Evolusi Pajak
BAB I
Pendahuluan
Pajak
merupakan harta yang wajib dikeluarkan oleh seseorang dan ditetapkan oleh
negara. Bagi pihak-pihak yang melanggar (tidak membayar pajak), maka akan
diberikan sanksi oleh negara. Dana pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat
disuatu negara. Prinsip umum yang ada pada pajak adalah: “dari rakyat untuk
rakyat”. Artinya, pajak merupakan suatu anggaran yang dibebankan oleh
masyarakat disuatu negara, kemudian setelah mereka membayar, maka hasil dari
pembayaran harus digunakan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Zakat
merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada umat islam untuk dibayarkan
kepada golongan delapan asnaf. Zakat sifatnya permanen, dan tidak hanya berlaku
disalah satu wilayah, tetapi berlaku diseluruh tempat dan waktu. Sanksi yang
ditetapkan bagi orang yang tidak membayar pajak berupa hukuman dunia dan
akherat. Hukuman di dunia diantaranya adalah bolehnya diperangi (berlaku pada
masa Khalifah Abu Bakar), dan hukuman di akherat berupa siksaan yang pedih.
Pajak
dan zakat adalah suatu pembahasan yang berbeda, namun seorang cendikiawan
muslim bernama Masdar Farid Mas’udi mencoba memberikan suatu wacana bahwa pajak
dan zakat itu sama pada hakikatnya, walaupun berbeda secara penyebutan. Masdar
membagi konsep pajak menjadi tiga fase: pertama, pajak sebagai upeti
dari rakyat kepada raja. Kedua, pajak sebagai kontra prestasi (jizyah). Ketiga,
pajak dengan ruh zakat.
Pendapat
Masdar tentunya menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Ada yang setuju karena hal itu
dianggap menambah pengetahuan seputar kajian keislaman. Ada yang tidak setuju
karena pajak dan zakat berbeda secara penyebutan dan secara hakikatnya. Oleh
karena itu, untuk membuktikan pendapat Masdar tepat atau tidak, diperlukan suatu
penelitian yang mendalam dan objektif.
BAB
II
Konsep Evolusi Pajak
Sepanjang sejarah, ada
tiga konsep makna yang pernah diberikan kepada pranata pajak, sekaligus berarti
kepada pranata pajak, sekaligus berarti kepada lembaga negara yang dihidupinya.
Pertama, pajak dengan konsep upeti atau “persembahan kepada
raja”. Negara dengan pajak-upeti ini, adalah negara yang sepenuhnya tunduk pada
kepentingan raja, atau elite penguasa. Kedua, pajak dengan konsep “kontra-prestasi”
(Al-Quran: jizyah) antara rakyat pembayar pajak, terutama yang kuat, dan pihak
penguasa. Negara dengan pajak jizyah ini adalah negara yang mengabdi pada
kepentingan elite penguasa dan kelompok kaya. Ketiga, pajak dengan
konsep etik atau ruh zakat, yakni pajak sebagai sedekah karena Allah yang
diamanatkan kepada negara untuk kemaslahatan segenap rakyat, terutama yang
lemah, siapa pun mereka, apa pun agama, etnis, ras, maupun golongannya,
A.
Awalnya
sebagai Upeti untuk Raja
Sejarah kekuasaan, di
mana pun, pada umumnya lebih merupakan sejarah eksploitasi, oleh manusia
(penguasa) atas manusia yang lain (rakyat). Sesuai dengan kodratnya, setiap
penguasa cenderung menyiasati rakyat agar bersedia menjadi abdi bagi
kepentingan-kepentingannya. Untuk mengabsahkan klaimnya, para penguasa umumnya
meminta para pujangga, pendeta, atau ulamanya, membangun mitos-mitos yang
menerangkan seolah kekuasaan yang ada di tangan mereka merupakan mandat
langsung dari Tuhan, dikelola menurut kehendak Tuhan, dan dimanfaatkan untuk
tujuan-tujuan yang juga digariskan Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, Roma 13, ayat
1-7, misalnya, terdapat piwulang keagamaan dari Paulus yang mudah
dimanipulasi oleh penguasa umtuk tujuan ini:
“Tiap-tiap orang harus
takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang
tidak berasal dari Allah; sebab itu barang siapa melawan pemerintah, ia melawan
ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya akan mendatangkan hukuman atas
dirinya.
Dalam tradisi islam
pun terdapat ungkapan yang dihubungkan
kepada Nabi, bahwa penguasa adalah bayang-bayang Allah di muka bumu, Al-Sulthan
zhilullah fi al-ardh. Karena berasal dari Allah, semua langkah dan
kebijakan penguasa dipoastikan benar adanya. Kata Paulus:
“Sebab, jika seorang
berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah. Maukah kamu hidup tanpa
takut kepada pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian
dari padanya......Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah
atas mereka yang berbuat jahat. Sebab itu, perlu kita menaklukkan diri, bukan
saja oleh karena kemurkaan Allah, melainkan juga oleh karena suara hati kita”
Bahkan, di beberapa
negara di bagian dunia, seperti di Mesir kuno dan di Asia Tengah diyakini bahwa
para raja adalah Tuhan itu sendiri. Di Tibet, keyakinan itu masih kuat sampai
hari ini, sementara di tempat lain, para penguasa mengaku sebagai keturunan Tuhan
atau titisan dewa. Di Parsi, raja atau kaisar mengaku sebagai keturunan dewa
api seperti halnya di Jepang, kaisar diyakini rakyatnya sebagai titisan dewa
matahari. Di Jawa dan beberapa wilayah di Nusantara, para raja mengaku sebagai
orang-orang yang mendapatkan wangsit atau wahyu dari Yang Maha Kuasa dengan
kewenangan penuh atas bumi dan rakyat yang hidup atasnya. Sebutan raja-raja
Jawa seperti Hamengku Buwono (Penguasa Bumi), Paku Buwono (Pengendali Bumi),
Paku Alam (Pengendali Jagat), dan Mangku Alam (Pemangku Jagat) adalah wacana
permakluman kepada rakyat bahwa raja bukanlah manusia biasa, melainkan Maha
Manusia yang hadir atas mandat Tuhan yang harus ditunduki oleh segenap
rakyatnya. Konsep kekuasaan raja yang absolut ini tidak saja diabsahkan oleh
pujangga dan agamawan keraton, tetapi juga para filosof terkemuka Abad
Pencerahan, seperti Thomas Hobes (1588-1679 M) dengan konsep Leviathan-nya dan
Geoerge Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1813) dengan konsep Roh Absolut-nya
Dengan demikian,
ketundukan rakyat kepada raja dengan bukti material berupa pajak dibangun atas
dua alasan. Pertama, alasan metafisis bahwa raja adalah titisan Dewa/Tuhan
atau, dalam bahasa Paulus, hadir atas penunjukkan langsung oleh Allah dan
bertindak untuk kepentingan-kepentingan Allah. Kedua, alasan sosiologis
bahwa rakyat hidup dari hasil bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya
yang adalah milik raja atau ada dalam kekuasaannya. Kepatuhan rakyat kepada
raja tidak cukup pada kesadaran yang abstrak dan simbolik sebagai abdi dalem,
tetapi juga harus diaktualisaikan dalam bentuk pajak-upeti, sekaligus simbol
ungkapan rasa syukur dari rakyat kepada raja atas rizki yang mereka terima dari
buminya.
Berbicara masalah
upeti, haruslah ditengok sejenak tentang konsep “sesaji”, yang dari sini konsep
upeti berkembang. Seperti halnya upeti, sesaji (offering) juga merupakan suatu
konsep yang berangkat dari keyakinan bahwa segala sesuatu berpusat pada
Tuhan/Dewa, maka segala sesuatu juga harus diurus langsung dengan Tuhan/Dewa
itu, melalui cara-cara tertentu yang dikenal dengan “doa”. Pada mulanya, Tuhan
dan doa merupakan dua perkara yang bersifat ruhani. Akan tetapi, akibat
pengaratan budaya di mana Tuhan/Dewa yang ruhani itu dimaterilalisasi dalam
wujud benda yang disebut “sesaji”.
Proses pun terus
berlanjut. Setelah dimaterialisasi dan diberi kebaktian sesaji, maka
selanjutnya Tuhan ditransformasikan dalam sosok yang lebih nyata lagi, yaitu
“manusia-dewa” yang mengklaim kekuasaan atas namanya. Ia bisa disebut raja,
kaisar, dan sebagainya. Pada tahap ini, sesaji sebagai upaya individual untuk
mengaruhi Tuhan boleh jadi masih terus dipertahankan. Akan tetapi, dalam
konteks kehidupan kolektifnya sebagai makhluk sosial, masyarakat manusia masih
harus membayar sesaji lain yang dibayarkan untuk Tuhan, tetapi kali ini Tuhan
telah dipersonifikasikan pada diri raja. Keawajiban itu kemudian disebut
pajak-upeti. Keduanya, sesaji dan pajak-upeti, dipersembahkan untuk memengaruhi
keputusan Tuhan, baik dalam pengertiannya yang positif (mendorong keputusan
yang menguntungkan) dan terutama dalam pengertian yang negatif (mencegah
keputusan yang merugikan). Bedanya, sesaji dpersembahkan kepada Tuhan sebagai
kekuatan yang bersemayam di balik kepentingan seorang manusia yang berkuasa.
B. Kemudian Sebagai Imbal Jasa Dengan Penguasa (Jizyah)
Tidak selamanya rakyat bisa di bodohi dan diintimidasi oleh penguasa
sekalipun atas nama Tuhan atau Dewa. Sejalan dengan tumbuhnya kedewasaan umat
manusia, pemberontakan demi pemberontakan akhirnya meletus di mana-mana demi
menolak pemajakan yang semakin semena-mena. Rakyat akhirnya mulai menyadari
bahwa selama berabad-abad telah terjadi ketidakadilan yang sangat tidak masuk
akal dalam hubungan antara rakyat dan penguasa. Penguasa bisa hidup mewah
(dengan sandang, pangan, papan, dan segala kenikmatan serta kekuasaan yang
berlimpah) atas dukungan pajak dari rakyat, tetapi pada saat yang sama dengan
kemewahan dan kekuasaan itu, mereka justru menindas rakyat yang menghadapinya.
Pemaknaan pajak sebagai jizyah (kontra-prestasi) merupakan satu langkah
maju dibandingkan dengan pemaknaan pajak sebagai upeti. Dalam kesadaran jizyah
ini, rakyat mulai membuat perhitungan dengan negara atau penguasa yang
menerimanya; “ Pajak boleh dipungut, tetapi negara/pemerintah harus membayar
balik kepada rakyat berupa perlindungan dan pelayanan umum (publik services)
yang diperlukan”. Oleh sebab itu, berbarengan dengan atau akibat langsung dari
kesadaran jizyah ini muncul kesadaran derivatif (lanjut) bahwa uang pajak yang
dibayarkan oleh rakyat tidak lagi dipandang sebagai persembahan cuma-cuma untuk
penguasa.
Artinya kini uang pajak bukan lagi merupakan milik mutlak penguasa,
melainkan merupakan sesuatu yang harus diperhitungkan dengan rakyat yang
membayarnya. Akibat nya, muncul kebutuhan untuk membentuk lembaga yang secara
formal menyuarakan aspirasi rakyat pembayar pajak dalam menuntut hak-hak
pengimbang dari penguasa/pemerinah. Dengan semangat memperhitungkan imbangan
dari penguasa/pemerintah inilah, kemudian lahir tradisi dan prantara-prantara
kenegaraan baru yang dikemudian hari menjadi ciri khas sistem pemerintahan
modern. Diantara yang terpenting adalah lahirnya lembaga perlemen sebagai
penyuara kepentingan rakyat pembayar pajak yang anggotanya dipilih oleh rakyat
melalui pemilu.
Muncul juga kemudian lembaga audit (seperti BPK) yang berfungsi
melakukan pemantauan apakah uang negara telah dibelanjakan sesuai dengan
alokasi yang disepakati bersama dalam APBN/APBD. Pada era pajak-jizyah inilah
mulai dikenal satu jenis pelanggaran hukum amat serius yang yang populer dengan
sebutan Korupsi; suatu terminologi yang belum pernah dikenal ketika
pajak masih dimaknai sebagai upeti.
Akan tetapi, pemaknaan pajak sebagai jizyah yang telah membawa banyak
perubahan terhadap sistem pemerintahan/kenegaraan dari era
tradisional-feodalistik ke era modern-“ demokratis” bukan berarti tidak
menyisakan masalah. Masalah yang dimaksud pada dasarnya inheren dalam nalar
jizyah (kontra-prestasi) sebagai sistem makna yang menjiwai pembayaran pajak
warga kepada negara. Masalah yang disisakan ini bukan semata-mata menyangkut
soal prosedur bagaimana kekuasaan negara dikelola, melainkan justru terkait
erat dengan tujuan dari kekuasaan negara itu sendiri. Cacat yang menyangkut
tujuan ini merupakan cacat yang sungguh tidak bisa diampuni. Dalam kaidah fiqih
dikatakan,
يُغْتَفرُ في الوسا ئل ما لا يغتفر في المقاصد
“ Kesalahan dalam cara bagaimanapuun masih bisa
diampuni, tetapi tidak dalam tujuan..”
Tujuan mulia memang tidak bisa menghalalkan segala
cara, seperti doktrin Machiavelli; tetapi tujuan yang salah akan membuat segala
upaya menjadi percuma. Kesadaran moral tertinggi umat manusia mengatakan bahwa
tujuan utama negara adalah melindungi dan memenuhi hak-hak rakyat warganya,
terutama rakyat lemah (Mustadh’fin) justru karena mereka terbukti tidak mampu
melindungi sendiri hak-haknya. Negara dalam era pajak-upeti, disamping secara spiritual telah mempersekutukan Tuhsn dengan raja,
secara moral juga cacat karena telah membolehkan negara menjadi alat
penguasa.
Sementara itu, negara modern dengan pajak-jizyah-nya, disamping secara
spiritual mengingkari kehadiran tuhan, secara moral juga tidak bisa diterima
karena cenderung menjadikan negara lebih sebagai alat dari kaum elite semata,
elite politik dan elite ekonomi. Pada tahun (1818-1883) Karl Marx mengklaim
bahwa negara ini pada dasarnya hanya instrumen para Kapitalisme dalam
mengakumulasi kekayaan mereka semata sepenuhnya mengena pada negara modern yang
notabene bertumpu pada basis material pajak-jizyah. Dengan nalar jizyah-nya,
negara modern mendefinisikan dirinya lebih sebagai penjual jasa kepada para
pembayar pajak (tax payers)-nya.
Sepintas posisi ini terasa wajar dan rasional. Akan tetapi negara dengan
nalar jizyah ini di bawah sadarnya menggarisbawahi sebuah prinsip yang
secara struktural melanggengkan ketimpangan sosial. Kalangan kaya yang membayar
pajak besar merasa berhak mendapatkan imbal-jasa kenegaraan yang besar,
kalangan lain yang membayar pajak kecil harus puas dengan jasa kenegaraan yang
kecil. Sementara itu, rakyat miskin yang tidak mamapu membyar pajak karena
kemiskinannya harus menerima nasib untuk tidak di pedulikan oleh negara,
kecuali sekedar tetesan berkah (trickle down-effect) dari kedermawaan
belaka. Seperti disebutkan di atas, pada era jizyah ini, masyarakat memang
mulai mengenal kejahatan baru yang di sebut Korupsi. Akan tetapi, parameter
kejahatan inni sifatnya sangat formalistik-legalistik, hanya mengacu pada
kesepakatan formal pengangguran belaka. Untuk keperluan apa pun dan siapa pun
sejauh masih mengacu pada alokasi anggaran yang ditetapkan secara resmi oleh
elite politik, maka hal itu dinilai sah-sah aja.
Bahkan, sekiranya anggaran itu sebagai besar dihabiskan untuk keperluan
para pejabatnya dan hanya sedikit yang dialokasikan untuk keperluan rakyat
kecil (Buruh, Tani, Nelayan, Orang-orang tunakerjja, tunawisma, tunakesehatan,
dan tuna pendidikan ) yang notabene merupakan mayoritas yang sangat
memerlukan, maka sekali lagi hal itu pun dipandang seperti tidak ada masalah
apa-apa. Dalam negara jizyah ini,
kolusi antara penguasa dan penguasa merupakan fenomena yang lumrah di hampir
semua tingkatan, mulai dari pusat sampai ke desa-desa, seolah negara (terutama
uang dan fasilitas lainnya) merupakan milik mereka.
Bedanya, di negara jizyah
yang lebih maju, kolusi antara penguasa dan pengusaha terjalin secara sangat
halus dan pernuh sopan santun, sedangkan di negara jizyah yang baru
berkembang, seperti Indonesia, kolusi terjadi begitu kasar dan telanjang. Benar,
bahwa dengan pajak-jizyah-nya negara-negara modern kapitalis berusaha menjadi
pembela hak-hak manusia yang paling terkemuka. Dengan konsep wellfare state
yang dianutnya, negara-negara kapitalisme telah berbuat banyak untuk memenuhi
hak-hak warganya yang tidak punya melalui program jaminan sosial (social
security). Akan tetapi, karena konsep dasar yang dianut dalam perpajakan
mereka adalah kontra-prestasi (jizyah), maka prioritas utama dari
keseluruhan kerja negara (dengan dana pajaknya itu) adalah kepentingan kelas
kaya (aghniya) dan kebesaran kuasa negara.
Inilah mengapa di negara-negara jizyah meskipun dengan pendapatan
per kapita yang demikian tinggi seperti Amerika, Jepang, Jerman-jumlah penduduk
miskinnya tetap signifikasnsi. Yang tidak boleh dilupakan bahwa pada hakikatnya
kemakmuran yang begitu tinggi hanya mungkin mereka raih dengan proses
pemiskinan di negara-negara lain melalui dominasi ekonomi sejagat yang disebut
globalisasi. Globalisasi pemiskinan ini dilakukan oleh negara-negara kapitalisme atas dukungan
politik dan militer yang dibiayai dengan pajak- jizyah ini. Lagi pula,
program jaminan sosial di negara-negara tersebut hanya bisa di jalanlkan
setelah mereka mendapatkan tingkat kemakmuran.
C.
Akhirnya Pajak Sebagai
Sedekah Untuk Kemaslahatan Rakyat (zakat)
Evolusi
pemaknaan pajak : udhiyah (upeti) à jizyah (kontra-prestasi)
à zakat (sedekah karena Allah
untuk rakyat).
Kehadiran
Islam 14 abad yang lalu Islam menggunakan pemaknaan pajak sebagai upeti /
persembahan kepada Raja karena bumi tempat rakyat hidup dan menggantungkan
rejekinya merupakan milik Raja. Tetapi ini salah karena
dalam ajaran Islam bumi bukanlah milik Raja melainkan ciptaan Allah,
yang telah dijelaskan pada ayat-ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 102,
al-Imran ayat 189 dan at-Taubah ayat 104.
Pada
ayat tersebut penyatuan pengingkarannya terhadap feodalisme keagamaan dan
feodalisme seluler.
Feodalisme
keagamaan adalah feodalisme yang dibangun atas hak pengampunan dosa yang lazim
diklaim oleh para pemimpin agama. Feodalisme seluler adalah feodalisme yang
dibangun atas hak pengenaan pajak, upeti yang lazim diklaim oleh para raja.
Dan
Rasulullah memandang bahwa pemajakan yang dilakukan itu sebagai amanah dari
Allah dan telah ditegaskan dan suratut-taubah ayat 105.
Dan
karena pemajakan sebagai amanah dari Allah maka pajak yang dihimpun pemerintah
harus digunakan untuk kepentingan yang diizinkan Allah yaitu untuk kemaslahatan
segenap rakyat, dan yang dimaksud rakyat yang menerima pajak ini telah
dijelaskan dalam surat at-Taubah ayat 60.
Dalam
konteks administrasi Negara modern. 8 asnaf (sektor) inilah yang seharusnya menjadi patokan dalam
penyusunan anggaran belanja Negara baik di pusat maupun daerah.
Kontra
sosial terhadap Negara sebagai pengelola uang pajak dan pengelola kekuasaan
yang ditimbulkan oleh uang itu dan dengan itu telah dikatakan uang pajak adalah
uang Allah dan rakyat.
Kontrol
sosial menjadi kuat dengan argument
ganda yaitu :
- Argument transendental à teologis karena uang yang di tangannya secara hakiki milik Allah
- Argument material à sosiologis karena uang yang ditangannya secara faktual sosiologis merupakan amal dari rakyat yang harus diperuntukkan untuk kepentingan segenap rakyat.
Dengan
spirit zakat ini maka sistem perpajakan yang diajarkan Islam adalah sistem
sejenis yang pertama kali dalam sejarah yang menetapkan aturan-aturan teknis
operasional yang benar-benar adil.
Pada
14 abad yang lalu pertama-tama menetapkan konsep nishab (batas minimal terkena
pajak), miqdar (tariff), mal zakawi (objek pajak) dan haul (jatuh tempo)
sebagai ketentuan yang bersifat pasti, obyektif dan berlaku umum.
BAB III
Penutup
Tiga fase pajak:
Pertama, pajak sebagai upeti dari rakyat kepada raja. Pada
zaman dahulu rakyat yang tinggal di suatu tempat diwajibkan untuk membayar
upeti kepada raja sebagai ungkapan rasa syukur, karena telah mengambil dan
mengolah sumber daya yang ada di bumi. Anggapan masyarakat pada saat itu, bahwa
sumber daya alam itu milik raja, sehingga ketika masyarakat mengambilnya, maka
harus ada timbal balik dari masyarakat ke raja. Pada saat itu, raja dianggap
sebagai wakil atau jelmaan dari Tuhan, sehingga ketika masyarakat membayar
upeti kepada raja, maka hal itu dianggap pembayaran kepada Tuhan.
Kedua, pajak sebagai
kontra prestasi. Pada fase ini pajak tidak lagi pemberian dari masyarakat
kepada raja, melainkan pembayaran dari masyarakat kepada pemimpin negara
digunakan untuk kepentingan mereka. Pada fase ini terdapat suatu kesalahan
berfikir dari masyarakat. Bagi mereka yang membayar pajak kepada pemerintah,
mereka menuntut fasilitas yang lebih dari negara. Akibatnya, bagi orang yang
membayar pajak tinggi, mereka menharapkan fasilitas yang lebih dari orang-orang
yang membayar pajakanya tidak setinggi mereka, dan bagi orang yang tidak
membayar pajak, maka mereka tidak akan mendapatkan fasilitas dari negara.
Ketiga, pajak sebagai
ruh zakat. Pada fase ini, pajak bukanlah harta raja atau harta masyarakat,
tetapi pajak merupakan hak Allah dan hak masyarakat miskin. Masyarakat membayar
pajak kepada pemerintah bukan untuk pemerintah atau masyarakat, tetapi
digunakan untuk kepentingan orang-orang kelas bawah. Pemerintah hanyalah
sebagai pengelola harta pajak dan tidak punya hak sedikitpun terhadap harta
tersebut begitu pula dengan masyarakat yang membayarnya. Pajak pada konsep ini
bukan saja amanah yang akan dipartanggungjawabkan di dunia saja, melainkan akan
dipertanggungjawabkan di akherat kelak.