Jumat, 07 Februari 2014

Tata Cara Nikah




BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu aspek yang paling penting untuk dicermati dalam pencatatan perkawinan adalah sahnya perkawinan. Dengan masih banyak masyarakat yang masih melakukan praktek “nikah sirri  padahal suatu perkawinan yang sah akan menempatkan kedudukan pria dan wanita dalam aspek sosialnya pada posisi terhormat sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang terhormat, dan dalam aspek hukum akan memperoleh perlindungan hukum dalam aspek hak dan kewajibannya. 
Indonesia yang merupakan bangsa yang memiliki keragaman budaya dan agama memiliki kebijakan hukum perdata yang tidak terunifikasi dalam satu kitab undang-undang namun memiliki 3 pedoman hukum perdata, yaitu : BW (Burgelijk Weetbook), Hukum Adat dan KHI (Hukum Islam). Hukum berusaha mengakomodir semua kebutuhan warga negaranya secara yuridis dengan  memperhatikan aspek sosiologis.
Pemahaman perkawinan dapat berbeda-beda menurut agama dan budaya sesuai dengan kebinekaan suku bangsa Indonesia. Dalam Islam pernikahan dianggap tidak hanya sebagai sakramen saja, namun merupakan kontrak sosial antara kedua belah pihak dan merupakan hubungan antar individu yang berdampak sosial. Maka perkawinan perlu diatur oleh undang-undang karena menurut Sudikno Mertokusumo agar terbentuknya tertib masyarakat di bidang hukum perkawinan guna mengatur bagaimana seyogyanya berprilaku dan bertingkah dalam masyarakat agar mendapat perlindungan hukum dan kepentingan orang lain terlindungi.  
Dengan demikian undang-udang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dibuat agar masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya  dalam hal perkawinan ada kepastian dalam tingkah lakunya, sehingga tercapai ketertiban masyarkat yang dimaksud dan dapat memecahkan masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga di masyarakat bukan malah menimbulkan masalah baru .
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai tata cara pencatatan perkawinan dan akta nikah di KUA serta bagaimana pelaksanaanya. Semoga bermanfaat untuk pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya untuk memperkaya khazanah keilmuan dan semoga bermanfaat untuk kedepannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan
Sejak disahkannya UU No. 1 tahun 1974, Departemen Agama R.I. dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam telah mengambil peranan secara langsung dan aktif untuk melaksanakan UU itu, yang melibatkan dua Direktorat, yaitu Direktorat Urusan Agama Islam dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam berdasarkan KMA No. 18 tahun 1975. Masalah pencatatan menjadi beban tugas Direktorat Urusan Agama Islam. Sesuai dengan UU No. 22/1946 jo UU No. 32/1954 jo UU No. 1/1974. PP no. 9/1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1975 maka Departemen Agama melaksanakan secara vertikal sampai dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan melaksanakan tugas-tugas di sini sebagai Pencatat Perkawinan atau Pencatat Nikah. Pecatatan Perkawinan itu juga termasuk Pencatatan talak, cerai, dan rujuk karena hal ini sangat erat hubungannya dengan masalah perkawinan itu sendiri.
Dalam Undang-undang No. 22/1946 dikenal istilah Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk yang lazim disingkat menjadi PPN. Untuk di luar Jawa Madura dibantu oleh tokoh-tokoh agama di desa-desa yang dianggap mampu dan cakap, dan mereka itu bukan pegawai Negeri, dianggap menjadi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk hal ini diatur dengan surat Penetapan Menteri Agama No. 14 tahun 1955 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk yang disingkat menjadi P3NTR.[1]
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum Islam mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat. Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (2) meskipun telah disosialisasikan selama 26 tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala.
Kendala tersebut di atas merupakan akibat pemahaman fikih Imam Syafi’i yang sudah membudaya di kalangan umat Islam Indonesia. Menurut paham mereka, perkawinan telah dianggap cukup bila syarat dan rukunnya sudah terpenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan, apalagi akta nikah. Kondisi seperti ini terjadi dalam masyarakat sehingga masih ditemukan perkawinan dibawah tangan (perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita tanpa dicatat  oleh Pegawai Pencatat Nikah dan tidak mempunyai Akta Nikah). Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat seperti ini merupakan hambatan bagi Undang-Undang Perkawinan.[2] Pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut.
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undan-Undang Nomor 32 Tahun 1954.
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. 
B.     Akta Nikah
Setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan, yang kemudian kesepakatan itu, diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut.[3]
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud pasal 8 PP ini.
(2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Kalau perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat menyiapkan akta nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukannya, seperti diatur dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akta Nikah memuat sepuluh langkah yang harus terpenuhi, yaitu sebagai berikut.[4]
1)      Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.
2)      Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka.
3)      Izin kawin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Perkawinan.
4)      Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Perkawinan.
5)      Izin Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang Perkawinan.
6)      Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan.
7)      Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/Pangab bagi Angkatan Bersenjata.
8)      Perjanjian perkawinan apabila ada.
9)      Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
10)  Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
 Selain hal itu, dalam Akta Nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut taklik talak atau penggantungan talak, yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istrinya. Sesudah pembacaan tersebut kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan salinannya yang telah disiapkan Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Setelah itu, diikuti penandatanganan oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang menghadiri akad nikah. Kemudian wali nikah atau yang mewakilinya, juga turut serta bertanda tangan. Dengan penandatanganan Akta Nikah dan salinannya maka perkawinan telah tercatat secara yuridis normatif berdasarkan Pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
Akad Nikah menjadi bukti autentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Sebagai contoh, seorang suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan. Selain itu, Akta Nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian, Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa Akta Nikah karena adanya suatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Pasal 7 ayat (2) dan (3) mengungkapkan sebagai berikut.[5]
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a.       adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b.      hilangnya Akta Nikah;
c.       adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.      adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
e.       perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.   

Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting dalam hukum perkawinan Islam. Hal ini didasari oleh Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
 Para pemikir hukum Islam (faqih) dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan perkembangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqih yang mengungkapkan darulmafasidu muqaddamun ala jalabil mashalih. Dengan demikian, pelaksanaan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan kemaslahatan umum (maslahah mursalah) di negara Republik Indonesia.
C.    KETENTUAN - KETENTUAN
1.      Perkawinan yang telah dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercaayaannya harus dicatatkan. Bagi mereka yang beragama di luar Islam dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, sedangkan yang beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
2.      Perkawinan (menurut agama di luar Islam) yang pencatatannya melebihi jangka waktu 1 bulan dikenakan denda.
3.      Perkawinan Luar Negeri yang pelaporannya melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun setelah kembalinya ke Indonesia harus mendapat penetapan Pengadilan Negeri.
D.    PERSYARATAN PENCATATAN PERKAWINAN di LUAR NEGERI
Jika anda Warga Negara Indonesia, agar menyiapkan antara lain:
1.Surat Bukti Pemberkatan ( pengesahan perkawinan agama )
2.Akta Kelahiran
3.Surat Keterangan dari Kelurahan
4.Kartu Tanda Penduduk (KTP)
5.Kartu Keluarga (KK)
6.Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI)
E. PROSEDUR PENCATATAN NIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
 PERSYARATAN UMUM
1. Calon Pengantin beragama Islam
2. Umur minimal : pria 19 tahun, wanita 16 tahun
3.  Ada persetujuan kedua calon pengantin
4.  Tidak ada hubungan saudara yang dilarang agama antara kedua calon pengantin
5.  Catin wanita tidak sedang terikat tali perkawinan dengan orang lain
6.  Bagi Janda harus sudah habis masa iddah
7.  Wali dan saksi beragama Islam, umur minimal 19 tahun.
8.  Calon pengantin, wali dan saksi sehat akalnya.
 PERSYARATAN ADMINISTRASI
1.      Foto kopi KTP yang sah dan masih berlaku
2.      Foto kopi KK (Kartu Keluarga) yang masih berlaku
3.      Fotokopi Ijazah/Akte Kelahiran/Surat Kenal Lahir
4.      Fotokopi Buku Nikah orang tua, bagi wanita
5.      Pas foto berwarna (latar biru) ukuran 2x3 = 4 lembar
6.      Surat Keterangan Model N1, N2, N4 ditandatangani Kepala Desa/Kelurahan setempat
7.      Surat Persetujuan kedua calon mempelai (Model N3)
8.      Izin Orang tua (Model N5) jika umur kurang 21 tahun
9.      Surat Pernyataan Jejaka/Perawan, bagi catin berumur 25 tahun keatas, bermaterai Rp 6000,-
10.  Surat Rekomendasi Pindah Nikah / Numpang Nikah bagi catin dari luar wilayah Kecamatan Lubuk Dalam
11.  Izin Pengadilan Agama jika pria kurang 19 tahun dan wanita kurang 16 tahun
12.  Izin Pengadilan Agama bagi yang ingin berpoligami
13.  Rekomendasi Camat untuk pendaftaran nikah kurang dari 10 hari
14.  Surat Kematian Suami/Isteri bagi Janda/duda cerai mati dan model N6 ditandatangani Kepala Desa/Kelurahan
15.  Akta Cerai beserta Salinan Putusan/Penetapan dari Pengadilan yang mengeluarkan Akta Cerai
16.  Bukti Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dari Puskesmas Lubuk Dalam (bagi wanita)
PEMBERITAHUAN KEHENDAK NIKAH
1.      Kehendak Nikah diberitahukan oleh Wali/Catin kepada  KUA dengan membawa persyaratan yang ditentukan.
2.      Mengisi Formulir Pendaftaran Nikah pada Lembar Model NB yang disediakan KUA.
3.      Penulisan model NB menggunakan tinta hitam, huruf balok.
4.      Pendaftaran harus sudah diterima KUA sekurang-kurangnya10 hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.
5.      Membayar Beaya Pencatatan Nikah
PEMERIKSAAN DAN PEMBINAAN CATIN
1.      Setelah Pendaftaran diterima oleh KUA, kedua calon pengantin danWali Nikah, mengikuti pembinaan dan Kursus Calon Pengantin.
2.      Penghulu/Kepala KUA melakukan pemeriksaan tentang ada tidaknya halangan untuk menikah, dan memberikan bimbingan keluarga sakinah dan tata cara ijab qobul.
3.      Penghulu/Kepala KUA dilarang melangsungkan, atau membantu melangsungkan, atau mencatat atau menyaksikan pernikahan yang tidak memenuhi persyaratan.
PENOLAKAN KEHENDAK NIKAH
1.      Kepala KUA diharuskan menolak kehendak nikah yang tidak memenuhi persyaratan.
2.      Terhadap penolakan tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Agama.
PELAKSANAAN AKAD NIKAH
1.      Akad Nikah dilangsungkan di hadapan Penghulu/Petugas KUA
2.      Ijab dilakukan oleh Wali Nikah sendiri.
3.      Wali Nikah dapat mewakilkan Ijab kepada orang lain yang memenuhi persyaratan, atau kepada Penghulu.
4.      Akad Nikah dilangsungkan di KUA ( Balai Nikah )
5.      Atas permintaan yang bersangkutan dan mendapat PERSETUJUAN dari Kepala KUA, Akad Nikah dapat dilangsungkan di luar Balai Nikah.
6.      Biaya pemanggilan, transportasi, dan akomodasi Penghulu/Petugas KUA untuk menghadiri akad nikah di luar Balai Nikah dibebankan kepada yang mengundang.
PENCATATAN NIKAH
1.      Pencatatan Nikah dilakukan oleh Penghulu/Kepala KUA setelah nikah dilangsungkan dengan benar, pada Akta Nikah (Regester Model N).
2.      Kepada kedua pengantin diberikan Kutipan Akta Nikah berupa Buku Nikah, ( Model NA).[6]
  
  
Lampiran

REPUBLIK INDONESIA
KUTIPAN AKTA NIKAH
KANTOR URUSAN AGAMA

Kecamatan                              : ………………………………..………………………………………………………………….
Kabupaten/Kotamadya           : ……………………………………………………………………………………………………

Mempelai laki-laki                                                                                           Mempelai Perempuan


        Pas foto                                                                                                   Pas foto

Pas foto ini sedapat-dapat bersifat keharusan.

Model. A2
KUTIPAN AKTA NIKAH No. ……………… 20 …………
TULISAN ARAB

“Pergaulilah isterimu dengan cara yang baik”
Pada hari ………..tanggal………H atau tanggal……………M jam…………………………………………………………
………………………………………………………………………………………….telah berlangsung akad nikah antara:
Seorang laki-laki:
III.       1. Nama lengkap dan aliasnya            :           ………………………………………………………………….
2. Bin                                                  :           ………………………………………………………………….
            3. tanggal lahir (umur)             :           ………………………………………………………………….
            4. Tempat lahir                                    :           ………………………………………………………………….
            5. Agama                                             :           ………………………………………………………………….
            6. Pekerjaan                                         :           ………………………………………………………………….
            7. Tempat Tinggal                               :           …………………………………………………………………..
            8. Tanda-tanda istimewa                     :           …………………………………………………………………..
            9. Jejaka, duda atau beristeri               :           …………………………………………………………………..
Dengan seorang perempuan :
V.        1. Nama lengkap                                 :           …………………………………………………………………..
            2. Binti                                                :           …………………………………………………………………..
            3. Tanggal lahir                                   :           …………………………………………………………………..
            4. Agama                                             :           ………………………………………………………………….
            6. Pekerjaan                                         :           ………………………………………………………………….
            7. Tempat Tinggal                               :           …………………………………………………………………..
            8. Tanda-tanda istimewa                     :           …………………………………………………………………..
            9. Perawan atau janda                         :           …………………………………………………………………..
Yang menjadi wali nikah :
VII.     1. Nama lengkap dan aliasnya            :           …………………………………………………………………..
            2. Bin                                                  :           …………………………………………………………………..
            3. Tanggal lahir ( umur)                       :           …………………………………………………………………..
            4. Pekerjaan                                         :           ………………………………………………………………….
            6. Agama                                             :           ………………………………………………………………….
            7. Tempat Tinggal                               :           …………………………………………………………………..
            8. Apa hubungannya (wali apa)          :           …………………………………………………………………..
Jika wali itu wali hakim :
a.         Nama                                                        :           …………………………………………………………………..
b.        Pangkat/Jabatan                                       :           …………………………………………………………………..
c.         Sebabnya                                                  :           …………………………………………………………………..

Dengan maskawin :
VII.     1. Berupa apa dan berapa                    :            ……………………………………………………………………
            2. Dibayar tunai atau dihutang           :            ……………………………………………………………………

IX.       Sesudah akad nikah suami
mengucapkan ta’lik talak
atau tidak                                            :            ……………………………………………………………………
X.        Apa ada suatu perjanjian
            Selain ta’lik talak sebutkan                 :            ……………………………………………………………………

                                                                                    ………………………………………………………20……….
                                                                                                Sesuai dengan aslinya,
                                                                                                 PEGAWAI PENCATAT
 NIKAH
………………………………………………………………….





                       Materai
(…………………………………………………….)

Biaya pencatatan nikah sejumlah Rp.
Telah dibayar.-

BAB III
PENUTUP

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorangwanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk Keluarga (RumahTangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.(Pasal 57 Undang-undang No. 1 Tahun 1974). Suatu perkawinan lengkap ketika perkawinan tersebut dicatat di Pegawai Pencatatan Nikah yang bertujuan menjadi bukti autentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang dan juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan.
Pencatatan perkawinan diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI, mengenai pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pencatatan perkawinan diqiyaskan dengan muamalah, bahwa adanya kewajiban mencatatkan dalam bermuamalah (al-Baqarah ayat 282). Hal itu ditengarai untuk kemaslahatan umat dan terciptanya ketertiban di Negara Republik Indonesia ini.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin, Prof. Dr. H. M.A. 2006. Hukum Perdata Islam Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.
Ramulyo, Idris, S.H. 1985. Beberapa Masalah Tentang HUKUM ACARA PERDATA PERADILAN AGAMA DAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM. IND-HILL, CO.: Jakarta.
Kua kawalut sm-blogspot.com/2011/05/tata-cara-pencatatan-nikah.html?m=1.
Riau1. Kemenag.co.id/ index.php?a= artikel & id2= layanan.


[1] Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: IND-HILL, CO, 1985), Hlm. 162.
[2] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2006), Hlm. 27.
[3] Ibid. Hlm. 28.
[4] Ibid.
[5] Ibid. Hlm. 29.
[6] Kua kawalut sm-blogspot.com/2011/05/tata-cara-pencatatan-nikah.html?m=1.

1 Komentar:

Pada 2 Desember 2015 pukul 22.19 , Blogger Unknown mengatakan...

nice info gan, kerennnn
souvenir pernikahan murah

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda