Minggu, 15 Juli 2018

Kekerasan DI/TII Atas Nama Siapa?


 Image result for DI/TII
Bukan lagi bambu runcing atau senapan, bukan hal yang tabu lagi main belakang seperti bully-bully-an atau culik-culikan. Bahkan eksistensi pelaku kekerasan dan kejahatan di hadapan publik pun ingin semakin diperlihatkan. Mungkin biar nge-hits, sambil membatin dan besorak,”Terima kasih media sosial!”. Ancaman kekerasan dan terorisme semakin menjadi di tempat-tempat publik dan ditunjukkan secara langsung tidak main-main. Tidak hanya menyasar masyarakat awwam sebagai tameng, melainkan juga semakin gencar menyerang aparat keamanan.  Tidak hanya masalah ekonomi, politik, dan sosial, namun motif agama disebut-sebut turut ambil bagian dari serentetan kasus kekerasan. Tentu publik tidak akan lupa dengan teror begal, klithih, bom Thamrin Januari 2016 lalu yang dengan frontalnya menyerang sebuah pos polisi atauaksi seruduk polisi di markasnya, aksi kekerasan terhadap pemeluk Ahamadiyah di Kota Bogor (2011) dan kekerasan serupa terhadap pemeluk Syiah di Sampang (2012).
Terorisme dan kekerasan saling berkaitan seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.  Dua hal tersebutdapat dilakukan oleh individu, maupun kelompok/golongan tertentu. Penyebab terjadinya kekerasanpun beragam, ada kekerasan yang sifatnya sebatas sensivitas golongan belaka, ada juga kekerasan karena motif ekonomi, sosial, politik,dn lain sebagainya. Dari sekian banyak kasus kekerasan yang mencuat, kekerasan atas motif agama menjadi isu yang paling cepat dan sensitif.
Berdasar pengamatan para ahli sosial, kekerasan atas nama agama bisa dilakukan oleh agama apapun, mulai dari agama Samawi(turun dari langit) seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, maupun agama Ardi (lahir di bumi) seperti Konfusianisme.Pertanyannya, kenapa hal itu bisa terjadi? Bukankah agama diciptakan oleh Tuhan untuk menebar kedamaian, kasih sayang, dan cinta kapada sesama makhluk-Nya?Bukankah dapat dipastikan bahwa setiap agama punya misi perdamaian? Adakah yang salah dengan agamanya, atau pengikutnya?
Kekerasan atas nama agama merupakan fenomena yang bisa dialami dan hampir pernah ditemukan dalam masyarakat dengan latar beragam, di kawasan manapun dan dalam lingkup seluas apapun. Tampaknya agama memang terbukti menjadi isu yang sangat politis untuk memicu konflik.
Katakanlah Indonesia. Teror ISIS menjadi isu yang masih hangat dan paling diburu saat ini terkait kejahatan fisik. Namun gerakan yang membawa misi mendirikan gerakan Islam secara radikal ini bukan yang pertama yang tercatat terjadi di Indonesia. Dalam sejarah berdirinya bangsa ini, pada tanggal 7 September tahun 1949 pernah diproklamasikanlah negara Islam oleh S.M Kartosoewirdjo. Awal mulanya dia mendirikan gerakan DI (Darul Islam)/TII (Tentara Islam Indonesia) yang kelak bermetamorfosa menjadi NII (Negara Islam Indonesia) di Jawa Barat sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, namun lama kelamaan gerakan ini menjadi gerakan politik untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia. Kartosoewirdjo dibaiat oleh para pengikutnya untuk menjadi Imam gerakan ini, kemudian dengan doktrin “politik hijrah” dia melakukan sejumlah pemberontakan dan perlawanan politisterhadap Belanda dan pemerintahan Indonesia. Pemberontakan tidak hanya terjadi di Jawa Barat, namun terdapat pula di Acehyang dikomandoi oleh Daud Beureueh dan Sulawesi Selatan  dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Mereka berdua tentunya melakukan upaya pemberontakan sebagai bentuk ketaatan kepada Imam, dan tentunya dibarengi dengan berbagai macam ambisi politi,s seraya menguatkan hegemoni, dominasi wilayah suci, serta identitas politik mereka.
            Arus politik identitas umat Islam, paling tidak melahirkan tiga bentuk kekerasan. Pertama, kekerasan fisik seperti pengerusakan, penutupan tempat ibadah seperti gereja dan masjid maupun tindakan kekerasan fisik lainnya yang menyebabkan obyek kekerasan tersebut menjadi terluka, trauma, maupun terbunuh. Kedua, kekerasan simbolik yang dapat berupa kekerasan semiotik seperti bentuk-bentuk tulisan atau ceramah-ceramah yang bernada melecehkan suatu agama. Ketiga, kekerasan struktural. Kekerasan yang dilakukan oleh negara, baik melalui perangkat hukum maupun aparatnya sendiri. Secara nyata, pemberontakan DI/TII setidaknya merepresentasikan kekerasan fisik dan kekerasan simbolik yang berakibat menghancurkan tatanan ruang, serta sosial.
            Akibat pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, pada periode 1953-1960 terdapat 22.895 korban yang tewas, 115.822 rumah hancur, dan negara dirugikan hampir Rp 650 juta. Dalam risalah persidangan, dinyatakan bahwa pemberontakan DI/TII mengganggu upaya pemerintah Orde Lama mencapai Tri-Program: Pemenuhan sandang-pangan, penjagaan kemanan, serta operasi perebutanIrian Barat.
            Pemberontakan Aceh yang dipimpin Daud Bareuruh menelan korban kurang lebih seribu orang. Menurut Internasional Crisis Group (ICG) lembaga penelitian yang berpusat di Belgia, pernah menaksir ongkos perang Aceh mencapai US $800 juta atau sekitar Rp 7 triliun, dan itu belum termasuk anggaran untuk memperbaiki sarana umum yang dirusak mortir, seperti tiang listrik, jalan, jembatan, sekolah, dan pasar.
            Tak hanya merugikan dalam hal ekonomi, perang Aceh juga berdampak buruk terhadap ekonomi provinsi lain. Menurut Martin Panggabean, “Perang berkelanjutan” bisa merusak kegiatan produksi di Aceh, pada gilirannya merusak rantai produksi antara Aceh dan provinsi lain. Aceh selama ini dikenal sebagai pemasok produk-produk primer (gas, kayu, dan  lai-lain) ke wilayah lain. Bila proses produksi terganggu, ekonomi Aceh jelas akan langsung terkena dampaknya. Kesulitan mendapatkan bahan mentah, misalnya diperkirakan akan melorotkan hasil produksi Aceh sampai 14 persen. Saat bersamaan, kerusakan akan menimpa Sumatera Utara. Apabila dikalkulasi, hasilnya akan berkurang 0,6 persen. Begitu pula dengan produksi Sumatera Barat, akan tepangkas 0,3 persen, dan Jambi 0,1 persen.
            Dampak peperangan juga telah menghambat pasokan bahan mentah dari Aceh ke wilayah lain. Akibatnya, produksi di seluruh daerah Sumatera diperkirakan akan anjlok hingga 11 persen. Dari semua daerah di Sumatera, Provinsi Sumatera Selatan-lahyang diperkirakan akan menanggung dampak terburuk bila perang berlangsung lama di Aceh, karena selama ini minyak dan gas dari Aceh mengalir kesana sebelum diekspor ke negara lain (Tempo: 2011).
Dampak pemberontakan atau perang tentunya sangat merugikan Provinsi, terutama negara dalam beberapa sektor. Hal ini dikarenakan doktrin mengenai wajibnya mendirikan negara Islam versi DI/TII didasari bahwa Islam sebagai simbol perjuangan politik yang dapat menyatukan berbagai kepentingan golongan masyarakat. Bagi mereka, Islam membawa misi kebenaran, keadilan, kesejahteraan dan membela kepentingan mereka yang tertindas. Bahkan perjuangan itu merupakan aktualisasi dari ajaran Islam, sehingga merupakan fitrah apabila mereka menjadikan ajaran Islam sebagai Way of Live. Sayangnya, pandangan tentang idealisme Islam disampaikan dengan cara-cara yang kurang santun dan ada beberapa doktrin agama diselewengkan untuk mencapai kekuasaan tertentu. Pemberontakan yang dilakukan oleh Kartosoewirdjo karena tidak mampu membedakan fenomena Islam sebagaidoktrin(Islamics), dan fenomena ketika doktrin itu masuk, kemudian berproses dalam sebuah masyarakat-kultural (Islamicate), lalu mewujudkan diri dalam konteks sosial-sejarah tertentu, serta ketika Islam menjadi sebuah fenomena dunia Islam yang berpositif dalam lembaga-lembaga negara (Islamdom). Pencampuran terma Islamics, Islamicate, dan Islamdomtentunya akan sangat bias dan utopis jika diaktulisasikan dalam konsep negara bangsa (Nation State) sebagaimana yang dilakukan oleh Kartosoewirdjo.
            Dalam buku Haluan Politik Islam (1946), Kartosoewirdjo membayangkan sebuah negara yang damai senstosa dan hukum Tuhan tegak mengatur hajat hidup orang banyak, dengan nama Negara Islam Indonesia. Untuk mencapainya, menurut dia dibutuhkan dua tahap revolusi. Tahap pertama adalah revolusi nasional, yaitu pengusiran penjajah dari bumi Indonesia. Revolusi ini selesai pada 1945 ketika Soekarno-Hatta memprokalmasikan kemerdekaan. Setelah itu, masuk revolusi tahap kedua, yakni “revolusi sosial.” Pada masa inilah Indonesia harus berada di jalan Tuhan dengan mencontoh perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad.
            Dia menyamakan kondisi Makkah sebelum Nabi Hijrah dengan Indonesia sebelum 1945: Jahiliyah, tak ada tuntunan, dijajah dan diperangi ideologi lain. Nabi pun hijrah Madinah untuk mencapai kegemilangan. Di Madinah umat muslim mencapai masa keemasan. Agar Indonesia sama seperti periode Madinah, menurut Kartosoewirdjo, rakyat Indonesia juga harus hijrah di semua lini: politik, sosial, ekonomi. Caranya dengan jihad fisabilillah, bukan jihad fillah atau jihad yang mengekang hawa nafsu. Jihad itu, menurut Kartosoewirdjo, harus dirumuskan dan dilakukan secara cermat di semua sektor. Karena jihad adalah menegakkan hukum Tuhan yang sulit, dan bertempur dengan ideologi-ideologi lain, satu-satunya jalan adalah berperang. “Perang menghadapi negara Pancasila menjadi wajib hukumnya.” Tulisnya dalam Perdjalanan Soetji Isra’ dan Mi’raj Rasoeloellah (1953).
            Sebelum bisa berjihad dan hijrah, rakyat Indonesia harus beriman terlebih dahulu, yakin bahwa hukum-hukum Allahadalah hukum terbaikuntuk mengatur perikehidupan. Kartosoewirdjo menyebut periode ini sebagai sebagai periode “revolusi individu.” Para cerdik cendikia sepertinya dan juga kadernya harus mendorong revolusi individu ini seraya melakukan revolusi sosial. Konsep iman, jihad, hijrah yang kemudian menjadi basis ideologi Darul Islam dalam mencapai Negara Islam Indonesia dan dia sebagai imamnya. Dia bergerilya masuk hutan menentang pemerintahan yang dipimpin Soekarno, negara yang kemerdekaannya juga dia perjuangkan.
            Kartosoewirdjo selalu menghubungkan apa yang terjadi di Indonesia dengan peristiwa yang menyertai hirah Nabi. Medio 1947, ketika mengumumkan “perang suci” menghalau Belanda, dia menyamakan dengan proklamasi Nabi memerangi kaum Quraish. Begitu pula Revolusi Gunung Cupu pada 17 Februari 1948, dan terakhir proklamasi Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949. Tegaknya Negara Islam di Indonesia bagi Kartosoewirdjo merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan ketidakadilan dan meningkatkan kesejahteraan hidup umat Islam. Oleh karena itu, dia menyatakan perang terhadap pemerintah NKRI yang thaghutdan zalim, karena tidak menegakkan syariah Islam walaupun kebanyakan mereka umat Muslim.
Sesungguhnya ajaran substantif agama Islam melarang setiap bentuk terorisme, namun demikian, beberapa kelompok teroris masih saja menyatakan bahwa tindakan mereka itu berdasarkan tuntunan agama. Apabila ditelusuri lebih dekat bahwa orang-orang yang melakukan pembantaian atau menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya adalah orang-orang yang menyimpang. Mereka tidak mengetahui kebenaran agama dan tidak mampu untuk hidup didalamnya, serta tidak mengerti akhlaq agama. Setiap orang yang benar-benar percaya kepada keberadaan Allah, sungguh-sungguh takut kepada-Nya, dan bersandar pada kitab yang telah diturunkan-Nya, tidak akan pernah sanggup mengambil segala bentuk tindakan kekerasan untuk menyakiti orang-orang tak bersalah. Karena itulah para pelaku tindakan terorisme dan para pelaku kekerasan atas nama agama, tidak bisa dikatakan sebagai kelompok agama. Secara tersirat pendapat ini menyatakan bahwa kekerasan atas nama agama tidak mungkin dilakukan oleh orang beragama secara kaffah. Kekerasan atas nama agama hanya bisa dilakukan oleh orang yang memahami agama secara partikular, tekstual, rigid, kaku, dan simbolik.
Perjumpaan keragaman yang ekstrem akan terjadi di mana saja dan kapan saja. Saat itu, setiap pihak idealnya hadir dengan nilai-nilai keterbukaan, toleransi, dan semangat kebersamaan sebagai umat manusia untuk menciptakan pribadi dialogis yang utuh dan otentik, terbuka, dan disiplin. Dengan adanya pribadi dialogis diharapkan dapat membentuk ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa, persaudaraan sesama penduduk Indonesia) dan ukhuwah basyariyah(persaudaraan sesama manusia, tanpa melihat latar belakang).
Perlu upaya deradikalisasi atas nama agama yang harus dilakukan oleh pemerintah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) baik sebagai bagian dari upaya preventif maupun represif. Organisasi Massa seperti Muhammadiyah dan NUjuga akan mampu menjadi partner yang efektif guna menghilangkan pemahaman agama yang partikular, tekstual, rigid, kaku, dan simbolik, sebagai bentuk pencegahan terjadinya kekerasan dan juga pencegahan gerakan-gerakan neo-NII di era modern inimelalui berbagai kegiatan seperti sosialisasi dan kampanye mengenai deradikalisasi kepada masyarakat umum, pembinaan serta permberdayaan terhadap mantan pelaku radikalisasi.
Partisipasi masyarakat dalam tindakan preventif secara umum perlu ditingkatkan kembali. Meskipun kenyataannya DI/TII telah diberangus oleh pemerintah, tapi tidak dipungkiri akan muncul Neo-DI/TII di era modern, dengan nama yang berbeda, namun memegang ideologi dan aksi yang sama. Melalui sektor pendidikan, para guru dan dosen dapat memberikan wawasan kekinian dengan cara memberikan pembelajaran berbasis humanisme, toleransi, pluralitas, inklusif dan multikulturalisme. Mengingat institusi pendidikan merupakan lahan subur penanaman budi pekerti yang mulia. Jika dilihat dari kuantitas lembaga pendidikan, selain pemerintah Muhammadiyah menjadi salah satu Ormas yang paling berperan dan kooperatif dalam hal ini.
Transformasi juga melibatkan para tokoh agama, mereka diharapkan mampu memberikan suatu keteladanan dalam menyikapi suatu kemajemukan. Keteladanan bisa dilakukan dalam bentuk ceramah agama agar masyarakat bisa arif dan bijaksana menghadapi realitas keragaman etnis,  suku, agama, dan budaya. Mereka hendaknya menghindaritindakan provokatif mengenai perbedaan golongan tertentu dalam setiap kegiatan ibadah yang diselenggarakan agama tertentu, selanjutnya mereka juga dapat mengadakan dialog lintas agama, serta mengadakan kegiatan sosial dengan melibatkan semua agama dan kepercayaan untuk berpartispasi dalam kegiatan tersebut.
Sekali lagi, kerja sama antara pemerintah, LSM, dan Organisasi Kemasyarakatanmenjadi salah satu upaya yang efektif dan efisien dalam rangka pencegahan kekerasan atas nama agama. Mereka harus bersinergi, bersatu demi mewujudkan Baladatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur, Negeri yang damai dan dihidhai Allah SWT.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda