Hukum dan Moral
BAB II
Pembahasan
1.
Moral
a.
Definisi Moral
Secara etimologi moral berasal dari bahasa Belanda moural, yang
berarti kesusilaan, budi pekerti. Sedangkan menurut W. J. S.
Poerwadarminto moral berarti ajaran tentang baik buruk perbuatan dan
kelakuan. Dalam Islam moral dikenal dengan istilah akhlak. Al-Ghazali dalam
Ihya Ulumuddin menerangkan tentang definisi akhlak sebagai berikut:
Akhlak adalah perilaku jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan
perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Apabila
perilaku tersebut mengeluarkan beberapa perbuatan baik dan terpuji, baik
menurut akala maupun tuntunan agama, perilaku tersebut dinamakan akhlak yang
baik. Apabila perbuatan yang dikeluarkan itu jelek, maka perilaku tersebut
dinamakan akhlak yang jelek.
Lebih lanjut Al-Ghazali menguraikan:
Induk atau prinsip dari budi pekerti itu ada empat: (1)
kebijaksanaan (al-hikmah), (2) keberanian, (3) menjaga diri, dan (4)
keadilan. Maksud kebijaksanaan adalah perilaku jiwa yang dapat menemukan
kebenaran dari yang salah dalam semua perbuatan yang dikerjakan. Adil adalah
perilaku jiwa yang dapat mengatur sifat amarah, syahwat, dan dan dapat
mengarahkannya kepada yang dikehendaki hikmah dan dapat menggunakannya menurut
kebutuhan. Keberanian adalah kekuatan sifat amarah yang tunduk kepada akal
dalam menjalankannya. Menjaga diri adalah mendidik kekuatan syahwat dengan
pendidikan akal dan syara’. Barangsiapa dapat melaksanakan empat prinsip ini,
maka akan keluarlah akhlak yang baik keseluruhannya.
Ukuran perseorangan bagi baik dan buruk, bagus dan jelek berbeda
menurut perbedaan presepsi seseorang, perbedaan masa, perubahan keadaan dan
tempat. Namun demikian, dalam setiap masyarakat dan dalam suatu masa ada ukuran
umum, artinya ukuran yang diakui oleh seluruh atau sebagian terbesar dari
anggota-anggotanya. Ukuran umum itu mungkin berbeda dari suatu mayarakat dengan
masyarakat lain, akan tetapi ada pokok-pokok tertentu yang ada persamaannya
antara semua manusia dalam menilai baik dan buruk. Bagi umat islam pendasaran
baik dan buruk bagi perbuatan adalah kepada kitab pedomannya, yaitu Al-Quran
dan Sunnah. Apa yang dinyatakan baik, maka itulah ukuran kebaikan bagi manusia,
demikian pula yang jelek.
b.
Peran Moral
Moral dan akhlak sangat penting dalam
pergaulan hidup di dunia ini. Oleh karena itu Allah SWT. sengaja mengutus Nabi
Muhammad SAW. untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana sabda beliau[1]
yakni sebagai berikut:
اِنَمَا بُعِثْتُ لأتَمِّمَ مَكَارَمَ الأخْلاقِ
(الحديث)
Artinya: Aku hanya diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.
Telah dijelaskan pula dengan firman-Nya
dalam surah al-Qalam ayat 4[2]
yang berbunyi sebagai berikut:
وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Artinya: Sungguh engkau (Ya Muhammad)
benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Kemudian Allah SWT. memerintahkan kaum
muslimin untuk mengambil contoh teladan dari moral Nabi Muhammad SAW dengan
firman-Nya dalam surah al-Ahzab ayat 21[3]
sebagai berikut:
Artinya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Dan dalam surah Ali `Imran ayat 159 sebagai berikut[4]:
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
c.
Landasan Ajaran Moral
Allah SWT berfirman dalam surah Al- Qalam ayat 4 sebagai berikut:
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung.”
Dasar yang lain firman Allah dalam surah Al-Qashash
ayat 77 sebagai berikut:
وَأَحْسِنْ
كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Artinya:
Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu”
Nabi Muhammad SAW bersabda:
انما
بعثت لاتمم مكارم الاخلاق
Artinya: Tiadalah
aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (H.R
Bukhari, Ahmad dan Baihaqi)
Imam Al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin menyebutkan tiga puluh empat hadist yang
melandasi ajaran moral ini. Diantaranya adalah:
وسئل عليه السلام: اي الاعمال افضل؟ قال خلق حسن
Artinya: Ketika
Rasulullah ditanya oleh Sahabat: “Amal apakah yang paling utama (Wahai
Rasulullah), (Nabi menjawab) akhlak yang baik.”
يا رسول الله اي المئمنين افضل ايمانا؟ قال احسنهم خلقا
Artinya: Wahai
Rasulullah, “Iman kaum mukminin yang bagaimanakah yang paling utama itu?”,
Rasulullah menjawab, “Yang paling baik budi pekertinya”.
2.
Hukum dan Moralitas
a.
Hukum dan Moral
Pada masyarakat
yang masih sederhana, norma susila atau moral telah memadai untuk menciptakan
ketertiban dan mengarahkan tingkah laku anggota masyrakat, dan menegakkan
kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan
kepada seseorang supaya menjadi manusia yang sempurna. Hasil dari perintah dan
larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu bersandarkan pada kebebasan
pribadi seseorang. Hati nuraninya akan menyatakan perbuatan mana yang jahat
serta akan menentukan apakah ia akan melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi
pada masyarakat yang sudah maju kaidah adat tersebut tidak lagi mencukupi. Hal
ini dilatarbelakangi oleh karena persandaran moral adalah kebebasan pribadi.
Padahal cara berpikir manusia tidaklah sama, sifat dan tingkah lakunya pun
berbeda, sehingga banyak sekali usaha baik yang mendapat tantangan dan
hambatan. Untuk mengatur segalanya diperlukan aturan lain yang tidak
disandarkan pada kebebasan pribadi, tetapi juga mengekang kebebasan pribadi dalam
bentuk paksaan, ancaman dan sanksi. Aturan itulah yang disebut dengan hukum.
Jika dalam
kesusilaan yang dimuat adalah anjuran yang berupa pujian dan celaan, maka dalam
kaidah hukum yang dimuat adalah perintah dan larangan yang diperkuat dengan
ancaman, paksaan, atau sanksi bagi orang yang mengabaikan. Meski coraknya
berbeda, namun bentuk-bentuk yang dipuji dan dicela dalam kesusilaan, sehingga
pada hakikatnya patokan hukum tersebut berurat pada kesusilaan.
Adanya unsur
ancaman dan paksaan dalam hukum tersebut menyebabkan timbulnya berbagai
kemungkinan untuk memberi bentuk pada unsur itu. Masyarakat yang satu akan
memberi bentuk yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Dikatakan bahwa setiap
tatanan sosial akan mencari cara-cara dan jalannya sendiri yang cocok untuk
memaksa anggota-anggota masyarakat berbuat seperti yang dikehendakinya.
b.
Hukum Bersatu dengan Moral
Prof. Dr. Hazairin dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan
bahwa hukum tanpa moral adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan
utopia yang menjurus kepada peri-kebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk oleh
kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan kemanusiaan. Lebih
lanjut Dr. M. Muslehuddin menerangkan bahwa hukum tanpa keadilan dan moralitas
bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama. Sistem hukum yang tidak memiliki
akar substansial pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpental.
Menurut Prof. Dr. H. M. Rasjidi, hukum dan moral harus berdampingan, karena
moral adalah pokok dari hukum.
Menurut Kant, hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya.
Menurut Friedmann, tidak ada dan tidak pernah ada pemiahan total hukum dari
moralitas. Dalam suatu masyarakat ada hubungan erat antara moralitas sosial dan
perintah hukum. Pengaruh moralitas sosial atas perintah hukum. Pengaruh
moralitas sosial atas perintah hukum pada umumnya tergantung pada karakter
masyarakat. Masyarakat yang liberal dan plural akan akan lebih mudah merefleksikan
berbagai nilai etika daripada masyarakat otoriter. Dalam masyarakat yang
terikat dengan kebiasaan, ada transformasi berangsur-angsur tingkah laku sosial
menjadi kebiasaan hukum dan dari kebiasaan menjadi rumusan legislatif.
c.
Hukum Terpisah dari Moral
Hukum positif yang didukung oleh Coulson dan Kerr dipisahkan dari
keadilan dan etika. Menurut hukum murni ala Kelsen, etika dan filsafat sosial
jauh dari hukum. Ia menentang filsafat dan berkeinginan untuk menciptakan ilmu
hukum murni, meninggalkan semua materi yang tidak relevan, dan memisahkan
yurisprudensi dari ilmu-ilmu sosial.
Aliran Imperatif Austin menganggap hukum sebagai perintah penguasa.
Menurutnya hukum positif -suatu aturan umum tentang tingkah laku yang
ditentukan oleh petinggi politik untuk kelompok yang lebih rendah. Tujuan
Austin adalah untuk memisahkan secara tajam hukum positif dan aturan-aturan
sosial semisal kebiasaan dan moralitas, dan penekanannya terletak pada perintah
mencapai tujuan ini. Konsep perintah secara tidak langsung menyatakan ancaman
bagi pelaksanaan sanksi jika perintah itu tidak dipatuhi.
3.
Hukum Islam dan Moralitas
a.
Urgensi Moral dalam Hukum
Agama biasa dipahami sebagai hal yang hanya membicarakan
masalah-masalah spiritual. Lantaran pemaham itu, antara agama dan hukum sering
dianggap tidak sejalan. Hukum ada untuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya
mengabdi kepada masyarakat, sedangkan agama adalah untuk mengontrol masyarakat
dan mengekangnya agar tidak menyimpang dari jalurnya, yaitu norma-norma etika
yang ditentukan oleh agama itu sendiri. Agama menekankan moralitas, perbedaan
antara benar dan salah, baik dan buruk, sedangkan duniawi mengfokuskan diri
pada kesejahteraan meterial dan kurang memperhatikan etika.
Islam berbeda dari agama-agama lain, karena islam tidak
mengkhotbahkan spiritualitas yang mandul. Al-Quran berulang kali meyakinkan
manusia bahwa semua yang berada di surga dan di bumi disediakan untuk mereka.
Dalam islam hukum dan agama, hukum dan moral, hukum dan yang disebut ‘gereja’
tidak bisa dipisahkan. Nilai etika inilah yang membedakannya dengan hukum
Barat. Oleh karena itu, ruang lingkup hukum islam mencakup semua bentuk
hubungan, baik kepada Tuhan maupun kepada manusia. Karena asal-usul, sifat dan
tujuannya, hukum islam secara ketat diikat oleh etika agama. “Berdasarkan funsi
utama, hukum islam mengklasifikasikan tindakan yang berkenaan dengan standar
mutlak baik dan buruk yang tidak dapat ditentukan secara rasional, karena Tuhan
sendirilah yang mengetahui apa yang benar-benar baik dan buruk.
Masyarakat sering berubah dari satu ke lain bentuk, baik secara
historis maupun ideologis. Dalam masyarakat teokrasi dan totaliter, pengaturan
tentang prktek sosial, dapat menjadi masalah menonjol dalam tatanan politik.
Sedangkan dalam demokrasi liberal kontemporer, homoseksual yang berlangsung
secara pribadi mungkin dianggap tidak terkait dengan tatanan publik.
Orang-orang Sparta menyetujui homoseksual karena mereka percaya bahwa hal itu
meningkatkan keberanian dalam berperang.
Dalam masyarakat islam, hukum bukan hanya faktor utama tapi juga
faktor pokok yang memberikannya bentuk. Masyarakat islam secara ideal harus
sesuai dengan kitab hukum, sehingga tidak ada perubahan sosial yang mengacaukan
atau menimbulkan karakter tak bermoral dalam masyarakat. Hukum islam harus
berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip
moralitas seperti yang dinyatakan oleh islam. Hukum islam memberikan
ketentuan bahwa kaidah kesusilaan tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat
yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah. Dengan ini nyatalah bahwa hukum islam
menuju kepada kesusilaan yang lebih pasti isinya dan lebih tetap mutu dan
haluannya, karena islam tidak membiarkan semuanya hanya tergantung pada
masyarakat dan manusia saja.
Menurut H.M Rasjidi terdapat
tiga macam hubungan antara hukum dan moral sebagaimana yang dibahas dalam
filsafat hukum umum, yaitu:[5]
1.
Hukum
dan moral harus berdampingan karena moral merupakan pokok hukum.
2.
Masing-masing
hukum dan moral ada bidangnya, tetapi moral lebih tinggi daripada hukum.
3.
Masing-masing
hukum dan moral ada bidangnya sendiriyang tiada hubungannya satu dengan yang
lain.
Hubungan hukum
dan moral menurut ajaran islam tercermin terutama dalam hal sebagai berikut:[6]
1.
Beberapa
ketentuan hukum islam mempertahankan tegaknya moral luhur, seperti terdapat
dalam hukum pidanan yang menetukan bahwa perzinaan adalah delik moral yang
diancam dengan pidana cambuk 100 kali, tanpa memerlukan aduan pihak yang
bersangkutan.
2.
Beberapa
ketentuan hukum islam mengandung nilai moral luhur, seperti terdapat dalam
ketentuan hukum muamalat yang mengajarkan agar orang yang berpiutang mengalami
kesulitan untuk membayar utangnya pada waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian.
3.
Dalam
melaksanakan hukum hendaknya dilandasi dengan nilai moral luhur yang betumpu
pada sikap patuh, taat, dan rela melaksanakan ketentuan hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Berhelah untuk menghidari ketentuan
hukum yang bertentangan dengan nilai moralitas islam.
Dalam Islam hukum dan moral tidak dapat dipisahkan, sehingga ruang
lingkup hukum Islam mencakup semua bentuk hubungan, baik kepada Tuhan maupun
kepada manusia. Karena asal-usul, sifat, dan tujuan hukum Islam secara ketat
diikat oleh etika agama.[7]
Hukum Islam harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas
seperti yang dinyatakan oleh Islam. Adapun syari’ah Islam yang merupakan kode
hukum dank kode moral yang ada secara sekaligus merupakan pola yang luas
tentang tingkkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang
tertimggi, sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak
bisa ditarik secara jelas. [8]
Contohnya seperti hukum Islam lain yang sangat mengutamakan moralitas
adalah dalam ketentuan dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum pidana terdapat
ketentuan bahwa orang yang melakukan zina diancam dengan pidana cambuk seratus
kali di depan umum seperti yang termaktub dalam al- Qur’an surah al- Nur ayat
2. Sedangkan dalam surah al- Isra’ ayat 32 bahwa zina menurut ajaran Islam
dinilai sebagai perbuatan keji dan merupakan perbuatan terburuk yang ditempuh
manusia beradab. Begitu pula persoalan-persoalan yang lain seperti dalam surah
al- Baqarah ayat 280 tentang memakan riba, Huud ayat 85, serta hadis Nabi
tentang penangguhan pembayaran hutang.[9]
Adapun dengan adanya moralitas khusus hukum Allah meletakkan
aturan-aturan universal bagi perbuatan manusia. Seperti pendapat yang
dikemukakan oleh H.A.R. Gibb bahwa hukum Islam memiliki jangkauan paling jauh
dan alat efektif dalam membentuk tatanan sosial dan kehidupan masyarakat Islam.
Di sisi lain hukum Islam juga memiliki norma-norma etika baik dan buruk,
kejahatan dan kebajikan, yang masyarakat secara ideal harus menyesuaikan diri
di dalamnya, sehingga hukum Islam mempengaruhi semua aspek keshidupan sosial,
ekonomi dan semua aspek lainnya.[10]
b. Keadilan Mutlak
Kemakmuran masyarakat tidak terlalu
tergantung pada kerasnya hukum melainkan pada kebenaran yang diilhami oleh
ketakwaan. Oleh karena itu, syari’ah merupakan tatanan tingkah laku moral,
sedangkan takwa merupakan standar bagi pertimbangan tindakan manusia, seperti
firman Allah SWT. dalam surah al- Hujurat ayat 13 sebagai berikut:
Hai manusia, Sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.
Keadilan dalam Islam merupaka perpaduan
yang menyenangkan antara hukum dan moralitas. Islam tidak bermaksud untuk
menghancurkan kebebasan individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan
masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri, dan karenanya juga
melindungi kepentingan yang sah. Hukum memainkan perannya dalam mendamaikan
pribadi dengan kepentingan masyarakat dan bukan sebaliknya. Individu
diperbolehkan mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu
kepentingan masyarakat. Ini mengakhiri perselisihan dan memenuhi tuntutan
keadilan. Oleh karena itu berlaku adil berarti hidup menurut prinsip-prinsip
Islam.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Induk atau prinsip dari budi pekerti menurut Al- Ghazali ada empat: (1) kebijaksanaan (al-hikmah); perilaku
jiwa yang dapat menemukan kebenaran dari yang salah dalam semua perbuatan yang
dikerjakan, (2) keberanian; kekuatan sifat
amarah yang tunduk kepada akal dalam menjalankannya, (3) menjaga diri; mendidik
kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan syara’, dan (4) keadilan; perilaku
jiwa yang dapat mengatur sifat amarah, syahwat, dan dan dapat mengarahkannya
kepada yang dikehendaki hikmah dan dapat menggunakannya menurut kebutuhan.
Barangsiapa dapat melaksanakan empat prinsip ini, maka akan keluarlah akhlak
yang baik keseluruhannya.
2. Moral dan akhlak sangat penting dalam pergaulan hidup di dunia ini. Oleh
karena itu Allah SWT. sengaja mengutus Nabi Muhammad SAW. untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia sebagaimana yang telah di jelaskan dalam al-Qur’an (al-Qalam:
4, al-Ahzab: 21, Ali `Imran: 159), dan al-Hadis
3. Landasan Moral terdapat dalam al-Qur’an (al-Qalam: 4 al-Qashash: 77, dan Hadis Nabi Muhammad SAW bersabda, انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق.
4. Norma susila atau moral telah memadai untuk menciptakan ketertiban dan
mengarahkan tingkah laku anggota masyrakat, dan menegakkan kesejahteraan dalam
masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan kepada seseorang supaya
menjadi manusia yang sempurna.
5. Hukum Bersatu dengan Moral sebagaimana pendapat Prof.
Dr. Hazairin dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan bahwa hukum tanpa
moral adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang
menjurus kepada peri-kebinatangan. Pengaruh moralitas sosial atas perintah
hukum. Pengaruh moralitas sosial atas perintah hukum pada umumnya tergantung pada
karakter masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Syah, Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Radar Jaya
Offset, 1992.
Azhar Basyir, Ahmad,
Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama),
Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997.
[1]
Ismail Muhammad Syah, Filsafat
Hukum Islam, cet. ke-2 (Jakarta: Radar Jaya Offset, 1992), hlm. 121.
[2] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 122.
[5] Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam,
(Yogyakarta: UII Press, 2000)., hlm 58
[7]
Fathurrahman Djamil, Filsafa Hukum Islam (Bagian Pertama), cet.
ke-1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 152- 153.
[8]
Ibid., hlm. 154.
[9]
Ibid., hlm. 155.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda