Jumat, 07 Februari 2014

Perceraian dan Prosesnya



Putusnya Perkawinan
BAB I
 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran. Itu yang membedakan dengan makhluk hidup ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Untuk mangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini manusia bisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan saling menjaga satu sama lainnya.
Dalam hubungannya antara manusia yang satu dan manusia yang lain tentu harus ada norma-norma atau nilai-nilai yang harus dipatuhi. Manusia tidak lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia yang lain. Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai suami dan isteri, manusia harus mensahkannya dengan perkawinan. Dan kemudian mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut memperoleh kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum.
Manusia itu tidak akan berkembang tanpa adanya perkawinan, karena dengan adanya perkawinan menyebabkan adanya keturunan dan keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi kerabat dan akhirnya menjadi masyarakat.
Namun suatu saat dalam hubungan keluarga pasti ada saja yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Perkawinan bisa saja putus di tengah jalan. Dan hal itu disebabkan oleh para pihak sendiri maupun oleh pihak lain atau pihak ke-3.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, bagaimanakah Putusnya Perkawinan dan Apa akibatnya Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian Perkawinan
Dari sudut ilmu bahasa, perkataan perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari bahasa arab “nikah”. Di samping kata nikah dalam bahasa arab lazim juga dipergunakan kata “zawaaj” untuk maksud yang sama. Perkataan nikah mengandung 2 pengertian yaitu dalam arti yang sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Dalam pengertian yang sebenarnya kata “nikah” itu berarti “berkumpul”, sedangkan dalam arti kiasan berarti “akad” atau “mengadakan perjanjian perkawinan”.[1]Dalam penggunaan sehari-hari kata “nikah” lebih banyak dipakai dalam pengertian yang terakhir yaitu dalam arti kiasan.[2] Para ahli ilmu “fiqh” sendiri yaitu para imam masih berbeda pendapat tentang arti kias tersebut apakah dalam pengertian “wathaa” atau “aqad” sebagaimana yang disebut di atas. Imam Asy-Syafi’i misalnya memberi pengertian “nikah” itu dengan “mengadakan perjanjia perikatan”, sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikan “wathaa” atau “setubuh”. Seperti diketahui, perbedaan para imam ini dianggap penting oleh karena akan mengakibatkan berbedanya pendapat dalam masalah-masalah lain yang berkenaan.
Pengertian “nikah” sebagai suatu perjanjian perikatan sesungguhnya adalah suatu pengertian dalam ruang lingkup undang-undang. Perikatan perkawinan sangat penting di dalam  pergaulan masyarakat, bahkan hidup bersama ini yang kemudian melahirkan anak keturunan mereka merupakan sendi yang utama bagi pembentukan Negara dan bangsa.[3]Menurut Undang-undang sendiri pengertian Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pri dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]

  
BAB III
PEMBAHASAN


A.      Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan harapan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia,kekal dan abadi sampai akhir hayat. Akan tetapi kenyataannya perkawinan tersebut terkadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Banyak perkawinan berakhir di tengah jalan.Berakhirnya perkawinan biasanya disebut juga dengan putusnya perkawinan.
Putusnya perkawinan serta akibatnya di atur dalam Bab VIII, Pasal 38sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan. Diatur juga dalam Bab V Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Tata Cara Perceraian, Pasal 14 sampai dengan Pasal 36.
Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :
1. Kematian.
2. Perceraian, dan
3. Atas Keputusan Pengadilan.[5]
Dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 39 ayat (1) UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian hanya bisa dilakukan di hadapan sidang pengadilan, tentunya setelah pengadilan mengadakan usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu namun tidak berhasil. Pasal 39 ayat (2) UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga memaparkan bahwa untuk melakukan perceraian harus didasari oleh alasan yang cukup bahwa kedua belah pihak tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami-istri.
Sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 199, 200-206b, 207-232a dan 233-249.
Pasal 199 menerangkan putusnya perkawinan disebabkan:
a.       Karena meninggal dunia,
b.      Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu suami atau isterinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ke lima bab delapan belas,
c.       Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini,
d.      Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.[6]

1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian
Kematian merupakan suatu peristiwa alam yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Kematian ini tentu mengakibatkan akibat hukum. Kematian dalam hal perkawinan merupakan suatu peristiwa meninggalnya salah satu pihak atau kedua pihak yang menjadi subjek hukum dalam perkawinan.
Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan.
Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewaris dari ahli waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat penting dalam ajaran agama islam, banyak mempengaruhi kehidupan seseorang dengan orang lain, seperti yang terjadi dalam budaya jahiliyah, hukum waris yang dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan, hasilnya juga banyak membawa bencana dan persengketaan dengan para penerima waris.
Kewarisan adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik, jika dalam pembagiannya tidak transparan dan hanya berdasarkan kekuatan hukum yang tidak jelas, maka dikhawatirkan kemudian hari akan menimbulkan sengketa di antara ahli waris.[7]

Sementara harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu merupakan sisa atau hasil bersih, setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan, seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat.[8]
Penambahan kalimat “setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan” menunjukkan adanya penyempitan definisi, yang dipergunakan untuk membedakan harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan bersifat lebih umum sedangkan harta warisan lebih khusus karena harta warisan juga dapat disebut dengan harta benda jika tidak dipotong dengan dengan tiga kepentingan seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat.
Dalam hal hidupnya waris, para ahli waris yang benar-benar hiduplah di saat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaitan dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus.
Tidak ada penghalang kewarisan, dalam hal ini ahli waris tidak mempunyai halangan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan-ketentuan tentang penghalang kewarisan yang telah ditentukan..

2. Putusnya Perkawinan karena Perceraian
Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga sering kali tidak dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan batasan mengenai istilah perceraian.  Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.



Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian, yaitu:
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.      Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturut-turut.tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung;
d.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
e.       Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain;
f.       Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.[9]
Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai bukti berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian ditandatangani oleh panitera kepala.
Pasal 221 KUH Perdata yang menentukan setiap salinan putusan perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan disebutkan beberapa hal akibat hukum putusnya perkawinan yang dikarenakan oleh perceraian :
a)      Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b)      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c)      Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.[10]
Pasal di atas memberikan pengertian bahwa :
a.       Mantan suami atau isteri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak , Pengadilan memberikan keputusan.
b.      Mantan suami bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana dalam kenyataan suami tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa isteri ikut memikul biaya tersebut;
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri.
Kemudian dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian, yaitu:
a.       Zinah,
b.      Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat,
c.       Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan,
d.      Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.
Perceraian dapat terjadi karena talak dan gugatan perceraian. Mengenai Talak telah diatur dalam Pasal 117-122 KHI yang menentukan talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap istrinya. Cerai talak yang diajukan oleh suami yang telah, riddah (keluar dari agama Islam), produk putusannya bukan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak, akan tetapi talak dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.


Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. Gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah istri, mut'ah, nafkah iddah dan harta bersama suami istri, dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat. Selama proses pemeriksaan cerai gugat sebelum sidang pembuktian, suami dapat mengajukan rekonvensi mengenai penguasaan anak dan harta bersama.
Dalam perkara cerai gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan provisi, begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat yang diajukan istri atas dasar alasan suami zina, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku pada gugat cerai biasa, yaitu dilakukan pembuktian dengan saksi atau sumpah pemutus, atau atas dasar putusan Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap bahwa suaminya melakukan tindak pidana zina.
Akhirnya Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.
Dalam hal perkawinan putus karena perceraian, maka harta diatur menurut hukumnya masing-masing. Penjelasan pasal tersebut menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing”adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum positif yang lain.
3. Putusnya Perkawinan karena Putusan Pengadilan
Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat terjadi, karena adanya seseorang yang meninggalkan tempat kediamana bersama, sehingga perlu diambil langkah-langkah terhadap perkawinan orang tersebut, untuk kepentingan keluarga yang ditinggalkan. Perceraian membawa akibat yang luas bagi perkawinan, bagi suami-isteri, harta kekayaan perkawinan maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan juga bisa terjadi karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’ atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam Undang-Undang perkawinan maupun menurut hukum agama.
Putusnya Perkawinan atas Putusan Pengadilan dapat terjadi apabila dilakukan di depan Pengadilan Agama, baik itu karena suami yang menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena isteri yang menggugat cerai atau memohon hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam agama Islam, perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan seketika oleh suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum perceraian itu.
Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian bagi pemeluk agama Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Agama (Undang-undang N0. & tahun 1989 tentang Peradilan Agama), sedangkan bagi pemeluk agama non Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Negeri.
Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur-tangan dari Pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga Pengadilan.
Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan namun karena ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini.
Akibat perceraian baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Ketika suatu saat ada perselisihan mengenai hak penguasaan atas anak, maka Pengadilan akan memberikan keputusannya. Dan harus diterima oleh para pihak. Dalam hal ini kekuasaan orang tua menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 bersifat tunggal. Artinya, walaupun telah terjadi perceraian, kekuasaan orang tua atas anak yang masih di bawah umur tetap berjalan, tidak berubah menjadi perwalian seperti pengaturan dalam KUH Perdata (pasal 298, 299).[11]
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat:
·           Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami,
·         Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak,
·          Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak isteri (pasal 24 PP No. 9 tahun 1975)
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bawhwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan / atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya (pasal 41)
Perwalian tidak timbul setelah terjadinya perceraian, pewalian menurut Undang-undang Perkawinan ialah bagi anak yang belum mencapai usia genap 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Mereka yang di bawah kekuasaan orang tua adalah anak sah yang belum genap berumur 18 tahun.









B.     Prosedur Tata Cara Pengajuan Perceraian di Pengadilan
Berikut ini beberapa tata cara pengajuan perkara perceraian di pengadilan baik itu Cerai Talak, pengajuan perceraian yang diajukan oleh pihak suami ataupun Cerai Gugat, pengajuan perceraian yang diajukan oleh pihak istri[12].
A. CERAI TALAK (PERCERAIAN YANG DIAJUKAN OLEH SUAMI)
a. Persyaratan
01.
Menyerahkan Surat Permohonan/Gugatan;
02.
Menyerahkan Foto Copy Kutipan/Duplikat Akta Nikah;
03.
Menyerahkan Foto Copy KTP;
04.
Membayar Biaya Perkara sesuai dengan radius;
05.
Apabila Termohon tidak diketahui tempat tinggalnya, maka menyerahkan Surat Keterangan dari Desa/Kelurahan, yang menerangkan Termohon tidak diketahui tempat tinggalnya.

b. Prosedur (tata cara pengajuan perkara)
01.

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau Kuasanya :

a.
Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 66 UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);

b.
Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tentang tata cara membuat surat permohonan (pasal 119 HIR, 143 R.bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);

c.
Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon;
02.

Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah :

a.
Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);

b.
Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (pasal 66 ayat (2) UU  No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);

c.
Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (pasal 66 ayat (3) UU  No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);

d.
Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
03.

Permohonan tersebut memuat :

a.
Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;

b.
Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);

c.
Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita);
04.

Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (pasal 66 ayat (5)  UU  No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
05.

Membayar biaya perkara (pasal 121 HIR ayat (4), 145 ayat (4) R.Bg jo. Pasal 89  UU  No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) (pasal 237 HIR, 237 R.Bg).
c.  Proses Penyelesaian Perkara
01.


Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah;
02.


Pemohon dan Termohon dipanggil oleh  Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah untuk menghadiri persidangan.;
03.
a.

Tahapan persidangan :


1)
Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (pasal 82 UU  No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);


2)
Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasai (pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Th. 2003);


3)
Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab-menjawab, pembuktian dan mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (pasal 132a HIR, 158 R.Bg);

b.

Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah atas permohonan cerai talak sebagai berikut :


1)
Permohonan dikabulkan. Apabila Pemohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tersebut;


2)
Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tersebut;


3)
Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru;




04.


Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :

a.

Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;

b.

Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah memanggil Pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;

c.

Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (pasal 70 ayat (6) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
05.


Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006).
B. PERKARA CERAI GUGAT (PERCERAIAN YANG DIAJUKAN OLEH ISTRI)
a. Persyaratan
01.
Menyerahkan Surat Gugatan;
02.
Menyerahkan Foto Copy Kutipan/Duplikat Akta Nikah;
03.
Menyerahkan Foto Copy KTP;
04.
Membayar Biaya Perkara sesuai dengan radius;
05.
Apabila Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya, maka menyerahkan Surat Keterangan dari Desa/Kelurahan, yang menerangkan Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya.
b.  Prosedur tata cara pengajuan perkara
01.

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau Kuasanya :

a.
Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 66 UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);

b.
Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tentang tata cara membuat surat gugatan (pasal 118 HIR, 143 R.bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);

c.
Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat;
02.

Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah :

a.
Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);

b.
Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (pasal 73 ayat (1) UU  No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006 jo. pasal 32 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974);

c.
Bila Penggugat berkediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (pasal 73 ayat (2)  UU  No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);

d.
Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal 73 ayat (3) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
03.

Gugatan tersebut memuat :

a.
Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Penggugat dan Tergugat;

b.
Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);

c.
Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita);
04.

Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);
05.

Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg jo. Pasal 89 UU  No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) (pasal 237 HIR, 237 R.Bg);
06.

Penggugat dan Tergugat atau Kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/MAhkamah Syari'ah (pasal 121, 124 dan 125 HIR, 145 R.Bg).
c.  Proses Penyelesaian Perkara
01.


Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah;
02.


Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh  Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah untuk menghadiri persidangan;
03.
a.

Tahapan persidangan :


1)
Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (pasal 82 UU  No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006);


2)
Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasai (pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Th. 2003);


3)
Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab-menjawab, pembuktian dan mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (pasal 132a HIR, 158 R.Bg);

b.

Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah atas cerai gugat talak sebagai berikut :


1)
Gugatan dikabulkan. Apabila Penggugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tersebut;


2)
Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tersebut;


3)
Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan permohonan baru;
04.


Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum maka panitera P A memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

Seperti itulah beberapa tahapan yang harus dilewati seorang suami ataupun istri dalam memproses perkara perceraiannya di pengadilan. Dari beberapa proses tersebut dapatlah dipahami bahwa sebenarnya ada usaha atau itikad baik dari pengadilan agar perceraiannya tersebut tidak terjadi, karena bagaimanapun selama pasangan suami-istri masih bisa memperbaiki hubungan keduanya maka perdamaiannya merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh. Akan tetapi apabila memang bahtera rumah tangga tersebut harus karam, maka perlulah penanganan yang baik dalam proses evakuasi antara suami dan istri tersebut agar semuanya selesai saat itu juga dan diharapkan tidak ada beberapa perkara yang timbul belakangan dan terus terungkit pada nantinya.





















BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
Pada hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran. Untuk mangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini manusia bisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan saling menjaga satu sama lainnya. Dalam hubungannya antara manusia yang satu dan manusia yang lain tentu harus ada norma-norma atau nilai-nilai yang harus dipatuhi. Manusia tidak lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia yang lain. Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai suami dan isteri, manusia harus mensahkannya dengan perkawinan. Dan kemudian mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut memperoleh kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum.
Namun suatu saat dalam hubungan keluarga pasti ada saja yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Perkawinan bisa saja putus di tengah jalan. Dan hal itu disebabkan oleh para pihak sendiri maupun oleh pihak lain.
Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :
1. Kematian.
2. Perceraian, dan
3. Atas Keputusan Pengadilan.
Meskipun dalam suatu perkawinan kelak akan terjadi banyak masalah, tetapi alangkah lebih baiknya kalau permasalahan itu masih bisa diselesaikan dengan cara baik-baik, jangan pernah berfikiran Pemutusan perkawinan adalah jalan satu-satunya. Kecuali memang perkawinan itu putus disebabkan oleh kematian. Kita tidak bisa menolaknya. Karena kematian adalah hak prerogatif Tuhan.


[1]Lihat Drs.Kamal Mochtar.Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Penerbitan Bulan Bintang Jakarta. Cetakan pertama 1974. hlm 11
[2] Ibid. Lebih lengkap lihat: Ibnu’I Humam Fat-hu’I Qadir jilid II hlm 357; Fakhru’r. razi. Tafsir Fakhru’r Razi jilid III hlm 189. Juga lihat Abdur Rahman Al Jazairi.  Kitaabu’lFiqh ala mazahibi’l Arbaah jilid IV hlm 1 dan seterusnya.
[3] Soedaryo Soimin ,S.H dalam bukunya Hukum Orang dan Keluarga mengatakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama ini menentukan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dan Negara, sebaliknya rusak dan kacaunya hidup bersama yang bernama keluarga ini akan menimbulkan rusak dan kacaunya bangunan masyarakat
[4]Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[5]  Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[6]Pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 
[7]Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005, hal. 39
[8]Ibid, hal. 21 
[9] Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[10]Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 
[11]Pasal 298 “Tiap-tiap anak, dalam umur berapapun juga, berwajib menaruh kehormatan dan kesegaran terhadap bapak dan ibunya. Si bapak dan si ibu keduanya berwajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan itu. Terhadap anak-anak yang telah dewasa, berlakulah ketentuan-ketentuan tercantum dalam bagian ketiga bab ini”. Pasal 299 “Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa, tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sekadar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu”

[12] Dikutip dari http://www.pa-magelang.go.id/ yang diunduh pada tanggal 23 Desember 2012, Pukul 20.19 WIB.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda