Jumat, 07 Februari 2014

Wali Nikah



BAB I
PENDAHULUAN

Perkawinan adalah sebuah perjanjian yang sakral. Oleh sebab itu, institusi perkawinan harus dihormati, dilaksanakan dan dilestarikan oleh kaum Muslimin sebagai bentuk pengejawantahan rasa cinta umatnya terhadap sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebagai institusi yang sakral, perkawinan dalam ajaran Islam sarat dengan aturan-aturan syari’at yang sudah baku, yang terdiri dari syarat-syarat dan rukun nikah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, yang harus diikuti dan dipedomani oleh setiap umatnya.
Pada hakekatnya, masing-masing agama memiliki aturan-aturan tersendiri dalam melegitimasi keabsahan sebuah perkawinan. Untuk umat Islam, keabsahan sebuah perkawinan harus ditinjau dari aspek hukum Islam. Sama halnya dengan penganut agama lain, seperti Katholik, Kristen, Hindu dan Budha. Hal ini senada dengan ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi : ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.[1]
Agar sebuah perkawinan dianggap sah sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka setiap perkawinan harus dicatat oleh negara. Pencatatan untuk warga negara yang beragama Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) dan untuk warga negara yang beragama lain dicatat oleh Kantor Catatan Sipil (KCS). Tanpa pencatatan oleh pihak yang berwenang, maka sebuah perkawinan dianggap tidak sah, karena tidak mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini sesuai dengan bunyi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, ”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”[2].
Perkawinan dalam Islam sudah memiliki aturan-aturan yang baku. Dalam istilah fiqhiyah, disebut sebagai syarat dan rukun nikah. Sebagai contoh salah satu rukun nikah adalah wali nikah. Tanpa wali, jelas tidak akan mungkin terjadi suatu pernikahan, sebab wali adalah orang yang akan menikahkan (mengawinkan) mempelai perempuan kepada calon suami. Ketentuan ini selaras dengan hadits Rasulullah SAW yang artinya : Dari Abu Musa , bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda , ” nikah tidak sah apabila tanpa wali”. HR Imam Ahmad dan Imam Empat.[3] Hadits tersebut memberikan isyarat, bahwa setiap perkawinan (pernikahan) dalam Islam harus ada wali nikah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kedudukan wali nikah dalam pernikahan,  mutlak harus ada.
Dalam ajaran fiqh klasik maupun kontemporer  terdapat kesamaan  pandangan dalam  menetapkan wali nikah, bahwa wali nikah itu diklasifikasikan  sebagai wali nasab dan wali hakim. Ketika nikah dilaksanakan dengan wali nasab, mungkin jarang menimbulkan masalah. Tetapi nikah yang menggunakan wali hakim, kadang-kadang menuai masalah. Oleh karena itu, para ahli fiqh/pakar hukum Islam berbeda pandangan dalam menetapkan fatwa menikah dengan wali hakim.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Pengertian wali diartikan sebagai  ”pengasuh pengantin perempuan pada waktu akad nikah yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki, karena ayahnya telah meninggal”[4] sedangkan wali hakim adalah sultan atau Raja yang beragama islam yang bertindak sebagai wali kepada hakim perempuan yang tidak mempunyai wali, oleh karena sultan atau raja ini sibuk dengan tugas-tugas Negara, maka ia menyerahkannya kepada Kadhi-kadhi atau pendaftar-pendaftar nikah untuk bertindak sebagai wali nikah. Dalam lingkungan kita biasanya menggunakan orang-orang yang bekerja dikantor urusan agama (KUA) seperti penghulu dan staf-staf yang ahli dalam bidang tersebut dan mempunyai bekal agama yang cukup disesuaikan dengan syarat-syarat menjadi wali. Hadis dari Nabi SAW :
وَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى , عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ حِبَّانَ , وَأُعِلَّ بِالْإِرْسَالِ

“Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadits mursal.

B.     Hukum Wali Hakim Dalam Pernikahan
Dalam pernikahan adanya wali dan mempelai perempuan adalah penting karena salah satu termasuk hukum nikah. Apabila dalam prosesi pernikahan tidak adanya wali maka perkawinan tersebut tidak sah. Jumhur Ulama diantaranya Imam Malik,  Syafi’i, Ats Tsauri dan Al Laits bin Saad berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah ashabah bukan paman dan bukan saudara seibu dan bukan ahwalil arham lainnya. Kata Imam Syafi’i pernikahan seorang perempuan tidak sah kecuali apabila di nikahkan oleh wali aqrob ( dekat ). Kalau tidak ada wali aqrob maka dinikahkan oleh wali abad ( jauh ) kalau tidak ada maka dinikahkan oleh penguasa (wali Hakim) dan urutannya sebagai berikut:
1.      Ayah
2.       Kakek
3.      Saudara laki-laki sekandung
4.      Saudara laki-laki seayah
5.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7.      Paman sekandung (saudara laki-laki dari ayah yang seibu seayah)
8.      Paman seayah
9.      Anak laki-laki dari paman sekandung
10.  Anak laki-laki dari paman seayah
11.  Hakim
Dari urutan yang berhak dan diperbolehkan untuk menjadi wali adalah sesuai dengan urutan diatas, tidak boleh melompati atau mengganti apabila wali yang terdekat dengan mempelai wanita masih ada. Setelah mengetahui adanya urutan dalam perwalian kita spesifikkan lah kepada wali hakim.

C.    Sebab-Sebab Menggunakan Wali Hakim
1.      Tidak adanya wali nasab. Bagi penganten perempuan yang tidak mempunyai wali nasab seperti saudara baru tidak ada saudara yang memeluk Islam atau perempuan yang tidak mempunyai wali langsung mengikut tertib wali atau anak luar nikah maka wali hakimlah yang menjadi wali dalam perkawinannya.
2.      Anak tidak sah taraf atau anak angkat. Anak tidak sah taraf atau anak diluar nikah ialah anak yang lahir atau terbentuk sebelum diadakan perkawinan yang sah.
3.      Wali yang ada tidak cukup syarat. Dalam Islam kalau wali aqrab tidak mempunyai cukup syarat untuk menjadi menjadi wali seperti gila, tidak sampai umur, dan sebagainya maka bidang kuasa wali itu berpindah kepada wali ab’ad mengikuti tertib wali. Sekiranya satu-satunya wali yang ada itu juga tidak cukup syarat tidak ada wali lagi yang lain maka bidang kuasa wali itu berpindah kepada wali hakim.
4.      Wali aqrob menunaikan haji atau umroh. Dalam kitab minhaj tholibi dalam bab nikah menyatakan jika wali aqrob menunaikan haji atau umroh maka hak hak walinya terlucut dan hak wali itu juga tidak berpindahan kepada wali ab’ad tetapi hak wali itu berpindah kepada wali hakim.
5.      Wali enggan. Para fuqoha sependapat bahwa bahwa wali tidak boleh enggan untuk menikahkan perempuan yang dalam kewaliannya tidak boleh menyakitinya atau melarangnya berkawin walhaj pilihan perempuan itu memenuhi kehendak syarak.

D.    Kedudukan
            Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam perjanjian perkawinan. Menurut Mazhab Hanafi perizinan wali bukan merupakan persyaratan syah nikah tetapi hanya penyempurna perjanjian perkawinan. Alasannya adalah dari riwayat Muslim dari Ibnu Abbas yang katanya Rasulullah SAW bersabda yang artinya Perempuan yang janda lebih berhak atas dirinya dari walinya. Gadis diminta perizinannya dan perizinannya adalah diamnya. Menurut mazhab Hanafi, hadits di atas menerangkan sah pernikahan baik janda maupun perawan tanpa disyaratkan adanya perizinan wali, karena itu mereka menganggap izin wali bukan termasuk syarat sah nikah.
Mazhab Syafi,i’ Maliki dan Hanbali menganggap perizinan wali merupakan syarat sah perjanjian perkawinan dimana perkawinan tanpa izin wali adalah tidak sah. Pendapat ini beralasan pada Al Qur’an dan hadits. Dari ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil antara lain pada QS. al Baqarah ayat 232 :
 “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Imam Bukhari meriwayatkan tentang sebab turunnya ayat di atas ialah karena ulahnya Ma’qal bin Yasar yang mengawinkan saudarinya dengan seorang lelaki kemudian diceraikan oleh suaminya. Sesudah masa iddahnya habis, datang bekas suaminya ingin mengawini kembali, namun Ma’qal melarang dan bersumpah tidak akan mengawinkan saudarinya itu dengan bekas suaminya tadi. Turunlah ayat di atas menegur tindakan Ma’qal yang kedudukannya sebagai wali dan akhirnya Ma’qal membayar kafarah atas sumpahnya.
Di dalam beberapa buah hadits dijelaskan tentang wali hakim yang dapat menggantikan kedudukan wali nasab apabila wali nasab tidak ada atau wali nasab enggan mengawinkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya, padahal perjodohan antara keduanya seimbang. Rasulullah SAW bersabda yang artinya : Maka apabila (wali nasab) enggan sulthanlah yang menjadi wali bagi yang tidak mempunyai wali (HR. Abu Daud, Tirmidzi,Ibnu Majah dan Ahmad dari Aisyah).
Yang dimaksud dengan kata Sulthan adalah pejabat tertinggi dalam negara seperti dalam contoh terdahulu Negus, selaku kepala negara Habsyah. Karena itulah, penulis kitab Subulu as Salam berkata : Yang dimaksud dengan sulthan adalah mereka yang mempunyai kekuasaan, baik ia zalim maupun adil karena hadits-hadits yang memerintahkan mentaati sulthan bersifat umum, mencakup sulthan yang adil maupun yang zalim[5].
Penulis ‘Ianatu al Thalibin mengatakan : “Imam Akbar (kepala negara) tidak mencegahnya menjadi wali karena kefasikannya, sesuai dengan pendapat yang sahih” (‘Ianatu al Thalibin III : 305). Adapun penulis kitab An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sulthan disini ialah imam akbar (kepala negara) atau hakim atau siapa saja yang dilimpahkan wewenang oleh keduanya menjadi wali ketika tidak ada wali khusus/wali nasab (An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 508).  Jadi, orang yang ditunjuk oleh pemerintah adalah wali hakim bagi orang yang tidak mempunyai wali dan orang yang tidak ditunjuk oleh pemerintah tidak berhak menjadi wali hakim.

E.     Tidak Ada Wali
            Wali  hakim  baru  dapat  bertindak  sebagai  wali  nikah  apabila  wali  nasab  tidak  ada  atau  tidak  mungkin  menghadirkannya  atau  tidak  diketahui  tempat  tinggalnya  atau  gaib  atau  adlal  atau enggan.[6] Lebih lanjut, penulis kitab An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi menulis bahwa sulthan hanya mengawinkan wanita balighah dikala tidak ada wali atau walinya enggan atau walinya berada di tempat lain atau apabila walinya sendiri yang ingin mengawininya seperti anak paman wanita itu atau bekas tuannya atau qadhi (An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 503). Pada bagian lain, ia menulis bahwa sulthan mempunyai hak untuk mengawinkan apabila wali berada pada jarak jauh yang membolehkan sembahyang qashar atau apabila wali dalam keadaan berihram (.An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 504).
Demikianlah, dari beberapa kutipan tadi diketahui bahwa wali hakim itu ialah pejabat tinggi negara(kepala negara) atau pejabat yang ditunjuk untuk tugas itu dari kepala negara atau pejabat yang menerima pelimpahan tugas itu. Persyaratan yang harus ada pada wali hakim tidak seperti syarat yang harus ada pada wali nasab, karena seorang kepala negara yang zalim masih berhak menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali. Jadi keadaan yang dapat memungkinkan wali hakim sebagai wali nikah adalah wali nasab tidak ada sama sekali, wali nasab enggan padahal keduanya sekufu, wali nasab berada di tempat yang jauh sekitar 95 Km dari tempat wanita yang ingin menikah, wali nasab dianggap hilang atau tidak diketahui keberadaannya, hidup atau matinya, calon suami juga adalah wali nikah perempuan, wali nasab dalam keadaan berihram haji atau umrah.

F.     Pelaksanaan Wali Hakim
Ketika calon pengantin perempuan tidak mempunyai  wali nikah, pemakalah melakukan prosedur yang standar dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Calon pengantin membuat surat kepada Kepala KUA Kecamatan selaku Wali Hakim mohon untuk dinikahkan dengan wali hakim.
2.      Memanggil dan memeriksa calon pengantin perempuan, ibu kandungnya atau orang yang terdekat yang  ada hubungan dengan catin perempuan (mungkin ibu  angkat, bapak angkat, atau tetangga) yang dapat memberikan keterangan dan penjelasan terkait dengan susunan urutan perwalian. Setelah mendapatkan keterangan yang lengkap dari semua saksi-saksi yang dapat memperkuat verbal tersebut, selanjutnya data tersebut dimasukkan ke dalam Berita Acara Verbal Wali Hakim, kemudian yang bersangkutan diminta untuk membubuhkan tanda tangan pada berita acara.
Dalam mengungkap kasus perwalian  ini,  seorang petugas harus jeli. Terkadang catin perempuan dan saksi mengecoh dan mengelabui petugas, menjelaskan bahwa walinya jauh di kota lain dan sulit untuk dihubungi.  Petugas tidak boleh percaya begitu saja dengan keterangan mereka. Petugas harus gigih memburu keterangan yang benar.
Setelah diketahui secara pasti bahwa catin perempuan tidak mempunyai wali yang berhak, baru kita ambil langkah ketiga, dengan mempersilakan catin  perempuan membuat pernyataan didepan dua orang saksi dan diketahui pejabat setempat (Ketua RT dan Lurah) berdasarkan  hasil verbal yang sudah ada. Surat pernyataan ini dibuat untuk memperkuat verbal itu sendiri. Seandainya dikemudian hari timbul permasalahan yang tidak diinginkan, surat pernyataan ini  akan berfungsi sebagai bahan pertimbangan dalam menyelesaikan masalah.
Apabila langkah pertama sampai dengan ketiga selesai, kemudian hasil penelitian secara seksama menyimpulkan bahwa syarat dan rukun nikah telah terpenuhi, berkas administrasi sudah lengkap sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka langkah selanjutnya adalah melaksanakan akad nikah dan pencatatannya.
Langkah-langkah penyelesaian masalah seperti yang diuraikan diatas, berbeda dengan masalah wali adhal. Untuk  menyelesaikan kasus wali adhal, disamping petugas melakukan langkah-langkah seperti yang tersebut di atas, setelah diperiksa ternyata memang benar orang tuanya enggan menikahkan (adhalnya wali), maka  langkah selanjutnya Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Kepala KUA Kecamatan yang mewilayahi  membuat surat  pemberitahuan adanya halangan/kekurangan persyaratan (N.9) yang ditujukan kepada calon pengantin laki-laki dan perempuan. Kemudian setelah yang bersangkutan mendapat N.9 lalu mengadu ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya untuk mohon penetapan wali hakim adhal. Apabila sudah ada keputusan dan ada kekuatan hukum yang sah , dan telah memenuhi syarat dan rukun nikah serta lengkap administrasinya, barulah PPN dapat melaksanakan akad nikah dan pencatatannya.

Di lapangan, terkadang masih ada sebagian petugas yang mengabaikan prinsip kehati-hatian seperti ini, tanpa mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya. Apalagi jika petugas  tergiur dengan iming-iming materi, berupa uang atau lainnya. Yang penting : nikah. Seperti kasus nikah wali hakim dengan alasan walinya jauh. Apabila ada seorang catin perempuan memberikan alasan walinya jauh atau enggan, seyogianya seorang petugas jangan mudah percaya. Perlu pemeriksaan yang teliti, siapa tahu orangtuanya masih ada. Atau, jika masih memungkinkan, perlu dicarikan solusi lain untuk menyelesaikannya. Salah satunya dengan cara wali berwakil, bukan dengan wali hakim. Karena nikah dengan wali hakim dengan alasan walinya jauh, dikemudian hari dapat dituntut oleh orangtua (walinya).
Jika ada tuntutan dari walinya, nikahnya dapat dibatalkan sesuai dengan ketentuan pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: ”Perkawinan  dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan  perkawinan. (Departemen Agama RI, 2003 hlm. 94). Oleh karena itu seorang petugas tidak boleh gegabah mengambil keputusan tanpa didasari oleh hukum yang jelas, baik syar’i maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian dapat difahami bahwa nikah wali hakim adalah merupakan solusi terakhir ketika wali nikah terputus, berbeda agama, tidak diketahui rimbanya, walinya ada dipenjara yang tidak bisa ditemui, wali sedang menjalankan Haji dan Umrah dan adhal wali.






BAB III
PENUTUP
Menteri Agama RI menunjuk Kepala KUA kecamatan untuk menjadi wali hakim bagi mereka yang tidak mempunyai wali. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa seorang wali hakim, baru bisa bertindak sebagai wali nikah bila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau walinya ghaib atau adhal (enggan).
Kepala KUA atau petugas dilapangan harus ekstra hati-hati menyelidiki kebenaran fakta bila dikatakan seorang wali nasab tidak dapat melaksanakan perwaliannya. Masih ada sebagian petugas (Kepala KUA) yang mengabaikan peraturan dan hukum yang berlaku tanpa mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya.









DAFTAR PUSTAKA

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Ahmad Azhar Basyir,Hukum Perkawinan Islam,1989, yogyakarta
Aplikasi Bulughul Marom, al-Hadis no. 938, 1978,
Undang- undang Nomor 1 tahun 1974  tentang Perkawinan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan  RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,    1991
http://kuamustikajaya.blogspot.com/2012/01/kedudukan-wali-hakim.html
application subulu as salam


[1] pasal 2 ayat (1)
[2] pasal 2 ayat (2)
[3] . Bulughul Marom, hadis no. 938, 1978, hal.362
[4] kbbi
[5] Subulu as salam 3:118
[6] Khi bagian IV pasal 23 (1)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda