Isbat Nikah
BAB I
PENDAHULUAN
Perkawinan
adalah salah satu asas pokok hidup, terutama dalam pergaulan atau bermasyarakat
yang sempurna, selain itu perkawinan juga merupakan suatu pokok yang utama
untuk menyusun masyarakat kecil, yang nantinya akan menjadi anggota dalam masyarakat
yang besar.
Perkawinan merupakan perbuatan hukum, tujuan
utama pengaturan hukum dalam perkawinan adalah upaya untuk mewujudkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmat serta menghindari potensi penzaliman
antara satu pihak dengan pihak lainnya. Kenyataan di masyarakat masih banyak
ditemukan perkawinan yang dilakukan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yang tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama dengan berbagai sebab dan alasan sehingga mereka tidak mempunyai Buku
Nikah.
Dari kenyataan tersebut, jelas bahwa pasangan
suami istri yang tidak mempunyai Buku Nikah karena perkawinannya tidak tercatat
atau dicatatkan, tidak dapat memperoleh hak-haknya untuk mendapatkan dokumen
pribadi yang dibutuhkan, termasuk anak-anak mereka tidak akan memperoleh Akta
Kelahiran dari Kantor Catatan Sipil. Solusi yang dapat ditempuh oleh mereka
adalah mengajukan permohoan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Penetapan itsbat
nikah yang dikeluarkan oleh pengadilan agama itu sendiri, kemudian digunakan
dasar untuk mencatatkan perkawinan mereka pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama, dan selanjutnya Kantor Urusan Agama akan menerbitkan Buku Nikah
atau Kutipan Akta Nikah.
Dalam makalah ini nantinya akan membicarakan
seputar Isbat Nikah dan permasalahan yang ada didalamnya, selain itu juga kita
cantumkan permasalahan mengenai kepastian hukum Itsbat Nikah terhadap status
anak, kepastian hukum Itsbat Nikah terhadap status harta perkawinan, serta Itsbat
Nikah atas perkawinan kedua ( poligami ) yang tidak tercatat.
BAB II
PENDAHULUAN
A.
Pengertian dan
Dasar Hukum Itsbat Nikah
Menurut bahasa itsbat nikah terdiri dari dua
kata yaitu kata “ itsbat” yang merupakan masdar atau asal kata dari “atsbata”
yang memiliki arti “menetapkan”, dan kata “ nikah” yang berasal dari kata “nakaha” yang memiliki
arti “saling menikah”, dengan demikian kata “itsbat nikah” memiliki arti yaitu
“penetapan pernikahan”.[1]
Menurut
Peter Salim kata itsbat nikah memiliki pengertian penetapan tentang kebenaran
nikah.[2] Itsbat
nikah sebenarnya sudah menjadi istilah dalam Bahasa Indonesia dengan sedikit
revisi yaitu dengan sebutan isbat nikah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
isbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Itsbat nikah
adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat
agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang
(Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan).
Status
perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan kedudukan perkawinan yang
telah dilangsungkan. Dalam aspek ini sebenarnya undang-undang telah memberikan
rumusan tentang perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam
penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini,
tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang
ini. Berdasarakan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UUP dan penjelasannya ini, dapat
diketahui bahwa patokan untuk mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum
masing-masing agama dan kepercayaan para pihak serta ketentuan
perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam UUP.
Pasal 2 ayat
(2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan akan menimbulkan
kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum
terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari
perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah/Kantor
Urusan Agama akan mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya
sebuah perkawinan.
Akta Nikah
merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut dibuat oleh dan di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan
pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat
Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan
Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti
perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah tidak
mempunyai Kutipan Akta Nikah.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 100 KUH
Perdata tersebut, adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta
perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Bahkan ditegaskan, akta
perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Dengan
perkataan lain, perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah
merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan) perkawinan. Tanpa akta perkawinan
yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada perkawinan. Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Akta Nikah dan
pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan
perkawinan, karena itu walaupun sebagai alat bukti tetapi bukan sebagai alat
bukti yang menentukan sahnya perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah yang
menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan.
Kompilasi Hukum
Islam juga memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah dan ketentuan untuk tertibnya
perkawinan. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU no 1 tahun1974 tentang
perkawinan. Pasal 5 KHI merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat; (2) pencatatan
perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang
No. 32 Tahun 1954.
Selanjutnya
Pasal 6 KHI merumuskan: (1) untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah; (2) perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Pasal 7
menyebutkan bahwa: (1) perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang
dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah; (2) dalam hal perkawinan tidak dapat
dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan
Agama; (3) itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya
Akta Nikah; (c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan; (d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 dan; (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974; (4) yang
berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak
mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Sedangan dari hokum syar’i sendiri secara
eksplisit memang tidak satupun nash baik al-Quran maupun hadis yang menyatakan
keharusan adanya pencatatan perkawinan. Akan tetapi dalam kondisi seperti
sekarang ini, pencatatan perkawinan menjadi sebuah keharusan bagi seseorang,
hal ini disebabkan karena banyak sekali mudharat yang akan ditimbulkan jika
tidak dilakukan pencatatan. Islam menggariskan bahwa setiap kemudharatan itu
sedapat mungkin harus dihindari, sebagaimana ungkapan sebuah kaedah fikih yang
berbunyi :
الضرر يزال
“Kemudharatan harus dihilangkan”
Kemudian sebagai upaya untuk mengurai kesalah
pemahaman tentang sah perkawinan menurut peraturan perundang-udangan, Syekhul Azhar (Guru Besar) DR. Jaad al-Haq
‘Ali Jaad al-Haq dalam fatwanya mengemukakan tentang al-zawaj al-‘urfy adalah
sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Syakh Jaad al-haq mengklasifikasikan ketentuan
yang mengatur pernikahan kepada dua katagori, yaitu peraturan syara’ dan
peraturan yang bersifat al-tawtsiqiy.
Peraturan
syara’ adalah peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah
pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan Syari’at Islam
seperti yang telah dirumuskan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab
yang pada intinya adalah kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua
orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang
sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul
yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk
melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang
telah baligh berakal lagi beragama Islam, di mana dua orang saksi itu
disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab kabul tersebut. Dua
orang saksi tersebut mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat
lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqih, dan tidak terdapat
larangan hukum syara’.
Peraturan
tersebut di atas merupakan unsur-unsur pembentuk akad nikah. Apabila
unsur-unsur pembentuknya seperti diatur dalam Syari’at Islam telah secara
sempurna terpenuhi, maka menurutnya akad nikah itu secara syar’i telah dianggap
sah, sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya suami istri yang sah dan anak
dari hubungan suami istri itu sudah dianggap sebagai anak yang sah.
Peraturan yang bersifat
tawtsiqiy adalah peraturan tambahan dengan tujuan agar pernikahan di kalangan
ummat Islam tidak liar, tetapi tercatat pada buku register Akta Nikah yang
dibuat oleh pihak yang berwenang untuk itu yang diatur dalam peraturan
perundangan administrasi negara. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan
yang merupakan tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam
dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab. Misalnya sebagai upaya antisipasi dari adanya pengingkaran
akad nikah oleh seorang suami di kemudian hari, meskipun pada dasarnya dapat
dilindungi dengan adanya para saksi, tetapi sudah tentu akan lebih dapat
dilindungi lagi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang untuk
itu.
Wahbah
Al-Zulaily dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, dengan tegas membagi
syarat nikah kepada syarat syar’iy dan syarat tautsiqy. Syarat syar’iy adalah
suatu syarat tentang keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang
dalam hal ini adalah rukun-rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan. Sedangkan syarat tawtsiqiy merupakan suatu yang dirumuskan untuk
dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya
antisipasi adanya ketidak jelasan di kemudian hari. Syarat tawtsiqiy tidak
berhubungan dengan syarat sahnya suatu perbuatan, tetapi sebagai bukti adanya
perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang saksi dalam setiap bentuk transaksi
adalah merupakan syarat tawtsiqiy, kecuali kehadiran dua orang saksi itu dalam
perikatan pernikahan adalah merupakan syarat syar’iy, karena merupakan unsur
pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang menentukan pula sah atau tidak sahnya
suatu peristiwa pernikahan, disamping sebagai syarat tawtsiqiy.
Contoh syarat
tawtsiqiy dalam al-Qur’an adalah syarat pencatatan jual beli dengan tidak
secara tunai, sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 282, “Ya
ayyuhalladzina aamanuu idza tadayantum bidaidin illa ajalin musamma faktubuh”
dan pada ayat setelahnya dinyatakan “wa in kuntum ‘ala safarin wa lam tajidu
katiban farihanumm maqbuudlah” Apabila penggalan dua ayat ini, dipahami secara
tektual belaka tanpa mengaitkannya dengan ajaran pada ayat berikutnya, maka
kesimpulan yang segera diperoleh adalah adanya kemestian pencatatan utang
piutang dan kewajiban memberikan barang tanggungan sebagai jaminan utang.
seolah-olah utang-piutang tidak dianggap sah apabila tidak dicatatkan dan atau
tidak ada barang jaminan. Pemahaman seperti ini tidak sejalan dengan pemahaman
para ulama yang ahli dibidangnya. Sebab menurut kesimpulan para ulama,
kedudukan pencatatan dan barang jaminan, hanyalah sebagai alat bukti belaka dan
sebagai jaminan bahwa utang tersebut akan dibayar sesuai waktu yang
dijanjikannya. Kesimpulan para ulama tersebut adalah karena pemahaman ayat di
atas dihubungkan dengan ayat setelahnya “fa in amina ba’dlukun ‘ala ba’dlin
falyuaddi alladzi u’tumina amanatahu” ayat terakhir ini menunjukkan pencatatan
dan barang jaminan adalah alat tawtsiqiy, apabila tautsiqiy atau kepercayaan
itu telah ada pada masing-masing pihak, maka pencatatan dan barang jaminan itu
tidak diperlukan lagi dan utang piutang merupakan amanah yang wajib dibayar.
Perkembangan
pemikiran tentang dasar perintah pencatatan nikah, setidaknya ada dua alasan,
yaitu qiyas dan maslahah mursalah.[3]
a.
Qiyas
1.
Diqiyaskan
kepada pencatatan kegiatan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan
agar dicacat. Firman Allah QS. al-Baqarah ayat 282:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
......
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya ... .
2.
Apabila akad
hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad
nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
3.
Akad nikah
bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti
disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى
بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu
akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
b.
Maslahah
Mursalah.
Maslahah
mursalah adalah kemaslahatan yang tidak dianjurkan oleh syari’at dan juga tidak
dilarang oleh syari’at, semata-mata hadir atas dasar kebutuhan masyarakat.
Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam
penetapan hukum Islam. Dalam hal ini, itsbat nikah dipandang sebagai suatu
kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
B.
Sebab-sebab
Diajukannya Permohonan Isbat Nikah
Itsbat nikah
yang dilaksanak oleh Pengadilan Agama karena pertimbangan mashlahah bagi umat
Islam. Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan
mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang
dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan
kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri.
Adapun sebab-sebab yang melatar belakangi
adanya permohonan Itsbat Nikah ke PA itu sendiri, dalam praktek, khususnya di
PA pihak-pihak yang mengajukan permohonan Itsbat Nikah dapat ditemukan
kebanyakannya :[4]
1.
Adanya
perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No 1 th 1974. untuk hal ini
biasanya dilatar belakangi:
a.
Guna untuk
mencairkan dana pensiun pada PT. Taspen
b.
Untuk penetapan
ahli waris dan pembagian harta waris
2.
Adanya
perkawinan yang terjadi sesudah berlakunya UU No 1 th 1974. ini biasanya
dilatar belakangi:
a.
Karena Akta
Nikah Hilang ;
- bisa karena
untuk pembuatan Akta Kelahiran Anak
- bisa juga
digunakan untuk Gugat Cerai
- bisa juga
untuk gugat pembagian harta gono-gini
Untuk kasus Akta Nikah Hilang seperti ini,
biasanya pihak pemohon dianjurkan
untuk memintakan duplikat Kutipan Akta Nikah dimana tempat nikahnya itu
dilaksanakan; tapi kadangkala ditemukan juga pihak KUA nya menerangkan
perkawinannya tidak terdaftar di KUA ybs, atau ada juga arsip di KUA nya telah
tidak ditemukan, hal terakhir ini biasanya Itsbat Nikah yang dikumulasi dengan
Gugat Cerai.
b.
Karena tidak
punya Akta Nikah
Dalam hal ini kebanyakan diajukan Itsbat Nikah:
- Karena sudah nikah dibawah tangan dengan
alasan sudah hamil duluan dan nikah dilangsungkan karena menutupi malu.
- Karena nikah dibawah tangan sebagai Isteri
kedua dan belum dicatatkan
-Dan ada juga Itsbat Nikah yang semata-mata
diajukan untuk memperoleh kepastian hukum dalam status sebagai isteri, yang
pernikahannya dilakukan dibawah tangan, dan ternyata dibalik itu semua
terkandung maksud upaya melegalkan poligami.
C.
Prosedur,
syarat-syarat Itsbat Nikah
Aturan
Pengesahan nikah/itsbat nikah, dibuat atas dasar adanya sebuah peristiwa
perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan aturan yang ditentukan oleh Agama
akan tetapi tidak memenuhi persyaratan yang di atur oleh Negara yaitu tidak
dicatat oleh PPN yang berwenang.
Adapun prosedur dalam permohonan pengesahan
nikah/Itsbat nikah samahalnya dengan prosedur-prosedur pengajuan perkara
perdata yang lain yaitu sebagaimana di jelaskan didalam buku Peradilan Agama Di
Indonesia di paparkan secara jelas tentang tata cara berperkara di pengadilan
Agama yaitu:[5]
Datang dan Mendaftar ke Kantor
Pengadilan
·
Mendatangi Kantor Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal anda. untuk
menyatakan bahwa dirinya ingin mengajukan gugatan atau permohonan. Gugatan atau
permohonan dapat diajukan dalam bentuk surat atau secara lisan, atau juga dapat
dengan menggunakan kuasa yang telah ditunjuk kepada ketua Pengadilan Agama
dengan membawa surat bukti identitas diri(KTP).
·
Membuat surat permohonan itsbat nikah. Surat permohonan dapat
dibuat sendiri (seperti terlampir). Apabila anda tidak bisa membuat surat permohonan,
anda dapat meminta bantuan kepada Pos Bakum (Pos Bantuan Hukum) yang ada pada
pengadilan setempat secara cuma-Cuma.
·
Memfotokopi formulir permohonan Itsbat Nikah sebanyak 5 rangkap, kemudian
mengisinya dan menandatangani formulir yang telah lengkap. Empat rangkap
formulir permohonan diserahkan kepada petugas Pengadilan, satu fotokopi anda
simpan.
·
Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara lain surat
keterangan dari KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat.
·
Penggugat wajib
membayar uang muka atau biaya ongkos berperkara (pasal 121 ayat (4) HIR)
·
Panitera
pendaftaran perkara menyampaikan gugatan kepada bagian berperkara sehingga
gugatan secara resmi dapat diterima dan didaftarkan dalam buku register
·
Setelah
didaftarkan, gugatan diteruskan kepada Ketua Pengadilan Agama dan diberi
catatan mengenai nomor, tanggal perkara dan ditentukan hari sidangnya
·
Ketua
Pengadilan Agama menentukan majelis Hakim yang akan mengadili dan menentukan
hari sidang
Menghadiri Persidangan
·
Datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera
dalam surat panggilan. Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan terlambat.
·
Hakim ketua
atau anggota majelis Hakim (yang akan memeriksa perkara)memeriksa kelengkapan
surat gugatan
·
Panitera
memanggil penggugat dan tergugat dengan membawa surat panggilan sidang secarat
patut
·
Semua proses
pemeriksaan perkara dicatat dalam Berita Acara Persidangan(BAP).
·
Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti Surat Panggilan
Persidangan, fotokopi formulir permohonan yang telah diisi. Dalam sidang
pertama ini hakim akan menanyakan identitas para Pihak misalnya KTP atau kartu
identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi tertentu hakim kemungkinan akan
melakukan pemeriksaan isi permohonan.
·
Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada
Pemohon/Termohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu sidang
berikutnya. Bagi Pemohon/Termohon yang tidak hadir dalam sidang,untuk
persidangan berikutnya akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang
bersangkutan melalui surat.
·
Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan anda harus mempersiapkan
dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim. Dalam kondisi tertentu, hakim
akan meminta anda menghadirkan saksi-saksi yaitu orang yang mengetahui
pernikahan anda diantaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang-orang
terdekat yang mengetahui pernikahan anda.
Putusan/Penetapan Pengadilan
·
Jika permohonan anda dikabulkan, Pengadilan akan
mengeluarkanputusan/ penetapan itsbat nikah.
·
Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam
jangkawaktu setelah 14 hari dari sidang terakhir.
·
Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri ke
kantorPengadilan atau mewakilkan kepada orang lain dengan Surat Kuasa.
·
Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan tersebut, bisa meminta
KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan anda dengan menunjukkan bukti salinan
putusan/penetapan pengadilan tersebut.
Syarat-syarat
Itsbat Nikah
Syarat-syarat seseorang yang berhak mengajukan
permohonan itsbat nikahantara lain:
1)
Suami atau
istri
2)
Anak-anak
mereka
3)
Wali nikah
4)
Pihak-pihak
yang berkepentingan.
Sebagaimana yang termaktub dalam KHI pasal 7
ayat 4 yang berbunyi; yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah
suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu.
Selanjutnya akan diuraikan tentang prosedur pengajuan isbat nikah,
namun perlu diketahui bahwa perkara isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan
Agama memiliki berapa bentuk antara lain :[6]
1.
Bersifat volunteir (perkara yang pihaknya hanya terdiri dari
Pemohon saja, tidak ada pihak Termohon):
a.
Jika permohonan diajukan oleh suami dan isteri secara bersama-sama;
b.
Jika permohonan diajukan oleh suami/isteri yang ditinggal mati oleh
suami/isterinya, sedang Pemohon tidak mengetahui ada ahli waris lainnya selain
dia.
2.
Bersifat kontensius, (perkara yang pihaknya terdiri dari Pemohon
melawan Termohon atau Penggugat melawanTergugat):
a.
Jika permohonan diajukan oleh salah seorang suami atau isteri,
dengan mendudukkan suami atau isteri sebagai pihak Termohon;
b.
Jika pernohonan diajukan oleh suami atau isteri sedang salah satu
dari suami isteri tersebut masih ada hubungan perkawinan dengan pihak lain,
maka pihak lain tersebut juga harus dijadikan pihak dalam permohonan tersebut;
c.
Jika permohonan diajukan oleh suami atau isteri yang ditinggal mati
oleh suami atau isterinya, tetapi dia tahu ada ahli waris lainnya selain dia;
d.
Jika permohonan diajukan oleh wali nikah, ahli waris atau pihak
lain yang berkepentingan
D.
Kepastian Hukum
Itsbat Nikah Terhadap Status Anak
Sesuai dengan
pembahasan sebelumnya bahwa itsbat nikah hanya dimungkinkan bagi perkawinan
yang tidak ada bukti dicatatkan oleh lembaga berwenang yang memenuhi peraturan
syara’, tentunya itsbat nikah yang dilaksanakan akan memberikan kepastian hukum
terhadap status anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. dalam hal ini,
kepastian hukum tentang status anak di antaranya dapat dilihat dari peraturan
berikut ini:
a.
Undang-undang
Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu: "Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah";
b.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : "Anak sah
adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah";
c.
Pasal 2 ayat
(1), yaitu : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu";
d.
Pasal 2 ayat
(2), yaitu :"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku ";
e.
Pasal 99 KHI,
Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah;
f.
hasil perbuatan
suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Dilihat dari
alasan pengajuan itsbat nikah, alasan utama para pemohon mengajukan permohonan
itsbat nikah ke Pengadilan Agama adalah dalam rangka mengurusan Akta Kelahiran
anak-anak mereka di samping untuk mendapatkan kepastian hukum perkawinan para
pemohon itu sendiri. Ini berarti para orang tua (ayah-ibu) ingin memperjelas
status anak-anak mereka yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat atau
tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat/dicatatkan, pada Akta
Kelahiran yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil hanya akan mencantumkan
nama ibunya sama dengan Akta Kelahiran anak-anak yang lahir di luar nikah.
Konsekuensi
hukumnya, kalau anak perempuan ayahnya tidak dapat menjadi wali nikah apabila
akan menikah karena mereka hanya dinisbahkan kepada ibunya dan/atau keluarga
ibunya, sehingga secara yuridis mereka hanya akan menjadi ahli waris dan
mewarisi harta peninggalan ibunya apabila ibunya telah meninggal dunia,
sedangkan kepada ayahnya sulit untuk menjadi ahli waris dan mewarisi harta
ayahnya karena secara yuridis tidak ada bukti otentik bahwa ia anak ayahnya.
Terlebih lagi apabila ayahnya memiliki anak lain dari isteri yang dikawini atau
dinikahi secara sah dan dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah. Penetapan
itsbat nikah oleh Pengadilan Agama antara lain bertujuan untuk memberikan
perlindungan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat/dicatatkan.
Undang-Undang
Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) menyebutkan aturan hukum perlindungan anak
dalam Pasal 41, 42, 45, 47, 48, dan 49, antara lain berupa status - hubungan
hukum, pendidikan dan perawatan, pemeliharaan dan tindakan hukum, dan pemelihraan
hak dan harta bendanya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) perlindungan anak
disebutkan dalam Pasal-pasal 98, 99, 104, 105, dan 106. Dan upaya mempertegas
dalam memberikan perlindungan anak, negara telah melakukannya secara hukum
melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sehubungan
dengan keharusan memberikan perlindungan kepada anak, Pasal 20 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, “Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak”. Di antara organ dan/atau komponen yang
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak
sebagaimana tersebut di atas, adalah negara dan pemerintah. Kewajiban negara
dan pemerintah dalam penyelenggaraan perlindungan anak, Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 123 Tahun 2002 dinyatakan, “Negara dan pemerintah berkewajiban dan
bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental”.
Itsbat nikah
oleh Pengadilan Agama oleh para pemohon digunakan sebagai alas hukum untuk
mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan, dan Kantor Urusan Agama Kecamatan akan mengeluarkan Buku Kutipan
Akta Nikah sebagai bukti otentik bahwa suatu perkawinan telah tercatat, untuk
selanjutnya Buku Kutipan Akta Nikah itu akan digunakan oleh yang bersangkutan
untuk mengurus Akta Kelahiran Anak pada Kantor Catatan Sipil yang mewilayahinya
dengan dilampiri penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama.
Pengadilan
Agama dengan itsbat nikah mempunyai andil dan kontribusi yang sangat besar dan
penting dalam upaya memberikan rasa keadilan dan kepastian serta perlindungan
hukum bagi masyarakat. Mereka yang selama ini tidak memiliki Kartu Keluarga
karena tidak mempunyai Buku Nikah, setelah adanya penetapan itsbat nikah oleh
Pengadilan Agama mereka akan mudah mengurus Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran anak-anaka
mereka sehingga sudah tidak kesulitan untuk masuk sekolah. Bahkan, calon jamaah
haji yang tidak mempunyai Buku Nikah sangat terbantu dengan itsbat nikah oleh
Pengadilan Agama untuk mengurus paspor.
Ketentuan
pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam (Pasal 5 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam) dan
untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) sebagai instrumen kepastian
hukum, kemudahan hukum, di samping sebagai bukti otentik adanya perkawinan.
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah atau
negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga
negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang lahir dari
perkawinan itu.
Terpenuhinya
hak-hak sosial itu, akan melahirkan tertib sosial sehingga akan tercipta
keserasian dan keselarasan hidup bermasyarakat. Berkaitan dengan itu,
pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, merupakan salah satu produk politik
sosial sebagai deposit politik sosial modern. Oleh karena itu, pasangan suami
istri yang telah melakukan perkawinan menurut hukum agama (Islam), tetapi tidak
tercatat atau dicatatkan, cukup dilakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan itsbat
nikah ke Pengadilan Agama, tanpa harus melakukan nikah ulang atau nikah baru
(tajdid an-nikah) karena hal itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pemecahan
masalah agar anak yang dilahirkan dari perkawinan yang demikian agar
mendapatkan status hukum dapat ditempuh sesuai ketentuan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “bila akta kelahiran tersebut
dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang
teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat”. Bukti-bukti dalam hal ini
harus dikembalikan kepada asas umum pembuktian sesuai Pasal 284 Rbg dan 164 HIR
untuk membuktikan adanya perkawinan yang sah ditambah bukti lain berupa bukti
hasil pemeriksaan tes DNA untuk membuktikan bahwa anak tersebut benar-benar
dilahirkan dari suami istri itu. Solusi ini juga sebenarnya mengandung
konsekwensi apabila seorang anak dinyatakan sebagai anak sah dari hasil
perkawinan poligami di bawah tangan tersebut, walaupun tidak dinyatakan secara
tegas, akan berakibat secara tersirat pengadilan telah mengakui adanya
perkawinan yang menurut undang-undang terdapat halangan.
Akibat hukum
terhadap anak-anak yang dilahirkannya dari perkawinan yang telah memenuhi
peraturan syara’ tidak dapat dinyatakan sebagai anak zina yang identik dengan
anak di luar perkawinan, melainkan sebagai anak yang sah dengan segala
konsekwensi hukumnya, seperti akibat pekawinan tidak tercatat itu menyebabkan
anak-anak yang dilahirkan nasabnya dihubungkan kepada kedua orang tuanya itu,
demikian pula hak dan kewajiban orang tua terhadap anak-anak seharusnya
berjalan sebagai mana mestinya, di antara mereka dapat saling mewarisi satu
dengan yang lainnya dan apabila anak yang dilahirkan itu perempuan, maka ayahnya
berhak menjadi wali anak perempuannya berlaku secara natural (alamiah) saja.
Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kepastian hukum harus dilakukan itsbat nikah
di pengadilan Agama.
E.
Kepastian Hukum
Itsbat Nikah Terhadap Status Harta Perkawinan
Sejalan dengan
kepastian hukum itsbat nikah terhadap status perkawinan, status anak, maka
itsbat nikah juga akan memberikan kepastian hukum terhadap stutus harta
perkawinan. Dengan adanya itsbat nikah, penyelesaian sengketa harta perkawinan
dapat merujuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti
ketentuan Bab VII UU Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang harta benda dalam
perkawinan. Pada pasal 35 disebutkan bahwa (1) Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama; (2) Harta bawaan dari masing-masing
suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah di bawah penguasan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Dalam pasal 36
dirumuskan bahwa: (1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak; (2) Mengenai harta bawaan masing-masing,
suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai hartanya. Apabila pasangan suami istri itu perkawinannya putus karena
perceraian, maka masing-masing pihak akan mendapatkan separuh dari harta
bersama (gono gini) yang mereka peroleh selama dalam ikatan perkawinan
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin (Pasal 37 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam).
F.
Itsbat Nikah
Atas Perkawinan Kedua ( Poligami ) yang tidak tercatat.
Pada dasarnya kewenangan perkara Itsbat Nikah
bagi Pengadilan Agama dalam sejarahnya adalah diperuntukkan bagi mereka yang
melakukan perkawinan dibawah tangan sebelum berlakunya UU No 1 th 1974 jo
Peraturan Pemerintah no.9 th 1975, hal ini dapat dilihat dari pasal 64
undang-undang no 1 tahun 1974 yang berbunyi : “untuk perkawinan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang
ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah” dan
dipertegas pelaksanaannya dalam aturan organik, sebagaimana dalam pasal 49 PP
no 9 tahun 1975, pada ayat (1) menyatakan : “Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal 1 oktober 1975” dan pada ayat (2) berbunyi ”mulai berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan secara efektif dari UU no
1 tahun 1974 tentang perkawinan”.
Kemudian dengan lahirnya Inpres no 1
tahun 1991 tanggal 10 juni 1991 tentang KHI dan Keputusan Menteri Agama no 154
tahun 1991 tentang pelaksanaan Inpres no 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991,
telah memberikan kewenangan lebih luas lagi pada Pengadilan Agama, sebagaimana
diatur dalam pasal 7 ayat 1, 2, 3 dan 4 KHI. Padahal menurut pasal 2 TAP MPR RI
nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan,
Inpres tidaklah termasuk dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan RI,
pertanyaannya adalah apakah ketentuan yang diatur dalam pasal 7 ayat 1, 2,
3 dan 4 KHI tsb, sudah cukup kuat untuk mengatur kewenangan PA tentang hal
istbat nikah tersebut menurut hukum ? jawabannya kewenangan pengadilan harus
diatur dalam UU, hal ini dapat kita lihat pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No 14 th
1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang ayat (1) menyatakan “Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman tercantum pada pasal 1 diserahkan kepada badan-badan
Peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok…” dan pada
ayat (2) berbunyi : “ tugas lain dari pada yang tsb pada ayat (1) dapat
diberikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan “.
Dan dalam UU no 4 th 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman tentang penyesuaian dan perubahan atas UU no 35 th 1999 dan UU no 14
th 1970. yang dalam pasal 6 ayat (1) menyatakan : “tidak seorang pun dapt
dihadapkan didepan pengadilan selain dari pada yang ditentukan oleh
undang-undang”.
Bila dilihat dari betapa lemahnya posisi KHI
dari segi Tata Urutan Perundangan-Undangan di Indonesia, dalam hal ini aturan
yang mengatur tentang Itsbat Nikah, maka tidak mustahil Secara Sosiologis,
apalagi dipahami sementara banyak kalangan yang penting pernikahan itu sah
menurut Norma Agama, akan mendorong terjadinya perkawinan dibawah tangan secara
massif. Kecuali itu hemat penulis selain disempurnakan, termasuk sanksi-sanksi
atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang mengajukan Itsbat Nikah
lebih-lebih Itsbat Nikah atas poligami yang tidak tercatat, sebagai
pembelajaran hukum bagi masyarakat baik bagi yang melangsungkan pernikahan
maupun bagi pihak yang menikahkan, juga segera diusulkan agar KHI ditetapkan
sebagai UU.
Perlu kita ketahui, hukum perkawinan di
Indonesia telah di atur dalam UU no 1 th 1974 jo PP no 9 th 1975. UU no 1 th
1974 berlaku secara efektif sejak tgl 1 oktober 1975, ini artinya sejak tanggal
tsb semua perkawinan baik yang pertama, kedua dan seterusnya harus mengikuti
ketentuan yang telah diatur dalam kedua ketentuan tsb. Dan apabila perkawinan
itu dilakukan setelah tanggal tsb, tapi tidak mengikuti ketentuan tsb, seperti
perkawinan dibawah tangan, poligami liar dsb, dianggap telah menyimpang dari
sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara a Contrario ( mafhum
mukhalafah ) perkawinan tsb dapat ditafsirkan tidak sah.
Menurut hukum, perkawinan seperti tsb di atas
harus dianggap tidak pernah ada. Konsekwensi yuridisnya jika perkawinan tsb
dimohonkan Itsbatnya ke PA dengan alasan apapun harus ditolak, setidaknya
dinyatakan tidak dapat diterima ( not on vankelijk ). Sebab bila perkawinan
dibawah tangan itu dikabulkan dan atau Itsbat Nikahnya diterima, itu berarti
telah mengakui dan membenarkan suatu perbuatan yang telah menyimpang dan atau
melanggar hukum. Semestinya terhadap pelaku penyimpangan dan atau pelanggaran
hukum harus diberi sanksi hukum, dan sanksi hukum atas hal tsb, tidak hanya
sanksi moral saja tapi harus lebih konkrit seperti sanksi berupa denda baik
bagi yang melakukan pernikahan dibawah tangan maupun bagi yang menikahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warsono Munawir , Al–Munawir Kamus Arab-Indonesia.
Departemen
Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum.
Drs. H.
Masrum M Noor, MH.(Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat), Penetapan
Pengesahan Perkawinan, pdf.
Dep.Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Panduan Pengajuan Isbat Nikah, pdf.
http://www.nu.or.id/Situs Resmi Nahdlatul Ulama NU Online
Kepastian Hukum �Itsbat
Nikah�
Terhadap Status Perkawinan, Anak dan Harta Perkawinan.htm.
http://www.intanghina’s.blogspot.com/Analisis Yuridis Status Hukum
Istri yang Menikah di Bawah Tangan Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku Tentang
Perkawinan/« Intanghina’s Weblog.htm
www.pa-pelaihari.net/makalah isbat nikah/htm.
6 Komentar:
saya mw bikin akta anak saya,,tp ga bisa,,krna buku nikah saya lebih muda dr umur anak saya,,tp saya punya lampiran surat keterangan menikah dr kelurahan,,tp ttp ga bisa,,bgmn solusi'y,,
saya mw bikin akta anak saya,,tp ga bisa,,krna buku nikah saya lebih muda dr umur anak saya,,tp saya punya lampiran surat keterangan menikah dr kelurahan,,tp ttp ga bisa,,bgmn solusi'y,,
Mas, mau tanya..kalau calon suami statusnya sudah menikah, apakah dalam buku nikahnya akan ditulis statusnya POLIGAMI?
Terima kasih ya Mas.
Ass..saya mau tanya....kami baru saja menikah di KUA tpi km sudah punya anak dr sebelum kami menikah..pas saya mau ngurus akte anak koq ga bisa ya...malah saya diharuskan ke sidang istbat dlu...saya mohon penjelasannya yaa..
Maav mas rahmadi adie itu kya yg saya alami sekarang...saya mo tanya apa mas sudah selesai membuat akte sekarang
Assalamualaiakum. saya mau bertanya. bapak saya sedang pengajuan sidang isbat untuk pengurusan penetapan ahli waris dan mendapat kendala. karena : 1. Kakek (Ortu Bapak) menikah pada tahun 1943 dan pencatatan di KUA tempat menikah dulu baru dimulai tahun 1950, 2. sewaktu kita mengajukan saksi di tolak Pengadilan karena saksi berusia baru 2 tahun pd saat pernikahan kakek terjadi...padahal, saksi yg saya ajukan adalah saksi yang tertua di kampung domisili kakek. mohon saya bisa diberikan solusi. terimakasih.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda