaman
budi pekerti yang mulia. Jika dilihat dari kuantitas lembaga pendidikan, selain
pemerintah Muhammadiyah menjadi salah satu Ormas yang paling berperan dan
kooperatif dalam hal ini.
Transformasi
juga melibatkan para tokoh agama, mereka diharapkan mampu memberikan suatu
keteladanan dalam menyikapi suatu kemajemukan. Keteladanan bisa dilakukan dalam
bentuk ceramah agama agar masyarakat bisa arif dan bijaksana menghadapi
realitas keragaman etnis, suku, agama,
dan budaya. Mereka hendaknya menghindaritindakan provokatif mengenai perbedaan
golongan tertentu dalam setiap kegiatan ibadah yang diselenggarakan agama
tertentu, selanjutnya mereka juga dapat mengadakan dialog lintas agama, serta
mengadakan kegiatan sosial dengan melibatkan semua agama dan kepercayaan untuk
berpartispasi dalam kegiatan tersebut.
Sekali
lagi, kerja sama antara pemerintah, LSM, dan Organisasi Kemasyarakatanmenjadi
salah satu upaya yang efektif dan efisien dalam rangka pencegahan kekerasan
atas nama agama. Mereka harus bersinergi, bersatu demi mewujudkan Baladatun
Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur, Negeri yang damai dan dihidhai Allah SWT.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda