Perceraian dan Prosesnya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya setiap manusia
memiliki nafsu dan akal fikiran. Itu yang membedakan dengan makhluk hidup
ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling sempurna
dibandingkan dengan makhluk lain. Untuk mangaktualisasikan berkah dari Tuhan
yang berupa nafsu dan fikiran ini manusia bisa merealisasikannya dengan saling
cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan saling menjaga satu sama lainnya.
Dalam hubungannya antara manusia
yang satu dan manusia yang lain tentu harus ada norma-norma atau nilai-nilai
yang harus dipatuhi. Manusia tidak lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia
yang lain. Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya
sebagai suami dan isteri, manusia harus mensahkannya dengan perkawinan. Dan
kemudian mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut
memperoleh kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum.
Manusia itu tidak akan berkembang
tanpa adanya perkawinan, karena dengan adanya perkawinan menyebabkan adanya
keturunan dan keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi kerabat
dan akhirnya menjadi masyarakat.
Namun suatu saat dalam hubungan
keluarga pasti ada saja yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Perkawinan
bisa saja putus di tengah jalan. Dan hal itu disebabkan oleh para pihak sendiri
maupun oleh pihak lain atau pihak ke-3.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
bagaimanakah Putusnya Perkawinan dan Apa akibatnya Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pengertian
Perkawinan
Dari sudut ilmu bahasa, perkataan
perkawinan berasal dari kata “kawin”
yang merupakan terjemahan dari bahasa arab “nikah”. Di samping kata nikah dalam bahasa arab lazim juga
dipergunakan kata “zawaaj” untuk maksud yang sama. Perkataan
nikah mengandung 2 pengertian yaitu dalam arti yang sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Dalam pengertian yang
sebenarnya kata “nikah” itu berarti
“berkumpul”, sedangkan dalam arti
kiasan berarti “akad” atau “mengadakan perjanjian perkawinan”.[1]Dalam
penggunaan sehari-hari kata “nikah”
lebih banyak dipakai dalam pengertian yang terakhir yaitu dalam arti kiasan.[2] Para ahli
ilmu “fiqh” sendiri yaitu para imam
masih berbeda pendapat tentang arti kias tersebut apakah dalam pengertian “wathaa” atau “aqad” sebagaimana yang disebut di atas. Imam Asy-Syafi’i misalnya
memberi pengertian “nikah” itu
dengan “mengadakan perjanjia perikatan”, sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikan
“wathaa” atau “setubuh”. Seperti diketahui, perbedaan para imam ini dianggap
penting oleh karena akan mengakibatkan berbedanya pendapat dalam
masalah-masalah lain yang berkenaan.
Pengertian “nikah” sebagai suatu
perjanjian perikatan sesungguhnya adalah suatu pengertian dalam ruang lingkup
undang-undang. Perikatan perkawinan sangat penting di dalam pergaulan
masyarakat, bahkan hidup bersama ini yang kemudian melahirkan anak keturunan
mereka merupakan sendi yang utama bagi pembentukan Negara dan bangsa.[3]Menurut
Undang-undang sendiri pengertian Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara
seorang pri dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.[4]
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Putusnya
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pada
dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya.
Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat
diteruskan. Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan harapan untuk mewujudkan
keluarga yang bahagia,kekal dan abadi sampai akhir hayat. Akan tetapi
kenyataannya perkawinan tersebut terkadang tidak selamanya berjalan sesuai
dengan apa yang diharapkan. Banyak perkawinan berakhir di tengah
jalan.Berakhirnya perkawinan biasanya disebut juga dengan putusnya perkawinan.
Putusnya
perkawinan serta akibatnya di atur dalam Bab VIII, Pasal 38sampai dengan Pasal
41 Undang-undang Perkawinan. Diatur juga dalam Bab V Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tentang Tata Cara Perceraian, Pasal 14 sampai dengan Pasal 36.
Menurut Pasal 38 Undang-Undang
Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :
1. Kematian.
2. Perceraian, dan
3. Atas Keputusan Pengadilan.[5]
Dalam pasal 115 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan pasal 39 ayat (1) UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian hanya bisa
dilakukan di hadapan sidang pengadilan, tentunya setelah pengadilan mengadakan
usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu namun tidak berhasil.
Pasal 39 ayat (2) UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga memaparkan bahwa
untuk melakukan perceraian harus didasari oleh alasan yang cukup bahwa kedua
belah pihak tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami-istri.
Sementara menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Pasal
199, 200-206b, 207-232a dan 233-249.
Pasal 199 menerangkan putusnya
perkawinan disebabkan:
a.
Karena meninggal dunia,
b.
Karena keadaan tidak hadirnya salah
seorang suami isteri selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru
sesudah itu suami atau isterinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian
ke lima bab delapan belas,
c.
Karena putusan hakim setelah adanya
perpisahan meja dan tempat tidur dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam
register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini,
d.
Karena perceraian sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.[6]
1. Putusnya Perkawinan Karena
Kematian
Kematian merupakan suatu peristiwa
alam yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Kematian ini tentu
mengakibatkan akibat hukum. Kematian dalam hal perkawinan merupakan suatu
peristiwa meninggalnya salah satu pihak atau kedua pihak yang menjadi subjek
hukum dalam perkawinan.
Kematian suami/istri tentunya akan
mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan
putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh
selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara
diwariskan.
Dengan putusnya perkawinan karena
kematian maka terbukanya hak mewaris dari ahli waris. Masalah kewarisan
merupakan aspek yang sangat penting dalam ajaran agama islam, banyak
mempengaruhi kehidupan seseorang dengan orang lain, seperti yang terjadi dalam
budaya jahiliyah, hukum waris yang dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan,
hasilnya juga banyak membawa bencana dan persengketaan dengan para penerima
waris.
Kewarisan adalah ilmu yang
berhubungan dengan harta milik, jika dalam pembagiannya tidak transparan dan
hanya berdasarkan kekuatan hukum yang tidak jelas, maka dikhawatirkan kemudian
hari akan menimbulkan sengketa di antara ahli waris.[7]
Sementara harta warisan adalah benda
yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris.
Harta itu merupakan sisa atau hasil bersih, setelah harta yang ditinggalkan itu
diambil untuk berbagai kepentingan, seperti biaya perawatan jenazah,
hutang-hutang dan penunaian wasiat.[8]
Penambahan kalimat “setelah harta yang ditinggalkan itu diambil
untuk berbagai kepentingan” menunjukkan adanya penyempitan definisi, yang
dipergunakan untuk membedakan harta warisan dengan harta peninggalan. Harta
peninggalan bersifat lebih umum sedangkan harta warisan lebih khusus karena
harta warisan juga dapat disebut dengan harta benda jika tidak dipotong dengan
dengan tiga kepentingan seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan
penunaian wasiat.
Dalam hal hidupnya waris, para ahli
waris yang benar-benar hiduplah di saat kematian muwaris, berhak mendapatkan
harta peninggalan. Berkaitan dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan
dibahas secara khusus.
Tidak ada penghalang kewarisan,
dalam hal ini ahli waris tidak mempunyai halangan sebagai ahli waris sesuai
dengan ketentuan-ketentuan tentang penghalang kewarisan yang telah ditentukan..
2. Putusnya
Perkawinan karena Perceraian
Dalam kenyataannya prinsip-prinsip
berumah tangga sering kali tidak dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak
lagi merasa tenang dan tenteram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi
saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya
perceraian.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan tidak memberikan batasan mengenai istilah perceraian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan
ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan
bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2)
Undang-undang Perkawinan terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai
alasan untuk mengajukan perceraian, yaitu:
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.
Salah satu pihak meninggalkan yang
lain selama dua tahun beturut-turut.tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya.
c. Salah satu
pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
selama perkawinan berlangsung;
d. Salah satu
pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
e.
Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain;
f.
Antara suami dan isteri
terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun dalam rumah tangga.[9]
Kepada mereka yang mengakhiri
perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai bukti berakhirnya
perkawinan mereka. Akta perceraian ditandatangani oleh panitera kepala.
Pasal 221 KUH Perdata yang
menentukan setiap salinan putusan perceraian yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap harus didaftarkan pada instansi berwenang guna dicatatkan oleh
Pejabat Pencatat pada buku register perceraian. Pentingnya pencatatan ini
adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
yang menentukan bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat
hukumnya terhitung sejak pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam
terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum
tetap.
Selanjutnya dalam Pasal 41
Undang-Undang Perkawinan disebutkan beberapa hal akibat hukum putusnya
perkawinan yang dikarenakan oleh perceraian :
a)
Baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusan.
b)
Bapak yang bertanggung jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak
dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat
menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c)
Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.[10]
Pasal di atas memberikan pengertian
bahwa :
a.
Mantan suami atau isteri
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak ,
Pengadilan memberikan keputusan.
b.
Mantan suami bertanggungjawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana
dalam kenyataan suami tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa isteri ikut memikul biaya tersebut;
c.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan kewajiban
bagi bekas isteri.
Kemudian dalam Pasal 209 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan
terjadinya perceraian, yaitu:
a. Zinah,
b. Meninggalkan
tempat tinggal bersama dengan itikad jahat,
c. Penghukuman
dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat,
yang diucapkan setelah perkawinan,
d. Melukai berat
atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau
suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau
dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.
Perceraian dapat terjadi karena
talak dan gugatan perceraian. Mengenai Talak telah diatur dalam Pasal 117-122
KHI yang menentukan talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Cerai talak diajukan oleh pihak
suami yang petitumnya memohon untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap
istrinya. Cerai talak yang diajukan oleh suami yang telah, riddah (keluar dari
agama Islam), produk putusannya bukan memberikan izin kepada suami untuk
mengikrarkan talak, akan tetapi talak dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Cerai gugat diajukan oleh istri yang
petitumnya memohon agar Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan
Tergugat. Gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah istri, mut'ah, nafkah iddah dan
harta bersama suami istri, dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat.
Selama proses pemeriksaan cerai gugat sebelum sidang pembuktian, suami dapat
mengajukan rekonvensi mengenai penguasaan anak dan harta bersama.
Dalam perkara cerai gugat, istri
dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan provisi, begitu pula suami yang
mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal
yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pemeriksaan dan penyelesaian cerai
gugat yang diajukan istri atas dasar alasan suami zina, dilakukan berdasarkan
hukum acara yang berlaku pada gugat cerai biasa, yaitu dilakukan pembuktian
dengan saksi atau sumpah pemutus, atau atas dasar putusan Pidana yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap bahwa suaminya melakukan tindak pidana
zina.
Akhirnya Perceraian itu terjadi
terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.
Dalam hal perkawinan putus karena
perceraian, maka harta diatur menurut hukumnya masing-masing. Penjelasan pasal
tersebut menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing”adalah hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum positif yang lain.
3. Putusnya
Perkawinan karena Putusan Pengadilan
Putusnya perkawinan karena putusan
pengadilan dapat terjadi, karena adanya seseorang yang meninggalkan tempat
kediamana bersama, sehingga perlu diambil langkah-langkah terhadap perkawinan
orang tersebut, untuk kepentingan keluarga yang ditinggalkan. Perceraian
membawa akibat yang luas bagi perkawinan, bagi suami-isteri, harta kekayaan perkawinan
maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
Putusnya perkawinan atas putusan
pengadilan juga bisa terjadi karena adanya permohonan dari salah satu pihak
suami atas istri atau para anggota keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan
yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan
memperbolehkan perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan
dengan syara’ atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan
baik dalam Undang-Undang perkawinan maupun menurut hukum agama.
Putusnya Perkawinan atas Putusan
Pengadilan dapat terjadi apabila dilakukan di depan Pengadilan Agama, baik itu
karena suami yang menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena isteri yang
menggugat cerai atau memohon hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun
dalam agama Islam, perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah apabila
diucapkan seketika oleh suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan.
Tujuannya adalah untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai
akibat hukum perceraian itu.
Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian
bagi pemeluk agama Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan
Pengadilan Agama (Undang-undang N0. & tahun 1989 tentang Peradilan Agama),
sedangkan bagi pemeluk agama non Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di
depan Pengadilan Negeri.
Walaupun perceraian itu adalah
urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang
seharusnya tidak perlu adanya campur-tangan dari Pemerintah, namun demi
menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi
kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga Pengadilan.
Sehubungan dengan adanya ketentuan
bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini
berlaku juga bagi mereka yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum
Islam tidak menentukan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan namun karena ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi
kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti
ketentuan ini.
Akibat perceraian baik bapak atau
ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak. Ketika suatu saat ada perselisihan mengenai hak
penguasaan atas anak, maka Pengadilan akan memberikan keputusannya. Dan harus
diterima oleh para pihak. Dalam hal ini kekuasaan orang tua menurut
Undang-undang No. 1 tahun 1974 bersifat tunggal. Artinya,
walaupun telah terjadi perceraian, kekuasaan orang tua atas anak yang masih di
bawah umur tetap berjalan, tidak berubah menjadi perwalian seperti pengaturan
dalam KUH Perdata (pasal 298, 299).[11]
Selama berlangsungnya gugatan
perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan
suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Selama berlangsungnya gugatan
perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat:
·
Menentukan
nafkah yang harus ditanggung oleh suami,
·
Menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak,
·
Menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri
atau barang-barang yang menjadi hak isteri (pasal 24 PP No. 9 tahun 1975)
Bapak yang bertanggung jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, apabila bapak
dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat
menentukan bawhwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan / atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isterinya (pasal 41)
Perwalian tidak timbul setelah
terjadinya perceraian, pewalian menurut Undang-undang Perkawinan ialah bagi
anak yang belum mencapai usia genap 18 tahun atau belum melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Mereka yang di
bawah kekuasaan orang tua adalah anak sah yang belum genap berumur 18 tahun.
B.
Prosedur
Tata Cara Pengajuan Perceraian di Pengadilan
Berikut ini
beberapa tata cara pengajuan perkara perceraian di pengadilan baik itu Cerai
Talak, pengajuan perceraian yang diajukan oleh pihak suami ataupun Cerai Gugat,
pengajuan perceraian yang diajukan oleh pihak istri[12].
A. CERAI TALAK (PERCERAIAN YANG DIAJUKAN OLEH SUAMI)
a. Persyaratan
01.
|
Menyerahkan Surat Permohonan/Gugatan;
|
02.
|
Menyerahkan Foto Copy Kutipan/Duplikat Akta
Nikah;
|
03.
|
Menyerahkan Foto Copy KTP;
|
04.
|
Membayar Biaya Perkara sesuai dengan radius;
|
05.
|
Apabila Termohon tidak diketahui tempat tinggalnya,
maka menyerahkan Surat Keterangan dari Desa/Kelurahan, yang menerangkan
Termohon tidak diketahui tempat tinggalnya.
|
b. Prosedur (tata cara pengajuan perkara)
01.
|
Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami)
atau Kuasanya :
|
|
a.
|
Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan
kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal
66 UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
|
b.
|
Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tentang tata cara membuat surat permohonan
(pasal 119 HIR, 143 R.bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah
dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
|
c.
|
Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak
mengubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan
ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan
Termohon;
|
|
02.
|
Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah :
|
|
a.
|
Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Termohon (pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No.
3 Th. 2006);
|
|
b.
|
Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang
telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan
kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Pemohon (pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Th. 1989 yang telah
diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
|
c.
|
Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (pasal 66 ayat (3) UU No. 7
Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
|
d.
|
Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar
negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah
yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Th. 1989 yang
telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
|
03.
|
Permohonan tersebut memuat :
|
|
a.
|
Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman
Pemohon dan Termohon;
|
|
b.
|
Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
|
|
c.
|
Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita);
|
|
04.
|
Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah
istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai
talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (pasal 66 ayat (5) UU
No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
|
05.
|
Membayar biaya perkara (pasal 121 HIR ayat (4), 145
ayat (4) R.Bg jo. Pasal 89 UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah
dengan UU No. 3 Th. 2006), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara
Cuma-Cuma (prodeo) (pasal 237 HIR, 237 R.Bg).
|
c.
Proses
Penyelesaian Perkara
01.
|
Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah;
|
||
02.
|
Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah untuk menghadiri persidangan.;
|
||
03.
|
a.
|
Tahapan persidangan :
|
|
1)
|
Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi
(pasal 82 UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th.
2006);
|
||
2)
|
Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada
kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasai (pasal 3 ayat (1) PERMA
No. 2 Th. 2003);
|
||
3)
|
Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan
perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban,
jawab-menjawab, pembuktian dan mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik)
(pasal 132a HIR, 158 R.Bg);
|
||
b.
|
Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah atas
permohonan cerai talak sebagai berikut :
|
||
1)
|
Permohonan dikabulkan. Apabila Pemohon tidak puas
dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tersebut;
|
||
2)
|
Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding
melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tersebut;
|
||
3)
|
Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan
permohonan baru;
|
||
04.
|
Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
|
||
a.
|
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah menentukan hari
sidang penyaksian ikrar talak;
|
||
b.
|
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah memanggil Pemohon
dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
|
||
c.
|
Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak
ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak
melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum
penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan
alasan hukum yang sama (pasal 70 ayat (6) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah
dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
||
05.
|
Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban
memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (pasal 84
ayat (4) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006).
|
B. PERKARA CERAI GUGAT (PERCERAIAN YANG
DIAJUKAN OLEH ISTRI)
a. Persyaratan
01.
|
Menyerahkan Surat Gugatan;
|
02.
|
Menyerahkan Foto Copy Kutipan/Duplikat Akta
Nikah;
|
03.
|
Menyerahkan Foto Copy KTP;
|
04.
|
Membayar Biaya Perkara sesuai dengan radius;
|
05.
|
Apabila Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya,
maka menyerahkan Surat Keterangan dari Desa/Kelurahan, yang menerangkan
Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya.
|
b.
Prosedur tata
cara pengajuan perkara
01.
|
Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat
(Istri) atau Kuasanya :
|
|
a.
|
Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 66 UU
No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
|
b.
|
Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tentang tata cara membuat surat gugatan
(pasal 118 HIR, 143 R.bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah
dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
|
c.
|
Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah
posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada
perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat;
|
|
02.
|
Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah :
|
|
a.
|
Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Penggugat (pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU
No. 3 Th. 2006);
|
|
b.
|
Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang
telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman Tergugat (pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Th. 1989 yang telah
diubah dengan UU No. 3 Th. 2006 jo. pasal 32 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974);
|
|
c.
|
Bila Penggugat berkediaman di luar negeri, maka
gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (pasal 73 ayat (2) UU
No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
|
d.
|
Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di
luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah
yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal 73 ayat (3) UU No. 7 Th. 1989 yang
telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
|
03.
|
Gugatan tersebut memuat :
|
|
a.
|
Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman
Penggugat dan Tergugat;
|
|
b.
|
Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
|
|
c.
|
Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita);
|
|
04.
|
Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah
istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian
atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 86
ayat (1) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
|
05.
|
Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145
ayat (4) R.Bg jo. Pasal 89 UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan
UU No. 3 Th. 2006), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-Cuma
(prodeo) (pasal 237 HIR, 237 R.Bg);
|
|
06.
|
Penggugat dan Tergugat atau Kuasanya menghadiri
persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/MAhkamah Syari'ah (pasal
121, 124 dan 125 HIR, 145 R.Bg).
|
c.
Proses
Penyelesaian Perkara
01.
|
Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah;
|
||
02.
|
Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah untuk menghadiri persidangan;
|
||
03.
|
a.
|
Tahapan persidangan :
|
|
1)
|
Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan
kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (pasal 82
UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
|
||
2)
|
Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada
kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasai (pasal 3 ayat (1) PERMA
No. 2 Th. 2003);
|
||
3)
|
Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan
perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab-menjawab,
pembuktian dan mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (pasal 132a HIR,
158 R.Bg);
|
||
b.
|
Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah atas
cerai gugat talak sebagai berikut :
|
||
1)
|
Gugatan dikabulkan. Apabila Penggugat tidak puas
dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tersebut;
|
||
2)
|
Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding
melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tersebut;
|
||
3)
|
Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan
permohonan baru;
|
||
04.
|
Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum maka
panitera P A memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah
pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut
diberitahukan kepada para pihak.
|
Seperti itulah beberapa tahapan yang
harus dilewati seorang suami ataupun istri dalam memproses perkara perceraiannya
di pengadilan. Dari beberapa proses tersebut dapatlah dipahami bahwa sebenarnya
ada usaha atau itikad baik dari pengadilan agar perceraiannya tersebut tidak
terjadi, karena bagaimanapun selama pasangan suami-istri masih bisa memperbaiki
hubungan keduanya maka perdamaiannya merupakan jalan terbaik yang harus
ditempuh. Akan tetapi apabila memang bahtera rumah tangga tersebut harus karam,
maka perlulah penanganan yang baik dalam proses evakuasi antara suami dan istri
tersebut agar semuanya selesai saat itu juga dan diharapkan tidak ada beberapa
perkara yang timbul belakangan dan terus terungkit pada nantinya.
BAB IV
SIMPULAN DAN
SARAN
Pada hakekatnya setiap manusia
memiliki nafsu dan akal fikiran. Untuk mangaktualisasikan berkah dari Tuhan
yang berupa nafsu dan fikiran ini manusia bisa merealisasikannya dengan saling
cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan saling menjaga satu sama lainnya. Dalam
hubungannya antara manusia yang satu dan manusia yang lain tentu harus ada norma-norma
atau nilai-nilai yang harus dipatuhi. Manusia tidak lantas bebas berbuat apa
saja dengan manusia yang lain. Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan atau
diakui dalam hubungannya sebagai suami dan isteri, manusia harus mensahkannya
dengan perkawinan. Dan kemudian mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga
perkawinan tersebut memperoleh kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun
dari segi hukum.
Namun suatu saat dalam hubungan
keluarga pasti ada saja yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Perkawinan
bisa saja putus di tengah jalan. Dan hal itu disebabkan oleh para pihak sendiri
maupun oleh pihak lain.
Perkawinan perkawinan dapat putus
dikarenakan tiga hal, yaitu :
1. Kematian.
2. Perceraian, dan
3. Atas Keputusan Pengadilan.
Meskipun dalam suatu perkawinan
kelak akan terjadi banyak masalah, tetapi alangkah lebih baiknya kalau
permasalahan itu masih bisa diselesaikan dengan cara baik-baik, jangan pernah
berfikiran Pemutusan perkawinan adalah jalan satu-satunya. Kecuali memang
perkawinan itu putus disebabkan oleh kematian. Kita tidak bisa menolaknya.
Karena kematian adalah hak prerogatif Tuhan.
[1]Lihat Drs.Kamal Mochtar.Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan.
Penerbitan Bulan Bintang Jakarta. Cetakan pertama 1974. hlm 11
[2] Ibid. Lebih lengkap lihat:
Ibnu’I Humam Fat-hu’I Qadir jilid II hlm 357; Fakhru’r. razi. Tafsir Fakhru’r Razi jilid III hlm 189.
Juga lihat Abdur Rahman Al Jazairi. Kitaabu’lFiqh
ala mazahibi’l Arbaah jilid IV hlm 1 dan seterusnya.
[3] Soedaryo Soimin ,S.H dalam
bukunya Hukum Orang dan Keluarga
mengatakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama ini menentukan
kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dan Negara, sebaliknya rusak dan
kacaunya hidup bersama yang bernama keluarga ini akan menimbulkan rusak dan
kacaunya bangunan masyarakat
[4]Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[5]
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[6]Pasal 199 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata
[7]Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep
Kewarisan Bilateral Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005, hal. 39
[9] Penjelasan Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[10]Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[11]Pasal 298
“Tiap-tiap anak, dalam umur berapapun juga, berwajib menaruh kehormatan dan
kesegaran terhadap bapak dan ibunya. Si bapak dan si ibu keduanya berwajib
memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak
untuk memangku kekuasaan orang tua atau untuk menjadi wali tak membebaskan
mereka dari kewajiban, memberi tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan
pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan itu. Terhadap
anak-anak yang telah dewasa, berlakulah ketentuan-ketentuan tercantum dalam
bagian ketiga bab ini”. Pasal
299
“Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa,
tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sekadar mereka tidak dibebaskan atau
dipecat dari kekuasaan itu”
[12]
Dikutip dari http://www.pa-magelang.go.id/
yang diunduh pada tanggal 23 Desember 2012, Pukul 20.19 WIB.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda