Tata Cara Nikah
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu aspek yang paling penting untuk dicermati dalam
pencatatan perkawinan adalah sahnya perkawinan. Dengan masih banyak masyarakat
yang masih melakukan praktek “nikah sirri” padahal suatu perkawinan yang sah akan
menempatkan kedudukan pria dan wanita dalam aspek sosialnya pada posisi
terhormat sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang terhormat, dan dalam
aspek hukum akan memperoleh perlindungan hukum dalam aspek hak dan
kewajibannya.
Indonesia yang merupakan bangsa yang memiliki keragaman budaya dan
agama memiliki kebijakan hukum perdata yang tidak terunifikasi dalam satu kitab
undang-undang namun memiliki 3 pedoman hukum perdata, yaitu : BW (Burgelijk
Weetbook), Hukum Adat dan KHI (Hukum Islam). Hukum berusaha mengakomodir
semua kebutuhan warga negaranya secara yuridis dengan memperhatikan aspek sosiologis.
Pemahaman perkawinan dapat berbeda-beda menurut agama dan budaya
sesuai dengan kebinekaan suku bangsa Indonesia. Dalam Islam pernikahan dianggap
tidak hanya sebagai sakramen saja, namun merupakan kontrak sosial antara kedua
belah pihak dan merupakan hubungan antar individu yang berdampak sosial. Maka
perkawinan perlu diatur oleh undang-undang karena menurut Sudikno Mertokusumo
agar terbentuknya tertib masyarakat di bidang hukum perkawinan guna mengatur
bagaimana seyogyanya berprilaku dan bertingkah dalam masyarakat agar mendapat
perlindungan hukum dan kepentingan orang lain terlindungi.
Dengan demikian undang-udang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dibuat agar masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya dalam hal perkawinan ada kepastian dalam
tingkah lakunya, sehingga tercapai ketertiban masyarkat yang dimaksud dan dapat
memecahkan masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga di masyarakat bukan
malah menimbulkan masalah baru .
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai tata cara pencatatan
perkawinan dan akta nikah di KUA serta bagaimana pelaksanaanya. Semoga
bermanfaat untuk pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya untuk
memperkaya khazanah keilmuan dan semoga bermanfaat untuk kedepannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan
Sejak
disahkannya UU No. 1 tahun 1974, Departemen Agama R.I. dalam hal ini Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam telah mengambil peranan secara langsung dan
aktif untuk melaksanakan UU itu, yang melibatkan dua Direktorat, yaitu
Direktorat Urusan Agama Islam dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam berdasarkan KMA No. 18 tahun 1975. Masalah pencatatan menjadi beban tugas
Direktorat Urusan Agama Islam. Sesuai dengan UU No. 22/1946 jo UU No. 32/1954
jo UU No. 1/1974. PP no. 9/1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1975
maka Departemen Agama melaksanakan secara vertikal sampai dengan Kantor Urusan
Agama Kecamatan melaksanakan tugas-tugas di sini sebagai Pencatat Perkawinan
atau Pencatat Nikah. Pecatatan Perkawinan itu juga termasuk Pencatatan talak,
cerai, dan rujuk karena hal ini sangat erat hubungannya dengan masalah
perkawinan itu sendiri.
Dalam
Undang-undang No. 22/1946 dikenal istilah Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan
Rujuk yang lazim disingkat menjadi PPN. Untuk di luar Jawa Madura dibantu oleh
tokoh-tokoh agama di desa-desa yang dianggap mampu dan cakap, dan mereka itu
bukan pegawai Negeri, dianggap menjadi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak,
dan Rujuk hal ini diatur dengan surat Penetapan Menteri Agama No. 14 tahun 1955
tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk yang disingkat
menjadi P3NTR.[1]
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi
dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum
Islam mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat.
Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (2) meskipun telah
disosialisasikan selama 26 tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya
kendala-kendala.
Kendala
tersebut di atas merupakan akibat pemahaman fikih Imam Syafi’i yang sudah
membudaya di kalangan umat Islam Indonesia. Menurut paham mereka, perkawinan
telah dianggap cukup bila syarat dan rukunnya sudah terpenuhi, tanpa diikuti
oleh pencatatan, apalagi akta nikah. Kondisi seperti ini terjadi dalam
masyarakat sehingga masih ditemukan perkawinan dibawah tangan (perkawinan yang
dilakukan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita tanpa
dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah dan
tidak mempunyai Akta Nikah). Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat seperti
ini merupakan hambatan bagi Undang-Undang Perkawinan.[2]
Pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan
mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut.
Pasal 5
(1) Agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan
tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undan-Undang Nomor 32 Tahun
1954.
Pasal
6
(1)
Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2)
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
B.
Akta Nikah
Setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk
melangsungkan perkawinan, yang kemudian kesepakatan itu, diumumkan oleh pihak
Pegawai Pencatat Nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait
dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata
caranya diatur dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai
berikut.[3]
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak
pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud
pasal 8 PP ini.
(2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilangsungkan di hadapan
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Kalau perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai
Pencatat menyiapkan akta nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal
yang diperlukannya, seperti diatur dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975. Akta Nikah memuat sepuluh langkah yang harus terpenuhi, yaitu
sebagai berikut.[4]
1)
Nama,
tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami
istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama
istri atau suami terdahulu.
2)
Nama,
agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka.
3)
Izin
kawin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
Undang-undang Perkawinan.
4)
Dispensasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Perkawinan.
5)
Izin
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang Perkawinan.
6)
Persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan.
7)
Izin
pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/Pangab bagi Angkatan Bersenjata.
8)
Perjanjian
perkawinan apabila ada.
9)
Nama,
umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi, dan wali
nikah bagi yang beragama Islam.
10)
Nama,
umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan
dilakukan melalui seorang kuasa.
Selain hal itu, dalam Akta
Nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut taklik
talak atau penggantungan talak, yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah
akad nikah sebagai janji setia terhadap istrinya. Sesudah pembacaan tersebut
kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan salinannya yang telah disiapkan
Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Setelah itu, diikuti
penandatanganan oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang menghadiri
akad nikah. Kemudian wali nikah atau yang mewakilinya, juga turut serta
bertanda tangan. Dengan penandatanganan Akta Nikah dan salinannya maka
perkawinan telah tercatat secara yuridis normatif berdasarkan Pasal 11 PP Nomor
9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan Pasal 6 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam.
Akad Nikah menjadi bukti autentik dari suatu pelaksanaan perkawinan
sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau
istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Sebagai contoh, seorang suami
tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia
mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka
pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke
Pengadilan. Selain itu, Akta Nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan
anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke
pengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian, Pasal 7 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa Akta Nikah
karena adanya suatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada
mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah (penetapan nikah) kepada
Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam
ikatan perkawinannya. Pasal 7 ayat (2) dan (3) mengungkapkan sebagai berikut.[5]
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a.
adanya
perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b.
hilangnya
Akta Nikah;
c.
adanya
keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.
adanya
perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
e.
perkawinan
yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting
dalam hukum perkawinan Islam. Hal ini didasari oleh Firman Allah dalam surah
Al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut:
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Para pemikir hukum Islam (faqih) dahulu tidak ada yang
menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya,
sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila
diperhatikan perkembangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya
mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqih yang mengungkapkan darulmafasidu
muqaddamun ala jalabil mashalih. Dengan demikian, pelaksanaan peraturan
pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan
akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan
kemaslahatan umum (maslahah mursalah) di negara Republik Indonesia.
C.
KETENTUAN - KETENTUAN
1.
Perkawinan
yang telah dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercaayaannya
harus dicatatkan. Bagi mereka yang beragama di luar Islam dicatatkan pada
Kantor Catatan Sipil, sedangkan yang beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA).
2.
Perkawinan
(menurut agama di luar Islam) yang pencatatannya melebihi jangka waktu 1 bulan
dikenakan denda.
3.
Perkawinan
Luar Negeri yang pelaporannya melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
kembalinya ke Indonesia harus mendapat penetapan Pengadilan Negeri.
D.
PERSYARATAN PENCATATAN PERKAWINAN di LUAR NEGERI
Jika anda Warga
Negara Indonesia, agar menyiapkan antara lain:
1.Surat Bukti
Pemberkatan ( pengesahan perkawinan agama )
2.Akta
Kelahiran
3.Surat
Keterangan dari Kelurahan
4.Kartu Tanda
Penduduk (KTP)
5.Kartu
Keluarga (KK)
6.Surat
Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI)
E. PROSEDUR
PENCATATAN NIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
PERSYARATAN UMUM
1. Calon
Pengantin beragama Islam
2. Umur minimal
: pria 19 tahun, wanita 16 tahun
3. Ada persetujuan kedua calon pengantin
4. Tidak ada hubungan saudara yang dilarang
agama antara kedua calon pengantin
5. Catin wanita tidak sedang terikat tali
perkawinan dengan orang lain
6. Bagi Janda harus sudah habis masa iddah
7. Wali dan saksi beragama Islam, umur minimal
19 tahun.
8. Calon pengantin, wali dan saksi sehat
akalnya.
PERSYARATAN ADMINISTRASI
1.
Foto
kopi KTP yang sah dan masih berlaku
2.
Foto
kopi KK (Kartu Keluarga) yang masih berlaku
3.
Fotokopi
Ijazah/Akte Kelahiran/Surat Kenal Lahir
4.
Fotokopi
Buku Nikah orang tua, bagi wanita
5.
Pas
foto berwarna (latar biru) ukuran 2x3 = 4 lembar
6.
Surat
Keterangan Model N1, N2, N4 ditandatangani Kepala Desa/Kelurahan setempat
7.
Surat
Persetujuan kedua calon mempelai (Model N3)
8.
Izin
Orang tua (Model N5) jika umur kurang 21 tahun
9.
Surat
Pernyataan Jejaka/Perawan, bagi catin berumur 25 tahun keatas, bermaterai Rp
6000,-
10. Surat Rekomendasi Pindah Nikah / Numpang Nikah bagi catin dari luar
wilayah Kecamatan Lubuk Dalam
11. Izin Pengadilan Agama jika pria kurang 19 tahun dan wanita kurang
16 tahun
12. Izin Pengadilan Agama bagi yang ingin berpoligami
13. Rekomendasi Camat untuk pendaftaran nikah kurang dari 10 hari
14. Surat Kematian Suami/Isteri bagi Janda/duda cerai mati dan model N6
ditandatangani Kepala Desa/Kelurahan
15. Akta Cerai beserta Salinan Putusan/Penetapan dari Pengadilan yang
mengeluarkan Akta Cerai
16. Bukti Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dari Puskesmas Lubuk Dalam
(bagi wanita)
PEMBERITAHUAN KEHENDAK
NIKAH
1.
Kehendak
Nikah diberitahukan oleh Wali/Catin kepada
KUA dengan membawa persyaratan yang ditentukan.
2.
Mengisi
Formulir Pendaftaran Nikah pada Lembar Model NB yang disediakan KUA.
3.
Penulisan
model NB menggunakan tinta hitam, huruf balok.
4.
Pendaftaran
harus sudah diterima KUA sekurang-kurangnya10 hari kerja sebelum akad nikah
dilangsungkan.
5.
Membayar
Beaya Pencatatan Nikah
PEMERIKSAAN DAN PEMBINAAN CATIN
1.
Setelah
Pendaftaran diterima oleh KUA, kedua calon pengantin danWali Nikah, mengikuti
pembinaan dan Kursus Calon Pengantin.
2.
Penghulu/Kepala
KUA melakukan pemeriksaan tentang ada tidaknya halangan untuk menikah, dan
memberikan bimbingan keluarga sakinah dan tata cara ijab qobul.
3.
Penghulu/Kepala
KUA dilarang melangsungkan, atau membantu melangsungkan, atau mencatat atau
menyaksikan pernikahan yang tidak memenuhi persyaratan.
PENOLAKAN KEHENDAK NIKAH
1.
Kepala
KUA diharuskan menolak kehendak nikah yang tidak memenuhi persyaratan.
2.
Terhadap
penolakan tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Agama.
PELAKSANAAN AKAD NIKAH
1.
Akad
Nikah dilangsungkan di hadapan Penghulu/Petugas KUA
2.
Ijab
dilakukan oleh Wali Nikah sendiri.
3.
Wali
Nikah dapat mewakilkan Ijab kepada orang lain yang memenuhi persyaratan, atau
kepada Penghulu.
4.
Akad
Nikah dilangsungkan di KUA ( Balai Nikah )
5.
Atas
permintaan yang bersangkutan dan mendapat PERSETUJUAN dari Kepala KUA, Akad
Nikah dapat dilangsungkan di luar Balai Nikah.
6.
Biaya
pemanggilan, transportasi, dan akomodasi Penghulu/Petugas KUA untuk menghadiri
akad nikah di luar Balai Nikah dibebankan kepada yang mengundang.
PENCATATAN NIKAH
1.
Pencatatan
Nikah dilakukan oleh Penghulu/Kepala KUA setelah nikah dilangsungkan dengan
benar, pada Akta Nikah (Regester Model N).
2.
Kepada
kedua pengantin diberikan Kutipan Akta Nikah berupa Buku Nikah, ( Model NA).[6]
Lampiran
REPUBLIK INDONESIA
KUTIPAN AKTA NIKAH
KANTOR URUSAN AGAMA
Kecamatan :
………………………………..………………………………………………………………….
Kabupaten/Kotamadya :
……………………………………………………………………………………………………
Mempelai laki-laki Mempelai
Perempuan
Pas foto Pas
foto
Pas foto ini sedapat-dapat bersifat
keharusan.
Model. A2
KUTIPAN AKTA NIKAH No. ……………… 20 …………
TULISAN ARAB
“Pergaulilah isterimu dengan cara yang baik”
Pada hari ………..tanggal………H atau
tanggal……………M jam…………………………………………………………
………………………………………………………………………………………….telah
berlangsung akad nikah antara:
Seorang laki-laki:
III. 1.
Nama lengkap dan aliasnya : ………………………………………………………………….
2.
Bin : ………………………………………………………………….
3.
tanggal lahir (umur) : ………………………………………………………………….
4.
Tempat lahir : ………………………………………………………………….
5.
Agama : ………………………………………………………………….
6.
Pekerjaan : ………………………………………………………………….
7.
Tempat Tinggal : …………………………………………………………………..
8.
Tanda-tanda istimewa : …………………………………………………………………..
9.
Jejaka, duda atau beristeri : …………………………………………………………………..
Dengan seorang perempuan :
V. 1.
Nama lengkap : …………………………………………………………………..
2.
Binti : …………………………………………………………………..
3.
Tanggal lahir : …………………………………………………………………..
4.
Agama : ………………………………………………………………….
6.
Pekerjaan : ………………………………………………………………….
7.
Tempat Tinggal : …………………………………………………………………..
8.
Tanda-tanda istimewa : …………………………………………………………………..
9.
Perawan atau janda : …………………………………………………………………..
Yang menjadi wali nikah :
VII. 1.
Nama lengkap dan aliasnya : …………………………………………………………………..
2.
Bin : …………………………………………………………………..
3.
Tanggal lahir ( umur) : …………………………………………………………………..
4.
Pekerjaan : ………………………………………………………………….
6.
Agama : ………………………………………………………………….
7.
Tempat Tinggal : …………………………………………………………………..
8.
Apa hubungannya (wali apa) : …………………………………………………………………..
Jika wali itu wali hakim :
a.
Nama : …………………………………………………………………..
b.
Pangkat/Jabatan : …………………………………………………………………..
c.
Sebabnya : …………………………………………………………………..
Dengan maskawin :
VII. 1. Berupa apa dan
berapa : ……………………………………………………………………
2. Dibayar tunai
atau dihutang : ……………………………………………………………………
IX. Sesudah akad nikah
suami
mengucapkan
ta’lik talak
atau tidak : ……………………………………………………………………
X. Apa ada suatu
perjanjian
Selain ta’lik
talak sebutkan : ……………………………………………………………………
………………………………………………………20……….
Sesuai
dengan aslinya,
PEGAWAI PENCATAT
NIKAH
………………………………………………………………….
Materai
(…………………………………………………….)
Biaya pencatatan nikah sejumlah Rp.
Telah dibayar.-
BAB III
PENUTUP
Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorangwanita sebagai
suami-isteri dengan tujuan membentuk Keluarga (RumahTangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.(Pasal 57 Undang-undang No. 1 Tahun
1974). Suatu perkawinan lengkap ketika perkawinan tersebut dicatat di Pegawai
Pencatatan Nikah yang bertujuan menjadi bukti autentik dari suatu pelaksanaan
perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang
suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang dan juga berfungsi
untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta
dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan.
Pencatatan
perkawinan diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI, mengenai pelaksanaannya
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pencatatan perkawinan
diqiyaskan dengan muamalah, bahwa adanya kewajiban mencatatkan dalam
bermuamalah (al-Baqarah ayat 282). Hal itu ditengarai untuk kemaslahatan umat
dan terciptanya ketertiban di Negara Republik Indonesia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin,
Prof. Dr. H. M.A. 2006. Hukum Perdata Islam Indonesia. Sinar Grafika:
Jakarta.
Ramulyo, Idris,
S.H. 1985. Beberapa Masalah Tentang HUKUM ACARA PERDATA PERADILAN AGAMA DAN
HUKUM PERKAWINAN ISLAM. IND-HILL, CO.: Jakarta.
Kua kawalut
sm-blogspot.com/2011/05/tata-cara-pencatatan-nikah.html?m=1.
Riau1.
Kemenag.co.id/ index.php?a= artikel & id2= layanan.
[1]
Idris Ramulyo, Beberapa
Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam,
(Jakarta: IND-HILL, CO, 1985), Hlm. 162.
[2] Zainuddin Ali, Hukum
Perdata Islam Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2006), Hlm. 27.
[3] Ibid.
Hlm. 28.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
Hlm. 29.
[6] Kua kawalut
sm-blogspot.com/2011/05/tata-cara-pencatatan-nikah.html?m=1.
1 Komentar:
nice info gan, kerennnn
souvenir pernikahan murah
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda