Pembaharuan Hukum Keluarga di Turki
BAB I
PENDAHULUAN
Merupakan suatu hal
yang wajar apabila segala sesuatu bergerak secara dinamis. Begitu pula dengan
hukum yang berlaku di masyarakat, ia terus berubah sesuai dengan perubahan
sosial, politik, dan budaya. Pada dasarnya, hukum dibentuk sebagai upaya
menjawab berbagai masalah yang muncul di masyarakat secara umum. Pengsakralan
terhadap hukum (Taqdis al-Hukm) akan mengakibatkan hukum itu tidak bisa
menjawab berbagai persoalan yang muncul di masyarakat secara umum.
Negara Turki merupakan negara muslim
yang pertama kali merubah sistem hukum keluarga. Dimana hukum keluarga yang
tadinya bermazhab Hanafi, dirubah menjadi hukum keluarga yang sekuler.
Perubahan hukum keluarga yang terjadi pada negara Turki pada awalnya disebabkan
proses westernisasi, sekulerisasi, dan modernisasi. Lama-kelamaan, hukum
keluarga direformasi demi memenuhi kebutuhan praktis masyarakat. Sehingga klaim
negara Turki yang diidentikkan dengan negara sekuler itu dapat terbantahkan.
Sebenarnya, reformasi hukum keluarga
yang dilakukan oleh Turki tidak bertentangan dengan nash yang tertera pada
al-Quran dan al-Hadist. Kaum cendikiawan muslim di Turki mencoba
menginterpretasikan kedua nash tersebut berdasarkan makna tersirat (nilai-nilai
moral atau ruh nash) yang ada pada keduanya, bukan pada makna-makna tersurat,
karena makna-makna tersurat bisa dikontekstualisasikan berdasarkan kebutuhan
masyarakat.
Contoh nyata dari
reformasi hukum keluarga di Turki ialah pelarangan poligami. Poligami yang pada
awalnya dibolehkan, dirubah aturannya menjadi terlarang karena poligami dinilai
sebagai bentuk penindasan terhadap para wanita. Menurut mereka, agama islam
memperbolehkan poligami karena melihat kondisi sosial dan budaya pada
masyarakat lampau, namun pada saat ini poligami harus dilarang karena perbedaan
kondisi sosial yang ada.
Berbagai macam
konsep dalam undang-undang perkawinan di Turki telah dirubah. Hal itu dilakukan
demi terciptanya kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, respon perkembangan
zaman, dan unifikasi hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
FAKTA, PERISTIWA, DAN UNSUR PEMBAHARUAN HUKUM
ISLAM DI TURKI.
1. FAKTA DAN
PERISTIWA
Pada tahun 1839 dikeluarkalah Dekrit Imperium Hatt-i Syarif sebagai pondasi bagi rezim legislatif modern.
Hal itu terjadi karena terdapat perebutan wewenang antara sultan dan mufti
tentang siapa yang berhak melegitimasi hukum syariah. Pada tahun ini pula
kekuasaan Utsmani lengser, semua lembaga-lembaga keagamaan ini tidak lagi
diberlakukan.[1]
Selanjutnya, pada tahun 1850-1858
dikuluarkanlah undang-undang perdagangan dan pidana yang sebagian rumusannya
diambil dari mazhab Hanafi, dan sebagian lain dari hukum Perancis. Ide awal
pembentukan ini sebenarnya telah diperkenalkan sejak tahun 1840, dan pada tahun
1858 lahir undang-undang yang menguatkan pemilikan perorangan atas tanah. Sebab
dikeluarkannya undang-undang perdagangan dan pidana yaitu untuk megantisipasi
maraknya perdagangan yang tidak terkontrol.[2]
Proses pembaharuan hukum silam di Turki terus berlanjut.
Pada tahun 1876 lahir Undang-Undang Sipil Islam atau yang disebut Majallat
al-Ahkam al-‘Adliyah. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyah adalah undang-undang
sipil pertama yang ditetapka di Turki, bahkan di dunia islam dimana rumusan
materinya sebagian diadasarkan pada mazhab syariah (Hanafi) dan sebagian yang
lain pada materi hukum Barat. Undang-Undang ini dinilai belum komperhensif
karena tidak memasukkan hukum keluarga dan waris. Munculnya Undang-Undang Sipil
ini dikarenakan negara Turki mengalami proses sekulerisasi, westernisasi, dan
modernisasi secara besar-besaran.[3]
Tidak hanya itu, reformasi hukum di
Turki terus terjadi. Pada tahun 1915 muncul dua Dekrit Kerajaan yang
mereformasi hukum matrimonial (yang berhubungan dengan perkawinan) yang secara
lokal terkait dengan hak-hak perempuan terhadap perceraian. Dalam dekrit
tersebut dipergunakan prinsip takhayyur (eklektik) dengan mengambil
sember dari mazhab Hanafi dan Hanbali. Dekrit tersebut berisi diperbolehkannya
perempuan mengupayakan perceraian atas dasar ditinggalkan suami atau karena
penyakit yang dideritanya.[4]
Pada tahun 1917,
Kerajaan Utsmani mengeluarkan undang-undang tentang hukum matrimonial yang
berjudul Qanun-i Qarar Huquq al-Illah al-Utsmaniyah yang berisi 156
pasal. Penetapannya pun di dorong dengan semangat takhayyur, sebuah
proses legislasi yang mulai menjadi trend pada era itu dan kemudian
diperkenalkan ke seluruh dunia muslim sebagai cita-cita umum kodifikasi dan
reformasi hukum keluarga.[5]
Pada tahun 1923,
setelah konfrensi perdamaian Laussane, sebuah komite reformasi hukum
sipil secara komperhensif dan status personal yang mendasarkan pada
sumber-sumber islam. Tetapi komite tersebut gagal memenuhi harapan karena
perbedaan pendapat yang dilatari oleh perbedaan visi dan misi antara sesama
anggota komisi yang modernis, tradisionalis, dan nasionalis. Alasan lain karena
waktunya bersamaan dengan kehancuran khilafah islam dan adanya deklarasi Turki
sebagai Republik. Di bawah pemerintahan Mustafa Kemal Pasha, usaha kodifikasi
hukum kembali dilakukan. Hasilnya, pada tahun 1924 kontitusi nasional baru
ditetapkan dengan mengadopsi sistem hukum sipil yang mengharamkan poligami,
menjadikan suami dan isteri berkedudukan sama dalam perceraian, di mana
perceraian hanya diakui bila dilakukan di depan pengadilan.[6]
Pada tahun 1926,
terciptalah undang-undang Sipil Turki (The Turkish Civil Code) yang
berisi tentang Perkawinan (pertunangan, umur pernikahan, mahrom, poligami,
resepsi pernikahan, pembatalan pernikahan), Perceraian dan Pemisahan,
Kompensasi, dan Hukum Waris. Undang-Undang 1926 ini lahir dengan mengadopsi The
Swiss Civil Code tahun 1912 dengan sedikit perubahan sesuai dengan tuntutan
kondisi Turki, karena para ahli hukum (komite) yang diserahi tugas memperbarui
undang-undang 1919 tersebut selama lima tahun tidak berhasil membuat draf
undang-undang yang dimaksud. Sama dengan tahun 1924, munculnya undang-undang
ini dilatar belakangi adanya keinginan untuk meningkatkan status wanita di
depan hukum.[7]
Sebagai negara
yang telah mengadopsi proses legislatif modern, maka amandemen terhadap
undang-undang selalu dilakukan untuk kontekstualisasi hukum agar selalu sesuai
dengan tuntutan zaman, demikian juga undang-undang 1926 tersebut, sejak tahun
1933 sampai 1965 tercatat telah dilakukan enam kali proses amandemen.[8]
Hasil amandemen
ini antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensasi kawin, pasangan
suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang,
juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya
perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak masing-masing pihak
(Pasal 125-132). Di samping itu pembayaran ganti kerugian terhadap pihak yang
dirugikan akibat perceraian dapat dilaksanakan jika didukung dengan fakta yang
kuat.[9]
Pada tahun
1988-1992 terjadi amandemen guna memberlakukan perceraian atas kesepakatan
bersama (divorce by mutual consents), nafkah isteri dan penetapan
sementara selama proses perceraian berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan
dengan pertunangan pasca, perceraian dan adopsi.[10]
2. UNSUR-UNSUR
PEMBAHARUAN
a.
Hukum Perkawinan.
1) Pertunangan.[11]
Hukum Keluarga Turki mendorong pengadilan
untuk tidak mengadakan perjanjian khusus sebelum pernikahan. Artinya, jika
terdapat pembatalan pernikahan, maka dihukumi berdasarkan peraturan yang
berlaku, bukan perjanjian khusus antar orang yang bertunangan. Jika pesta
pertunangan sudah dilakukan dan ternyata perjanjian pernikahan batal, maka
pihak yang dianggap bertanggung jawab dengan pembatalan diwajibkan membayar
ganti rugi berupa ganti rugi biaya pesta yang telah dikeluarkan.
Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa pertunangan
bertujuan menjajaki kedua belah pihak sehingga dimungkinkan muncul perasaan
cinta dan suka sama suka. Tidak secara eksplisit dijelaskan harus
diselenggarakan secara seremonial kecuali pada pelaksanaan akad nikah yang
memang disunahkan untuk dipublikasikan.
2) Umur Pernikahan.[12]
Undang-Undang Turki juga mengatur mengenai
usia pernikahan, yaitu 18 tahun bagi calon mempelai laki-laki dan 17 tahun bagi
calon mempelai perempuan. Kemudian ketika dalam keadaan yang sangat memaksa dapat diberikan dispensasi untuk
menikah dari pengadilan setelah mendapatkan keterangan dari orang tua. Namun,
mereka tetap harus berusia 15 tahun bagi calon mempelai laki-laki dan 14 tahun
bagi perempuan.
Dalam hukum Islam, fuqaha’ hanya membatasi calon mempelai dengan batasan aqil-baligh saja tanpa mensyaratkan mumayyiz.
3) Orang-orang yang dilarang melakukan pernikahan.[13]
Ketentuan ini diatur dalam The Ottoman Law of Family Rights Tahun
1917 dalam pasal 13-32. Adopsi dalam hukum keluarga Turki dijadikan sebagai
salah satu penghalang pernikahan sebagaimana diatur dalam pasal 121 undang-undang
sipil Turki. Artinya, anak hasil adopsi tidak dapat menikahi orang tua yang
mengadopsinya atau dengan orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan
orangtua yang mengadopsinya. Berbeda dengan pandangan fiqh klasik yang
memperbolehkan anak adopsi menikahi orangtua yang mengadopsinya.
4) Poligami.[14]
Undang-undang sipil Turki melarang perkawinan
lebih dari satu selama perkawinan pertama nasih berlangsung. Oleh karena itu,
pengadilan dapat menyatakan bahwa pernikahan yang kedua tidak sah atas dasar
orang tersebut telah berumah tangga saat menikah. Bahkan pada Pasal 38-44
undang-undang tentang Hak-hak Keluarga tahun 1917 menyatakan bahwa seorang
isteri berhak mencantumkan ta’lik talak bahwa poligami dapat menjadi alasan
perceraian. Berbeda dengan mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali yang sepakat
memperbolehkan seorang suami berpoligami.
5) Resepsi Pernikahan.[15]
Tentang resepsi pernikahan ini diatur dalam
pasal 11-23 The Turkish Family Law of
Cyprus tahun 1951 yang menyatakan bahwa perkawinan boleh dirayakan sesuai
dengan agama masing-masing jika dikehendaki, namun pendaftaran dilakukan
sebelum perayaan tersebut.
6) Pembatalan Pernikahan.[16]
Dalam The
Turkish Family Law of Cyprus tahun 1951 pasal 19 dijelaskan, bahwa suatu
pernikahan harus dibatalkan apabila salah satu pihak berada dalam 3 (tiga)
kondisi tertentu. Pertama, salah satu
pihak telah berumah tangga saat menikah. Kedua,
salah satu pihak pada saat pernikahan menderita sakit jiwa ataupun penyakit permanent
lainya. Ketiga, pernikahan termasuk
yang dilarang. Sedangkan menurut Hanafiyah, pernikahan dianggap batal jika ada
rukun atau syarat dalam pernikahan yang tidak terpenuhi.
7) Pernikahan yang Tidak Sah.[17]
The Turkish Family Law of Cyprus tahun 1951 mengatur hal ini dalam pasal
17-25. Pengadilan diberi kewenangan untuk menyatakan ketidakabsahan suatu
pernikahan sesuai alasan-alasan yang telah ditetapkan, diantaranya:
I.
Pada saat menikah ada peniaian dari salah satu pihak
suami isteri yang merasa dirugikan.
II.
Salah satu pihak mengetahui dengan jelas kejelekan
pasangannya yang berhubungan dengan karakter moral.
III.
Salah satu pihak dipaksa menikah dengan ancaman yang
menbahayakan kehidupan, kesehatan, finansial ataupun membahayakan kerabat
dekat.
a. Perceraian dan Pemisahan
Menurut undang-undang sipil Turki, ada
beberapa hal yang membolehkan suami atau isteri menuntut pengadilan untuk
mengeluarkan dekrit perceraian. Namun demikian, pengadilan terlebih dahulu
memberikan jangka waktu kepada mempelai untuk saling memisahkan diri yang
berguna untuk perenungan dan penumbuhan kembali rasa saling membutuhkan. Jika
jangka waktu yang diberikan telah habis dan tidak ada rekonsiliasi diantara
keduanya, maka salah satu pihak boleh meminta cerai.
Adapun hal-hal yang membolehkan untuk meminta
cerai diantaranya adalah:
1. Salah satu pihak berkomitmen untuk bercerai.
2. Salah satu pihak menyebabkan luka bagi pihak
lain.
3. Hubungan suami isteri sedemikian tegang
sehingga hubungan perkawinan tidak dapat dilanjutkan lagi.[18]
Pada dasarnya, dalam fiqh klasik, talak adalah hak suami. Biarpun seorang isteri
mengucapkan kata “cerai” seribu kalipun jika suami tidak menyetujuinya maka
hubungan perkawinan tersebut masih tetap berlanjut. Sebaliknya sang suami dapat
dengan mudah menjatuhkan talak walau tanpa alasan apapun.
b. Kompensasi
Hal ini diatur dalam The Turkish Family Law of Cyprus tahun 1951 pasal 22. Dalam hal ini
telah ditetapkan bahwa pengadilan boleh menetapkan uang ganti rugi yang harus
dibayar salah satu dari suami isteri untuk pasangan yang disakiti atau tidak
dipenuhi haknya. Lain halnya menurut Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali yang
berpendapat bahwa apabila isteri tidak dapat memenuhi hak suami, maka hak
nafkah isteri gugur. Sebaliknya, jika sang isteri yang dirugikan karena sang
suami tadak dapat memenuhi hak isteri, sang isteri tidak dapat meminta ganti
rugi, melainkan hanya mendapat nafkah seperti biasa.[19]
c. Hukum Waris
Salah satu prinsip hukum sipil Turki adalah
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, demikian juga dalam hal kewarisan.
Artinya, laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama, bukan lagi dua
banding satu, melainkan satu banding satu. Berbeda dengan fiqh klasik yang
menentukan bagian waris antara laki-laki dan perempuan adalah dua banding satu
sesuai dengan firman Allah dalam Q.S An-Nisa’ ayat 11. Berdasarkan sisterm
kewariasan satu banding satu inilah nampak jelas bahwa Republik Turki ingin
mengangkat derajat wanita yang sebelumnya didiskreditkan. Khususnya pada masa
pemerintahan Kerajaan Utsmani.[20]
B. Sebab
Terjadinya Pembaharuan dan Tujuan Hukum
Islam di Turki.
1. Sebab Terjadinya Pembaharuan
Hukum Islam di Turki.
Sebab dikeluarkannya Dekrit
Imperium Hatt-i Syarif pada tahun 1839 yaitu
karena terdapat perebutan wewenang antara sultan dan mufti tentang siapa yang
berhak melegitimasi hukum syariah.[21]
Adapun sebab dikeluarkan
undang-undang perdagangan dan pidana pada
tahun 1850-1858 dikarenakan untuk
megantisipasi maraknya perdagangan yang tidak terkontrol.[22]
Lebih lanjut, penyebab dikeluarkannya Undang-Undang Sipil Islam atau yang disebut Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyah[23] karena belum ada undang-undang yang mengatur tentang
warga sipil.
Pada tahun 1915 muncul dua Dekrit Kerajaan yang mereformasi hukum
matrimonial (yang berhubungan dengan perkawinan) yang secara lokal terkait
dengan hak-hak perempuan terhadap perceraian. Dekrit
tersebut berisi diperbolehkannya perempuan mengupayakan perceraian atas dasar
ditinggalkan suami atau karena penyakit yang dideritanya.[24] Adapun penyebab munculnya dekrit tersebut
yaitu, banyak perempuan yang terbebani dikarenakan tidak dibolehkan bercerai
apabila ditinggal suami atau karena suami menderita penyakit.
Penyebab
dikeluarkannya undang-undang tentang hukum matrimonial yang berjudul Qanun-i
Qarar Huquq al-Illah al-Utsmaniyah yang berisi 156 pasal pada tahun 1917[25],
yaitu belum adanya undang-undang yang mengatur tentang hukum keluarga secara
komperhensif.
Lahirnya
undang-undang keluarga yang merupakan bentuk amandemen terhadap undang-undang
perkawinan 1917 yang mengharamkan poligami, menjadikan suami dan isteri
berkedudukan sama dalam perceraian, dan sejak saat itu perceraian harus
dijatuhkan di pengadilan dengan syarat-syarat tertentu, tidak semata-mata hak
prerogatif suami.[26]
Adapun penyebabnya ialah tidak adanya aturan yang mengatur masalah poligami,
sehingga banyak masyarakat yang berpoligami tanpa melihat keadaan di Turki.
Selain itu, di Turki belum terwujud kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di
depan hukum. Perlu ditekankan pula, bahwa perceraian yang dijatuhkan di luar
pengadilan menyebabkan masalah tersebut tidak tertib secara administrasi.
Pada
tahun 1933-1965 muncul undang-undang sebagai amandemen undang-undang sipil
Turki 1926. Adapun hasil amandemen terhadap undang-undang sipil Turki 1926 antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensasi kawin,
pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah
ranjang, juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta
tersedianya perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak
masing-masing pihak (Pasal 125-132).[27] Adapun sebab munculnya amandemen tersebut
ialah konsep ganti rugi, dispensasi kawin, perbaikan hubungan ketika bercerai,
dan kehendak bercerai yang masih diluar dari kebutuhan masyarakat.
Munculnya amandemen pada tahun
1988-1992 yang berisi kesepakatan bersama (divorce by mutual consents), nafkah
isteri,
penetapan sementara selama proses perceraian berlangsung, pasca
pertunangan, perceraian dan adopsi disebabkan aturan-aturan yang mengatur masalah tersebut
masih jauh dari keinginan dan harapan masyarakat.[28]
2. Tujuan Pembaharuan Hukum Islam di
Turki.
Adapun tujuan
pembaruan Hukum Keluarga Islam Kontemporer secara umum dapat pula dikelompokan
menjadi tiga, yakni:
a.
Unifikasi hukum perkawinan.
b.
Peningkatan status wanita.
c.
Respon terhadap perkembangan dan tuntutan zaman.[29]
Menurut hemat
penulis, tujuan pembaharuan hukum keluarga islam di Turki meliputi tiga hal
diatas.
Pertama, unifikasi
hukum perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat pada tahun 1917.
Kedua, peningkatan
status wanita. Hal tersebut dapat dilihat pada tahun 1915, 1924, 1926,
1933-1965, dan 1988-1992.
Ketiga, respon
terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Hal tersebut dapat dilihat pada tahun
1876, 1917, dan 1923.
C. Relevansi
Kajian Untuk Kehidupan Sekarang.
Perubahan situasi dan kondisi,
adalah suatu hal yang tidak dapat dihindarkan oleh manusia. Keduanya merupakan
hukum alam yang sudah ditentukan oleh Allah SWT untuk selalu mengiringi
kehidupan manusia. Perubahan situasi dan kondisi juga tidak semata-mata
menguntungkan bagi kehidupan manusia yang mejemuk dan plural, namun dapat pula
menimbulkan problem, polemik, dan konflik.
Perubahan situasi dan kondisi dapat
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, sehingga memunculkan istilah modernitas[30],
yang mana modernitas itu ditandai dengan kemajuan peradaban, ilmu, sosial,
budaya, politik, dan sebagainya.
Atas dasar itu, sangat wajar apabila Turki
mengalami perubahan. Karena perubahan itu sesuai dengan hukum alam
(Sunnatullah). Sesuai dengann firman Allah SWT:
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
Artinya:
“(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu.” (Ar Rum: 31)
Menurut Shahrur, maksud ayat diatas adalah
islam sebagai agama fitrah, yaitu agama yang memiliki kelenturan beradaptasi
dengan perkembangan zaman sesuai perubahan kondisi sosio-ekonomi dalam
masyarakat. Agama islam adalah agama yang benar-benar serasi dengan fitrah
manusia. Agama ini memiliki kemiripan besar dengan hukum-hukum alam. Maka, ayat
diatas menjelaskan tentang perilaku manusia dengan hukum alam dalam firman-Nya
(Laa Tabdila li-Khalqilah), kemudian menambahkan di akhir surat bahwa
agama ini adalah agama yang kuat dan kokoh “al-Din al-Qayim”, yaitu agama yang
memiliki keluasan dan kekuatan. Dengan demikian, islamlah yang memiliki
kebenaran sejati nan abadi (qayumiyah). Sementara itu, mayoritas manusia
tidak mengetahui kebenaran bahwa islam adalah agama yang selaras dengan fitrah
manusia dan hukum alam.[31]
Menurutnya, fiqih islam yang ditulis oleh
ulama masa lampau terdapat kerancuan apabila diaplikasikan pada saat ini.[32]
Apabila Turki mereformasi hukum dari madzhab Hanafi ke hukum lain (hukum
barat), tidak dapat dikatakan sebagai penyimpangan syariat, karena Turki sendiri
berijtihad dengan jalan menginterpretasikan teks syariah.[33]
Menurut Fazlurrahman,
pembaharuan-pembaharuan dalam islam terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman dan paradigma yang mempengaruhinya.[34] Atas dasar itu, muncullah konsep tajdid dalam
pembaruan hukum islam. Tajdid disini suatu upaya agar hukum islam bisa
menyesuaikan perkembangan zaman dan memenuhi kebetuhan zaman, khususnya
kebutuhan masyarakat di negara Turki. Sebagaimana yang dijelaskan oleh K.H Ali
Yafie:
“Tajdid merupakan upaya menerapkan norma-norma
agama atas realitas sosial-untuk memenuhi kebutuhan perkembangan masyarakat
dengan berpegang pada dasar-dasar (ushul) yang sudah diletakkan oleh
agama itu-melalui proses pemurnian yang dinamis. Sehingga, tajdid yang dimaksud bukan berarti mengganti
ajaran-ajaran dan hukum-hukum yang bersifat mutlak, fundamental, dan universal
yang sudah tertuang dalam ketentuan-ketentuan yang otentik (qath’iyat).
Tetapi, tajdid itu mempunyai gerak yang cukup luas dalam hal memperbarui cara
memahami, menginterpretasi, mereformulasi, dan melakukan topassing atas
ajaran-ajaran agama yang berada di luar wilayah qathi’yat yaitu
ketentuan-ketentuan yang sifatnya zhanniyat yang menjadi wilayah kajian
ijtihad.”[35]
Reinterpretasi pada dalam hal ini diaplikasikan
pada ayat dzanni, bukan pada ayat qath’i. Ayat Qat’i sifatnya tetap tidak bisa
berubah walaupun suatu negara mengalami perubahan zaman dan tempat, tetapi ayat
dzanni bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Sebagai mana yang
tertulis dalam qaidah ushul fiqih:
Artinya:
“Perubahan hukum disesuaikan dengan
perubahan zaman, tempat, dan keadaan.”
Dari
pemaparan diatas dapat difahami, bahwa inti dari perkembangan zaman adalah
perubahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa segala sesuatu yang ada di bumi bisa
berubah, termasuk hukum islam.
Selain dilatar belakangi oleh reinterpretasi
nash, reformasi hukum islam di Turki juga dilatar belakangi oleh perubahan
zaman dan tempat. Tidak mengherankan apabila negara-negara muslim lain seperti
Yordania, Tunisia, Iran, Iraq, Malaysia, Brunei Darusslam, bahkan Indonesia pun
melakukan reformasi hukum karena terinspirasi dari Turki. Hal itu disebabkan karena
kultur dan budaya tempat yang berbeda antara satu negara muslim dengan negara
muslim lain.
D. Analisis.
Suatu pembaharuan hukum islam, hendaknya
disesuikan dengan kemaslahatan di suatu tempat. Dengan mengacu pada
kemaslahatan, maka hukum islam tersebut akan selalu digunakan dan diaplikasikan
oleh masyarakat. Bagaimanapun juga, suatu ketentuan hukum islam diturunkan oleh
Allah didasarkan pada kemaslahatan yang berlaku pada waktu itu.
Selain mengacu pada kemaslahatan, pembaharuan
hukum islam juga harus mengacu pada Maqashid Syari’ah. Adapun tujuan darinya
yaitu menjaga agama (Hifdz al-Din), Menjaga jiwa (Hifdz al-Nafs), Menjaga akal (Hifdz
al-‘Aql), Menjaga keturunan (Hifdz al-Nasl), dan Menjaga (Hifdz
al-Mal). Apabila Maqashid Syari’ah diterapakan, maka terciptalah suatu
hukum yang berlandaskan nilai-nilai keislaman.
Suatu konsep hukum islam janganlah dinilai
dari bentuk formal, namun haruslah dinilai dari sesuatu yang bersifat esensi.
Dengan begitu, hukum islam akan selalu berpedoman pada ketentuan yang
disyariatkan oleh Allah, namun dapat mengikuti perkembangan zaman dan tempat.
Agar hukum islam senantiasa permissive
terhadap dinamikan yang terjadi pada masyarakat, maka sudah selayaknya
melakukan kontekstualisasi. Nash-nash yang ada, seperti al-Quran dan al-Hadist
apabila diinterpretasikan secara kontekstual maka akan terlihat nilai-nilai
historisitasnya, namun apabila nash tidak diinterpretasikan secara kontekstual,
akan kehilangan nilai historisitasnya.
Dengan
adanya konsep Maqashid Syariah, reinterpretasi nash, dan kontekstualiasasi,
pembaharuan hukum islam di Turki tidak dapat lagi dikatakan sebagai
westernisasi dan sekulerisasi. Pembaharuan tetap dilakukan, namun tetap
berpegang pada nilai-nilai keislaman.
BAB
III
PENUTUP
Pembaruan hukum keluarga di Turki terjadi pada
tahun 1876, 1915,
1917,
1923, 1924,
1926, 1933-1965, dan 1988-1992. Pembaharuan hukum dari tahun ke tahun tentunya mempunyai
sebab yang berbeda-beda, dan tentunya dengan isi hukum yang berbeda-beda pula,
tergantung tujuan dan kepentingan masyarakat di Turki.
Unsur-unsur
pembaharuan hukum keluraga yang ada di Turki meliputi: Pertama, Masalah
perkawinan (pertunangan {khithbah; betrothal}, umur penikahan, orang yang
dilarang melakukan pernikahan, poligami, resepsi pernikahan, pembatalan
pernikahan {faskh al-nikah}, pernikahan yang tidak sah {voidable},
perceraian dan pemisahan, kompensasi, hukum waris.
Sebab terjadinya pembaharuan hukum keluarga
islam di Turki juga berbeda-beda, namun secara umum, pembaharuan hukum tersebut
disebabkan karena banyaknya permasalahan keluarga yang tidak tertulis dalam
undang-undang, sehingga terkadang terjadi berbagai tindak penyimpangan di
Turki.
Adapun tujuan pembaharuan di Turki meluputi:
Pertama, merespon perkembangan zaman. Kedua, meningkatkan status wanita.
Ketiga, unifikasi hukum.
Relevansi kajian tersebut yaitu: Pertama,
suatu perubahan itu adalah sunnatullah. Kedua, perlunya tajdid. Ketiga,
perlunya reinterpretasi terhadap nash.
Analisis dari kajian diatas itu ialah:
Pertama, suatu hukum hendaknya disesuaikan dengan kemaslahatan. Kedua,
pembaharuan hukum didasarkan pada Maqashid Syariah. Ketiga, perlunya
kontekstualisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, Cet. I, Surabaya: Alumni, 2005.
Effendi, Djohan, Pembaruan
Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa
Kepemimpinan Gus Dur,
Cet. I, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Faruq Thohir, Umar, “Reformasi Hukum Keluarga
Islam Turki,” dalam Khoirudin Nasution, dkk (ed), Hukum Perkawinan dan
Warisan di Dunia Muslim Modern, Cet. I, Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012.
Mawardi, “Hermeneutika Al-Quran Fazlurrahman (Teori Double
Movement),” dalam Sahiron Syamsudin (ed), Hermeneutika Al Quran dan Hadist,
Cet. I, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010.
Nasution, Khoirudin, Pengantar dan
Pemikiran: Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Cet. I, Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2007.
Shahrur, Muhammad, Prinsip dan
Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, alih bahasa Sahiron Syamsudin dan Burhanudin Dzkri, Cet. II, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007.
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Cet. VII,
Jakarta: Haji Masagung, 1994.
[1] Umar Faruq Thohir, “Reformasi Hukum Keluarga
Islam Turki,” dalam Khoirudin Nasution, dkk (ed), Hukum Perkawinan dan
Warisan di Dunia Muslim Modern, Cet. I (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012)., hlm
94.
[2] Ibid
[5] Ibid.,
hlm 96.
[6] Ibid.,
hlm 96-97.
[8] Ibid.,
hlm 97-98.
[29] Khoirudin Nasution, Pengantar dan
Pemikiran: Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Cet. I (Yogyakarta:
ACAdeMIA+TAZZAFA, 2007)., hlm 44.
[30] Budiono, Kamus
Ilmiah Populer Internasional, Cet. I (Surabaya: Alumni, 2005)., hlm. 412. Dalam kamus
ilmiah ini modernitas diartikan sebagai kemodernan, yang modern, dan keadaan
yang modern.
[31] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, alih
bahasa Sahiron Syamsudin dan Burhanudin Dzkri, Cet. II (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2007)., hlm 204.
[33] Siti Munadzirah, “Pembaruan Hukum Keluarga di Tunisia,” dalam Khoirudin
Nasution, dkk (ed), Hukum Perkawinan dan Warisan ........, hlm 49.
[34] Mawardi, “Hermeneutika Al-Quran Fazlurrahman (Teori Double
Movement),” dalam Sahiron Syamsudin (ed), Hermeneutika Al Quran dan Hadist,
Cet. I (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010)., hlm 66.
[35] Djohan Effendi,
Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi
Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, Cet. I (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2010)., hlm 128.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda