Tafsir surat Al-Hujarat:6
BAB I
PENDAHULUAN
Tafsir
merupakan suatu upaya, dengan cara mencurahkan segenap pikiran untuk mengetahui
maksud ayat Quran yang dilakuakan oleh manusia. Corak tafsir pun
bermacam-macam, ada yang mendasarkan tafsirnya pada riwayat dari sahabat,
tabiin, atau tabi at tabi’in. Kemudian ada pula yang mendasarkan tafsirnya pada
dirayah (akal). Dan yang terakhir corak penafsiran yang mendasarkan pada
isyarah (tanda), tafsir ini merupakan karya dari sufi-sufi yang berusaha
menafsirkan suatu ayat dengan perasaan yang dilalui setelah melakukan berbagai
riyadhah (upaya pendekatan pada Allah dengan cara melakukan ibadah).
Dengan adanya
berbagai macam corak tafsir yang ditulis oleh para ulama, secara langsung
maupun tidak langsung menunjukkan pada kita bahwa kandungan ayat Quran bersifat
general (umum). Jika ayat-ayat Al
Quran sudah rinci, maka tidak dibutuhkan lagi sebuah interpretasi (penafsiran). Pada kenyataannya, penafsiran yang ada
pada zaman dahulu maupun pada saat ini mengalami berbagai macam perbedaan. Yang
mana perbedaan tersebut lahir bukan karena didorong oleh hawa nafsu yang ada
pada masing-masing penafsir, melainkan karena cara pengambilan metode yang
berbeda-beda. Hal ini menunjukkan, bahwa agama islam sangat mentoleransi suatu
perbedaan yang diutarakan oleh masing-masing penafsir. Tentunya perbedaan yang
ditoleransi disini bukan perbedaan maslah ushuliyah (pokok agama, seperti
keimanan, dll), melainkan masalah furu’iyah (cabang agama, seperti menentukan
ibadah yang bersifat muamalah, ibadah, dll).
Ayat Al Quran
memberi pedoman dan tuntunan pada manusia dalam berbagai aspek, misal pilitik,
ekonomi, sosial, budaya, dll. Salah satu tuntunan yang dibahas oleh Al Quran
adalah masalah hukum, banyak ayat Al Quran yang menjelaskan tentangaspek-aspek
hukum, baik yang sifatnya pidana atau pun perdata.Tentunya ayat yang berkaitan
dengan hukum tersebut tidak lepas dari aspek penafsiran seorang mufassir yang
menyebabkan timbulnya beragam tafsir.
Pada pembahasan
kali ini, kami sebagai penyusun makalah akan menjabarkan Q.S Al Hujraat ayat 6.
Pada ayat tersebut menekankan pentingnya meneliti berita-berita yang kita
dapatkan dari orang lain. Jangan sampai berita yang dapatkan kita terima
bergitu saja tanpa adanya proses tabayun (uji keakuaratan suatu berita) terlebih dahulu. Dengan adanya tabayun, maka
kita bisa bisa selamat dari berbagai ucapan yang disampaiakan oleh orang lain.
Pembahasan
tafsir ahkam ini akan kami ambil dari beberapa buku refrensi tafsir yang sudah
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, ataupun yang merupakan karya mufassir
Indonesia. Adapun yang berasal dari Indonesia yaitu tafsir Al Azhar, jilid 13
karya M Quraish Shihab, tafsir Bayaan, jilid 4 karya T.M Hasbi Ash Shidieqy.
Kemudian tafsir lain yang merupakan terjemahan ulama besar dari luar Indonesia yaitu
terjemahan tafsir Ahkam karya Ali Ash Shabuni, jilid 3, dan terjemahan tafsir
Ibnu Katsir, jilid 7. Tidak lupa pula kami mencantumkan buku khusus yang
membahas Asbabun Nuzul (latar belakang historis turunnya ayat-ayat Al Quran)
yang merupakan karya Q. Saleeh, A.A Dahlan, dan M.D dahalan.
Jika ada
perbedaan pada tafsir diatas bukanlah untuk menunjukkan siapa yang benar,dan
siapa yang salah, atau siapa yang menang, dan siapa yang kalah. Tafsir adalah
upaya pendekatan terhadap makna-makna yang terkandung dalam Al Quran. Untuk
benar dan tidaknya suatu penafsiran dibutuhkan penelitian terhadap metode yang
digunakan oleh masing-masing mufassir. Seorang mufassir tidak boleh mengatakan
bahwa pendapatnyalah yang mutlaq benar, dan pendapat lain dianggap salah. Masing-masing
mufassir boleh berpendapat, asalkan pendapatnya itu dapat diuji secara ilmiah.
Mudah-mudahan
dengan adanya kajian ini bisa menambah wawasan kita dalam bidang tafsir.
Sebagai manusia yang tidak sempurna dan penuh kesalahan, kami menerima kritik dan
saran bagi perkembangan dan kemajuan bagi masing-masing diri kami.
BAB II
PEMBAHASAN
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang
beriman, Jika ada seorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita, maka
carilahberita itu supaya kamu (tidak) menimpakan tuduhan kepada suatu kaum
dengan kebodohan, akibatnya kamu akan menyesal terhadap apa yang kamu
perbuat”.(Q.S Al Hujurat: 6)
A. Sababun Nuzul[1]
Imam
Ahmad meriwayatkan dari al-Harits bin Dhirar al-Khuza’i, ia mengatakan: Aku
datang ke tempat Rasulullah SAW. Lalu aku diajak masuk islam, maka aku pun
menyambut ajakan itu, dan aku menyatakan ikrar. Lalu aku diseru untuk
mengeluarkan zakat, maka akupun berikrar untuk menunaikan. Dan aku juga
berkata: “Ya Rasulullah! Aku akan kembali ke kaumku, untuk mengajak mereka
masuk islam dan menunaikan zakat, maka siapa yang menyambut ajakkanku ini,
zakatnya akan kumpulkan dan mungkin juga akan dikirim kepadaku yang selanjutnya
hasil yang kukumpulkan itu akan kubawa kepadamu, ya Rasulullah”.
Setelah
al-Harits menghimpun zakat dari orang-orang yang menerima seruannya itu, dan
waktu yang ditetapkan untuk dikirim kepada Rasulullah SAW pun telah tiba,
tiba-tiba utusan yang akan mengambil itu tertahan, tidak bisa datang, sehingga
al-Harits menduga terjadi sesuatu hal yang menyebabkan Allah dan Rasul-Nya
marah, lalu ia memanggil tokoh-tokohkaumnya seraya berkata pada mereka:
Rasulullah SAW memberikan waktu kepadaku, bahwa utusannya akan datang ketempat
kita buat mengambil harta zakat, dan Rasulullah tidak mungkin bedusta, sedang
aku yakin, bahwa tertahnnya utusan itu pasti karena Allah dan Rasul-Nya murka
kepadaku. Oleh karena itu marilah kita pergi bersama-sama ketempat Rasulullah
SAW.
Cerita
lenkapnya sebagai berikut: Rasulullah SAW mengutus al-Walid bin ‘Uqbah ke
tempat al-Harits untuk mengambil zakat yang telah dikumpulkannya. Tetapi
setelah al-Walid pergi, tiba-tiba di tengah jalan ia merasa takut lalu kembali.
Dalam keterrangannya kepada Rasulullah SAW, al-Walid mengatakan, bahwa ia kembali
karena dia dihalang-halangi oleh al-Harits untuk memungut zakat tersebut, dan
dia diancam akan dibunuh. Lalu Rasulullah SAW mengirimkan sepasukan tempur
ketempat al-Harits. Ditengah perjalanan pasukan ini bertemu dengan golongan
Harist yang tadi telah bergerak meninggalkan tempatnya. Mereka mengatakan: Ini,
kan Harits. Harits pun kemudian bertanya: “Kalian hendak kemana?” Mereka
menjawab: “Ke tempatmu”. Harits bertanya lagi: “Untuk keperluan apa”?Mereka
menjawab: “Nabi SAW telah mengutus al-Walid bin ‘Uqbah ketempatmu untuk
mengambil zakat yang engaku himpun, tetapi dia merasa bahwa engkau
menghalanginya, bahkan engkau hendak membunuhnya”. Maka jawab al-Harits: “Tidak,
demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan benar, sungguh aku tidak melihat
al-Walid dan ia pun tidak pernah datang ketempatku. Setelah Harits masukke
tempay Nabi SAW, beliau pun segera bertanya: Betul engkau telah
menghalang-halangi al-Walid untuk memungut zakat dan engkau hendak membunhnya?”
Harits menjawab: “Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, aku tidak
melihatnya dan ia pun tidak pernah datang ketempatku. Kini aku datang adalah
karena utusanmu itu tidak datang ketempatku, dan aku khawatir kalau-kalau hal
itu memang karena murka Allah dan Rasul-Nya kepadaku”.
Begitulah,
lalu turun ayat “Hai orang-orang yang
beriman! Jika ada seseorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita maka
carilah kebenaran berita itu....[2]”
Imam
Fakhrur Razi berkata: Apa yang dikatakan oleh para penafsir (mufassirin), bahwa
ayat tersebut diturunkan berkenaan
dengan kasus al-Walid bi ‘Uqbah, ketika diutus Nabi SAW ke Bani Musthaliq untuk
memungut zakat mereka....dan seterusnya itu, jika yang dimaksud oleh mereka
itu, bahwa ayat ini diturunkan untuk umum, buat menerangkan keharusan mencari
pembuktian berita yang dibawa oleh seorang fasiq, dan tujuan mereka, bahwa ayat
tersebut diturunkan semata-mata karena kasus tersebut, maka itu adalah lemah
(alias tidak betul), karena al-Walid sendiri tidak bermaksud berbuat jahat
kepada mereka. Riwayat Ahmad itu, hanyalah untuk menunjukkan karena waktu itu
al-Walid betul-betul takut lalu dia lari karena melihat rombongan Harits itu
hendak membunuhnya. Itulah sebabnya, maka ia pun kemudian kembali dan
menyampaikan kepada Rasulullah SAW-menurut prasngkanya-rombongan al-Harits
keluar hendak memeranginya.
Selanjutnya
Imam Fakhrur Razi berkata: Alasan yang menunjukkan, ketidakbenaran anggapan,
bahwa ayat tersebut diturunkan untuk sesuatu ialah, bahwa Allah SWT tidak
pernah mengatakan: “Ayat ini Ku-turunkan untuk sesuatu perkara, dan Rasulullah
SAW pun tidak pernah menerangkan ayat ini untuk menerangkan suatu kasus/ pekara
ini saja. Yang betul, bahwa ayat ini untuk diturunkan berkenaan sesuatu kasus
yang terjadi ketika itu. Ini adalah ibarat sejarah turunnya ayat. Yang memperkuat
alsan kami itu, ialah digunakan kata-kata “fasiq” untuk al-Walid, adalah suatu
hal yang jauh sekali, karena dia sekedar salah duga dan keliru sangka. Sedang
orang yang keliru, jelas tidak dinamakan fasiq. Mengapa tidak, karena berapa
banyak kata fasiq dalam Al Quran, adalah yang dimaksud yaitu orang-orang yang
menentang ajaran iman, misalnya firman Allah:
“Sesunggunya Allah tidak menunjukkankaum yang fasiq”
“Lalu syetan itu fasiq, dengan menetang perintah Tuhan-nya”
“Adapun orang-orang fasiq
itu tempatnya adalah neraka”
Dan
masih banyak lagi ayat-ayat serupa.[3]
B.TAFSIR AYAT
Ayat
ini turun, memberikan penjelasan bagi umat manusia semuanya untuk selalu
tabayun dalam segala berita yang disampaikan oleh orang muslim maupun non
muslim. Kemudian ayat ini menyuruh kita berhati-hati dalam menindakkan sesuatu
yang akibatnya tidak dapat diperbaiki (perkataannya banyak menimbulkan
kerusakkan), supaya tidak ada pihak atau kaum yang dirugikan, dtimpa musibah
atau bencana ysng disebabkan berita yang belum pasti kebenarannya, sehingga
menyebabkan penyesalan yang terjadi[4].
Ayat ini menolak berita orang-orang fasiq dan mensyaratkan keadilan,baik dia
perawi ataupun saksi, dan membolehkan kita menerima khabar seorang yang adil[5].
Secara historis, bahwa yang melakukan perbuatan fasiq dalam ayat tersebut
adalah orang muslim[6],
sehingga tidak ada jaminan bahwa jika seseorang telah memeluk agama islam telah
berlaku baik dalam segala aspek.
Kata
yaa ayyuhal ladzina amanu merupakan
kata panggilan (nida’), disini diartikan wahai orang-orang yang beriman, untuk
menggugah mustami’nya (pendengarnya), bahwa sesudah panggilan itu ada hal-hal
penting yang harus diperhatikan dengan serius. Sedang dipergunakan kata
“alladzina amanu” (orang-orang yang beriman) sebagai sifat khusus, adalah untuk
menyadrkan mereka akan keimanan mereka itu, sekaligus merupakan seruan supaya
mempertahankan identitasnya sebagai mukmin, jangan sampai iman ini lepas dari
hatinya. Demikian, sebagaimana dikatakan oleh al-‘allamah Abu Su’ud[7].
Perkataan “Jika ada seorang fasiq datang
kepadamu dengan membawa berita” itu merupakan isyarat yang lembut, bahwa
seorang mukmin haruslah benar-benar sadar, jangan mudah menerima omongan orang
tanpa diketahui terlebih dahulu sumbernya. Disebutnya kata “fasiq”, yang
berasal dari kata fasaqa, biasa digunakan untuk melukiskan buah yang telah
rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya. Seorang yang durhaka
adalah orang yang keluar dari koridor agama. Disebutkan diatas dengan bentuk
nakirah (tanpa alif-lam) untuk menunjukkan umum. Karena bentuk nakirah dalam
konteks syarat[8]adalah
sama dengan nakirah dalam konteks nafi, yaitu menunjukkan umum.Sebagaimana
ditetapkan oleh para ulama ushul fiqh. Jadi maksud kalimat tersebut ialah
“siapa saja orang munafiq yang datang kepadamu......” Disitu dipergunakan kata
“in” (jika) yang menunjukkan keragu-raguan (tasykik), tidak dipergunakan kata
“idzaa” (apabila) yang menunjukkan kepastian (tahqiq), untuk memberi isyarat,
bahwa terjadinya peristiwa ini agak langka, dianggap sebagai suatu kebetulan.
Sebab prinsip seorang mukmin haruslah jujur (apalagi mereka adalah seorang
sahabat, tentunya mempunyai keimanan yang lebih tinggi daripada generasi
penerusnya), juga dikerenakan orang-orang fasik mengetahui bahwa kaum beriman
tidaklah mudah dibohongi dan bahwa mereka akan meneliti kebenaran setiap informasi,
sehingga seorang fasik dapat dipermalukan dengan kebohongannya[9].
Tetapi setelah terjadi kasus seorang sahabat Nabi memberitakan sesuatu dengan
dusta seperti yang dilakukan oleh al-Walid bin ‘Uqbah, dan itu pun langka
terjadi dikalangan para sahabat, maka diturunkanlah ayat tersebut dengan
mempergunakan kata “in”, suatu huruf syarat yang berarti ragu-ragu[10].
Kata
naba’ digunakan dalam arti berita penting . Berbeda dengan kata khabara yang
berarti khabar secara umum, baik penting maupun tidak. Dari sini terlihat
perlunya memilah informasi. Apakah itu penting atau tidak, dan memilah pula
pembawa informasi apakah dapat dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak
dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi dari siapa pun yang tidak
penting, bahkan didengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak
energi dan waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting[11].
Kata
bi jahalah dapat berarti tidak mengetahui, dan dapatjuga diartikan serupa
dengan makna kejahilan yakni perilaku seseorang yang kehilangan kontrol dirinya
sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu,
kepentingan sementara maupun kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan
dalam arti mengabaikan nilai-nilai Ilahi[12].
Ayat
diatas merupakan salah satu dasar yang dietapkan agama dalam kehidupan sosial
sekaligus ia merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan
pengalaman suatu berita Kehidupan manusia dan interkasinya haruslah didasarkan
hahl-hal yang diketahui dengan jelas. Manusia sendiri tidak dapat menjangkau
seluruh informasi, karena itu ia membutuhkan pihak lain. Pihak lain itu ada
yang jujurdan memiliki integritas sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang
benar, dan adapula sebaliknya. Karena itu pula berita harus disaring , khawatir
jangan sampai seseorang melangkah tidak dengan jelas atau dalam bahasa ayat
diatas bi jahalah. Dengan kata lain, ayat ini menuntut kita untuk menjadikan
langkah kita berdasarkan pengetahuan sebagai lawan dari kebodohan, disamping
melakukannya berdasar pertimbangan logis dan nilai-nilai yang ditetapkan Allah
SWT sebagai lawan dari makna kedua jahalah[13].
Penekanan
pada kata fasiq bukan pada semua penyampai berita, karena ayat ini turun
ditengah masyrakat muslim yang cukup bersih, sehingga bila semua penyampai
berita harus diselidiki kebenaran informasinya, maka ini akan menimbulkan
keraguan ditengah masyarakat muslim dan pada gilirannya akan melumpuhkan
masyarakat. Namun demikian, perlu dicatat bahwa bila dalam suatu
masyarakatsulit dilacak sumber pertama dari suatu berita, sehingga tidak
diketahui apakah penyebarannya fasik atau bukan, atau bila dalam masyarakat
telah sedemikian banyak orang-orang yang fasik, maka ketika itu berita apapun
penting, tidak boleh begitu saja diterima. Dalam konteks sayyidina Ali ra
berkata: ”Bilakebaikan meliputi suatu masa beserta orang-orang dalamnya, lalu
seseorang berburuksangka terhadap orng lain yang belum pernah melakukan cela,
maka sesungguhnya ia telah mendzalimnya. Tetapi apabila kejahatan telah
meliputi suatu masa disertai banyaknya yang berlaku zalim, lalu seseorang
berbaik sangka terhadap orang yang belum dikenalnya, maka ia akan mudah
tertipu”[14].
Perlu
dicatat bahwa banyaknya orang yang mengedarkan informasi atau isu bukan jaminan
kebenaran informasi itu. Banyak faktor yang harus diperhatikan.
Dahulu
ketika ulama menyeleksi informasi para perawi hadist-hadist Nabi salah satu
yang diperbincangkan adalah penerimaan riwayat yangdisampaikan oleh sejumlah
orang yang dinilai mustahil menurut kebiasaan mereka sepakat untuk berbohong,
atau yang diistilahkan dengan mutawatir. Ini diakui oleh semua pakar, hanya
masalahnya jumlah yang banyak itu harus memenuhi syarat-syarat. Boleh jadi
orang banyak itu tidak mengerti persoalan, boleh jadi juga mereka telah
memiliki asumsi dasar yang keliru. Di sini, sebanyak apapun yang menyampaikannya
tidak menjamin jaminan kebenarannya.
Kata
tushbihu pada mulanya berarti masuk diwaktu pagi. Ia kemudian diartikan
menjadi. Ayat diatas mengisyaratkan bagaimana sikap seorang beriman dikala
melakukan satu kesalahan. Mereka, oleh akhir ayat diatas dilikiskan sebagai fa tushbihuu ‘alaa maafa’altum naadimiin yakni
segera dan berpagi-pagi menjadi orang-orang yang penuh penyesalan[15].
C. HUKUM
1)Bolehkah berita seseorang itu diterima, kalau dia itu adil?
Berdasarkan
Surah al hujurat ayat 6, dapat disimpulkan bahwa orang disebut adil jika
dilihat dari dua sisi[16]:
Pertama,
bahwasannya Allah memerintahkan mengecek pemberitaan orang fasiq.
Seandainyapemberitaan seorang yang adil itu tidak bisa diterima, maka sudah
barang tentu tidak ada artinya seruan pengecekan itu, tokoh kedua pemberitaan
si fasiq dan seorang yang adil itu tidak bisa diterima. Tetapi oleh karena ada
pemberitaan orang fasiq, maka otomatis pemberitaan seorang yang adil itu
haruslah diterima. Beristidlal semacam itu sebagai yang dikatakan para ulama
ahli ushul fiqih, disebut “mafhum mukhalafah” (faham kebalikannya).
Kedua,
alasan ditolaknya pemberitaan itu adalah karena kefasiqannya, sebab pemberitaan
adalah suatu amanat. Sedang kefasiqan itu sendiri sudah menghilangkan sifat
amanat itu. Jadi jika ilat (alasan) itu sudah tiada, maka penolakan untuk tidak
diterimanya pemberitaan seorang adil itu tidak bisa. Denagn demikian, maka
berarti pemberitaan seorang adil itu tidaklah tertolak, alias bisa diterima dan
diamalkan.
Ketika
ada seseorang yang belum dikenal kefasiqannya (majhul), menurut ulama hanafiyah
bisa diterma ataupun tidak. Jika sudah tidak ada sifat kefasiqan, maka boleh
diterima. Karena yang disinggung pada ayat diatas adalah sifat fasiq seorang
muslim, bukan individu orang. Adapun beberapa ulama tidak memperbolehkan
pengambilan berita terhadap orang yang tidak dikenal. Karena kebanyakan orang
pada saat ini bersifat fasiq sampai dia bisa membuktikan bahwa dia bukan orang
fasiq.
2) Apakah keadilan para sahabat itu masih perlu dibuktikan?
Berdasarkan
ayat yang ada diatas, sebagian ulama mengatakan ada beberapa sahabat yang tidak
adil, karena ayat tersebut ditujukan kepada al-Walid (sahabat Nabi). Sehingga
dengan adanya ayat tersebut menunjukkan kepada orang muslim sesudahnya agar
mengetahui ada beberapa sahabat yang tidak adil.
Adapun
pendapat ulama mengenai sifat para sahabat[17]:
a)
Semua sahabat itu adil, sehingga tidak perlu dicari kebenarannya. Ini merupakan
riwayat ulama salaf dan khalaf.
b)
Para sahabat itu merupakan manusia biasa yang harus dicari terlebih dahulu
keadilannya sebelum mengambil berita.
c)
Para sahabat itu adil sampai pada kurun Utsman r.a, setelahnya kurun
waktunya perlu dicek kembali
kebenarannya. Ini merupakan pendapat sebagian ulama.
d)
Para sahabat itu semuanya adil, kecuali orang-orang yang membunuh Ali r.a, dan
yang memberontak Ali sebagai imam yang sah. Ini merupakan pendapat ulama
Mu’tazilah.[18]
Maka
dari masing-masing pendapat diatas yang paling kuat adalah pendapat jumhur
salaf dan khalaf, semua sahabat adalah adil karena sering bergaul dengan Nabi.
Sesuai dengan firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا
جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ
الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا
عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.” (Al Baqarah: 143)
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ
الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)
3) Apakah kesaksian seorang fasiq itu bisa diterima?
Dalam
hal ini ulama telah bersepakat, bahwa kesaksian seorang yang fasiq tidak dapat
diterima dalam permasalahan agama, seperti periwayatan hadistn hukum-hukum,dll.
Ayat diatas telah sangat jelas menjelaskan ketidak bolehan menerima kesaksian
orang fasiq. Dikhawatirkan mereka akan menyelewengkan amanat.
Al-Qurtubi
berkata: Barangsiapa yang sudah jelas-jelas fasiq, maka berdasarkan ijma’ ulama
omongannya itu sia-sia belaka (bathil), sebab pemberitaaan itu suatu amanat,
sedang kefasiqan telah meniadakan amanat itu[19]. Adapun dalam masalah muamalat, para
ulama masih berbeda pendapat yang tidak perlu ada kesaksian untuk orang lain,
misal[20]:
a) Pengakuan
terhadap dirinya sendiri, umpamanya dia mengatakan: uang fulan ditempat saya
sebanyak 100 dinar. Pengakuan tersebut haruslah diterima, sama halnya pengakuan
orang kafir. Karena dalam permasalahan seperti ini tidak diperlukan suatu
keadilan.
b)
Perihal hadiah dan wakalah, misal dia mengatakan: “si fulan memberimu hadiah
barang ini, si fulan mewakilkan aku untuk menjualkan hambanya ini. Perkataannya
seperti itu bisa diterima. Jadi hadiah tersebut boleh diterima, dan perwakilan
penjualan dapat dibelinya.
Tentang
masalah kewalian oleh para ulama masih diperselisihkan apakah orang fasiq itu
bisa jadi wali atukah tidak. Adapun pendapat dari masing-masing ulama:
a)
Menurut Imam Syafi’i dan lain-lain, bahwa seorang tidak boleh menjadi wali
nikah, justru perilakunya yang kurang baik itu, yang kadang-kadang membahayakan
orang yang dinikahkan, lantaran kefasqannya.
b)
Imam Abu Hanifah membenarkan dan mengesahkannya, karena dia bisa menjadi wali
(pengurus) bagi harta perempuan, maka dia pun bisa menjadi wali (pengurus) bagi
diri perempuan tersebut, yang tak ubahnya denagn orang yang adil. Dia
itu-sekalipun fasiq-namun tetap bercemburu, yang dengan kecemburuannya dia akan
tetap melindungi perempuan, bahkan kadang-kadang dia bisa saja loyal terhadap
harta, tetapi dalam masalah harta tetap disiplin. Kalau dalam soal harta saja
bisa (bisa jadi wali/ pengurus harta) maka dalam soal perkawinan lebih bisa[21]
4) Apakah kewalian seorang fasiqbisa dipandang sah?
Dalam hal ini Ibnu Arabi: berkata: Yang mengherankan
mengapa justru Imam Syafi’i membolehkan, tetapi dalam hal keimamahan orang
fasiq ia masih menjadi alternatif, padahal orang yang tidak boleh diamanati
barang sebiji, bagaimana mungkin bisa diamanati barang satu kuintal? Ini, tidak
lain adalah karena asalnya para penguasa itu shalat bersama orang banyak, lalu
setelah keagamaan mereka rusak, shalat dibelakang mereka pun tidak bisa
ditinggalakan dan tidak bisa dihilangkan, akhirnya shalat pun tetap dilakuakn
oleh mereka. Seperti yang pernah dikatakan oleh Utsman: Shalat adalah
sebaik-sebaik pekerjaan manusia, maka apabila mereka itu baik, tetapi apabila
mereka itu jelek, maka hindarilah kejelakan mereka itu[22].
Kemudian diantara manusia itu ada yang shalat
dibelakang mereka lantaran takut, maka mereka pun kemudian mengulangi shalatnya
karena Allah. Sementara ada pula yang shalat betul-betul. Tetapi bagi saya (Ali
As Shabuni) sendiri cenderung pada pendapat yang mengatakan wajib mengulangi
shalatnya. Sebab tidak ada keharusan bagi seseorang untuk meninggalakan shalat
dengan orang yang tidak disukai keimamamnnya, tetapi dia harus mengulangi
sendiri secara sirri. Shalat semacam itu tidak pula mengganggu orang lain[23].
Adapun mengenai keputusan hukumnya, kalau dia
sebagai wali (penguasa), maka hukumnya itu harus dilaksanakan selama sesuai
denagn ketentuan hukum yang benar, tetapi kalau menyalahi kebenaran haruslah
ditolak. Sedang hukum yang telah ditandatangani itu tidak boleh dibatalkan sama
sekali. Anda sekalian (pembaca) jangan terpesona oleh pendapat lain, baik
tentang masalah riwayat yang diriwayatkannya ataupun sesuatu omonagan yang
diceritakannya, sebab omongan itu memang banyak, sedang kebenaran itulah yang
pasti nampak[24].
KESIMPULAN
Islam
menyerukan dan mengadakan pengecekan setiap berita, serta selalu berhati-hati
dalam setiap permaslahan yang menyangkut kaum muslimin, supaya mereka terhindar
dari ketergelinciran yang sengaja dipasang oleh musuh-musuh islam, dan supaya
persoalan mereka itu menjadi gamblang. Sebab berapa banyak fitnah yang
dinyalakan oleh manusia-manusia sakit hati yang tidak senang melihat umat ini
dalam kondisi yang baik, yang dalam hatinya selalu tersembunyi setiap kejahatan
dan fitnah, guna menghancurkan kaum muslimin dan memprak-porakandakan kesatuan
mereka serta mengotori kejernihan kegembiraan mereka.
Untuk itulah,
maka islam memerintahkan suatu prisip yang agung dan mulia, yaitu penelitian
dan mendeteksi setiap berita, lebih-lebih bersumber dari orang fasiq yang tidak
mau menghargai kehormatan agama dan tidak menghiraukan akan akibat kedustaannya
itu yang justru akan , membawa bahaya yang mengancam dan dampak yang
mengerikan, yaitu dapat melumpuhkan dinamika masyarakat; dan kadang-kadang
menjurus pada bala’ yang dahsyat yang pada gilirannya akan membawa kematian dan
menghancurkan manusia-manusia baik, seperti yang terjadi dalam kasus al-Walid
bin ‘Uqbah, seandainya tidak segera Allah memberi tahukan kepada Rasul-Nya
melalui wahyu-Nya tentang duduk persoalan sebenarnya.
Maka dengan
adanya ayat ini, seharusnya menjadikan pelajaran bagi kita untuk selalu
berhati-hati dalam menerima suatu informasi, agar selalu waspada dari bahaya
orang yang mengaku muslim, tapi ternyata dia adalah orang yang akan merusak
agama islam, serta merusak komunitas yang sudah terbangun dengan rapi.
DAFTAR PUSTAKA
As
Shiddieqy, T.M Hasbi. 1974. Tafsir Bayan Jilid
IV. Bandung: PT Al Ma’arif
Katsir,
Ibnu. 1992. Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV. Surabaya: PT Bina Ilmu
Shihab,
M. Quraisy. 2002. Tafsir Al Misbah Volume
XIII. Jakarta: Lantera Hati
Ash
Shabuni, Ali. 1987. Tafsir Ahkam Jilid 13. Surabaya: PT Bina Ilmu
Shaleh,
Qamaruddin, A.A Dahlan, M.D Dahlan. 1995. Asbab
Nuzul. Bandung: C.V Diponegoro
[1]Ali Ash Shabuni, Terjemah Tafsir Ahkam (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1987), hal 104. Lihat pula M Quraish Shihab dalam Tafsir Al Azhar hal 237, dan Q Saleh, A.A Dahlan, dan H.M.D Dahlan,
Asbabun Nuzul hal 470-471
[2]R. Ahmad dan
Thabarani, sedang rawi-rawi Ahmad adalah
orang-orang terpercaya. (lihat Majmauz-Zawaid 7:109)
[3]Tafsir ar- Razi,
7; 589
[4]Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir 7: 316
[5]Tafsir Bayaan, 4
: 1363
[6]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al Misbah 13: 237
[7]Tafsir Abu Su’ud
7: 581
[8]Konteks syarat,
taitu suatu susunan (kalimat/kalam) yang didahului dengan kata jika, atau
apabila. Konteks nafi, yaitu susunan (kalimat/kalam) yang didahului dengan kata
tidak.
[9]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al Misbah, 13:238
[10]Ruhul Ma’ani lil
Alusi, 28: 145
[11]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al Misbah 13: 238
[12]Idem
[15]Idem
[16]Ali As Shabuni, Tafsir Ahkam As Shabuni 3: 116
[18]Ruhul Ma’ani 2:
146
[19]Tafsir al-Qurtubi
16: 312
[20]Tafsir ayatul
Ahkam al jashshash 3: 398
[22]Ali As Shabuni, Tafsir Ahkam As Shabuni 3: 124
[23]Ibid.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda