Asas Hukum PTUN
BAB I
PENDAHULUAN
Pengadilan tata
usaha negara merupakan pengadilan yang menangani sengketa antara individu
dengan pemeritah menegenai tata usaha negara. Didirikannya Pengadilan Tata Usaha
Negara untuk menghindari kekuasaan sewenang-wenangan dari para pejabat
pemerintahan. Dalam menjalankan fungsinya, Pengadilan Tata Usaha Negara
mempunyai sejumlah peraturan atau undang-undang yang mengatur jalannya sebuah
persidangan di pengadilan tersebut
Diadakannya
sejumlah undang-undang mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara tidak semata-mata
berdasarkan kepentingan yang membuat undang-undang tersebut, namun dalam
membuat undang-undang dibutuhkan sebuah pondasi atau asas sebagai ukuran
tegaknya peraturan yang bisa menjamin keadilan bagi semua pihak. Asas yang ada
pada Pengadilan Tata Usaha Negara ada yang sama dan ada yang berbeda dengan
asas yang terdapat pada Pengadilan Agama yang mana mempunyai kewenangan
mengurusi masalah keperdataan bagi umat islam.
Asas pada
Pengadilan Tata Usaha Negara bersifat universal, artinya berlaku bagi
Pengadilan Tata Usaha Negara di manapun Pengadilan itu berada selama masih
berada di negara Indonesia. Tidak hanya itu, asas tersebut juga mutlak harus
dipatuhi oleh semua kalangan. Apabila ada beberapa pihak yang melanggar asas
tersebut, maka akan ada suatu sanksi bagi para pihak yang melanggarnya karena
sebagimana yang disebutkan bahwa pedoman dalam membuat suatu peraturan
perundang-undangan adalah asas.
Atas dasar itulah,
maka diperlukan adanya pembahasan khusus mengenai asas-asas yang berlaku di
Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai langkah awal agar bisa memahami
seluk-beluk hal yang ada pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Asas Hukum
Menurut Paul Scholten sebagaimana yang dikutip oleh Bruggink
memberi definisi asas hukum. Adapun menurutnya, asas hukum adalah
pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum
masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan
hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan
individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.[1]
Masing-masing hukum mempunyai asas yang berbeda dari hukum yang
lain. Mulai dari hukum materiil seperti hukum pidana, perdata, tata negara, dan
sebagainya, maupun hukum formil seperti hukum acara pidana, perdata, tata usaha
negara, dan hukum acara lainnya. Oleh karena itu, Satjipto Raharjo berpendapat
bahwa barangkali tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa asas hukum merupakan
jantungnya hukum. Disebut demikian karena; pertama, ia merupakan landasan yang
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan
hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali
disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan lahirnya
peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.
Selanjutnya Satjipto Raharjo menambahkan bahwa dengan adanya asas hukum, hukum
itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh
karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.[2]
Oleh karena itu, asas hukum secara tidak langsung dapat dianggap
sebagai landasan dalam menetapkan peraturan bagi semua pihak dan kalangan agar
tidak terjadi kesewenang-wenangan dari satu pihak atau dengan kata lain agar
hukum bisa tetap berjalan tanpa ada beberapa pihak yang merasa dirugikan.
B.
Asas-Asas Yang Terdapat Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara
Atas dasar undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang berlaku
di Indonesia, maka terdapat beberapa asas yang terdapat pada hukum acara
peradilan tata usaha negara. Adapun asas-asas tersebut adalah:[3]
1.
Asas
praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid, praesumptio iustae causa).
Dengan asas ini setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechtmatig sampai
ada pembatalan (Lihat Pasal 67 ayat (1) UU PTUN).
2.
Asas
gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha
negara (KTUN) yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari
penggugat (Pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a).
3.
Asas
para pihak harus didengar (audi et alteram partem). Para pihak mempunyai
kedudukan yang sama dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil. Hakim
tidak dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti, keterangan, atau penjelasan
salah satu pihak saja.
4.
Asas
kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan
judex facti, maupun kasasi dengan Mahkamah Agung sebagai puncaknya. Atas dasar
satu kesatuan hukum berdasarkan wawasan nusantara, maka dualisme hukum acara
dalam wilayah Indonesia menjadi tidak relevan. Sebagaimana yang pernah terjadi
pada zaman Hindia Belanda yang diatur dalam HIR, Rbg, dan Rv yang membagi
wilayah Indonesia (Jawa-Madura dan luar Jawa-Madura) dan memisahkan beracara
landraad dan Raad van Justitie.
5.
Asas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam
campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung
bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan. (Pasal 24 UUD
1945 jo Pasal 4 UU 14/1970).
6.
Asas
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU
14/1970). Sederhana adalah hukum acara yang mudah difahami dan tidak
berbelit-belit. Dengan hukum acara yang mudah dipahami peradilan akan berjalan
dalam waktu yang relatif cepat. Dengan demikian biaya perkara juga menjadi
ringan.
7.
Asas
hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim
mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan tidak diterima
atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan (Pasal 62
UU PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat
kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN).
Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan
guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada
pembuktian bebas. Bahkan, jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan
penggugat memperoleh informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat
memerintahkan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat itu untuk
memberikan informasi atau data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN).
8.
Asas
Sidang terbuka untuk umum. Asas ini membawa konsekuensi bahwa semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum (Pasal 17 dan Pasal 18 UU 14/1970 jo Pasal 70 UU
PTUN).
9.
Asas
peradilan berjenjang. Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah yaitu
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTTUN), dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya asas
ini, maka kesalahan dalam putusan pengadilan yang lebih dapat dikoreksi oleh
pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai hukum tetap
dapat diajukan upaya hukum banding kepada PTTUN dan kasasi kepada MA. Sedangkan
terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya
hukum permohonan peninjauan kembali kepada MA.
10.
Asas
Pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini
menempatkan pengadilan sebagi ultimum remedium. Sengketa Tata Usaha
Negara sedapat mungkin terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat bukan secara konfrontatif. Penyelesaian
melalui upaya administratif yang diatur dalam pasal 48 UUPTUN lebih menunjukkan
penyelesaian ke arah itu. Apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, maka
barulah penyelesaian melalui PTUN dilakukan.
11.
Asas
objektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera
wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai
dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah
seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan
di atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau
tidak langsung dengan sengketanya (Pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).
Asas-Asas diatas berpengaruh terhadap persamaan dan perbedaan
antara Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Hukum Acara Peradata.
Adapun perbedaan tersebut antara lain:[4]
1.
Pada
Peradilan Tata Usaha Negara, hakim bereperan lebih aktif dalam proses
persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materil dan untuk itu undang-undang
ini mengarah pada pembuktian bebas.
2.
Suatu
gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat, maka dalam undang-undang ini diberi
kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan, antara lain:[5]
1.
Mereka
yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh Panitera Pengadilan untuk
merumuskan gugatannya.
2.
Warga
pencari keadilan dari golongan masyarakat yang tidak mampu diberikan kesempatan
untuk berperkara secara cuma-cuma.
3.
Apabila
terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak, atas permohonan penggugat,
Ketua Pengadilan dapat menentukan dilakukannya pemeriksaan dengan acara cepat.
4.
Penggugat
dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang paling
dekat dengan tempat kediamannya untuk kemudian diteruskan ke Pengadilan yang
berwenang mengadilinya.
5.
Dalam
hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat.
6.
Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil sebagai saksi diwajibkan untuk
datang sendiri.
Walaupun penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tersebut diatas menyebutkan bahwa Hukum Acara yang digunakan dalam proses
Peradilan Tata Usaha Negara, mempunyai persamaan dengan Hukum Acara yang
digunakan di Peradilan Umum untuk perkara perdata, itu tidak berarti bahwa
begitu saja dapat menerapkan ketentuan peraturan yang berlaku dalam Hukum Acara
Perdata dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara. Karena hal ini akan dibatasi
oleh prinsip dasar yang berlaku di Pengadilan Tata Usaha Negara, terutama yang
menyangkut masalah kompetensi (kewenangan mengadili). Seperti yang diketahui
bahwa Peradilan Tata Usaha Negara tersebut hanya berwenang mengadili sengketa
Tata Usaha Negara, yaitu sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sengketa ini berpangkal dari
ditetapkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Oleh karena itu pada hakikatnya sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa tentang sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang telah
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Berdasarkan hal ini
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa:
1.
Yang
dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara.
2.
Sengketa
yang dapat diadili oleh Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa mengenai
sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, bukan sengketa mengenai
kepentingan hak.[6]
Oleh karena itu gugat balik (gugat rekonvensi) dan gugat mengenai
ganti rugi yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, semestinya tidak ada dalam
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang digugat, bukan lagi Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, tetapi adalah warga masyarakat atau
Badan Hukum Perdata. Sedangkan gugat ganti rugi merupakan wewenang Peradilan
Umum untuk mengadilinya. Sebaliknya berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1986, yang dapat bertindak sebagai penggugat di
Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah orang atau Badan Hukum Perdata, sehingga
tidak mungkin terjadi saling menggugat antara sesama Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 1. UPTUN).[7]
Disamping asas-asas tersebut di peradilan Tata
Usaha Negara juga diberlakukan asas peradilan cepat, murah, dan sederhana serta
semacam asas praduga tak bersalah (presumtion of innoncent) seperti yang
dikenal dalam Hukum Acara Pidana. Di mana seorang Pejabat Tata Usaha Negara
tetap dianggap tidak bersalah di dalam membuat suatu Keputusan Tata Usaha
Negara sebelum ada putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang
menyatakan ia salah di dalam membuat keputusan Tata Usaha Negara atau dengan
kata lain suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap dianggap sah (tidak melawan
hukum), sebelum adanya putusan Hakim yang telah kekuatan hukum tetap yang
menyatakan keputusan tersebut tidak sah (melawan hukum). Sehingga digugatnya
suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tidak akan menyebabkan tertundanya
pelaksanaan keputusan tersebut.[8]
Peradilan Tata Usaha Negara
juga mengenal Peradilan In Absentia sebagaimana berlaku dalam Peradilan untuk
Tindak Pidana Khusus, di mana sidang berlangsung tanpa hadirnya tergugat.[9]
Menurut pasal 72 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 bila tergugat
atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali berturut-turut dan/atau
menanggapi gugatan tanapa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, walaupun
setiap kali telah dipanggil secara patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat
Penetapan meminta atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat hadir atau
menanggapi gugatan. Setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan surat
tercatat penetapan dimaksud, tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat
maupun dari tergugat sendiri, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang
berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa
hadir tergugat. Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah
pemeriksaan mengenai segi pebuktiannya tetap dilakukan secara tuntas.[10]
Berbeda dengan acara yang berlaku di persidangan Peradilan Perdata,
dalam hal demikian Hakim dapat langsung menjatuhkan putusan verstek. Dalam
Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim tidak langsung menjatuhakan putusan verstek,
tetapi tetap melanjutkan sidang dengan acara biasa. Putusan baru bisa
dijatuhkan setelah pemeriksaan segi pembuktian dilaksanakan secara tuntas. Cara
ini ditempuh dalam Peradilan Tata Usaha Negara, untuk menjaga agara jangan
sampai kepentingan negara dirugikan karena kelalaian tergugat.[11]
C.
Asas Legalitas
Asas legalitas (asas wetmatigheid van het bestuur) tersebut
merupakan salah satu asas yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap negara yang
menyatakan dirinya sebagai negara hukum. Asas legalitas ini semula di
negara-negara Barat hanya berkaitan dengan usaha melawan hak raja-raja untuk
memungut pajak dari rakyat, kalau rakyat tidak diwakili dalam badan perwakilan (“notaxation
withou representation”), atau kalau raja melakukan penahanan dan
menjatuhkan pidana. Sekarang pengertian asas tersebut meluas sampai mengenai
semua wewenang dari aparat-aparat pemerintah yang melanggar kebebasan atau hak
milik warga masyarakat di tingkat manapun. Asas tersebut mencanangkan, bahwa
tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu perundang-undangan yang
berlaku, maka segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang
yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.
Ini berarti, bahwa setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan kebijaksanaan dan
tindakan hukum TUN, baik mengenai bentuk dari tindakan-tindakan hukum demikian
itu serta isi hubungan hukum yang diciptakan olehnya harus ada dasar atau
sumbernya pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-undangan
(hukum tertulis). Dalam literatur Peranacis, asas tersebut dinamakan le
principe de la le’galite de l’administration, di Jerman dinamakan Gesetzmassingkeit
der Verwaltung. Di Inggris, asas tersebut dianggap sebagai bagian dari rule
of law.[12]
Dengan demikian, asas yang dikandung dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor
5 Tahun 1986 juga menentukan, bahwa setiap wewenang pemerintahan yang harus
diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan kepada siapa pun yang harus
diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan kepada siapa pun yang
melaksanakan urusan pemerintahan negara ini tentu ada batasnya (baik secara express
atau implied) juga hanya diberikan untuk maksud dan tujuan-tujuan
tertentu (asas spesialitas). Selanjutnya asas tersebut juga dimaksudkan untuk
menjamin dijalankannya kesamaan perlakuan oleh pemerintah. Karena undang-undang
itu sebagai peraturan yang bersifat umum dan mengikat sebenarnya menurut
sifatnya diarahkan kepada berlakunya kesamaan perlakuan. Maksudnya, setiap
orang yang ditentukan dalam suatu ketentuan undang-undang itu, berhak dan
berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang ditentukan dalam undang-undang
tersebut.[13]
Di samping itu, asas legalitas pemerintahan juga menunjang
berlakunya kepastian hukum. Sebab, tindakan hukuman pemerintahan itu hanya
dimungkinkan kalau ada pengaturannya dalam undang-undang. Oleh karena,
peraturan tersebut dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah
itu diramalkan/diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada
peraturan-peraturan yang berlaku, maka pada asasnya lalu dapat dilihat atau
diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat pemerintahan yang bersangkutan.
Dengan demikian, warga masyarakat lalu dapat menyesuaikan dengan keadaan
tersebut.[14]
Karena itu setiap perbuatan penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang dilakukan oleh Badan atau Jabatan TUN mana pun apabila keluar dari
batas-batas dan tujuan pemberian wewenang atau melanggar asas legalitas
tersebut, tentu tidak akan dibenarkan oleh hukum.
Dalam praktek, ternyata dengan berlakunya asas legalitas itu tidak
berarti, bahwa untuk setiap perbuatan pemerintahan selalu harus sama bobot
legalitasnya dalam peraturan dasarnya. Hal itu disebabkan karena:[15]
1.
Dasar
legalitas untuk setiap perbuatan material dengan tindakan hukum itu selalu
tidak sama. Bagi perbuatan material pada umumnya tidak diperlukan adanya dasar
ketentuan dalam suatu undang-undang, misal merobohkan rumah yang sudah
membahayakan, menderek mobil yang salah parkir, merobohkan tembok yang sudah
retak-retak di pinggir jalan umum yang sudah tampak membahayakan, dan
lain-lain.
2.
Dasar
legalitas bagi tindakan hukum pemerintahan itu perlu dibedakan antara tindakan
hukum menurut hukum perdata dengan tidakan hukum menurut hukum publik. Tindakan
membeli alat tulis menulis tidaklah memerlukan dasar legalitas dalam peraturan
khusus. Sebaliknya untuk memecat seorang pegawai diperlukan dasar aturannya
dalam undang-undang tentang pokok-pokok kepegawaian. Seperti kita ketahui dalam
menjalankan urusan pemerintahan, sering Badan atau jabatan TUN juga ikut serta
dalam pergaulan atau lalu lintas hukum sehari-hari dalam masyarakat.
Selain melakukan tindakan hukum menurut hukum publik juga sering
melakukan tindakan hukum menurut hukum perdata. Bobot dari batasan yang
diterapkan oleh asas legalitas mengenai kedua tindakan hukum itu dalam praktek
tidak sama. Ada kalanya untuk mengurus suatu suatu bidang pemerintahan, dapat
ditempuh baik melalui jalur hukum publik. Tetapi apabila untuk perlindungan hukum
warga masyarakat yang bersangkutan dengan jalur hukum publik ia akan memperoleh
jaminan yang lebih baik, maka seyogyanya jalur hukum publiklah yang harus
ditempuh.
Selanjutnya, tindakan-tindakan hukum menurut hukum publik yang
dapat dilakukan oleh Badan atau Jabatan TUN itu diantaranya dapat dibedakan
antara yang bersifat membebankan dengan yang bersifat menguntungkan.
Asas legalitas ini secara tajam hanya berlaku pada tindakan hukum
para Badan atau Jabatan TUN yang bersifat membebankan. Artinya, apabila
tindakan-tindakan hukum publik yang dilakukan Badan atau Jabatan TUN itu dapat
melanggar atau mendesak kebebasan atau hak milik seseorang atau lebih, maka
harus diperhatikan benar apakah untuk tindakan hukum yang demikian itu ada
dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya keputusan
yang memberikan subsidi, jadi bersifat menguntungkan, tidak ada orang yang akan
menanyakan di mana dasar undang-undangnya.
D.
Asas Pemerintahan Menurut Hukum
Wewenang pemerintahan dari Badan atau Jabatan TUN untuk melakukan
tindakan-tindakan hukum TUN itu pertama-tama harus bersumber atau berdasar pada
suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Di samping itu pelaksanan dari
wewenang pemerintahan juga harus memperhatikan norma-norma yang tidak tertulis
yang benar-benar ada dan hidup yang berada di antara norma-norma juris (hukum)
dan etika (moral/kepatutan) yang mempedomani para Badan atau Jabatan TUN pada
waktu melaksanaan fungsi pemerintahannya. Ia merumupakan asas-asas yang
mengandung suatu nilai hukum. Ia dianggap yang menjembatani norma-norma hukum
dengan norma-norma etika. Scholten menganggapnya sebagai yang memberikan dasar
kecenderungan yang bersifat etis pada tertib hukum. Di Perancis ada yang
mengatakan sebagai principes de morale juridique. Bellefroid dan Hommes
menyebut tentang “norma dasar atau pedoman untuk pemebentukan hukum.
Konijnenbelt mengatakan, asas-asas umum pemerintahan yang baik itu mempunyai
arti penting, karena seperti norma hukum lainnya, asas-asas tersebut merupakan
pedoman arah bagi Badan atau Jabatan TUN dalam menemukan atau menentukan hukum
pada waktu mereka melaksankan fungsi pemerintahan dengan mengeluarkan
keputusan-keputusan TUN. Asas-asas tersebut seperti norma-norma hukum yang
dikandung dalam peraturan perundang-undangan ikut menentukan keluarnya suatu
keputusan TUN, suatu keputusan hukum TUN yang tepat dan benar. Umpamanya,
apakah perlu dikeluarkan suatu izin, kalau perlu. Kalau diperlukan,
syarat-syarat apa yang dapat dilekatkan pada izin seperti itu, apakah tepat
suatu keputusan yang menguntungkan itu dicabut, apakah perlu dilakukan suatu
tindakan penertiban, dan sebagainya.[16]
Karena
asas-asas umum pemerintahan yang baik itu dalam kenyataannya memang ada dan
benar berlaku serta bersemayam dalam kesadaran masyarakat yang menganggap norma
itu sebagai norma yang baik dan harus ditaati. Oleh karenanya, Badan atau
Jabatan TUN itu harus selalu berpedoman dan menaati norma-norma tersebut, maka
sudah seharusnya asas-asas tersebut merupakan dasar pengujian bagi Hakim TUN
pada waktu menilai apakah suatu keputusan TUN itu menurut hukum atau tidak.[17]
BAB III
PENUTUP
Pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Asas
hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang
sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan
dan putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan
keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.
2.
Macam-macam
asas hukum PTUN:
- Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid,
praesumptio iustae causa).
- Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan
keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dipersengketakan, kecuali ada
kepentingan yang mendesak dari penggugat.
- Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem).
- Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam
pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan Mahkamah Agung
sebagai puncaknya.
- Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas
dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun
tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan.
- Asas Perdailan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan.
- Asas hakim aktif.
- Asas Sidang terbuka untuk umum.
- Asas peradilan berjenjang.
- Asas Pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan
keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan sebagi ultimum remedium.
- Asas objektivitas.
3. Tujuan dari adanya asas legalitas:
- Bahwa setiap wewenang pemerintahan yang harus diberikan oleh
suatu peraturan perundang-undangan kepada siapa pun yang harus diberikan oleh
suatu peraturan perundang-undangan kepada siapa pun yang melaksanakan urusan
pemerintahan negara ini tentu ada batasnya (baik secara express atau implied)
juga hanya diberikan untuk masksud dan tujuan-tujuan tertentu (asas
spesialitas). Selanjutnya asas tersebut juga dimaksudkan untuk menjamin
dijalankannya kesamaan perlakuan oleh pemerintah.
4. Fungsi dari asas-asas umum
pemerintahan yang baik adalah:
- Merupakan pedoman bagi perbuatan
pemerintahan atau pedoman dalam menemukan
atau menetukan hukum oleh para Badan atau Jabatan TUN.
- Apabila dengan dikeluarkannya suatu keputusan TUN terjadi
pelanggaran terhadap norma-norma semacam itu, maka hal itu merupakan suatu
alasan untuk mengganggu gugat keputusan TUN yang bersangkutan kepada instansi
yang berwenang.
- Asas-asas tersebut oleh instansi yang berwenang dapat merupakan
dasar untuk menguji apakah keputusan yang digugat itu bersifat melawan hukum
atau tidak.
DAFTAR
PUSTAKA
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara: Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara,
Cet. IV, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
Rozali
Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. VIII, Jakarta:
Rajawali Pers, 2002
Zairin Harahap, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Revisi.
VI, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008
[1]
Zairin Harahap,
Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Revisi. VI, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008)., hlm 23
[4]
Rozali
Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. VIII, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2002)., hlm 3
[5]
Ibid
[9]
Ibid
[12]
Indroharto, Usaha
Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku I Beberapa Pengertian
Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Cet. IV, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1993)., hlm 83
[17]
Ibid
1 Komentar:
makasih infonya,kunjungi juga http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/bersyukur-membuat-hidup-menjadi-bahagia.html
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda