Poligami
BAB I
PENDAHULUAN
Poligami saat
ini masih menjadi pembicaraan hangat ditengah-tengah masyarakat. Aksi pro dan
kontra terus berdatangan menyikapi permasalahan poligami termasuk dikalangan
para aktivis perempuan. terutama kalangan feminis yang menganggap bahwa
poligami merupakan salah satu wadah penindasan kaum laki-laki kepada perempuan.
Bahkan pandangan ini seakan-akan memperoleh legitimasi dengan adanya
praktek-praktek di tengah masyarakat yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam.
Pendapat yang lain menyatakan bahwa, dilarangnya poligami justru menjadi pemicu
dan cenderung melegalisasi prostitusi. Berbagai pendapat terus mengalir kian
menambah.
Masalah poligami sekarang ini
semakin dianggap sebagai perbuatan tabu, seolah-olah poligami merupakan
perbuatan tercela. Hanya satu kata, tapi belakangan membuat Indonesia geger.
Dari sudut pandang Islam, boleh, dan tidak terlalu banyak "variabel"
yang dibutuhkan untuk melakukannya. Jika kemudian masalah poligami menjadi
rumit, karena banyak sekali "variabel" yang dipergunakan sebagai
bahan pertimbangan. Menurut saya, syarat-syarat dan argumen-argumen yang
kemudian muncul dikalangan umat Islam untuk "menekan" angka poligami,
sebetulnya merupakan kebijaksanaan ulama’, terutama menyangkut perempuan.
Meskipun masalah perempuan hanya satu, masalah perasaan yang sulit
dikompromikan jika menyangkut "saingan", atau mungkin lebih tepatnya,
masalah eksistensi diri.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Poligami Versi Hukum Islam dan Versi Hukum Positif di Indonesia
(Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam {KHI})
1. Konsep Poligami Versi Hukum Islam
Syariat
Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan
berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal,
serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang
kaya dan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang
rendah dari golongan bawah.[1]
Bila suami khawatir berbuat dzalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka
hendaknya tidak berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga, maka
tidak dianjurkan baginya menikah dengan empat orang. Jika dia hanya mampu
memenuhi hak dua orang istri maka tidak dianjurkan baginya untuk menikah sampai
tiga kali. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat dzalim dengan mengawini dua
orang perempuan maka baginya tidak dianjurkan untuk melakukan poligami. Sebagaimana dalam firman Allah SWT
dalam surat An-Nisa’ ayat 3:
فانكحوا ماطاب لكم من النساء
مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم الا تعدلوا فواحدة او مالكت
أيمانكم ذلك أدنى الا تعولوا
Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
(QS. an-Nisa’ (4): 3).[2]
Dalam sebuah hadits Nabi Saw. Juga disebutkan:
عن أبى هريرة رضى الله عنه أن النبى
صلى الله عليه وسلم قال: من كانت له إمرأتان فمال إلى إحداهما جاء يوم
القيامة وشقّه مائل (رواه أبو داود والترمذى والنسائى
وابن حبان)
Artinya: Dari
Abi Hurairah r.a sesungguhnya Nabi Saw. Bersabda: “Barang siapa yang
mempunyai dua orang istri lalu memberatkan pada salah satunya, maka ia akan datang
di hari kiamat nanti dengan punggung miring”. (HR. Abu Daud,
Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Hibban).[3]
Keadilan yang
diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas, tidaklah bertentangan dengan firman
Allah Swt. Dalam Surat an-Nisa’ ayat 129:
ولن تستطيعوا أن
تعدلوا بين النساء ولو
حرصتم فلا تميلوا كل الميل فتذروها كالمعلقة وأن تصلحوا
وتتقوا فإن الله
كان غفورا رحيما
Artinya: “Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu),
walupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu jangan lah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cinta), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung.
dan jika kamu mengadakan perbaikan
dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”( QS. an-Nisa’ (4) : 129).[4]
Kalau ayat
tersebut seolah-olah bertentangan dengan masalah berlaku adil, pada ayat 3
surat an-Nisa’, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku
adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang
dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriyah bukan kemampuan manusia.
Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta
dan kasih sayang.[5]
Abi Bakar bin ‘Arabi
mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu berada di luar
kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya dalam genggaman Allah Swt. Yang
mampu membolak-balikannya menurut kehendak-Nya. Begitu juga dengan bersetubuh,
terkadang ia bergairah dengan istri yang satu tapi tidak begitu bergairah dengan
istrinya yang lain. Dalam hal ini, apabila tidak sengaja, ia tidak terkena
hukuman dosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh karen itu, ia tidaklah
dipaksa untuk melakukannya.[6]
Aisyah r.a. berkata:
كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم لنسائه فيعدل ويقول : اللهم هذا قسمى فيما أملك
فلا تلمنى فيما تملك ولا أملك قال ابوداود يعنى القلب.
Artinya: Rasullullah
Saw. selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil dan beliau pernah
berdo’a: Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu janganlah
engkau mencelakakanku tentang apa yang Engkau Kuasai, sedang aku tidak
menguasainya. “ Abu Dawud berkata bahwa yang dimaksud dengan “Engkau tetapi aku
tidak menguasai”, yaitu hati. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu
Majah).[7]
Menurut sebagian
Ulama, hadis tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian yang adil
terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat sebelah dalam
menggaulinya, yang berarti mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk
mencintai perempuan yang satu daripada lainnya, karena masalah cinta berada
diluar kesanggupannya.[8]
Jika suami
melakukan perjalanan, hendaklah dia mengajak salah seorang diantara istrinya
untuk menemaninya, dan lebih baik apabila dilakukan dengan undian. Dalam hal
ini, para ulama juga berkata, giliran yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
terkadang ada yang mendapat siang hari, terkadang juga ada yang mendapat
giliran malam hari. Dalam hak giliran, juga ada hak hibah sebagaimana adanya
hak hibah dalam hal harta benda.[9]
Kebanyakan
Ulama sepakat bahwa istri yang ikut serta menemaninya bepergian, maka hari-hari
yang digunakan itu tidak dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lainnya, dan
hari-hari yang digunakannya itu tidak menyebabkan dia kehilangan sekian kali
masa giliran menurut lama dan pendeknya waktu perjalanan. Akan tetapi,
segolongan Ulama yang lain berpendapat bahwa, hari-hari yang digunakan tadi
dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lain sehingga nantinya ia kehilangan
sekian kali masa giliran, dan masa banyak.[10]
Pendapat
pertama yang lebih baik karena sudah menjadi ijma’ sebagian besar ulama. Di
samping itu, walaupun dia mendapatkan hari-hari menemani suaminya lebih banyak,
ia mengalami penderitaan dan kesusahan semasa perjalanan yang cukup berat.
Selain itu prinsip keadilan juga menolak hal ini. Sebab, kalau disamakan
berarti menyimpang dari rasa adil. Itulah maksud dari hadits berikut, yang
memperbolehkan istri yang mendapat giliran dari suaminya untuk tidak
menggunakannya, sebab menjadi hak sepenuhnya dan ia boleh memberikan kesempatan
bepergian kepada istri yang lain. Sahabat pernah berkata:
كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا اراد سفرا اقرع بين نسائه فأيتهن خرج سهمها خرج بها معه
وكان يقسم بكل إمرأة منهن يومها غير أنّ سودة بنت زمعة وهبت يومها لعائشة.
Artinya: Rasulullah
jika mau bepergian, beliau mengadakan undian diantara para istrinya. Maka
mana yang mendapat giliran, dialah yang akan keluar menemani beliau. Dan beliau
menggilir istri-istrinya pada hari-hari yang ditentukannya, kecuali bagian
Saudah bin Zama’ah diberikannya hari gilirannya kepada ‘Aisyah.[11]
Dalam hal
giliran tidur bersama, kalau suami bekerja di siang hari, hendaklah diadakan
giliran di malam hari, maka gilirannya di siang hari, maka ia harus bermalam
pula pada istri yang lain selama dua-tiga hari. Bila ia sedang berada dalam
giliran seorang istri, maka ia tidak boleh memasuki istri yang lain, kecuali
ada keperluan yang sangat penting. Misalnya istri sedang sakit keras atau
sedang ada bahaya lainnya. Dalam keadaan demikian, ia boleh memasuki rumah
istrinya itu walaupun ia sedang dalam giliran istri yang lain. Demikian juga
bila di antara istri-istri itu sudah ada kerelaan dalam masalah ini.[12]
Dalam sebuah
hadits yang bersumber dari ‘Aisyah
disebutkan:
عن
عائشة رضى الله عنه قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لايفضّل بعضنا
على بعض فى القسم من مكثه عندنا وكان قل يوم إلاّ وهو يطوف علينا جميعا فيدنو من
كل إمرأة من غير مسيس حتى يبلغ الّتى هو يومها فيبيت عندها.
Artinya: Dari
Aisyah r.a. berkata: “Rasulullah Saw. tidak melebihkan sebagian kami diatas
yang lain, dalam pembagian waktu untuk kembali kepada kami, walaupun sedikit
sekali waktu bagi Rasulullah. Tetapi beliau tetap bergilir kepada kami.
Beliau mendekati tiap-tiap istrinya dengan tidak mencampurinya hingga ia sampai
kepada istrinya yang mendapat giliran itu, lalu ia bermalam di rumahnya.” (HR.
Abu Dawud dan Ahmad).[13]
Hadits lain juga menyebutkan:
عن أنس رضى الله عنه قال: كان النبى صلّى الله
عليه وسلم يطوف على نساءه فى الّليلة الواحدة وله يومئذ تسع نسوة (رواه البخارى
ومسلم)
Artinya: Dari
Anas r.a. berkata: Nabi Saw. Bergilir kepada istri-istrinya pada suatu malam,
dan bagi beliau ketika itu ada sembilan orang istri. (HR. Bukhari dan Muslim).[14]
Seorang suami
boleh masuk kepada istri yang bukan gilirannya di siang hari sekadar untuk
meletakkan barang atau memberi nafkah dan tidak boleh masuk untuk berkasih
mesra. Sekurang-kurangnya, giliran perempuan itu satu malam, dan paling banyak
tiga malam. Tidak diperbolehkannya melebihi tiga malam/hari agar tidak
menyebabkan adanya penyerobotan diantara istri-istri yang lain. Karena
gilirannya yang lebih dari tiga hari, berarti telah mengambil hak dari yang
lain, yang berarti telah berbuat durhaka.[15]
2.
Poligami Versi Hukum Positif di Indonesia (Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam {KHI}):
a. Konsep Poligami Versi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pengertian poligami menurut
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan secara jelas
tetapi pada intinya poligami adalah seorang suami yang beristri lebih dari
seorang. Masalah poligami merupakan masalah yang cukup kontroversial,
menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang mendukung adanya poligami
berdasarkan pada kaidah ketentuan agama. Sedangkan pihak yang kontra memandang
poligami sebagai tindakan sewenang-wenang dan merupakan bentuk pengunggulan
kaum laki-laki.
Poligami dalam UU No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dinyatakan dalam:
Pasal 3
(1)
Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh beristeri seorang.
Seorang wanita hanya boleh bersuami seorang.
(2)
Pengadilan
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang jika
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dianutnya asas monogami dalam
ketentuan pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan diatas mencerminkan
pengutamaan diterapkannya asas monogami dalam setiap perkawinan. Namun, dalam
hal kondisi tertentu dan darurat, dimungkinkan adanya poligami dengan dasar
alasan ketat dan persyaratan yang sangat berat. Hal tersebut juga dimaksudkan
untuk menghargai pandangan sebagian masyarakat muslim yang membolehkan poligami
dengan syarat harus mampu berlaku adil. Menurut Nur Rasyidah Rahmawati dalam
bukunya wacana poligami di Indonesia bahwa dicantumkan ketentuan yang
membolehkan adanya poligami dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan bukan
dimaksudkan sebagai bentuk pelecehan, diskriminasi, dan pengunggulan kaum
laki-laki. Praktik dalam masyarakat tentang poligami sering menampakkan
kesewenang-wenangan suami terhadap istri tidak dapat digunakan untuk
menggeneralisasi bahwa poligami pasti diskriminatif, wujud penindasan kaum
suami terhadap istri.[16]
Dengan demikian, dari aspek
ketentuan hukumnya, ketentuan Undang-Undang Perkawinan tersebut sudah cukup
baik dalam arti secara tegas ditentukan bahwa pada asasnya dianut monogami.
Selain itu, penerapan poligami dimungkinkan jika para pihak menyetujui dan
tidak lain ditujukan untuk mengatasi suatu masalah yang tidak dapat
diselesaikan. Dengan kata lain, poligami harus dilakukan sebagai upaya akhir
jika semua upaya penyelesaian lain telah dicoba. Hal ini tampak dari prosedur
pengajuan izin menikah lagi yang cukup rumit dan sulit apabila bagi suami
berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Permasalahn poligami dewasa ini semakin
bertambah rumit karena banyak terdapat pertentangan oleh berbagai pihak dalam
menyetujui diperbolehkannya dilakukan poligami yang berupa diperketatnya
persyaratan pelaksanaan poligami. Kasus- kasus poligami yang yang kebanyakan
saat ini terjadi jika ditinjau dari perspektif keadilan sangat sulit sekali
dimana walaupun suami tersebut mampu dalam segi materiilnya tetapi belum mampu
dalam segi moril dalam pembagian terhadap istri-istrinya. Sehingga dalam hal
ini masih diperlukan pemikiran-pemikiran lebih dalam lagi serta
pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dalam pengambilan tindakan. Akan
tetapi permasalahnnya juga sering timbul dan tidak sedikit yang menjadi
meruncing, apalagi dari kasus-kasus tersebut timbul perkara dan masalah yang baru.
Poligami sendiri mempunyai arti
suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih seorang isteri.[17]
Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 menganut adanya
asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat
1 yang menyebutkan bahwa pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan
tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak bersifat
mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami
dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan
menghapus sama sekali sistem poligami. Ini dapat diambil sebuah argumen yaitu
jika perkawinan poligami ini dipermudah maka setiap laki-laki yang sudah
beristri maupun yang belum tentu akan beramai-ramai untuk melakukan poligami
dan ini tentunya akan sangat merugikan pihak perempuan juga anak-anak yang
dilahirkannya nanti dikemudian hari.
Ketentuan adanya asas monogami ini
bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan
disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang
bersangkutan. Ketentuan ini membuka kemungkinan seorang suami dapat
melakukan poligami dengan izin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan
berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang
melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan
seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus
mendapat izin dari Pengadilan Negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang
dianut dan Pengadilan yang berkompeten untuk itu.
Untuk mendapatkan izin poligami dari
Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang
dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 5 Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 juga harus
mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor
10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Adapun persyaratan yang harus dipenuhi adalah:
1) Adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
2) Adanya
kepastian bahwa suami mampu keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
3) Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anak
mereka.[18]
Perkawinan poligami di dalam
masyarakat lebih sering kita lihat daripada perkawinan poliandri yaitu seorang
isteri atau seorang wanita mempunyai lebih dari seorang suami. Bahkan
masyarakat lebih dapat menerima terjadinya perkawinan poligami daripada
perkawinan poliandri, sehingga dalam kenyataannya sangat jarang terjadi
perempuan menikah dengan lebih dari seorang laki-laki, kalaupun ada itu hanya
bersifat kasuistis saja.
b. Konsep Poligami Versi Kompilasi Hukum Islam {KHI}
Dalam kompilasi Hukum Islam (KHI), poligami
diatur dalam BAB IX pasal 55-59, yaitu:
BAB IX
BERISTERI LEBIH
SATU ORANG
Pasal 55
(1) Beristeri
lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat
utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristeri dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami
yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan
Agama.
(2) Pengajuan
permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan
yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan
Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila:
a. isteri tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1) Selain
syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin
Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal
5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu:
a. adanya pesetujuan isteri;
b.
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan
anak-anak mereka.
(2) Dengan
tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis
atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan
ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan
dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri
atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang
perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri
tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih
dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55
ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin
setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi.[19]
B.
Tata Cara Poligami
1.
Dasar Hukum
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 4
ayat 1 “Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana
dalam Pasal 3 Ayat (2) mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya”.
Keputusan M.A. No. 477 Tahun 2004 Pasal 7 Ayat
(2) huruf I : ”Izin dari Pengadilan bagi seorang suami yang hendak beristeri
lebih dari seorang.”
2.
Prosedur
Poligami:
1) Calon suami datang ke Kelurahan/Desa meminta
surat pengantar ke Pengadilan dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga.
2) Datang ke Pengadilan Agama dengan membawa
surat-surat dari Kelurahan/ Desa, surat persetujuan dari isteri pertama, surat
pernyataan bisa berlaku adil, surat keterangan penghasilan dan surat-surat lain
yang dibutuhkan Pengadilan Agama.
3) Sidang penetapan izin poligami di Pengadilan
Agama.
4) Datang ke Kelurahan/Desa dengan membawa
penetapan izin poligami dan meminta surat-surat untuk pernikahan berupa surat
keterangan, model N1, N2, N3, & N4.
5) Laporan Pernikahan ke KUA Kecamatan setempat.
6)
Ijab Qabul.[20]
C.
Hikmah Poligami
1.
Terhindar dari
maksiat dan zina, juga dapat mengurangi prostitusi Kejahatan dan pelacuran
tersebar di mana-mana sehingga jumlah peacur lebih banyak dari pada perempuan
yang bersuami. Kasus yang ekstrim memang mungkin saja terjadi. Suami memiliki
tingkat dorongan kebutuhan yang melebihi rata-rata, sebaliknya istri memiliki
kemampuan pelayanan yang justru di bawah rata-rata. Dalam kasus seperti ini
memang sulit untuk mencari titik temu. Karena hal ini merupakan fithrah alamiah
yang ada begitu saja pada masing-masing pihak. Dan kasus seperti ini adalah
alasan yang paling logis dan masuk akal untuk terjadinya penyelewengan,
selingkuh, prostitusi, pelecehan seksual dan perzinahan.
2.
Memperbanyak
keturunan. Di antara manusia ada yang ingin mendapat keturunan tetapi sayang
isterinya mandul atau sakit sehingga tidak mempunyai anak.
3.
Melindungi para
janda, perawan tua dan kelebihan perempuan. Jika kita lihat pada saat ini
jumlah perempuan lebih banyak dari pada jumlah kaum laki-laki maka poligami
inilah satu-satunya jalan untuk melindungi para janda serta mengurangi jumlah
perawan tua.
4.
Istri terpacu
untuk melakukan yang terbaik bagi suaminya karena ada yang lain
(madunya) Salah satu hikmah dari poligami adalah, membuka peluang bagi
wanita untuk dapat mengembangkan dirinya sendiri karena dia punya kesempatan
untuk saling meringankan beban pekerjaan sehari-harinya dengan sesama istri
yang lain.
5.
Status yang
jelas bagi perempuan. Sama halnya dengan anak yang lahir dari perbuatan zina
yang tidak memiliki status yang jelas di masyarakat maka perempuan yang berbuat
zina juga tidak memiliki ststus social yang jelas.
6.
Terhindar dari
berbagai penyakit yang berbahaya dan menular. Sebagaimana yang kita ketahui
bersama bahwa akibat dari kita bergonta-ganti pasangan adalah tersebarnya penyakit kelamin yang berbahaya yang mampu
menular ke siapa saja. Seperti, HIV atau AIDS.
BAB III
KESIMPULAN
Syariat
Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan
berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal,
serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang
kaya dan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang
rendah dari golongan bawah.[21] Pengertian poligami menurut
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan secara jelas, akan tetapi pada intinya poligami adalah
seorang suami yang beristri lebih dari seorang.
Untuk
mendapatkan izin poligami dari Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu
disertai dengan alasan yang dibenarkan. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi adalah:
1) Adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
2) Adanya
kepastian bahwa suami mampu keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
3) Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anak
mereka.[22]
Pengertian poligami dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam
BAB IX mengenai “Beristeri Lebih Dari Satu Orang” yakni dalam pasal 55-59, yang diantaranya dalam pasal 55 ayat (1) disebutkan bahwa, “Beristeri lebih
satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.” Adapun syarat utama yang harus dipenuhi jika berpoligami dituangkan dalam
pasal 55 ayat (2) disebutkan bahwa “Syarat utama beristeri lebih dari seorang,
suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.”
Adapun tata cara jika seorang suami akan beristeri lebih dari seorang
jikalau suami tersebut sudah memenuhu persyaratan yang disebutkan dalam
Kompilasi Hukum (KHI) sudah terpenuhi, maka prosedur yang harus dilaksanakan seorang suami tersebut selanjutnya yaitu:
1) Calon suami datang ke Kelurahan/Desa meminta
surat pengantar ke Pengadilan dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga (KK).
2) Datang ke Pengadilan Agama dengan membawa
surat-surat dari Kelurahan/ Desa, surat persetujuan dari isteri pertama, surat
pernyataan bisa berlaku adil, surat keterangan penghasilan dan surat-surat lain
yang dibutuhkan Pengadilan Agama.
3) Sidang penetapan izin poligami di Pengadilan
Agama.
4) Datang ke Kelurahan/Desa dengan membawa
penetapan izin poligami dan meminta surat-surat untuk pernikahan berupa surat
keterangan, model N1, N2, N3, & N4.
5) Laporan Pernikahan ke KUA Kecamatan setempat.
6) Ijab Qabul.[23]
Dan yang terakhir dari pembahasan ini adalah hikmah poligami diantaranya
ialah terhindar dari maksiat dan zina, memperbanyak keturunan dan terhindar dari berbagai penyakit yang berbahaya
dan menular.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Atsqalani, al-Hafidz bin
Hajar.___. Bulughul Maram. Surabaya:
Darul ‘Ilm.
Al-Malibari, Syaikh
Zainuddin bin Abdul Aziz.___. Fathul Mu'in. Surabaya: Darul
Ilm.
QS. an-Nisa’ (4): 3 dan 129.
Rahman Ghazaly, Abdul. 2006. Fiqih Munakahat. Jakarta:
Kencana.
Rosyidah
Rahmawati, Nur. 2005. Wacana Poligami di Indonesia. Bandung: Mizan.
Sahrani, Sobari.___. Fikih Munakahat.
Sutro Atmojo, Asro & Alawi, Wasit. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta:
Bulan Bintang.
Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974.
InpresNo. 1
Tahun 1991. Kompilasi
Hukum Islam. Surabaya: Karya Anda.
http://kuapagedangan.wordpress.com/pelayanan/tatacara-poligami/
[1] Sobari Sahrani, Fikih Munakahat, hlm. 361.
[5] Sobari Sahrani, Fiqih Munakahat, hlm. 363.
[6] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006),
hlm. 133
[8] Sobari Sahrani, Fiqih Munakahat, hlm. 364.
[9] Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al- Malibari, Fathul Mu'in (Surabaya:Darul
Ilm,t.t), hlm. 221.
[10] Ibid., hlm. 222.
[12] Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al- Malibari, Fathul Mu'in (Surabaya:Darul
Ilm,t.t), hlm. 222.
[14] Ibid, hlm. 223.
[16] Nur Rosyidah Rahmawati, Wacana Poligami di Indonesia (
Bandung: Mizan, 2005), hlm. 40.
[17] Undang-Undang Perkawinan ,hlm. 6.
[18] Asro Sutro Atmojo & Wasit Alawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 84.
[20] http://kuapagedangan.wordpress.com/pelayanan/tatacara-poligami/
[21] Sobari Sahrani, Fikih Munakahat, hlm. 361.
[22] Asro Sutro Atmojo & Wasit Alawi, Hukum Perkawinan di Indonesia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 84.
[23] http://kuapagedangan.wordpress.com/pelayanan/tatacara-poligami/
1 Komentar:
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda