Kamis, 15 Oktober 2015

Kita Semua Sama dan Bersaudara



                                               
“Suasana disiang itu sangat padat. Banyak kendaraan roda dua dan empat yang mengeluarkan asap dari knalpot. Di perempatan jalan, tampak seorang pengemis sedang menadahkan tangan ke mobil dan motor saat lampu merah menyala. Pemandangan ini sekilas tampak biasa dan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tak heran, banyak orang yang acuh tak acuh terhadapnya.
            Jika fenomena ini terus-menerus terjadi, maka siapakah yang patut untuk bertanggungjawab terhadap mereka? Masyarakat? Apakah karena ketidak peduliannya, menyebabkan orang-orang disekitar menjadi seorang peminta-minta? Atau apakah ini salah pemerintah, karena dalam pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa: ‘Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara.’
 Nyatanya, mereka dikolong jembatan meminta-minta, dengan rasa putus asa, sambil mengelus dada karena kata merdeka hanyalah bualan semata. Ah, siapa peduli dengan hak fakir miskin? Jangankan peduli terhadap mereka, mendoakan mereka dalam setiap tarikan nafas pun banyak orang yang enggan.”
Bandung, 14 Januari 2010
            Adi menutup buku catatan hariannya karena sudah malam. Dia bergegas ke kamar untuk tidur karena esok hari dia akan sekolah.
                                                            ****
Di suatu Sekolah Menengah Atas, Adi sedang mendengarkan penjelasan pelajaran sejarah dari gurunya.
“Anak-anak, ada yang pernah membaca karya HOS Tjokroaminoto yang berjudul Islam dan Sosialisme?” Pak guru yang sering dipanggil Muhtadi bertanya kepada murid-muridnya.
Semua anak di dalam kelas itu terdiam seribu bahasa. Tak ada suara, tak ada kata, hanya detak jantung dan suara hati yang berbicara. Pak Muhtadi menggelengkan kepala dan berkata:
“Aduh-aduh, masak dari 25 siswa tidak ada satu siswa pun yang pernah membaca tulisan HOS Tjokroaminoto? Kalian ini benar-benar pemuda apatis.” Pak Muhtadi mengejek para siswanya dengan candaan yang menggelitik, namun tetap bisa diterima oleh mereka.
“Kalian ini anak sosial lho, masak enggak peduli sama masalah sejarah? Oke, bapak akan menjelaskan beberapa bagian penting dari buku itu.”
Anak-anak tampak diam dan terlihat antusias mendengar penjelasan dari pak Muhtadi.
“Jadi, HOS Tjokroaminoto menjelaskan pada kita bahwa antara satu orang dengan orang lain itu bersaudara. Semua manusia dimata Tuhan sama. Dia tidak melihat suku, ras, etnis, jabatan, pangkat, golongan, dan pekerjaan manusia. Tuhan melihat manusia berdasarkan perbuatannya. Jika seorang manusia melakukan perbuatan yang bermanfaat untuk manusia lain, maka perbuatan tersebut merupakan suatu nilai lebih dari seorang manusia kepada-Nya.”
“Kesamaan diantara manusia itu menimbulkan pertemanan, sehingga antara satu manusia dengan manusia lain itu ibarat satu tubuh. Apabila kepala merasakan sakit, maka tangan akan bergerak untuk mencari obat agar sakit dikepalanya bisa sembuh. Begitu pula manusia, jika ada seseorang yang merasakan kesulitan dan membutuhkan uluran tangan dari orang lain, maka orang yang mampu harus membantunya.”
“Sampai sini ada pertanyaan?” Pak Muhtadi bertanya kepada para siswanya.
“Saya pak.” Adi mengacungkan jari telunjuk kanannya.
“Iya silahkan Adi.”
“Salah satu karya HOS Tjokroaminoto itu ‘Islam dan Sosialisme’, apakah sosialisme yang diajarkannya sama dengan sosialisme negara komunis, seperti Rusia dan Cina?”
“Pertanyaan bagus Adi. Sosialisme yang diajarkan Tjokroaminoto adalah sosialisme yang berdasarkan nilai-nilai keislaman seperti kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk saling tolong-menolong dalam mewujudkan perdamaian. Ada suatu hadist Nabi yang berbunyi: ‘Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.’ Ini merupakan dasar bagi umat muslim agar senantiasa bisa menumbuhkan kepekaan sosial di lingkungannya ketika ada yang membutuhkan bantuan dan uluran tangan. Tjokroaminoto ingin menyampaikan bahwa muslim tidak hanya dituntut untuk salih secara individu, tapi juga salih secara sosial.”
    Adi mengangguk paham. Dia memahami apa yang disampaikan oleh pak Muhtadi. Apabila ajaran Tjokroaminoto diresapi secara mendalam dan dilaksanakan, maka sungguh akan memberikan dampak yang sangat baik tidak hanya untuk satu golongan, tapi untuk seluruh golongan. Inilah inti dari ajaran Islam yang mengajarkan rasa welas asih kepada sesama manusia yang harus terus-menerus dilaksanakan.
Banyak hal yang belum diketahui Adi tentang Tjokroaminoto. Dia ingin membeli buku karangannya, lalu dia pelajari agar bisa mewarisi semangat sosial dan bisa melaksanakan hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
                                                            ****
Keesokan hari saat jam istirahat, Jeremy dan dua kawannya melakukan pembicaraan serius di kelas.
“Kawan-kawan, kenapa ya semakin lama aku muak sama si Adi?” Jeremy memulai pembicaraan.
“Oh si Adi anak tukang bubur ayam? Dia orangnya sok akrab gitu sama guru. Kalo lagi pelajaran, pasti yang suka tanya-tanya ke guru dia, istilahnya kritis.” Teman Jeremy yang bernama David menimpali.
“Iya, kalo kata orang-orang, dia itu anak pintar dan rendah hati, tapi menurutku perbuatan baik yang dia lakukan sih kayaknya cuma buat pamer ke orang lain.” Teman Jeremy lain yang bernama Tommy tak kalah sengit menimpali.
“Kayaknya kita harus buat perhitungan deh ke dia. Masak tiap pelajaran, yang dipuji dia mulu sama guru. Kayak enggak ada orang lain aja.” David memberikan saran dan masukkan.
“Kira-kira perbuatan apa yang bisa kita lakuin?” Jeremy bertanya pada kedua temannya.
“Aku tau gimana caranya ngasih perhitungan ke Adi.” Tommy tersenyum.
“Caranya?”
Ketiga orang itu saling berbisik dan saling menatap. Mereka bertiga sepakat untuk melakukan perbuatan tersebut.
****
            Di hari Minggu, Adi dan adiknya yang bernama Arel pergi jalan-jalan ke kota. Mereka berdua asyik melihat bangunan-bangunan tinggi dan megah. Sudah lama mereka berdua berkeinginan untuk mengunjungi kota, tetapi jarak antara rumah dan kota sangatlah jauh, sehingga Adi mau tidak mau harus menabung dan memendam keinginannya tersebut. Setelah sekian lama menabung, akhirnya Adi dan Arel bisa berjalan menuju kota. Uang tabungan itu Adi didapat dari hasil loper koran sebelum dan setelah pulang dari sekolah.
            Sekarang, Arel berumur tujuh tahun, saat mendengar kakaknya ingin mengajak jalan-jalan, dia loncat kegirangan seolah mendapatkan durian runtuh. Dari rumah sampai di tempat tujuan, dia tak henti-hentinya bertanya tentang kota. Dengan sabar, Adi menjelaskan hal-hal indah di kota sebisa mungkin, karena bagaimana pun juga dia tahu bahwa ini merupakan pertama kalinya Arel pergi ke kota. Kedua orang tua Adi bukanlah orang yang mapan, tiap pagi mereka jualan bubur ayam. Penghasilannya pun juga tidak menentu, kadang untung, tapi lebih banyak merugi. Atas dasar demikian, orang tua Adi tidak pernah mengajak anak-anaknya pergi jalan-jalan. Jangankan jalan-jalan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja harus memeras keringat dengan sekuat tenaga.
            Suasana di kota tentunya sangat berbeda dengan desa, banyak gedung-gedung tinggi menjulang, mall-mall berjajar, dan ramainya pengunjung juga tak dapat dipungkiri. Arel tertawa riang serta gembira. Melihat adiknya tertawa bahagia, Adi pun juga bahagia. Tak lama kemudian, Arel mengeluh pada kakaknya.
            “Kak, panas. Aku mau jajan....”
            Adi merogoh saku celananya, ada beberapa lembar uang seribuan dan hanya cukup untuk pulang. Dia tersenyum kecut pada adiknya dan bingung harus bilang apa. Maka, dengan sabar dia memberikan pengertian pada adiknya.
            “Arel, uang yang kakak pegang cuma bisa dipake buat pulang. Kalo dipake buat jajan, ntar pulangnya bisa-bisa jalan kaki.”
            Arel tidak mau menerima penjelasan dari kakaknya. Dia malah nangis minta jajan. Adi benar-benar bingung, akankah dia memberikan uang untuk adiknya ataukah tetap menyimpannya untuk pulang ke rumah? Terlintas dipikirannya untuk meminta uang seperti pengemis kepada orang-orang yang lewat disekitar, namun hal itu dia urungkan karena teringat pesan bapak, bahwa hidup itu untuk memberi, bukan meminta. Bapak juga pernah berpesan; “Seburuk apa pun kondisimu, jangan pernah untuk meminta kepada orang lain. Berusahalah! Karena Tuhan akan mengabulkan orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh.”
            Adi masih bingung, mau memberikan jajan pada adiknya dengan cara apa? Dia lihat gedung di sekitar, siapa tau ada solusi yang didapat. Dia percaya, apabila seseorang akan melakukan perbuatan baik untuk sesama, maka Tuhan akan membukakan jalan untuk hamba-Nya agar dia bisa melakukan perbuatan tersebut. Dia lihat kembali gedung-gedung disekitarnya, diantara mall, ada bangunan yang sukup besar, tapi tidak sebesar gedung-gedung lain. Gedung apakah itu? Ternyata itu adalah gedung PMI[1]. Adi tersenyum gembira, lalu mengajak adiknya pergi ke gedung tersebut.
            Arel yang masih lugu berhenti menangis dan mengiyakan apa yang dikatakan oleh Adi. Di dalam gedung, Adi melihat papan tulis berisi informasi stok darah yang tersedia disana. Tanpa banyak bertanya, dia langsung menemui petugas dan ingin mendonorkan darahnya. Petugas yang ada disana mempersilahkan Adi untuk duduk dan memeriksa tekanan dan golongan darah, serta hemoglobin dalam tubuhnya. Ternyata setelah dilakukan pemeriksaan, Adi dinyatakan layak untuk mendonorkan darahnya.
            Adi dan adiknya dipersilahkan untuk masuk ke sebuah ruangan. Lengan kanan Adi dimasuki jarum kecil yang dihubungkan dengan kantong darah. Awalnya Adi grogi karena karena belum terbiasa donor, namun kata petugas:
“Sante aja mas, enggak pernah ada cerita pendonor mati gara-gara donorin darahnya.”
Mendengar hal itu, Adi ingin sekali tertawa, namun dia urungkan karena sedang melakukan donor. Arel dari tadi hanya melongo dan bingung, dalam benaknya berkata:
“Katanya mau beliin jajan, kok malah donorin darah?”
Pertanyaan itulah yang terlintas dalam benak Arel yang tidak mau dia tanyakan kepada kakaknya. Kira-kira 15 menit kemudian, pertanyaan itu terjawab. Saat selesai mendonorkan darah, dan jarum dari lengan Adi telah terambil,  tiba-tiba petugas mengeluarkan bungkusan plastik kepadanya, lalu dia memberikan bungkusan tersebut kepada si adik yang melongo. Ketika Arel buka, setidaknya ada 6 macam jajan yang berbeda. Ada coklat, wafer, kue, roti, kacang dan sebotol minuman berukuran sedang.
Mata Arel berkaca-kaca, tidak menyangka kakaknya berbuat sedemikian banyak pengorbanan hanya untuk dirinya. Arel memang masih terlalu dini untuk diajari makna berbagi untuk sesama, tapi pada hari, jam, menit, dan detik itu dia paham bahwa untuk membuat orang lain senang tidak harus dengan uang, tapi cukup dengan pengorbanan. Ya pengorbanan. Tidak ada kata yang lebih indah dari itu. Arel tidak kuat lagi membendung air matanya, saat itu juga dia menumpahkan tangisan dalan dekapan sang kakak. Adi memeluk adiknya dengan tersenyum, dia membelai kepala adiknya dengan penuh kasih sayang. Seluruh petugas yang ada di dalam ruangan itu terheran-heran melihat Adi dan adiknya berpelukan sambil menangis.
Sore  hari, Adi dan adiknya pulang menaiki angkot. Di dalam angkot, Arel banyak berceloteh. Dengan seksama Adi mendengarkan celotehannya. Saat itu juga, Arel pun bertanya pada kakaknya,
“Kenapa sih kakak mau ngelakuin hal tadi?”
“Kenapa ya? Hmmm.”
Adi melanjutkan kembali perkataannya sambil membisikkan sesuatu di telinga Arel.
“Karena kita bersaudara, dan sama-sama makhluk Tuhan.”
Arel tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
****
Saat istirahat jam pelajaran sekolah, Jeremy dan kawan-kawan mendatangi bangku Adi. Mereka bertiga mengepungnya, sedangkan teman-teman lain yang melihat tidak berani membela Adi karena mereka tau bahwa Jeremy dan kawan-kawan merupakan anak bandel yang suka membuat resah siswa atau siswi yang tidak disukainya, dan salah satu siswa yang tidak disukai adalah Adi.
“Adi anaknya tukang bubur. Kamu jangan suka caper sama guru ya?” Jeremy mengawali pembicaraan.
“Eee.. Maksudnya caper? Aku enggak paham.”
“Jangan pura-pura enggak tau deh.” Tommy menimpali.
“Beneran aku enggak tau maksud kamu.”
David maju dan mencengkram kerah baju Adi.
“Mulai sekarang, pas pelajaran, kamu enggak boleh banyak tanya sama guru. Kamu enggak boleh jadi anak kritis dihadapan guru. Kalo ada pertanyaan yang dilontarkan sama guru, enggak usah dijawab. Bilang aja enggak tau.”
Adi hanya tersenyum.
“Oh, cuma itu?” Adi menjawab dengan santai.
Mendengar jawaban santai dari Adi. Ketiga anak itu malah bingung dan salah tingkah. Ketiga anak itu saling bertatap muka. Apa yang mereka ancam tidak menjadi beban bagi Adi. Sebelum semuanya jadi aneh, mereka buru-buru pergi meninggalkannya dan menuju bangku masing-masing. Lagi pula juga sudah bel masuk, siapa tau ada pak guru masuk ke kelas. Yang dikhawatirkan, jangan-jangan apa yang mereka lakukan diketahui oleh guru sebagai pembullyan terhadap teman. Bisa-bisa mereka diskors tidak boleh sekolah selama satu minggu.   
Ancaman dari Jeremy dan kawan-kawan tidak Adi hiraukan, bahkan dalam beberapa menit dia sudah lupa dengan ancaman itu. Saat jam pelajaran, Adi sangat serius mendengarkan, dan sesekali malah mengacungkan pertanyaan kepada guru karena tidak sependapat. Melihat Adi bertanya, Jeremy dan kawan-kawan kaget bukan kepalang. Bukankah pada saat jam istirahat mereka sudah berpesan padanya agar tidak perlu menjawab dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada guru? Rupanya Adi acuh tak acuh terhadap ancaman Jeremy. Karena itu, setelah pulang sekolah nanti Jeremy akan membuat perhitungan terhadap Adi.
Hal itu terus Adi lakukan sampai bel pulang sekolah berbunyi, semua siswa bergembira dan segera berkemas pulang setelah guru menutup pelajaran. Seperti teman lain, Adi keluar kelas untuk pulang. Ketika hendak pulang, tiba-tiba Jeremy dan kawan-kawan menghadang dan menyuruh Adi agar pergi ke kamar mandi. Tampaknya kali ini Adi mulai cemas. Wajahnya tiba-tiba berkeringat, jantungnya berdetak lebih kencang, dan tangannya basah.
Sampai di kamar mandi, David mencengkram kerah baju Adi.
“Adi, kamu tau enggak tadi kita bilang apa?”
Adi hanya terdiam. Dia tahu bahwa jawaban tidak akan memberikan keselamatan padanya. Karena itu, lebih baik dia diam tanpa berkata apa-apa. Tiba-tiba tangan David melayang ke perut. Dia terjatuh sambil memegang perutnya. Tak disangka, pukulan David bisa membuatnya kesakitan.
“Ini peringatan pertama buat kamu Di. Besok lagi kalo kamu enggak ngikutin permintaan kita, kamu bakalan dapet yang lebih parah dari ini.” Jeremy jongkok sambil menjambak rambut Adi, sedangkan Adi hanya meringis kesakitan.
Tanpa basa-basi mereka bertiga meninggalkan Adi yang masih kesakitan. Dalam hatinya dia memohon kepada Tuhan agar bisa terus diberikan kesabaran dan kekuatan. Seumur hidupnya dia tidak pernah melakukan perbuatan buruk. Orang tuanya, selalu berpesan agar selalu berbuat baik kepada siapa saja, termasuk orang yang pernah menyakiti dirinya. Ya mungkin inilah hidup, tidak semulus dan semudah apa yang dibayangkan. Apabila seseorang berbuat baik kepada orang lain, belum tentu orang lain akan melakukan hal yang sama padanya.
Adi pulang sekolah dengan menahan rasa sakit, namun rasa sakit itu tidak dia tampakkan kapada teman-teman yang bertemu dengannya. Biarlah rasa sakit dihati dan perut hanya dirasa olehnya. Tak perlu dibagi kepada orang lain. Cukuplah hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.
                                                            *****
Hari-hari berikutnya Adi lalui tanpa ada pertanyaan dan sanggahan kepada guru yang mengajar. Hal ini membuat guru-gurunya bertanya. Terutama pak Muhtadi.
“Adi, ada tanggapan sampai sini?”
“Tidak pak. Apa yang bapak sampaikan cukup jelas.”
 “Tumben, biasanya kamu menyanggah apa yang bapak sampaikan. Kamu ada masalah?”
Jeremy, David, dan Tommy kaget, jangan-jangan Adi akan menceritakan masalahnya, namun dengan cepat dan tegas Adi menjawab.
            “Tidak pak, saya kira apa yang bapak sampaikan cukup jelas. Saya hanya perlu membaca beberapa buku yang sudah bapak sarankan.”
            Seisi ruangan menatap Adi tanpa bisa komentar apa-apa. Jeremy, David, dan Tommy menarik nafas panjang karena lega. Seolah seperti manusia yang hendak diterkam harimau, namun tidak jadi karena harimau tersebut terlanjur ditembak pemburu yang datang.
            Hari-hari berikutnya, Adi rasakan seperti biasa. Tidak ada pertanyaan dan tanggapan saat guru menjelaskan pelajaran. Yang lebih penting tidak ada lagi intimidasi dari Jeremy dan kawan-kawan.
            Waktu terus berjalan, sudah tiga hari Jeremy tidak masuk sekolah. Hal ini tentunya membuat Adi penasaran dan rasa penasaran itulah yang membuatnya bertanya pada Tommy serta David.
            “Vid, Jeremy mana? Kok udah tiga hari enggak masuk sekolah?”
            David dan Tommy kaget mendengar pertanyaan tersebut.
            “Dia sakit thypus Di.” Jawab David dengan grogi.
            “Kalian udah nengok? Dirawat di rumah apa di rumah sakit?”
            “Eh, belum. Dia masih di rumah. Emang kenapa?” David malah balik bertanya.
            “Kalo gitu kita tengok yuk, semoga habis ditengok jadi sembuh. Hehe.” Adi menjawab dengan lugu.
            Tawaran Adi membuat David dan Tommy bagaikan tersambar halilintar. Mereka saja yang dianggap sahabat oleh Jeremy tidak pernah berfikiran untuk menengok.  Adi yang selama ini mereka benci, ternyata tidak pernah membenci mereka. Apa yang pernah mereka lakukan seolah hanyalah angin lalu. Dalam hati kecil mereka tau, bahwa Adi adalah anak baik dan tidak pernah melakukan perbuatan buruk, namun hasutan Jeremy membuat mereka benci kepadanya.
            “Oke Di, kita tengok habis pulang sekolah ya?” Wajah David bagaikan kepiting rebus karena malu, begitu pula dengan Tommy yang dari tadi hanya terdiam seribu bahasa.
                                                                        ****
            Di rumah, Jeremy hanya bisa berbaring. Untuk makan saja dia enggan apalagi berdiri dan jalan-jalan. Ibunya setia mendampingi di sebelahnya. Jeremy adalah anak satu-satunya, sehingga si ibu sangat menyayanginya. Sudah tiga hari ini ibu tidak berangkat ke kantor, sibuk mengurus Jeremy.  Hanya ayahnya saja yang berangkat ke kantor.
            “Masih sakit nak?” Ibu memegang kening Jeremy.
            “Sudah mendingan dari pada kemarin bu.” Jeremy menjawab dengan lirih karena masih lemas.
            “Teeet.....Teeet.” Suara bel berbunyi.
            Ibu bangkit dari tempat duduknya dan segera pergi ke bawah untuk membukakan pintu. Ternyata yang datang adalah David, Tommy, dan Adi.
            “Eh nak David, mari masuk. Jeremy ada di kamar, dia enggak kuat berdiri.”
            Mereka masuk ke kamar Jeremy. Disana dia sedang terbaring lemas. Melihat yang datang David dan Tommy dia sangat senang, namun ketika Adi juga datang, Jeremy panik.
            “Gimana keadaan kamu Jeremy?” Adi mendekati Jeremy sambil meletakkan buah di meja dekat tempat tidur.
            “Ya..Lu..mayan baik da..ri.. pada.. Kemarin.” Mata Jeremy mulai berkaca-kaca.
            Dia tak menyangka, bahwa orang yang pernah disakiti tiba-tiba hadir untuk menengoknya. Lama kelamaan air mata mengalir ke pipinya.
            “Di..Ma..afin aku ya?” Jeremy menangis sesenggukan.
            “Enggak apa-apa. Santai aja. Aku kesini cuma pingin memastikan kondisimu.” Adi memeluk Jeremy yang perlahan duduk.
            David dan Tommy juga meneteskan air mata secara bersamaan lalu memeluk Adi.
            “Maafin aku juga ya?” Tommy akhirnya berbicara.
            “Maafin aku juga Adi. Kami semua menyesal telah menyakitimu. Kami berjanji enggak akan mengulangi lagi.” David menangis sejadi-jadinya.
Ibu terdiam keheranan. Bingung atas peristiwa yang terjadi di depannya.
“Ini ada apa ya kok pada nangis?”
Tidak ada yang menjawab karena malu, tapi Adi dengan santai menjawab.
“Biasalah bu, permasalahan anak muda, tapi udah selesai kok. Hehe.” Adi mengedipkan mata kirinya.
Ibunya tersenyum dan mengangguk.
                                                            ****
Hari kamis pagi di sekolah, pak Muhtadi mengajar sejarah
“Ya anak-anak, apa pendapat kalian tentang nilai-nilai ajaran HOS Tjokroaminoto?”
Tanpa disadari Jeremy mengacungkan tangannya. Hal ini membuat Adi tersenyum.
“Setiap manusia harus bisa membarikan kebaikan kepada manusia lain. Entah manusia itu baik, maupun tidak. Kita semua bersaudara, kita juga sama dihadapan Tuhan. Tidak boleh ada yang merasa tinggi dan sombong kepada manusia lain. Karena sombong itu hanya milik Tuhan. Selain itu, kita juga tidak boleh menghina manusia. Sesungguhnya orang yang hina adalah orang yang suka menghina orang lain.”
Seisi kelas tampak riuh karena tepuk tangan.
“Luar biasa Jerremy. Kamu sekarang jadi berani berpendapat. Belajar dari siapa kamu?”
“Dari Adi pak. Dia itu guru saya. Hehe.” Jeremy menjawab dengan tegas sambil bercanda.
“Enggak pak, Jerremy merendah. Emang dasarnya aja si Jerremy cerdas, cuma dia enggak mau ngaku.” Adi mengacungkan jempol kepada Jerremy.
Jerremy, David dan Tommy tersenyum bangga punya teman sebaik Adi. Kini mereka tidak lagi bermusuhan. Mereka adalah kawan. Mereka adalah sahabat. Susah, senang, bahagia, sedih, mereka tanggung bersama. Saat ini mereka bersaing, bersaing dalam kebaikan. Mereka sama-sama rajin belajar dan rajin membantu teman lain yang kesulitan belajar.
Sungguh luar biasa. Jerremy, David, dan Tommy bisa berubah. Karena apa? Karena Adi mau melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah.
Bung Kano pernah berkata:
“Jas Merah. Jangan sekali-kali lupakan sejarah.”
Sejarah bukan berarti harus dihapal hari dan tanggalnya, namun yang lebih penting,  setiap orang haruslah bisa menggali nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Sejarah tidak hanya berbicara pengetahuan, yang lebih penting ialah pengamalan. Karena pengamalan itulah yang membuat manusia terlihat sempurna di mata manusia dan Sang Pencipta.
-Selesai-


[1] PMI: Palang Merah Indonesia