Rabu, 28 Juli 2021

Selamat Milad Muhammadiyah

 Peringati Milad ke-112, Muhammadiyah Berharap Tetap Konsisten dan Bijak :  Okezone Nasional

112 tahun Muhammadiyah telah mengambil peran guna memajukan permasalahan pendidikan, kesehatan, dan permasalahan lain yang ada di bumi pertiwi ini. Banyaknya ucapan selamat dari para warga dan simpatisan Muhammadiyah saat Milad kemarin, tentunya menaruh harapan bagi masyarakat secara umum agar Muhammadiyah senantiasa memberi perubahan positif bagi kemanusiaan, keagamaan, dan sosial.

                Terlahir di sebuah lingkungan yang kental dengan cara pandang ber-Muhammadiyah (Muhammadiyah minded), penulis tidak lantas tahu tentang seluk-beluk Muhammadiyah secara utuh. Perlu waktu bertahun-tahun untuk mengetahui Muhammadiyah melalui berbagai media cetak maupun online, juga melalui forum-forum diskusi.

                Tidak berhenti di sana, bahkan penulis pernah belajar di sekolah Muhammadiyah selama 6 tahun, dari jenjang Tsanawiyah sampai dengan Aliyah. Sampai sekarang penulis juga hidup di tengah-tengah warga Muhammadiyah. Kesemua hal itu tak lantas membuat penulis semakin piawai dalam ber-Muhammadiyah baik dalam segi organisasi, maupun dalam bidang lain.

                Banyak hal yang belum penulis ketahui. Proses mencari tahu tentang Muhammadiyah terus berlanjut karena apa yang penulis dapat belum tentu sesuai dengan cita-cita K.H.A Dahlan sebagai pendirinya, namun proses itu terus berjalan. Setidaknya saat ini, penulis berani menyampaikan kekaguman melalui sebuah tulisan pendek berdasarkan apa yang pernah dialami oleh penulis sendiri.

Setidaknya ada dua hal yang disorot penulis sebagai orang awam. Pertama, terkait amal usaha Muhammadiyah dan kedua, organisasi sosial dengan manajemen profesional.

                Amal Usaha Muhammadiyah

                Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah pernah merilis aset yang dimiliki persyarikatan. Amal usaha pendidikan jumlahnya 3.370 TK, 2.901 SD/MI, 1.761 SMP/MTs, 941 SMA/MA/SMK, 67 pondok pesantren, 167 perguruan tinggi.

Amal usaha kesehatan tercatat sebanyak 47 rumah sakit, 217 poliklinik, 82 klinis bersalin. Sedangkan amal usaha ekonomi  ada 1 bank syariah (saham Muhammadiyah 2,5%), 26 BPR/BPRS dan 275 BMT/BTM, 1 Induk Koperasi BTM, 81 Koperasi Syariah, 22 minimart dan 5 kedai pesisir.

Amal usaha pelayanan sosial memiliki lebih 400 panti asuhan, rumah singgah. Data lain menyebut secara rinci 318 panti asuhan, 54 panti jompo, dan 82 rehabilitasi cacat. Tentunya dengan demikian, aset yang dimiliki Muhammadiyah terhitung sangat besar, jumlahnya ratusan triliun jika dirupiahkan.

Sebagai orang yang masih awam dengan Muhammadiyah, penulis yakin bahwa semua itu dicapai dengan kerja keras dalam waktu lama. Tak hanya bermodalkan materi semata, namun di balik semua itu ada sebuah keyakinan bahwa semua perjuangan yang dilakukan demi kepentingan agama dan negara.

Menurut Dahnil Azhar Simanjutak mantan Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Periode 2014-2018, Muhammadiyah bisa mempunyai amal usaha yang begitu banyak karena menanamkan spirit Ruhul Jihad dan Ruhul Ikhlas. Jika bukan karena keduanya, tentu sangat mustahil Muhammadiyah menjadi besar seperti sekarang ini.

Selain itu, jauh-jauh hari K.H Ahmad Dahlan telah berpesan:

“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”

 Modal ikhlas tanpa pamrih dari para pengurus organisasi, anggota, serta warga Muhammadiyah secara umum menjadi pijakan agar terus menjalankan amal usaha demi tercapainya perubahan-perubahan sosial dalam lingkup nasional, maupun global.

Muhammadiyah tidak kehilangan sinar meski umurnya selalu bertambah. Hal itu tampak nyata ketikan gagasan-gagasan tentang Islam Berkemajuan selaras dengan semangat Islam Wasatiyah-Islam Ramah-Islam Rahmatan Lil ‘Alamin terus digaungkan dengan hadirnya agenda-agenda, lalu diwujudkan berupa amal usaha yang siap diisuguhkan kepada masyarakat umum.

Pendek kata sebagai organisasi Islam, agenda-agenda Muhammadiyah berupa amal usaha tidak selalu monoton berisi kajian-akajian keagamaan, melainkan juga agenda-agenda kekinian yang dapat bersinergi dengan pemerintah maupun organisasi lain dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di Indonesia.

Organiasi Sosial dengan Manajemen Profesional 

Kekaguman yang penulis rasakan pada Muhammadiyah ialah, meski hanya organisasi Islam non profit, namun tetap dikelola secara profesional. Berbagai macam administrasi dan dokumentasi baik primer, serta sekunder tersimpan dengan rapi.

Begitu pula dengan transparansi dana umat, tentunya bagi Muhammadiyah tak asing dengan kata pembukuan dan laporan pertanggungjawabaan sebagai bentuk keseriusannya dalam mengakomodir berbagai antusias masyarakat yang tinggi dalam bentuk materi.

Jika tidak demikian, tentu antusias masyarakat dalam bentuk materi berupa wakaf, hibah, dan pemberian lain tidak akan tinggi. Hal ini penting dilakukan agar segala bantuan dari masyarakat umum tidak disalah gunakan untuk kepentingan pribadi. 

Kepercayaan masyarakat terhadap Muhammadiyah begitu tinggi, maka tidak mengherankan jika berbagai macam bentuk wakaf, hibah dan bentuk lain terus-menerus berdatangan dari umat dengan berbagai cara, tentunya macam-macam bantuan didapat dengan cara yang tidak disangka-sangka, dalam terminologi agama Islam dikenal dengan Min Khaytsu Laa Yahtasib.

Bagaimana tidak, bantuan berupa wakaf ternyata tidak hanya berasal dari warga atau simpatisan Muhammadiyah saja, tetapi juga berasal dari orang-orang di luar Muhammadiyah, seperti yang terjadi di Kabupaten Demak.

Berdasarkan berita yang dilansir pwmjateng.com, pernah seorang sesepuh NU yang bernama Sugiyarto dan Sunaryo mewakafkan tanahnya sebesar seluas 1 hektar ke Muhammadiyah. Di atas tanah tersebut, saat ini sedang dibangun RSU Hj. Fatimah Sulhah PKU Muhammadiyah Demak yang kelak akan menjadi salah satu fasilitas kesehatan untuk memenuhi hajat orang-orang di sana.

Adanya berita tersebut menjadi isyarat nyata bahwa minat dan antusias masyarakat untuk mendermakan harta melalui Muhammadiyah begitu tinggi. Setidaknya, peristiwa di atas memberikan pemahaman kepada warga Muhammadiyah bahwa sebuah usaha yang dibangun dengan dasar profesionalitas akan memberikan dampak positif dan kejutan-kejutan tak terduga di masa mendatang. Ini adalah sebuah prestasi, wajib hukumnya untuk dijaga.

Harapan Untuk Muhammadiyah Kedepan

Kedepannya tentu Muhammadiyah masih membuka dan ada pula bantuan dari masyarakat umum yang diberikan kepadanya. Tentu, para warga Muhammadiyah harus mampu mempertahankan dan meningkatkan profesionalitas, baik dalam mengelola, mendirikan maupun menjalankan amal usaha.

Berbagai macam peristiwa positif yang dialami Muhammadiyah harus dijadikan motivasi bagi warganya untuk senantiasa istiqamah menjalankan amanat umat. Terlebih di usianya yang tak lagi tua, Muhammadiyah harus mampu menunjukkan eksistensinya di kancah nasional maupun global, hal itu tak lain dan tak bukan adalah tugas warga Muhammadiyah secara umum.

Terakhir, sebagai orang awam, penulis berharap bahwa Muhammadiyah akan terus hadir dengan terus memberikan solusi jitu atas setiap persoalan yang menimpa negeri ini, meski tantangan dari zaman ke zaman terus-menerus ada, tentu tak menyurutkan langkah Muhammadiyah dalam rangka berjihad di jalan Allah. Wallahu a’lam.

Mencegah Kemunkaran Tak Harus dengan Kekerasan

Mencegah Kemungkaran dengan Kemungkaran yang Sama - Inilahkoran.com

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Tak hanya mengatur urusan-urusan ritual kepada Tuhan, namun juga mengatur prinsip-prinsip muamalah dengan seluruh umat manusia di bumi, baik kepada sesama muslim maupun non muslim.

                Oleh karena itu, sungguh aneh jika ada sebagian orang yang mengaku muslim, berbuat kejahatan kepada sesama muslim maupun kepada non muslim dengan tujuan-tujuan bermuatan politis keagamaan. Orang yang melakukan kejahatan tersebut, telah melanggar aturan-aturan dasar dalam agama, sebagaimana yang tertuang dalam maqashid syariah, yaitu hifd al nafs (menjaga jiwa).

                Saat ini, banyak sekali aksi-aksi kejahatan politis keagamaan melalui tindakan-tindakan ekstrem yang dilakukan sebagian umat muslim. Melakukan perusakan fasilitas umum maupun pribadi secara ilegal karena dipandang tidak sesuai dengan keyakinan tertentu. Tanpa prosedur yang benar, mereka melakukan penggrebekan layaknya aparat keamanan.

                 Meski tujuan mereka adalah memberantas kemunkaran dan kemaksiatan, namun jika dilakukan dengan cara-cara kasar, tentu akan menjadi kontraproduktif. Bukan itu saja, citra Islam yang mengusung spirit rahmatan lil ‘alamin akan pudar dengan aksi-aksi tersebut.

                Ibarat pepatah mengatakan:

                “Karena nila setitik, rusak susu sebelangga.”

Hanya karena beberapa oknum yang beragama Islam melakukan tindakan kekerasan, akan berakibat pada citra Islam itu sendiri. Tak heran jika banyak yang memberikan label kepada agama Islam sebagai agama pro kekerasan.

Dalam kasus ini, penulis sepakat dengan statment yang pernah dilontarkan oleh Muhammad Abduh, seorang pembaharu dari Mesir:

“Al Islamu Mahjubun bil Muslimin.”

Artinya, keindahan Islam ditutupi oleh kaum muslim itu sendiri. Jelas-jelas Islam melarang tindakan kekerasan tanpa dasar hukum yang jelas. Agama samawi ini selalu mengedepankan prinsip musyawarah (syura) dalam setiap masalah.

                Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kehidupan akan selalu menimbulkan masalah. Sadar atau tidak, masalah akan selalu menemani manusia dalam setiap hembusan nafasnya. Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah, yaitu dengan mengedepankan prinsip syura.

                Ketika prinsip syura telah ditegakkan dan tawakal menjadi pendampingnya, tetapi tak mendapat titik temu alias buntu, malah berujung pada peperangan. Maka bolehlah mengambil pilihan tersebut dengan dasar mempertahankan diri.

                Perang (war), merupakan jalan terakhir dan digunakan sebagai alternatif darurat (emergency exit). Perang yang dilakuan di sini bukan perang dalam artian barbarisme, tanpa aturan dan melegalkan segala cara.

                Dalam sejarah Islam, perang adalah upaya penegakkan keadilan, pengembalian hak-hak yang hilang, pemberantasan diskriminasi, dan pemihakan terhadap kelompok marginal. Tentu terdapat etika-etika yang menyertainya, seperti tidak diperbolehkannya membunuh anak-anak, orang tua, wanita, kaum agamawan. Kemudian juga tidak diperkenankan merusak fasilitas milik pribadi maupun umum.

                Salah Menafsirkan Hadist Kemunkaran

                Adanya aksi-aksi kekerasan yang ilegal dan kontraproduktif tak dapat dilepaskan dari kesalahpahaman dalam menafsirkan hadist berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُوْلُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49]

Banyak kalangan muslim yang menganggap bahwa cara mencegah kemunkaran terbaik dilakukan dengan tangan (biyadihi), dalam artian perbuatan. Tahapan kedua dilakukan dengan perkataan (fabilisanihi), sedang yang terakhir dengan hati (fabiqalbihi). Jadi, cara menafsirkan hadist tersebut secara tartib, tingkatan, dan urutan paling baik ke buruk.

Secara eksplisit, dikatakan dalam hadist tersebut bahwa orang yang paling lemah imannya akan memberantas kemunkaran dengan hati dan secara implisit, manifestasi tertinggi iman ialah ketika memberantas kemunkaran dengan dengan perbuatan. Celakanya, kata “perbuatan” kadang diartikan sebagai tindakan kekerasan dan cenderung main hakim sendiri.

Ibarat kerumunan massa yang menangkap seorang pencuri, bukannya dilaporkan ke polisi, tapi malah menghajar pencuri tersebut hingga meninggal. Itulah fenomena sekelompok umat muslim saat ini, tak mengenal prosedur dan hanya berdasar ghirah yang salah.

Menurut hemat penulis, hadist tersebut seharusnya tidak ditafsirkan secara tartib, urutan, dan tingkatan dari yang paling baik hingga paling buruk, namun ditafsirkan dengan membaca realita sekitar dan sama-sama pilihan baik bagi umat muslim yang melaksanakannya.

                Kalimat ad’aful iman tidak diartikan secara harfiah “selemah-lemahnya iman”, namun sebagai  motivasi bahwa kemunkaran harus dicegah dengan berbagai cara baik tiga cara di atas, maupun di luar tiga cara tersebut. Mengingat banyaknya bahasa hadist yang multi interpretasi,  majazi dan sarat makna ganda, maka menafsirkannya pun harus sesuai kondisi dan relevansi tanpa harus kehilangan esensi.

                Sebagai contoh, seseorang yang melihat beberapa orang yang sedang menegak cairan haram di suatu tempat tidaklah harus ditindak dengan pemukulan atas dasar agama. Bisa jadi nesehat dengan tutur kata yang baik dan lembut akan lebih bisa diterima oleh mereka. Tutur kata (dakwah bil lisan) akan menjadikan mereka sebagai objek dakwah, bukan sebagai iblis yang perlu dibunuh.  

                Dalam konteks ini, mencegah kemunkaran dengan lisan lebih baik ketimbang perbuatan tergantung pilihan dan kemampuan masing-masing. Tidak terpaku pada urutan, tartib, dan tingkatan pada hadist di atas.

Reinterpretasi Nash? Mengapa Tidak?

Bisa disimpulkan bahwa kekerasan dengan tendensi politis keagamaan terjadi karena miskonsepsi terhadap nash-nash keagamaan, seperti hadist kemunkaran di atas. Perlu adanya reinterpretasi terhadap sejumlah nash-nash keagamaan, seperti nash jihad, perang, hubungan antara muslim dan non muslim, dan lain-lain.

Reinterpretasi menjadi kunci utama dalam meminimalisir kekerasan bermuatan politis keagamaan. Tentu dalam reinterpretasi bukan nash yang dirubah, melainkan penafsiran dalam nash tersebut agar sesuai dengan kondisi kekinian dan tak terjadi kembali miskonsepsi.

Sesuai dengan prinsip ulama salaf dan khalaf bahwa nash dalam Islam sudah sempurna dan mutlak, tak membutuhkan perubahan, sedang penafsiran akan selalu berubah sesuai dengan perubahan tempat dan waktu.

Sama halnya dengan kaidah fiqih yang berbunyi:

تغير الأحكام بتغير الزمان والمكان

Hukum berubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Wallahu a’lam.