Wali Nikah
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Perkawinan adalah sebuah perjanjian yang sakral. Oleh sebab itu,
institusi perkawinan harus dihormati, dilaksanakan dan dilestarikan oleh kaum
Muslimin sebagai bentuk pengejawantahan rasa cinta umatnya terhadap sunnah Nabi
Muhammad SAW. Sebagai institusi yang sakral, perkawinan dalam ajaran Islam
sarat dengan aturan-aturan syari’at yang sudah baku, yang terdiri dari
syarat-syarat dan rukun nikah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, yang harus diikuti
dan dipedomani oleh setiap umatnya.
Pada hakekatnya, masing-masing agama memiliki aturan-aturan
tersendiri dalam melegitimasi keabsahan sebuah perkawinan. Untuk umat Islam,
keabsahan sebuah perkawinan harus ditinjau dari aspek hukum Islam. Sama halnya
dengan penganut agama lain, seperti Katholik, Kristen, Hindu dan Budha. Hal ini
senada dengan ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi :
”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”.[1]
Agar sebuah perkawinan dianggap sah sesuai dengan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka setiap perkawinan
harus dicatat oleh negara. Pencatatan untuk warga negara yang beragama Islam di
Kantor Urusan Agama (KUA) dan untuk warga negara yang beragama lain dicatat
oleh Kantor Catatan Sipil (KCS). Tanpa pencatatan oleh pihak yang berwenang,
maka sebuah perkawinan dianggap tidak sah, karena tidak mengikuti peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini sesuai dengan bunyi
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, ”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”[2].
Perkawinan dalam Islam sudah memiliki aturan-aturan yang baku. Dalam
istilah fiqhiyah, disebut sebagai syarat dan rukun nikah. Sebagai
contoh salah satu rukun nikah
adalah wali nikah. Tanpa
wali, jelas tidak akan mungkin terjadi suatu pernikahan, sebab wali adalah
orang yang akan menikahkan (mengawinkan) mempelai perempuan kepada calon suami.
Ketentuan ini selaras dengan hadits Rasulullah SAW yang artinya : Dari Abu
Musa , bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda , ” nikah tidak sah apabila tanpa
wali”. HR Imam Ahmad dan Imam Empat.[3]
Hadits tersebut memberikan isyarat, bahwa setiap perkawinan (pernikahan) dalam
Islam harus ada wali nikah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kedudukan wali
nikah dalam pernikahan, mutlak harus ada.
Dalam ajaran fiqh klasik maupun kontemporer terdapat
kesamaan pandangan dalam menetapkan wali nikah, bahwa wali nikah
itu diklasifikasikan sebagai wali nasab dan wali hakim.
Ketika nikah dilaksanakan dengan wali nasab, mungkin jarang menimbulkan
masalah. Tetapi nikah yang menggunakan wali hakim, kadang-kadang menuai
masalah. Oleh karena itu, para ahli fiqh/pakar hukum Islam berbeda pandangan
dalam menetapkan fatwa menikah dengan wali
hakim.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pengertian wali diartikan sebagai
”pengasuh pengantin perempuan pada waktu akad nikah yaitu orang yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki, karena ayahnya telah
meninggal”[4]
sedangkan wali hakim adalah sultan atau Raja yang beragama islam yang bertindak
sebagai wali kepada hakim perempuan yang tidak mempunyai wali, oleh karena
sultan atau raja ini sibuk dengan tugas-tugas Negara, maka ia menyerahkannya
kepada Kadhi-kadhi atau pendaftar-pendaftar nikah untuk bertindak sebagai wali
nikah. Dalam lingkungan kita biasanya menggunakan orang-orang yang bekerja
dikantor urusan agama (KUA) seperti penghulu dan staf-staf yang ahli dalam
bidang tersebut dan mempunyai bekal agama yang cukup disesuaikan dengan
syarat-syarat menjadi wali. Hadis dari Nabi SAW :
وَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى , عَنْ أَبِيهِ قَالَ
: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ ,
وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ حِبَّانَ , وَأُعِلَّ بِالْإِرْسَالِ
“Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak sah nikah kecuali dengan wali." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi,
dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadits mursal.”
B.
Hukum
Wali Hakim Dalam Pernikahan
Dalam pernikahan adanya wali dan mempelai perempuan adalah penting karena salah satu termasuk
hukum nikah. Apabila dalam prosesi pernikahan tidak adanya wali maka perkawinan
tersebut tidak sah. Jumhur Ulama
diantaranya Imam Malik, Syafi’i, Ats
Tsauri dan Al Laits bin Saad berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah
ashabah bukan paman dan bukan saudara seibu dan bukan ahwalil arham lainnya. Kata
Imam Syafi’i pernikahan seorang perempuan tidak sah kecuali apabila di nikahkan
oleh wali aqrob ( dekat ). Kalau tidak ada wali aqrob maka dinikahkan oleh wali
abad ( jauh ) kalau tidak ada maka dinikahkan oleh penguasa (wali Hakim) dan
urutannya sebagai berikut:
1.
Ayah
2.
Kakek
3.
Saudara
laki-laki sekandung
4.
Saudara
laki-laki seayah
5.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7.
Paman
sekandung (saudara laki-laki dari ayah yang seibu seayah)
8.
Paman
seayah
9.
Anak
laki-laki dari paman sekandung
10. Anak laki-laki dari paman seayah
11. Hakim
Dari urutan yang berhak dan diperbolehkan untuk menjadi wali adalah
sesuai dengan urutan diatas, tidak boleh melompati atau mengganti apabila wali
yang terdekat dengan mempelai wanita masih ada. Setelah mengetahui adanya
urutan dalam perwalian kita spesifikkan lah kepada wali hakim.
C.
Sebab-Sebab Menggunakan Wali Hakim
1.
Tidak
adanya wali nasab. Bagi penganten
perempuan yang tidak mempunyai wali nasab seperti saudara baru tidak ada
saudara yang memeluk Islam atau perempuan yang tidak mempunyai wali langsung
mengikut tertib wali atau anak luar nikah maka wali hakimlah yang menjadi wali
dalam perkawinannya.
2.
Anak tidak
sah taraf atau anak angkat. Anak tidak sah taraf atau anak
diluar nikah ialah anak yang lahir atau terbentuk sebelum diadakan perkawinan
yang sah.
3.
Wali yang
ada tidak cukup syarat. Dalam Islam kalau wali aqrab tidak mempunyai cukup
syarat untuk menjadi menjadi wali seperti gila, tidak sampai umur, dan
sebagainya maka bidang kuasa wali itu berpindah kepada wali ab’ad mengikuti
tertib wali. Sekiranya satu-satunya wali yang ada itu
juga tidak cukup syarat tidak ada wali lagi yang lain maka bidang kuasa wali
itu berpindah kepada wali hakim.
4.
Wali aqrob
menunaikan haji atau umroh. Dalam
kitab minhaj tholibi dalam bab nikah menyatakan jika wali aqrob menunaikan haji
atau umroh maka hak hak walinya terlucut dan hak wali itu juga tidak
berpindahan kepada wali ab’ad tetapi hak wali itu berpindah kepada wali hakim.
5.
Wali enggan. Para fuqoha sependapat bahwa bahwa wali tidak boleh enggan
untuk menikahkan perempuan yang dalam kewaliannya tidak boleh menyakitinya atau
melarangnya berkawin walhaj pilihan perempuan itu memenuhi kehendak syarak.
D. Kedudukan
Para
ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam perjanjian perkawinan.
Menurut Mazhab Hanafi perizinan wali bukan merupakan persyaratan syah nikah tetapi
hanya penyempurna perjanjian perkawinan. Alasannya adalah dari riwayat Muslim
dari Ibnu Abbas yang katanya Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Perempuan yang janda lebih berhak
atas dirinya dari walinya. Gadis diminta perizinannya dan perizinannya adalah
diamnya”.
Menurut mazhab Hanafi, hadits di atas menerangkan sah pernikahan baik janda
maupun perawan tanpa disyaratkan adanya perizinan wali, karena itu mereka
menganggap izin wali bukan termasuk syarat sah nikah.
Mazhab Syafi,i’ Maliki dan Hanbali
menganggap perizinan wali merupakan syarat sah perjanjian perkawinan dimana
perkawinan tanpa izin wali adalah tidak sah. Pendapat ini beralasan pada Al
Qur’an dan hadits. Dari ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil antara lain pada
QS. al Baqarah ayat 232 :
“Apabila kamu
mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para
wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah
yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah
dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.”
Imam Bukhari
meriwayatkan tentang sebab turunnya ayat di atas ialah karena ulahnya Ma’qal
bin Yasar yang mengawinkan saudarinya dengan seorang lelaki kemudian diceraikan
oleh suaminya. Sesudah masa iddahnya habis, datang bekas suaminya ingin
mengawini kembali, namun Ma’qal melarang dan bersumpah tidak akan mengawinkan
saudarinya itu dengan bekas suaminya tadi. Turunlah ayat di atas menegur
tindakan Ma’qal yang kedudukannya sebagai wali dan akhirnya Ma’qal membayar
kafarah atas sumpahnya.
Di dalam
beberapa buah hadits dijelaskan tentang wali hakim yang dapat menggantikan
kedudukan wali nasab apabila wali nasab tidak ada atau wali nasab enggan
mengawinkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya, padahal perjodohan antara
keduanya seimbang. Rasulullah
SAW bersabda yang artinya : “Maka apabila (wali nasab) enggan sulthanlah yang menjadi
wali bagi yang tidak mempunyai wali” (HR. Abu Daud, Tirmidzi,Ibnu Majah
dan Ahmad dari Aisyah).
Yang dimaksud dengan kata Sulthan
adalah pejabat tertinggi dalam negara seperti dalam contoh terdahulu Negus,
selaku kepala negara Habsyah. Karena itulah, penulis kitab Subulu as Salam
berkata : “Yang
dimaksud dengan sulthan adalah mereka yang mempunyai kekuasaan, baik ia zalim
maupun adil karena hadits-hadits yang memerintahkan mentaati sulthan bersifat
umum, mencakup sulthan yang adil maupun yang zalim”[5].
Penulis ‘Ianatu
al Thalibin mengatakan : “Imam Akbar (kepala negara) tidak mencegahnya menjadi
wali karena kefasikannya, sesuai dengan pendapat yang sahih” (‘Ianatu al
Thalibin III : 305). Adapun penulis kitab An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah
bihi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sulthan disini ialah imam akbar
(kepala negara) atau hakim atau siapa saja yang dilimpahkan wewenang oleh
keduanya menjadi wali ketika tidak ada wali khusus/wali nasab (An Nikahu wa al
Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 508). Jadi,
orang yang ditunjuk oleh pemerintah adalah wali hakim bagi orang yang tidak
mempunyai wali dan orang yang tidak ditunjuk oleh pemerintah tidak berhak menjadi
wali hakim.
E. Tidak
Ada Wali
Wali hakim
baru dapat bertindak
sebagai wali nikah
apabila wali nasab
tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya atau
tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib
atau adlal atau enggan.[6]
Lebih lanjut, penulis kitab An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi menulis
bahwa sulthan hanya mengawinkan wanita balighah dikala tidak ada wali atau
walinya enggan atau walinya berada di tempat lain atau apabila walinya sendiri
yang ingin mengawininya seperti anak paman wanita itu atau bekas tuannya atau
qadhi (An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 503). Pada bagian lain, ia
menulis bahwa sulthan mempunyai hak untuk mengawinkan apabila wali berada pada
jarak jauh yang membolehkan sembahyang qashar atau apabila wali dalam keadaan
berihram (.An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 504).
Demikianlah, dari beberapa kutipan
tadi diketahui bahwa wali hakim itu ialah pejabat tinggi negara(kepala negara) atau
pejabat yang ditunjuk untuk tugas itu dari kepala negara atau pejabat yang
menerima pelimpahan tugas itu. Persyaratan yang harus ada pada wali hakim tidak
seperti syarat yang harus ada pada wali nasab, karena seorang kepala negara
yang zalim masih berhak menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali. Jadi
keadaan yang dapat memungkinkan wali hakim sebagai wali nikah adalah wali nasab
tidak ada sama sekali, wali nasab enggan padahal keduanya sekufu, wali nasab berada
di tempat yang jauh sekitar 95 Km dari tempat wanita yang ingin menikah, wali nasab dianggap hilang atau
tidak diketahui keberadaannya, hidup atau matinya, calon suami juga adalah wali nikah
perempuan, wali
nasab dalam keadaan berihram haji atau umrah.
F. Pelaksanaan
Wali Hakim
Ketika calon pengantin perempuan tidak mempunyai
wali nikah, pemakalah melakukan prosedur yang standar dengan menempuh langkah-langkah
sebagai berikut :
1.
Calon pengantin membuat surat kepada Kepala KUA Kecamatan selaku Wali Hakim
mohon untuk dinikahkan dengan wali hakim.
2.
Memanggil dan memeriksa calon pengantin perempuan, ibu kandungnya atau
orang yang terdekat yang ada hubungan dengan catin perempuan (mungkin ibu
angkat, bapak angkat, atau tetangga) yang dapat memberikan keterangan dan
penjelasan terkait dengan susunan urutan perwalian. Setelah
mendapatkan keterangan yang lengkap dari semua saksi-saksi yang dapat
memperkuat verbal tersebut, selanjutnya data tersebut dimasukkan ke dalam
Berita Acara Verbal Wali Hakim, kemudian yang bersangkutan diminta untuk
membubuhkan tanda tangan pada berita acara.
Dalam mengungkap kasus perwalian ini,
seorang petugas harus jeli. Terkadang catin perempuan dan saksi mengecoh
dan mengelabui petugas, menjelaskan bahwa walinya jauh di kota lain dan sulit
untuk dihubungi. Petugas tidak boleh percaya begitu saja dengan
keterangan mereka. Petugas harus gigih memburu keterangan yang benar.
Setelah diketahui secara pasti bahwa
catin perempuan tidak mempunyai wali yang berhak, baru kita ambil langkah ketiga,
dengan mempersilakan catin perempuan membuat pernyataan didepan dua
orang saksi dan diketahui pejabat setempat (Ketua RT dan Lurah)
berdasarkan hasil verbal yang sudah ada. Surat
pernyataan ini dibuat untuk memperkuat verbal itu sendiri. Seandainya
dikemudian hari timbul permasalahan yang tidak diinginkan, surat pernyataan
ini akan berfungsi sebagai bahan pertimbangan dalam menyelesaikan
masalah.
Apabila langkah pertama sampai dengan
ketiga selesai, kemudian hasil penelitian secara seksama menyimpulkan bahwa
syarat dan rukun nikah telah terpenuhi, berkas administrasi sudah lengkap
sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka langkah selanjutnya adalah
melaksanakan akad nikah dan pencatatannya.
Langkah-langkah penyelesaian masalah seperti yang
diuraikan diatas, berbeda dengan masalah wali adhal. Untuk menyelesaikan
kasus wali adhal, disamping petugas melakukan langkah-langkah seperti yang tersebut
di atas, setelah diperiksa ternyata memang benar orang tuanya enggan menikahkan
(adhalnya wali), maka langkah selanjutnya Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
atau Kepala KUA Kecamatan yang mewilayahi membuat surat
pemberitahuan adanya halangan/kekurangan persyaratan (N.9) yang ditujukan
kepada calon pengantin laki-laki dan perempuan. Kemudian setelah yang
bersangkutan mendapat N.9 lalu mengadu ke Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggalnya untuk mohon penetapan wali hakim adhal. Apabila sudah ada
keputusan dan ada kekuatan hukum yang sah , dan telah memenuhi syarat dan rukun
nikah serta lengkap administrasinya, barulah PPN dapat melaksanakan akad nikah
dan pencatatannya.
Di lapangan, terkadang masih ada sebagian petugas yang
mengabaikan prinsip kehati-hatian seperti ini, tanpa mempertimbangkan manfaat
dan mudharatnya. Apalagi jika petugas tergiur dengan iming-iming materi,
berupa uang atau lainnya. Yang penting : nikah. Seperti kasus nikah wali hakim
dengan alasan walinya jauh. Apabila ada seorang catin perempuan memberikan
alasan walinya jauh atau enggan, seyogianya seorang petugas jangan mudah
percaya. Perlu pemeriksaan yang teliti, siapa tahu orangtuanya masih ada. Atau,
jika masih memungkinkan, perlu dicarikan solusi lain untuk menyelesaikannya.
Salah satunya dengan cara wali berwakil, bukan dengan wali hakim. Karena nikah
dengan wali hakim dengan alasan walinya jauh, dikemudian hari dapat dituntut
oleh orangtua (walinya).
Jika ada tuntutan dari walinya,
nikahnya dapat dibatalkan sesuai dengan ketentuan pasal 22 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 yang berbunyi: ”Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. (Departemen Agama RI, 2003 hlm. 94). Oleh karena itu seorang petugas
tidak boleh gegabah mengambil keputusan tanpa didasari oleh hukum yang jelas,
baik syar’i maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian
dapat difahami bahwa nikah wali hakim adalah merupakan solusi terakhir ketika
wali nikah terputus, berbeda agama, tidak diketahui rimbanya, walinya ada
dipenjara yang tidak bisa ditemui, wali sedang menjalankan Haji dan Umrah dan
adhal wali.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Menteri Agama RI menunjuk Kepala KUA kecamatan untuk menjadi wali
hakim bagi mereka yang tidak mempunyai wali. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
23 ayat (2) menyatakan bahwa seorang wali hakim, baru bisa bertindak sebagai
wali nikah bila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau
tidak diketahui tempat tinggalnya atau walinya ghaib atau adhal (enggan).
Kepala KUA atau petugas dilapangan harus ekstra hati-hati
menyelidiki kebenaran fakta bila dikatakan seorang wali nasab tidak dapat melaksanakan
perwaliannya. Masih ada sebagian petugas (Kepala KUA) yang mengabaikan
peraturan dan hukum yang berlaku tanpa mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Ahmad
Azhar Basyir,Hukum Perkawinan Islam,1989, yogyakarta
Aplikasi
Bulughul Marom, al-Hadis no. 938, 1978,
Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1991
http://kuamustikajaya.blogspot.com/2012/01/kedudukan-wali-hakim.html
application subulu as salam
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda