Minggu, 29 April 2012

Tafsir surat Al-Hujarat:6



BAB I
PENDAHULUAN
Tafsir merupakan suatu upaya, dengan cara mencurahkan segenap pikiran untuk mengetahui maksud ayat Quran yang dilakuakan oleh manusia. Corak tafsir pun bermacam-macam, ada yang mendasarkan tafsirnya pada riwayat dari sahabat, tabiin, atau tabi at tabi’in. Kemudian ada pula yang mendasarkan tafsirnya pada dirayah (akal). Dan yang terakhir corak penafsiran yang mendasarkan pada isyarah (tanda), tafsir ini merupakan karya dari sufi-sufi yang berusaha menafsirkan suatu ayat dengan perasaan yang dilalui setelah melakukan berbagai riyadhah (upaya pendekatan pada Allah dengan cara melakukan ibadah).
Dengan adanya berbagai macam corak tafsir yang ditulis oleh para ulama, secara langsung maupun tidak langsung menunjukkan pada kita bahwa kandungan ayat Quran bersifat general (umum). Jika ayat-ayat Al Quran sudah rinci, maka tidak dibutuhkan lagi sebuah interpretasi (penafsiran). Pada kenyataannya, penafsiran yang ada pada zaman dahulu maupun pada saat ini mengalami berbagai macam perbedaan. Yang mana perbedaan tersebut lahir bukan karena didorong oleh hawa nafsu yang ada pada masing-masing penafsir, melainkan karena cara pengambilan metode yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan, bahwa agama islam sangat mentoleransi suatu perbedaan yang diutarakan oleh masing-masing penafsir. Tentunya perbedaan yang ditoleransi disini bukan perbedaan maslah ushuliyah (pokok agama, seperti keimanan, dll), melainkan masalah furu’iyah (cabang agama, seperti menentukan ibadah yang bersifat muamalah, ibadah, dll).
Ayat Al Quran memberi pedoman dan tuntunan pada manusia dalam berbagai aspek, misal pilitik, ekonomi, sosial, budaya, dll. Salah satu tuntunan yang dibahas oleh Al Quran adalah masalah hukum, banyak ayat Al Quran yang menjelaskan tentangaspek-aspek hukum, baik yang sifatnya pidana atau pun perdata.Tentunya ayat yang berkaitan dengan hukum tersebut tidak lepas dari aspek penafsiran seorang mufassir yang menyebabkan timbulnya beragam tafsir.
Pada pembahasan kali ini, kami sebagai penyusun makalah akan menjabarkan Q.S Al Hujraat ayat 6. Pada ayat tersebut menekankan pentingnya meneliti berita-berita yang kita dapatkan dari orang lain. Jangan sampai berita yang dapatkan kita terima bergitu saja tanpa adanya proses tabayun (uji keakuaratan suatu berita)  terlebih dahulu. Dengan adanya tabayun, maka kita bisa bisa selamat dari berbagai ucapan yang disampaiakan oleh orang lain.
Pembahasan tafsir ahkam ini akan kami ambil dari beberapa buku refrensi tafsir yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, ataupun yang merupakan karya mufassir Indonesia. Adapun yang berasal dari Indonesia yaitu tafsir Al Azhar, jilid 13 karya M Quraish Shihab, tafsir Bayaan, jilid 4 karya T.M Hasbi Ash Shidieqy. Kemudian tafsir lain yang merupakan terjemahan ulama besar dari luar Indonesia yaitu terjemahan tafsir Ahkam karya Ali Ash Shabuni, jilid 3, dan terjemahan tafsir Ibnu Katsir, jilid 7. Tidak lupa pula kami mencantumkan buku khusus yang membahas Asbabun Nuzul (latar belakang historis turunnya ayat-ayat Al Quran) yang merupakan karya Q. Saleeh, A.A Dahlan, dan M.D dahalan.
Jika ada perbedaan pada tafsir diatas bukanlah untuk menunjukkan siapa yang benar,dan siapa yang salah, atau siapa yang menang, dan siapa yang kalah. Tafsir adalah upaya pendekatan terhadap makna-makna yang terkandung dalam Al Quran. Untuk benar dan tidaknya suatu penafsiran dibutuhkan penelitian terhadap metode yang digunakan oleh masing-masing mufassir. Seorang mufassir tidak boleh mengatakan bahwa pendapatnyalah yang mutlaq benar, dan pendapat lain dianggap salah. Masing-masing mufassir boleh berpendapat, asalkan pendapatnya itu dapat diuji secara ilmiah.
Mudah-mudahan dengan adanya kajian ini bisa menambah wawasan kita dalam bidang tafsir. Sebagai manusia yang tidak sempurna dan penuh kesalahan, kami menerima kritik dan saran bagi perkembangan dan kemajuan bagi masing-masing diri kami.

BAB II
                                                PEMBAHASAN
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
 “Wahai orang-orang yang beriman, Jika ada seorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita, maka carilahberita itu supaya kamu (tidak) menimpakan tuduhan kepada suatu kaum dengan kebodohan, akibatnya kamu akan menyesal terhadap apa yang kamu perbuat”.(Q.S Al Hujurat: 6)
A. Sababun Nuzul[1]
Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Harits bin Dhirar al-Khuza’i, ia mengatakan: Aku datang ke tempat Rasulullah SAW. Lalu aku diajak masuk islam, maka aku pun menyambut ajakan itu, dan aku menyatakan ikrar. Lalu aku diseru untuk mengeluarkan zakat, maka akupun berikrar untuk menunaikan. Dan aku juga berkata: “Ya Rasulullah! Aku akan kembali ke kaumku, untuk mengajak mereka masuk islam dan menunaikan zakat, maka siapa yang menyambut ajakkanku ini, zakatnya akan kumpulkan dan mungkin juga akan dikirim kepadaku yang selanjutnya hasil yang kukumpulkan itu akan kubawa kepadamu, ya Rasulullah”.
Setelah al-Harits menghimpun zakat dari orang-orang yang menerima seruannya itu, dan waktu yang ditetapkan untuk dikirim kepada Rasulullah SAW pun telah tiba, tiba-tiba utusan yang akan mengambil itu tertahan, tidak bisa datang, sehingga al-Harits menduga terjadi sesuatu hal yang menyebabkan Allah dan Rasul-Nya marah, lalu ia memanggil tokoh-tokohkaumnya seraya berkata pada mereka: Rasulullah SAW memberikan waktu kepadaku, bahwa utusannya akan datang ketempat kita buat mengambil harta zakat, dan Rasulullah tidak mungkin bedusta, sedang aku yakin, bahwa tertahnnya utusan itu pasti karena Allah dan Rasul-Nya murka kepadaku. Oleh karena itu marilah kita pergi bersama-sama ketempat Rasulullah SAW.
Cerita lenkapnya sebagai berikut: Rasulullah SAW mengutus al-Walid bin ‘Uqbah ke tempat al-Harits untuk mengambil zakat yang telah dikumpulkannya. Tetapi setelah al-Walid pergi, tiba-tiba di tengah jalan ia merasa takut lalu kembali. Dalam keterrangannya kepada Rasulullah SAW, al-Walid mengatakan, bahwa ia kembali karena dia dihalang-halangi oleh al-Harits untuk memungut zakat tersebut, dan dia diancam akan dibunuh. Lalu Rasulullah SAW mengirimkan sepasukan tempur ketempat al-Harits. Ditengah perjalanan pasukan ini bertemu dengan golongan Harist yang tadi telah bergerak meninggalkan tempatnya. Mereka mengatakan: Ini, kan Harits. Harits pun kemudian bertanya: “Kalian hendak kemana?” Mereka menjawab: “Ke tempatmu”. Harits bertanya lagi: “Untuk keperluan apa”?Mereka menjawab: “Nabi SAW telah mengutus al-Walid bin ‘Uqbah ketempatmu untuk mengambil zakat yang engaku himpun, tetapi dia merasa bahwa engkau menghalanginya, bahkan engkau hendak membunuhnya”. Maka jawab al-Harits: “Tidak, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan benar, sungguh aku tidak melihat al-Walid dan ia pun tidak pernah datang ketempatku. Setelah Harits masukke tempay Nabi SAW, beliau pun segera bertanya: Betul engkau telah menghalang-halangi al-Walid untuk memungut zakat dan engkau hendak membunhnya?” Harits menjawab: “Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, aku tidak melihatnya dan ia pun tidak pernah datang ketempatku. Kini aku datang adalah karena utusanmu itu tidak datang ketempatku, dan aku khawatir kalau-kalau hal itu memang karena murka Allah dan Rasul-Nya kepadaku”.
Begitulah, lalu turun ayat  “Hai orang-orang yang beriman! Jika ada seseorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita maka carilah kebenaran berita itu....[2]
Imam Fakhrur Razi berkata: Apa yang dikatakan oleh para penafsir (mufassirin), bahwa ayat tersebut diturunkan  berkenaan dengan kasus al-Walid bi ‘Uqbah, ketika diutus Nabi SAW ke Bani Musthaliq untuk memungut zakat mereka....dan seterusnya itu, jika yang dimaksud oleh mereka itu, bahwa ayat ini diturunkan untuk umum, buat menerangkan keharusan mencari pembuktian berita yang dibawa oleh seorang fasiq, dan tujuan mereka, bahwa ayat tersebut diturunkan semata-mata karena kasus tersebut, maka itu adalah lemah (alias tidak betul), karena al-Walid sendiri tidak bermaksud berbuat jahat kepada mereka. Riwayat Ahmad itu, hanyalah untuk menunjukkan karena waktu itu al-Walid betul-betul takut lalu dia lari karena melihat rombongan Harits itu hendak membunuhnya. Itulah sebabnya, maka ia pun kemudian kembali dan menyampaikan kepada Rasulullah SAW-menurut prasngkanya-rombongan al-Harits keluar hendak memeranginya.
Selanjutnya Imam Fakhrur Razi berkata: Alasan yang menunjukkan, ketidakbenaran anggapan, bahwa ayat tersebut diturunkan untuk sesuatu ialah, bahwa Allah SWT tidak pernah mengatakan: “Ayat ini Ku-turunkan untuk sesuatu perkara, dan Rasulullah SAW pun tidak pernah menerangkan ayat ini untuk menerangkan suatu kasus/ pekara ini saja. Yang betul, bahwa ayat ini untuk diturunkan berkenaan sesuatu kasus yang terjadi ketika itu. Ini adalah ibarat sejarah turunnya ayat. Yang memperkuat alsan kami itu, ialah digunakan kata-kata “fasiq” untuk al-Walid, adalah suatu hal yang jauh sekali, karena dia sekedar salah duga dan keliru sangka. Sedang orang yang keliru, jelas tidak dinamakan fasiq. Mengapa tidak, karena berapa banyak kata fasiq dalam Al Quran, adalah yang dimaksud yaitu orang-orang yang menentang ajaran iman, misalnya firman Allah:
“Sesunggunya Allah tidak menunjukkankaum yang fasiq”
“Lalu syetan itu fasiq, dengan menetang perintah Tuhan-nya”
“Adapun orang-orang  fasiq itu tempatnya adalah neraka”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa.[3]

B.TAFSIR AYAT
Ayat ini turun, memberikan penjelasan bagi umat manusia semuanya untuk selalu tabayun dalam segala berita yang disampaikan oleh orang muslim maupun non muslim. Kemudian ayat ini menyuruh kita berhati-hati dalam menindakkan sesuatu yang akibatnya tidak dapat diperbaiki (perkataannya banyak menimbulkan kerusakkan), supaya tidak ada pihak atau kaum yang dirugikan, dtimpa musibah atau bencana ysng disebabkan berita yang belum pasti kebenarannya, sehingga menyebabkan penyesalan yang terjadi[4]. Ayat ini menolak berita orang-orang fasiq dan mensyaratkan keadilan,baik dia perawi ataupun saksi, dan membolehkan kita menerima khabar seorang yang adil[5]. Secara historis, bahwa yang melakukan perbuatan fasiq dalam ayat tersebut adalah orang muslim[6], sehingga tidak ada jaminan bahwa jika seseorang telah memeluk agama islam telah berlaku baik dalam segala aspek.
Kata yaa ayyuhal ladzina amanu merupakan kata panggilan (nida’), disini diartikan wahai orang-orang yang beriman, untuk menggugah mustami’nya (pendengarnya), bahwa sesudah panggilan itu ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dengan serius. Sedang dipergunakan kata “alladzina amanu” (orang-orang yang beriman) sebagai sifat khusus, adalah untuk menyadrkan mereka akan keimanan mereka itu, sekaligus merupakan seruan supaya mempertahankan identitasnya sebagai mukmin, jangan sampai iman ini lepas dari hatinya. Demikian, sebagaimana dikatakan oleh al-‘allamah Abu Su’ud[7].
 Perkataan “Jika ada seorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita” itu merupakan isyarat yang lembut, bahwa seorang mukmin haruslah benar-benar sadar, jangan mudah menerima omongan orang tanpa diketahui terlebih dahulu sumbernya. Disebutnya kata “fasiq”, yang berasal dari kata fasaqa, biasa digunakan untuk melukiskan buah yang telah rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya. Seorang yang durhaka adalah orang yang keluar dari koridor agama. Disebutkan diatas dengan bentuk nakirah (tanpa alif-lam) untuk menunjukkan umum. Karena bentuk nakirah dalam konteks syarat[8]adalah sama dengan nakirah dalam konteks nafi, yaitu menunjukkan umum.Sebagaimana ditetapkan oleh para ulama ushul fiqh. Jadi maksud kalimat tersebut ialah “siapa saja orang munafiq yang datang kepadamu......” Disitu dipergunakan kata “in” (jika) yang menunjukkan keragu-raguan (tasykik), tidak dipergunakan kata “idzaa” (apabila) yang menunjukkan kepastian (tahqiq), untuk memberi isyarat, bahwa terjadinya peristiwa ini agak langka, dianggap sebagai suatu kebetulan. Sebab prinsip seorang mukmin haruslah jujur (apalagi mereka adalah seorang sahabat, tentunya mempunyai keimanan yang lebih tinggi daripada generasi penerusnya), juga dikerenakan orang-orang fasik mengetahui bahwa kaum beriman tidaklah mudah dibohongi dan bahwa mereka akan meneliti kebenaran setiap informasi, sehingga seorang fasik dapat dipermalukan dengan kebohongannya[9]. Tetapi setelah terjadi kasus seorang sahabat Nabi memberitakan sesuatu dengan dusta seperti yang dilakukan oleh al-Walid bin ‘Uqbah, dan itu pun langka terjadi dikalangan para sahabat, maka diturunkanlah ayat tersebut dengan mempergunakan kata “in”, suatu huruf syarat yang berarti ragu-ragu[10].
Kata naba’ digunakan dalam arti berita penting . Berbeda dengan kata khabara yang berarti khabar secara umum, baik penting maupun tidak. Dari sini terlihat perlunya memilah informasi. Apakah itu penting atau tidak, dan memilah pula pembawa informasi apakah dapat dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi dari siapa pun yang tidak penting, bahkan didengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak energi dan waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting[11].
Kata bi jahalah dapat berarti tidak mengetahui, dan dapatjuga diartikan serupa dengan makna kejahilan yakni perilaku seseorang yang kehilangan kontrol dirinya sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara maupun kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai Ilahi[12].
Ayat diatas merupakan salah satu dasar yang dietapkan agama dalam kehidupan sosial sekaligus ia merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan pengalaman suatu berita Kehidupan manusia dan interkasinya haruslah didasarkan hahl-hal yang diketahui dengan jelas. Manusia sendiri tidak dapat menjangkau seluruh informasi, karena itu ia membutuhkan pihak lain. Pihak lain itu ada yang jujurdan memiliki integritas sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang benar, dan adapula sebaliknya. Karena itu pula berita harus disaring , khawatir jangan sampai seseorang melangkah tidak dengan jelas atau dalam bahasa ayat diatas bi jahalah. Dengan kata lain, ayat ini menuntut kita untuk menjadikan langkah kita berdasarkan pengetahuan sebagai lawan dari kebodohan, disamping melakukannya berdasar pertimbangan logis dan nilai-nilai yang ditetapkan Allah SWT sebagai lawan dari makna kedua jahalah[13].
Penekanan pada kata fasiq bukan pada semua penyampai berita, karena ayat ini turun ditengah masyrakat muslim yang cukup bersih, sehingga bila semua penyampai berita harus diselidiki kebenaran informasinya, maka ini akan menimbulkan keraguan ditengah masyarakat muslim dan pada gilirannya akan melumpuhkan masyarakat. Namun demikian, perlu dicatat bahwa bila dalam suatu masyarakatsulit dilacak sumber pertama dari suatu berita, sehingga tidak diketahui apakah penyebarannya fasik atau bukan, atau bila dalam masyarakat telah sedemikian banyak orang-orang yang fasik, maka ketika itu berita apapun penting, tidak boleh begitu saja diterima. Dalam konteks sayyidina Ali ra berkata: ”Bilakebaikan meliputi suatu masa beserta orang-orang dalamnya, lalu seseorang berburuksangka terhadap orng lain yang belum pernah melakukan cela, maka sesungguhnya ia telah mendzalimnya. Tetapi apabila kejahatan telah meliputi suatu masa disertai banyaknya yang berlaku zalim, lalu seseorang berbaik sangka terhadap orang yang belum dikenalnya, maka ia akan mudah tertipu”[14].
Perlu dicatat bahwa banyaknya orang yang mengedarkan informasi atau isu bukan jaminan kebenaran informasi itu. Banyak faktor yang harus diperhatikan.
Dahulu ketika ulama menyeleksi informasi para perawi hadist-hadist Nabi salah satu yang diperbincangkan adalah penerimaan riwayat yangdisampaikan oleh sejumlah orang yang dinilai mustahil menurut kebiasaan mereka sepakat untuk berbohong, atau yang diistilahkan dengan mutawatir. Ini diakui oleh semua pakar, hanya masalahnya jumlah yang banyak itu harus memenuhi syarat-syarat. Boleh jadi orang banyak itu tidak mengerti persoalan, boleh jadi juga mereka telah memiliki asumsi dasar yang keliru. Di sini, sebanyak apapun yang menyampaikannya tidak menjamin jaminan kebenarannya.
Kata tushbihu pada mulanya berarti masuk diwaktu pagi. Ia kemudian diartikan menjadi. Ayat diatas mengisyaratkan bagaimana sikap seorang beriman dikala melakukan satu kesalahan. Mereka, oleh akhir ayat diatas dilikiskan sebagai fa tushbihuu ‘alaa maafa’altum naadimiin yakni segera dan berpagi-pagi menjadi orang-orang yang penuh penyesalan[15].

C. HUKUM
1)Bolehkah berita seseorang itu diterima, kalau dia itu adil?
Berdasarkan Surah al hujurat ayat 6, dapat disimpulkan bahwa orang disebut adil jika dilihat dari dua sisi[16]:
Pertama, bahwasannya Allah memerintahkan mengecek pemberitaan orang fasiq. Seandainyapemberitaan seorang yang adil itu tidak bisa diterima, maka sudah barang tentu tidak ada artinya seruan pengecekan itu, tokoh kedua pemberitaan si fasiq dan seorang yang adil itu tidak bisa diterima. Tetapi oleh karena ada pemberitaan orang fasiq, maka otomatis pemberitaan seorang yang adil itu haruslah diterima. Beristidlal semacam itu sebagai yang dikatakan para ulama ahli ushul fiqih, disebut “mafhum mukhalafah” (faham kebalikannya).
Kedua, alasan ditolaknya pemberitaan itu adalah karena kefasiqannya, sebab pemberitaan adalah suatu amanat. Sedang kefasiqan itu sendiri sudah menghilangkan sifat amanat itu. Jadi jika ilat (alasan) itu sudah tiada, maka penolakan untuk tidak diterimanya pemberitaan seorang adil itu tidak bisa. Denagn demikian, maka berarti pemberitaan seorang adil itu tidaklah tertolak, alias bisa diterima dan diamalkan.
Ketika ada seseorang yang belum dikenal kefasiqannya (majhul), menurut ulama hanafiyah bisa diterma ataupun tidak. Jika sudah tidak ada sifat kefasiqan, maka boleh diterima. Karena yang disinggung pada ayat diatas adalah sifat fasiq seorang muslim, bukan individu orang. Adapun beberapa ulama tidak memperbolehkan pengambilan berita terhadap orang yang tidak dikenal. Karena kebanyakan orang pada saat ini bersifat fasiq sampai dia bisa membuktikan bahwa dia bukan orang fasiq.
2) Apakah keadilan para sahabat itu masih perlu dibuktikan?
Berdasarkan ayat yang ada diatas, sebagian ulama mengatakan ada beberapa sahabat yang tidak adil, karena ayat tersebut ditujukan kepada al-Walid (sahabat Nabi). Sehingga dengan adanya ayat tersebut menunjukkan kepada orang muslim sesudahnya agar mengetahui ada beberapa sahabat yang tidak adil.
Adapun pendapat ulama mengenai sifat para sahabat[17]:
a) Semua sahabat itu adil, sehingga tidak perlu dicari kebenarannya. Ini merupakan riwayat ulama salaf dan khalaf.
b) Para sahabat itu merupakan manusia biasa yang harus dicari terlebih dahulu keadilannya sebelum mengambil berita.
c) Para sahabat itu adil sampai pada kurun Utsman r.a, setelahnya kurun waktunya  perlu dicek kembali kebenarannya. Ini merupakan pendapat sebagian ulama.
d) Para sahabat itu semuanya adil, kecuali orang-orang yang membunuh Ali r.a, dan yang memberontak Ali sebagai imam yang sah. Ini merupakan pendapat ulama Mu’tazilah.[18]
Maka dari masing-masing pendapat diatas yang paling kuat adalah pendapat jumhur salaf dan khalaf, semua sahabat adalah adil karena sering bergaul dengan Nabi. Sesuai dengan firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al Baqarah: 143)
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)
3) Apakah kesaksian seorang fasiq itu bisa diterima?
Dalam hal ini ulama telah bersepakat, bahwa kesaksian seorang yang fasiq tidak dapat diterima dalam permasalahan agama, seperti periwayatan hadistn hukum-hukum,dll. Ayat diatas telah sangat jelas menjelaskan ketidak bolehan menerima kesaksian orang fasiq. Dikhawatirkan mereka akan menyelewengkan amanat.
Al-Qurtubi berkata: Barangsiapa yang sudah jelas-jelas fasiq, maka berdasarkan ijma’ ulama omongannya itu sia-sia belaka (bathil), sebab pemberitaaan itu suatu amanat, sedang kefasiqan telah meniadakan amanat itu[19]. Adapun dalam masalah muamalat, para ulama masih berbeda pendapat yang tidak perlu ada kesaksian untuk orang lain, misal[20]:

a) Pengakuan terhadap dirinya sendiri, umpamanya dia mengatakan: uang fulan ditempat saya sebanyak 100 dinar. Pengakuan tersebut haruslah diterima, sama halnya pengakuan orang kafir. Karena dalam permasalahan seperti ini tidak diperlukan suatu keadilan.
b) Perihal hadiah dan wakalah, misal dia mengatakan: “si fulan memberimu hadiah barang ini, si fulan mewakilkan aku untuk menjualkan hambanya ini. Perkataannya seperti itu bisa diterima. Jadi hadiah tersebut boleh diterima, dan perwakilan penjualan dapat dibelinya.
Tentang masalah kewalian oleh para ulama masih diperselisihkan apakah orang fasiq itu bisa jadi wali atukah tidak. Adapun pendapat dari masing-masing ulama:
a) Menurut Imam Syafi’i dan lain-lain, bahwa seorang tidak boleh menjadi wali nikah, justru perilakunya yang kurang baik itu, yang kadang-kadang membahayakan orang yang dinikahkan, lantaran kefasqannya.
b) Imam Abu Hanifah membenarkan dan mengesahkannya, karena dia bisa menjadi wali (pengurus) bagi harta perempuan, maka dia pun bisa menjadi wali (pengurus) bagi diri perempuan tersebut, yang tak ubahnya denagn orang yang adil. Dia itu-sekalipun fasiq-namun tetap bercemburu, yang dengan kecemburuannya dia akan tetap melindungi perempuan, bahkan kadang-kadang dia bisa saja loyal terhadap harta, tetapi dalam masalah harta tetap disiplin. Kalau dalam soal harta saja bisa (bisa jadi wali/ pengurus harta) maka dalam soal perkawinan lebih bisa[21]
4) Apakah kewalian seorang fasiqbisa dipandang sah?
Dalam hal ini Ibnu Arabi: berkata: Yang mengherankan mengapa justru Imam Syafi’i membolehkan, tetapi dalam hal keimamahan orang fasiq ia masih menjadi alternatif, padahal orang yang tidak boleh diamanati barang sebiji, bagaimana mungkin bisa diamanati barang satu kuintal? Ini, tidak lain adalah karena asalnya para penguasa itu shalat bersama orang banyak, lalu setelah keagamaan mereka rusak, shalat dibelakang mereka pun tidak bisa ditinggalakan dan tidak bisa dihilangkan, akhirnya shalat pun tetap dilakuakn oleh mereka. Seperti yang pernah dikatakan oleh Utsman: Shalat adalah sebaik-sebaik pekerjaan manusia, maka apabila mereka itu baik, tetapi apabila mereka itu jelek, maka hindarilah kejelakan mereka itu[22].
Kemudian diantara manusia itu ada yang shalat dibelakang mereka lantaran takut, maka mereka pun kemudian mengulangi shalatnya karena Allah. Sementara ada pula yang shalat betul-betul. Tetapi bagi saya (Ali As Shabuni) sendiri cenderung pada pendapat yang mengatakan wajib mengulangi shalatnya. Sebab tidak ada keharusan bagi seseorang untuk meninggalakan shalat dengan orang yang tidak disukai keimamamnnya, tetapi dia harus mengulangi sendiri secara sirri. Shalat semacam itu tidak pula mengganggu orang lain[23].
Adapun mengenai keputusan hukumnya, kalau dia sebagai wali (penguasa), maka hukumnya itu harus dilaksanakan selama sesuai denagn ketentuan hukum yang benar, tetapi kalau menyalahi kebenaran haruslah ditolak. Sedang hukum yang telah ditandatangani itu tidak boleh dibatalkan sama sekali. Anda sekalian (pembaca) jangan terpesona oleh pendapat lain, baik tentang masalah riwayat yang diriwayatkannya ataupun sesuatu omonagan yang diceritakannya, sebab omongan itu memang banyak, sedang kebenaran itulah yang pasti nampak[24].


KESIMPULAN
Islam menyerukan dan mengadakan pengecekan setiap berita, serta selalu berhati-hati dalam setiap permaslahan yang menyangkut kaum muslimin, supaya mereka terhindar dari ketergelinciran yang sengaja dipasang oleh musuh-musuh islam, dan supaya persoalan mereka itu menjadi gamblang. Sebab berapa banyak fitnah yang dinyalakan oleh manusia-manusia sakit hati yang tidak senang melihat umat ini dalam kondisi yang baik, yang dalam hatinya selalu tersembunyi setiap kejahatan dan fitnah, guna menghancurkan kaum muslimin dan memprak-porakandakan kesatuan mereka serta mengotori kejernihan kegembiraan mereka.
Untuk itulah, maka islam memerintahkan suatu prisip yang agung dan mulia, yaitu penelitian dan mendeteksi setiap berita, lebih-lebih bersumber dari orang fasiq yang tidak mau menghargai kehormatan agama dan tidak menghiraukan akan akibat kedustaannya itu yang justru akan , membawa bahaya yang mengancam dan dampak yang mengerikan, yaitu dapat melumpuhkan dinamika masyarakat; dan kadang-kadang menjurus pada bala’ yang dahsyat yang pada gilirannya akan membawa kematian dan menghancurkan manusia-manusia baik, seperti yang terjadi dalam kasus al-Walid bin ‘Uqbah, seandainya tidak segera Allah memberi tahukan kepada Rasul-Nya melalui wahyu-Nya tentang duduk persoalan sebenarnya.
Maka dengan adanya ayat ini, seharusnya menjadikan pelajaran bagi kita untuk selalu berhati-hati dalam menerima suatu informasi, agar selalu waspada dari bahaya orang yang mengaku muslim, tapi ternyata dia adalah orang yang akan merusak agama islam, serta merusak komunitas yang sudah terbangun dengan rapi.

DAFTAR PUSTAKA
As Shiddieqy, T.M Hasbi. 1974. Tafsir Bayan Jilid IV. Bandung: PT Al Ma’arif
Katsir, Ibnu. 1992. Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV. Surabaya: PT Bina Ilmu
Shihab, M. Quraisy. 2002. Tafsir Al Misbah Volume XIII. Jakarta: Lantera Hati
Ash Shabuni, Ali. 1987. Tafsir Ahkam Jilid 13. Surabaya: PT Bina Ilmu
Shaleh, Qamaruddin, A.A Dahlan, M.D Dahlan. 1995. Asbab Nuzul. Bandung: C.V Diponegoro




[1]Ali Ash Shabuni, Terjemah Tafsir Ahkam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hal 104. Lihat pula M Quraish Shihab dalam Tafsir Al Azhar hal 237, dan Q Saleh, A.A Dahlan, dan H.M.D Dahlan, Asbabun Nuzul hal 470-471
[2]R. Ahmad dan Thabarani, sedang rawi-rawi  Ahmad adalah orang-orang terpercaya. (lihat Majmauz-Zawaid 7:109)

[3]Tafsir ar- Razi, 7; 589
[4]Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir 7: 316
[5]Tafsir Bayaan, 4 : 1363
[6]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah 13: 237

[7]Tafsir Abu Su’ud 7: 581
[8]Konteks syarat, taitu suatu susunan (kalimat/kalam) yang didahului dengan kata jika, atau apabila. Konteks nafi, yaitu susunan (kalimat/kalam) yang didahului dengan kata tidak.

[9]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, 13:238
[10]Ruhul Ma’ani lil Alusi, 28: 145
[11]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah 13: 238

[12]Idem
[13]Idem
[14]Idem hal 239
[15]Idem
[16]Ali As Shabuni, Tafsir Ahkam As Shabuni 3: 116
[17]Ibid  hal 117
[18]Ruhul Ma’ani 2: 146
[19]Tafsir al-Qurtubi 16: 312
[20]Tafsir ayatul Ahkam al jashshash 3: 398

[21]Tafsir al-Qurtubi 16: 312
[22]Ali As Shabuni, Tafsir Ahkam As Shabuni 3: 124
[23]Ibid.
[24]Ibid. Lihat pula Tafsir ayat Ahkam Ibnul Arabi, dan Tafsir al-qurtubi 26: 312

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda