Jumat, 07 Februari 2014

Hukum dan Moral



BAB II
Pembahasan
1.      Moral
a.      Definisi Moral
Secara etimologi moral berasal dari bahasa Belanda moural, yang berarti kesusilaan, budi pekerti. Sedangkan menurut W. J. S. Poerwadarminto moral berarti ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan. Dalam Islam moral dikenal dengan istilah akhlak. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menerangkan tentang definisi akhlak sebagai berikut:
Akhlak adalah perilaku jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Apabila perilaku tersebut mengeluarkan beberapa perbuatan baik dan terpuji, baik menurut akala maupun tuntunan agama, perilaku tersebut dinamakan akhlak yang baik. Apabila perbuatan yang dikeluarkan itu jelek, maka perilaku tersebut dinamakan akhlak yang jelek.
Lebih lanjut Al-Ghazali menguraikan:
Induk atau prinsip dari budi pekerti itu ada empat: (1) kebijaksanaan (al-hikmah), (2) keberanian, (3) menjaga diri, dan (4) keadilan. Maksud kebijaksanaan adalah perilaku jiwa yang dapat menemukan kebenaran dari yang salah dalam semua perbuatan yang dikerjakan. Adil adalah perilaku jiwa yang dapat mengatur sifat amarah, syahwat, dan dan dapat mengarahkannya kepada yang dikehendaki hikmah dan dapat menggunakannya menurut kebutuhan. Keberanian adalah kekuatan sifat amarah yang tunduk kepada akal dalam menjalankannya. Menjaga diri adalah mendidik kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan syara’. Barangsiapa dapat melaksanakan empat prinsip ini, maka akan keluarlah akhlak yang baik keseluruhannya.
Ukuran perseorangan bagi baik dan buruk, bagus dan jelek berbeda menurut perbedaan presepsi seseorang, perbedaan masa, perubahan keadaan dan tempat. Namun demikian, dalam setiap masyarakat dan dalam suatu masa ada ukuran umum, artinya ukuran yang diakui oleh seluruh atau sebagian terbesar dari anggota-anggotanya. Ukuran umum itu mungkin berbeda dari suatu mayarakat dengan masyarakat lain, akan tetapi ada pokok-pokok tertentu yang ada persamaannya antara semua manusia dalam menilai baik dan buruk. Bagi umat islam pendasaran baik dan buruk bagi perbuatan adalah kepada kitab pedomannya, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Apa yang dinyatakan baik, maka itulah ukuran kebaikan bagi manusia, demikian pula yang jelek.

b.      Peran Moral
Moral dan akhlak sangat penting dalam pergaulan hidup di dunia ini. Oleh karena itu Allah SWT. sengaja mengutus Nabi Muhammad SAW. untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana sabda beliau[1] yakni sebagai berikut:
اِنَمَا بُعِثْتُ لأتَمِّمَ مَكَارَمَ الأخْلاقِ (الحديث)
Artinya: Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Telah dijelaskan pula dengan firman-Nya dalam surah al-Qalam ayat 4[2] yang berbunyi sebagai berikut:
وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Artinya: Sungguh engkau (Ya Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Kemudian Allah SWT. memerintahkan kaum muslimin untuk mengambil contoh teladan dari moral Nabi Muhammad SAW dengan firman-Nya dalam surah al-Ahzab ayat 21[3] sebagai berikut:
Artinya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Dan dalam surah Ali `Imran ayat 159 sebagai berikut[4]:
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

c.       Landasan Ajaran Moral
Allah SWT berfirman dalam surah Al- Qalam ayat 4 sebagai berikut:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ 
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Dasar yang lain firman Allah dalam surah Al-Qashash ayat 77 sebagai berikut:
          وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Artinya: Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”
Nabi Muhammad SAW bersabda:
انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق
Artinya: Tiadalah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (H.R Bukhari, Ahmad dan Baihaqi)
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin menyebutkan tiga puluh empat hadist yang melandasi ajaran moral ini. Diantaranya adalah:
وسئل عليه السلام: اي الاعمال افضل؟ قال خلق حسن
Artinya: Ketika Rasulullah ditanya oleh Sahabat: “Amal apakah yang paling utama (Wahai Rasulullah), (Nabi menjawab) akhlak yang baik.”
يا رسول الله اي المئمنين افضل ايمانا؟ قال احسنهم خلقا 
Artinya: Wahai Rasulullah, “Iman kaum mukminin yang bagaimanakah yang paling utama itu?”, Rasulullah menjawab, “Yang paling baik budi pekertinya”.
2.      Hukum dan Moralitas
a.      Hukum dan Moral
Pada masyarakat yang masih sederhana, norma susila atau moral telah memadai untuk menciptakan ketertiban dan mengarahkan tingkah laku anggota masyrakat, dan menegakkan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan kepada seseorang supaya menjadi manusia yang sempurna. Hasil dari perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu bersandarkan pada kebebasan pribadi seseorang. Hati nuraninya akan menyatakan perbuatan mana yang jahat serta akan menentukan apakah ia akan melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi pada masyarakat yang sudah maju kaidah adat tersebut tidak lagi mencukupi. Hal ini dilatarbelakangi oleh karena persandaran moral adalah kebebasan pribadi. Padahal cara berpikir manusia tidaklah sama, sifat dan tingkah lakunya pun berbeda, sehingga banyak sekali usaha baik yang mendapat tantangan dan hambatan. Untuk mengatur segalanya diperlukan aturan lain yang tidak disandarkan pada kebebasan pribadi, tetapi juga mengekang kebebasan pribadi dalam bentuk paksaan, ancaman dan sanksi. Aturan itulah yang disebut dengan hukum.
Jika dalam kesusilaan yang dimuat adalah anjuran yang berupa pujian dan celaan, maka dalam kaidah hukum yang dimuat adalah perintah dan larangan yang diperkuat dengan ancaman, paksaan, atau sanksi bagi orang yang mengabaikan. Meski coraknya berbeda, namun bentuk-bentuk yang dipuji dan dicela dalam kesusilaan, sehingga pada hakikatnya patokan hukum tersebut berurat pada kesusilaan.
Adanya unsur ancaman dan paksaan dalam hukum tersebut menyebabkan timbulnya berbagai kemungkinan untuk memberi bentuk pada unsur itu. Masyarakat yang satu akan memberi bentuk yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Dikatakan bahwa setiap tatanan sosial akan mencari cara-cara dan jalannya sendiri yang cocok untuk memaksa anggota-anggota masyarakat berbuat seperti yang dikehendakinya.
b.      Hukum Bersatu dengan Moral
Prof. Dr. Hazairin dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan bahwa hukum tanpa moral adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus kepada peri-kebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan kemanusiaan. Lebih lanjut Dr. M. Muslehuddin menerangkan bahwa hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama. Sistem hukum yang tidak memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpental. Menurut Prof. Dr. H. M. Rasjidi, hukum dan moral harus berdampingan, karena moral adalah pokok dari hukum.
Menurut Kant, hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya. Menurut Friedmann, tidak ada dan tidak pernah ada pemiahan total hukum dari moralitas. Dalam suatu masyarakat ada hubungan erat antara moralitas sosial dan perintah hukum. Pengaruh moralitas sosial atas perintah hukum. Pengaruh moralitas sosial atas perintah hukum pada umumnya tergantung pada karakter masyarakat. Masyarakat yang liberal dan plural akan akan lebih mudah merefleksikan berbagai nilai etika daripada masyarakat otoriter. Dalam masyarakat yang terikat dengan kebiasaan, ada transformasi berangsur-angsur tingkah laku sosial menjadi kebiasaan hukum dan dari kebiasaan menjadi rumusan legislatif.

c.       Hukum Terpisah dari Moral 
Hukum positif yang didukung oleh Coulson dan Kerr dipisahkan dari keadilan dan etika. Menurut hukum murni ala Kelsen, etika dan filsafat sosial jauh dari hukum. Ia menentang filsafat dan berkeinginan untuk menciptakan ilmu hukum murni, meninggalkan semua materi yang tidak relevan, dan memisahkan yurisprudensi dari ilmu-ilmu sosial.
Aliran Imperatif Austin menganggap hukum sebagai perintah penguasa. Menurutnya hukum positif -suatu aturan umum tentang tingkah laku yang ditentukan oleh petinggi politik untuk kelompok yang lebih rendah. Tujuan Austin adalah untuk memisahkan secara tajam hukum positif dan aturan-aturan sosial semisal kebiasaan dan moralitas, dan penekanannya terletak pada perintah mencapai tujuan ini. Konsep perintah secara tidak langsung menyatakan ancaman bagi pelaksanaan sanksi jika perintah itu tidak dipatuhi.

3.      Hukum Islam dan Moralitas
a.      Urgensi Moral dalam Hukum
Agama biasa dipahami sebagai hal yang hanya membicarakan masalah-masalah spiritual. Lantaran pemaham itu, antara agama dan hukum sering dianggap tidak sejalan. Hukum ada untuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat, sedangkan agama adalah untuk mengontrol masyarakat dan mengekangnya agar tidak menyimpang dari jalurnya, yaitu norma-norma etika yang ditentukan oleh agama itu sendiri. Agama menekankan moralitas, perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, sedangkan duniawi mengfokuskan diri pada kesejahteraan meterial dan kurang memperhatikan etika.
Islam berbeda dari agama-agama lain, karena islam tidak mengkhotbahkan spiritualitas yang mandul. Al-Quran berulang kali meyakinkan manusia bahwa semua yang berada di surga dan di bumi disediakan untuk mereka. Dalam islam hukum dan agama, hukum dan moral, hukum dan yang disebut ‘gereja’ tidak bisa dipisahkan. Nilai etika inilah yang membedakannya dengan hukum Barat. Oleh karena itu, ruang lingkup hukum islam mencakup semua bentuk hubungan, baik kepada Tuhan maupun kepada manusia. Karena asal-usul, sifat dan tujuannya, hukum islam secara ketat diikat oleh etika agama. “Berdasarkan funsi utama, hukum islam mengklasifikasikan tindakan yang berkenaan dengan standar mutlak baik dan buruk yang tidak dapat ditentukan secara rasional, karena Tuhan sendirilah yang mengetahui apa yang benar-benar baik dan buruk.
Masyarakat sering berubah dari satu ke lain bentuk, baik secara historis maupun ideologis. Dalam masyarakat teokrasi dan totaliter, pengaturan tentang prktek sosial, dapat menjadi masalah menonjol dalam tatanan politik. Sedangkan dalam demokrasi liberal kontemporer, homoseksual yang berlangsung secara pribadi mungkin dianggap tidak terkait dengan tatanan publik. Orang-orang Sparta menyetujui homoseksual karena mereka percaya bahwa hal itu meningkatkan keberanian dalam berperang.
Dalam masyarakat islam, hukum bukan hanya faktor utama tapi juga faktor pokok yang memberikannya bentuk. Masyarakat islam secara ideal harus sesuai dengan kitab hukum, sehingga tidak ada perubahan sosial yang mengacaukan atau menimbulkan karakter tak bermoral dalam masyarakat. Hukum islam harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip  moralitas seperti yang dinyatakan oleh islam. Hukum islam memberikan ketentuan bahwa kaidah kesusilaan tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah. Dengan ini nyatalah bahwa hukum islam menuju kepada kesusilaan yang lebih pasti isinya dan lebih tetap mutu dan haluannya, karena islam tidak membiarkan semuanya hanya tergantung pada masyarakat dan manusia saja.
 Menurut H.M Rasjidi terdapat tiga macam hubungan antara hukum dan moral sebagaimana yang dibahas dalam filsafat hukum umum, yaitu:[5]
1.      Hukum dan moral harus berdampingan karena moral merupakan pokok hukum.
2.      Masing-masing hukum dan moral ada bidangnya, tetapi moral lebih tinggi daripada hukum.
3.      Masing-masing hukum dan moral ada bidangnya sendiriyang tiada hubungannya satu dengan yang lain. 
Hubungan hukum dan moral menurut ajaran islam tercermin terutama dalam hal sebagai berikut:[6]
1.      Beberapa ketentuan hukum islam mempertahankan tegaknya moral luhur, seperti terdapat dalam hukum pidanan yang menetukan bahwa perzinaan adalah delik moral yang diancam dengan pidana cambuk 100 kali, tanpa memerlukan aduan pihak yang bersangkutan.
2.      Beberapa ketentuan hukum islam mengandung nilai moral luhur, seperti terdapat dalam ketentuan hukum muamalat yang mengajarkan agar orang yang berpiutang mengalami kesulitan untuk membayar utangnya pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
3.      Dalam melaksanakan hukum hendaknya dilandasi dengan nilai moral luhur yang betumpu pada sikap patuh, taat, dan rela melaksanakan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Berhelah untuk menghidari ketentuan hukum yang bertentangan dengan nilai moralitas islam.

Dalam Islam hukum dan moral tidak dapat dipisahkan, sehingga ruang lingkup hukum Islam mencakup semua bentuk hubungan, baik kepada Tuhan maupun kepada manusia. Karena asal-usul, sifat, dan tujuan hukum Islam secara ketat diikat oleh etika agama.[7]
Hukum Islam harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh Islam. Adapun syari’ah Islam yang merupakan kode hukum dank kode moral yang ada secara sekaligus merupakan pola yang luas tentang tingkkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang tertimggi, sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas. [8]
Contohnya seperti hukum Islam lain yang sangat mengutamakan moralitas adalah dalam ketentuan dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum pidana terdapat ketentuan bahwa orang yang melakukan zina diancam dengan pidana cambuk seratus kali di depan umum seperti yang termaktub dalam al- Qur’an surah al- Nur ayat 2. Sedangkan dalam surah al- Isra’ ayat 32 bahwa zina menurut ajaran Islam dinilai sebagai perbuatan keji dan merupakan perbuatan terburuk yang ditempuh manusia beradab. Begitu pula persoalan-persoalan yang lain seperti dalam surah al- Baqarah ayat 280 tentang memakan riba, Huud ayat 85, serta hadis Nabi tentang penangguhan pembayaran hutang.[9]
Adapun dengan adanya moralitas khusus hukum Allah meletakkan aturan-aturan universal bagi perbuatan manusia. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh H.A.R. Gibb bahwa hukum Islam memiliki jangkauan paling jauh dan alat efektif dalam membentuk tatanan sosial dan kehidupan masyarakat Islam. Di sisi lain hukum Islam juga memiliki norma-norma etika baik dan buruk, kejahatan dan kebajikan, yang masyarakat secara ideal harus menyesuaikan diri di dalamnya, sehingga hukum Islam mempengaruhi semua aspek keshidupan sosial, ekonomi dan semua aspek lainnya.[10]
b.      Keadilan Mutlak
Kemakmuran masyarakat tidak terlalu tergantung pada kerasnya hukum melainkan pada kebenaran yang diilhami oleh ketakwaan. Oleh karena itu, syari’ah merupakan tatanan tingkah laku moral, sedangkan takwa merupakan standar bagi pertimbangan tindakan manusia, seperti firman Allah SWT. dalam surah al- Hujurat ayat 13 sebagai berikut:
 Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Keadilan dalam Islam merupaka perpaduan yang menyenangkan antara hukum dan moralitas. Islam tidak bermaksud untuk menghancurkan kebebasan individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri, dan karenanya juga melindungi kepentingan yang sah. Hukum memainkan perannya dalam mendamaikan pribadi dengan kepentingan masyarakat dan bukan sebaliknya. Individu diperbolehkan mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan masyarakat. Ini mengakhiri perselisihan dan memenuhi tuntutan keadilan. Oleh karena itu berlaku adil berarti hidup menurut prinsip-prinsip Islam.




BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Induk atau prinsip dari budi pekerti menurut Al- Ghazali ada empat: (1) kebijaksanaan (al-hikmah); perilaku jiwa yang dapat menemukan kebenaran dari yang salah dalam semua perbuatan yang dikerjakan, (2) keberanian; kekuatan sifat amarah yang tunduk kepada akal dalam menjalankannya, (3) menjaga diri; mendidik kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan syara’, dan (4) keadilan; perilaku jiwa yang dapat mengatur sifat amarah, syahwat, dan dan dapat mengarahkannya kepada yang dikehendaki hikmah dan dapat menggunakannya menurut kebutuhan. Barangsiapa dapat melaksanakan empat prinsip ini, maka akan keluarlah akhlak yang baik keseluruhannya.
2.      Moral dan akhlak sangat penting dalam pergaulan hidup di dunia ini. Oleh karena itu Allah SWT. sengaja mengutus Nabi Muhammad SAW. untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana yang telah di jelaskan dalam al-Qur’an (al-Qalam: 4, al-Ahzab: 21, Ali `Imran: 159), dan al-Hadis
3.      Landasan Moral terdapat dalam al-Qur’an (al-Qalam: 4 al-Qashash: 77, dan Hadis Nabi Muhammad SAW bersabda, انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق.
4.      Norma susila atau moral telah memadai untuk menciptakan ketertiban dan mengarahkan tingkah laku anggota masyrakat, dan menegakkan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan kepada seseorang supaya menjadi manusia yang sempurna.
5.      Hukum Bersatu dengan Moral sebagaimana pendapat Prof. Dr. Hazairin dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan bahwa hukum tanpa moral adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus kepada peri-kebinatangan. Pengaruh moralitas sosial atas perintah hukum. Pengaruh moralitas sosial atas perintah hukum pada umumnya tergantung pada karakter masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA


Muhammad Syah, Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Radar Jaya Offset, 1992.
 Azhar Basyir, Ahmad, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2000.
 Djamil, Fathurrahman,  Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama), Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997.



[1] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, cet. ke-2 (Jakarta: Radar Jaya Offset, 1992), hlm. 121.
[2] Ibid.     
[3] Ibid., hlm. 121-122.
[4] Ibid., hlm. 122.
[5]  Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000)., hlm 58
[6]  Ibid., hlm 59
[7]  Fathurrahman Djamil,  Filsafa Hukum Islam (Bagian Pertama), cet. ke-1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 152- 153.
[8] Ibid., hlm. 154.
[9] Ibid., hlm. 155.
[10] Ibid., hlm. 156.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda