Jumat, 07 Februari 2014

Perkawinan Karena Hamil Di Luar Nikah




BAB I
PENDAHULUAN
Kawin hamil merupakan fenomena yang semakin marak di masyarakat akhir-akhir ini. Bahkan seolah-olah kawin hamil telah menjadi bagian dari budaya yang berkembang dalam masyarakat kita. Seandainya pada setiap perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah mencatat pasangan yang kawin hamil, pasti akan diperoleh data yang dapat membuat kita tercengang. Prosentase perkawinan yang dicatat mungkin didominasi oleh kawin hamil. Namun yang menjadi persoalan adalah banyak orang di sekitar kita yang belum tahu tentang hukum kawin hamil itu sendiri, untuk itu dalam makalah ini kami akan mengungkap misteri dibalik kawin hamil dilihat dari kacamata islam.
RUMUSAN MASALAH
1.      Kawin hamil dalam perspektif Islam
2.      Hukum kawin dengan wanita yang hamil di luar nikah.
3.      Pendapat beberapa Ulama’ dan KHI tentang kawin hamil.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN KAWIN HAMIL
Yang dimaksud dengan “kawin hamil” disini ialah kawin dengan seorang wanita yang hamil di luar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya[1]. Fenomena yang menjamur di kalangan muda-mudi saat ini, yang sulit terelakkan lagi adalah perzinaan, sebelum mendapat label sah sebagai pasangan suami istri. Hal ini sudah dianggap biasa di tengah-tengah masyarakat kita. Si wanita dengan menahan malu telah memiliki isi dalam perutnya.
B.     PENDAPAT FUQAHA’
Hukum kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut :
1.      Ulama Syafi’iah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Alasanya karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi. Mereka juga berpendapat karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.[2]
2.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya, alasannya wanita hamil akibat zina tidak termasuk kedalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. An-Nisa:22,23,24.
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak di luar nikah).
Dengan demikian, status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini ibunya itu, pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat:
a)      Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang sah[3].
b)      Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak di luar nikah, walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan ovum bapak dari ibunya itu.
3.      Ulama Malikiyyah berpendapata bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama suka atau diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra’. Bagi wanita merdeka dan tidak hamil, istibra’-ya tiga kali haid, sedangkan bagi amat istibra’-nya cukup satu kali haid, tapi bila ia hamil baik merdeka atau amat istibra’nya sampai melahirkan. Dengan demikian ulama Malikiyyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, apalagi ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil, akad nikah itu fasid dan wajid difasakh[4].
4.      Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi dengan laki-laki yang menzinainya, kecuali wanita itu telah memenuhi dua syarat berikut :
Pertama : telah habis masa iddahnya. Jika ia hamil iddahnya habisa dengan melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil maka akad nikahnya tidak sah.
Kedua : telah bertaubat dari perbuatan zina. (QS. An-Nur : 3)[5]
5.      Sayyid Sabiq berpendapat demikian dengan berargumen pada firman Allah SWT : "Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, dia akan mendapat dosa. Akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan ia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka Allah akan menggantikan kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
6.      Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah pernah diterapkan oleh sahabat nabi antara lain:
a)      Ketika Jabir bin Abdilah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina, beliau berkata: “boleh mengawinkannya, asal keduanya telah betaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya”.
b)      Seorang laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada Khalifah Abu Bakar dan berkata: Ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan inginkan agar keduanya dikawinkan. Ketika itu Khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkannya[6].
Selanjutnya mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para ulama :
1.      Imam Abu Yusuf, mengatakan keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat beliau itu berdasarkan firman Allah:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan kepada perempuan yang berzina atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman (Q.S.An-Nur 3).
Maksud ayat tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang wanita yang berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina.
Ayat tersebut di atas diperkuat oleh hadist Nabi:
ﺍﻦ ﺮﺠﻼ ﺗﺯﻮﺝ ﺍﻤﺮﺃ ﺓ ﻔﻠﻤﺎ ﺍﺻﺎ ﺒﻬﺎ ﻮ ﺠﺪ ﻫﺎﺤﺑﻠﻰ ٬ﻓﺮﺟﻊ ﺫﻠﻙ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﻧﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮ ﺴﻠﻢ ٬ﻓﻔﺮﻖ ﺒﻴﻧﻬﻣﺎ ﻮ ﺠﻌﻞ ﻠﻬﺎ ﺍﻠﺼﺪﺍﻖ ﻮ ﺠﻠﺪ ﻫﺎ ﻤﺎ ﺌﺔ׳
Sesungguhnya seorang leki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia mencampurinyaia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan wanita itu diberi maskawin, kemudian wanita itu didera (dicambuk) sebanyak 100 kali.
Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain kecuali dengan dua syarat:
a)      Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
b)      Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
2.      Imam Muhammad bin Al- Hasan Al- Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadits:
ﻻﺘﺆﻄﺄﺤﺎﻤﻼﺤﺘﻰﺘﻀﻊ
Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir (kandungannya).


C.     PERSPEKTIF KHI (Kompilasi Hukum Islam)
KHI berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahi wanita itu laki-laki yang menghamilinya. Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sah karena pasal 53 ayat 1 KHI tidak memberikan peluang untuk itu.[7]
Secara lengkap, isi pasal 53 KHI itu adalah sebagai berikut[8] :
1)      Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2)      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3)      Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak dipelukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Sebagaimana yang tertuang pada pasal 53 ayat 1, KHI membatasi pernikahan wanita hamil hanya dengan pria yang menghamilinya, tidak memberi peluang kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya. Karena itu, kawin darurat yang selama ini masih terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan sembarang laki-laki, yang dilakukannya hanya untuk menutupi malu (karena sudah terlanjur hamil), baik istilahnya kawin “Tambelan”, “Pattongkogsi sirig”, atau orang sunda menyebutnya kawin “Nutupan kawirang”, oleh KHI dihukumi tidak sah untuk dilakukan.
Pendapat KHI ini mirip dengan pendapat Abu yusuf dan Za’far dari mazdhab hanafiyah. Keduanya berpendapat bahwa wanita hamil akibat zina dapat dinikahkan kepada laki-laki yang menghamilinya, tapi tidak kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya. Hanya saja ada perbedaan pendapat diantara keduanya.
Bila Abu yusuf dan Za’far beralasan bahwa kehamilan wanita itu menyebabkan terlarangnya persetubuhan yang berakibat terlarang pula akad nikah, sedangkan KHI lebih cenderung kepada masalah tujuan disyari’atkannya nikah dan kaitan antara akad nikah yang sah dan kedudukan anak[9].







BAB III
KESIMPULAN
Terjadinya wanita hamil di luar nikah (yang hal ini sangat dilarang oleh agama, norma, etika, perundang-undangan negara), selain karena adanya pergaulan bebas, juga karena lemah (rapuhnya) iman pada masing-masing pihak. Oleh karenanya, untuk mengantisipasi perbuatan yang keji dan terlarang itu, pendidikan agama yang mendalam dan kesadaran hukum semakin diperlukan.










DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abd, Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, Kencana: 2008.
Humaedillah, Memed, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, Jakarta: Gema Insani Press, 2002
Sabiq, Sayyid, Fiqih Al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, cet. Ke-4, jilid 2.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, 1991/1992


[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munkahat (Jakarta: Prenada Media Group, Kencana, 2008) cet. 3, hlm 124
[2] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘alal Mazahibul Arba’ah (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 969) Juz IV, Hlm. 521
[3] Ibid, Abdul Rahman Ghozali. Hlm. 128
[4] Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 37
[5]Ibid, Memed Humaedillah, hlm. 38
[6] Ibid, Abdul Rahman Ghozali. Hlm. 125
[7] Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 40
[8] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta, 1991/1992), hlm. 34
[9]Ibid, Memed Humaedillah. Hlm. 41

1 Komentar:

Pada 24 September 2015 pukul 22.47 , Blogger Unknown mengatakan...

nice share gan, joss artikelnya

Souvenir Wedding Kediri

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda