Senin, 21 Mei 2012

Evolusi Pajak


            BAB I 
      Pendahuluan
            Pajak merupakan harta yang wajib dikeluarkan oleh seseorang dan ditetapkan oleh negara. Bagi pihak-pihak yang melanggar (tidak membayar pajak), maka akan diberikan sanksi oleh negara. Dana pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat disuatu negara. Prinsip umum yang ada pada pajak adalah: “dari rakyat untuk rakyat”. Artinya, pajak merupakan suatu anggaran yang dibebankan oleh masyarakat disuatu negara, kemudian setelah mereka membayar, maka hasil dari pembayaran harus digunakan untuk kepentingan masyarakat banyak.
            Zakat merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada umat islam untuk dibayarkan kepada golongan delapan asnaf. Zakat sifatnya permanen, dan tidak hanya berlaku disalah satu wilayah, tetapi berlaku diseluruh tempat dan waktu. Sanksi yang ditetapkan bagi orang yang tidak membayar pajak berupa hukuman dunia dan akherat. Hukuman di dunia diantaranya adalah bolehnya diperangi (berlaku pada masa Khalifah Abu Bakar), dan hukuman di akherat berupa siksaan yang pedih.
            Pajak dan zakat adalah suatu pembahasan yang berbeda, namun seorang cendikiawan muslim bernama Masdar Farid Mas’udi mencoba memberikan suatu wacana bahwa pajak dan zakat itu sama pada hakikatnya, walaupun berbeda secara penyebutan. Masdar membagi konsep pajak menjadi tiga fase: pertama, pajak sebagai upeti dari rakyat kepada raja. Kedua, pajak sebagai kontra prestasi (jizyah). Ketiga, pajak dengan ruh zakat.
            Pendapat Masdar tentunya menimbulkan pro dan kontra dikalangan  masyarakat. Ada yang setuju karena hal itu dianggap menambah pengetahuan seputar kajian keislaman. Ada yang tidak setuju karena pajak dan zakat berbeda secara penyebutan dan secara hakikatnya. Oleh karena itu, untuk membuktikan pendapat Masdar tepat atau tidak, diperlukan suatu penelitian yang mendalam dan objektif.
                BAB II
   Konsep Evolusi Pajak
Sepanjang sejarah, ada tiga konsep makna yang pernah diberikan kepada pranata pajak, sekaligus berarti kepada pranata pajak, sekaligus berarti kepada lembaga negara yang dihidupinya. Pertama, pajak dengan konsep upeti atau “persembahan kepada raja”. Negara dengan pajak-upeti ini, adalah negara yang sepenuhnya tunduk pada kepentingan raja, atau elite penguasa. Kedua, pajak dengan konsep “kontra-prestasi” (Al-Quran: jizyah) antara rakyat pembayar pajak, terutama yang kuat, dan pihak penguasa. Negara dengan pajak jizyah ini adalah negara yang mengabdi pada kepentingan elite penguasa dan kelompok kaya. Ketiga, pajak dengan konsep etik atau ruh zakat, yakni pajak sebagai sedekah karena Allah yang diamanatkan kepada negara untuk kemaslahatan segenap rakyat, terutama yang lemah, siapa pun mereka, apa pun agama, etnis, ras, maupun golongannya,
  A.    Awalnya sebagai Upeti untuk Raja
Sejarah kekuasaan, di mana pun, pada umumnya lebih merupakan sejarah eksploitasi, oleh manusia (penguasa) atas manusia yang lain (rakyat). Sesuai dengan kodratnya, setiap penguasa cenderung menyiasati rakyat agar bersedia menjadi abdi bagi kepentingan-kepentingannya. Untuk mengabsahkan klaimnya, para penguasa umumnya meminta para pujangga, pendeta, atau ulamanya, membangun mitos-mitos yang menerangkan seolah kekuasaan yang ada di tangan mereka merupakan mandat langsung dari Tuhan, dikelola menurut kehendak Tuhan, dan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang juga digariskan Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, Roma 13, ayat 1-7, misalnya, terdapat piwulang keagamaan dari Paulus yang mudah dimanipulasi oleh penguasa umtuk tujuan ini:
“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; sebab itu barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya akan mendatangkan hukuman atas dirinya.
Dalam tradisi islam pun  terdapat ungkapan yang dihubungkan kepada Nabi, bahwa penguasa adalah bayang-bayang Allah di muka bumu, Al-Sulthan zhilullah fi al-ardh. Karena berasal dari Allah, semua langkah dan kebijakan penguasa dipoastikan benar adanya. Kata Paulus:
“Sebab, jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah. Maukah kamu hidup tanpa takut kepada pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya......Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. Sebab itu, perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, melainkan juga oleh karena suara hati kita”
Bahkan, di beberapa negara di bagian dunia, seperti di Mesir kuno dan di Asia Tengah diyakini bahwa para raja adalah Tuhan itu sendiri. Di Tibet, keyakinan itu masih kuat sampai hari ini, sementara di tempat lain, para penguasa mengaku sebagai keturunan Tuhan atau titisan dewa. Di Parsi, raja atau kaisar mengaku sebagai keturunan dewa api seperti halnya di Jepang, kaisar diyakini rakyatnya sebagai titisan dewa matahari. Di Jawa dan beberapa wilayah di Nusantara, para raja mengaku sebagai orang-orang yang mendapatkan wangsit atau wahyu dari Yang Maha Kuasa dengan kewenangan penuh atas bumi dan rakyat yang hidup atasnya. Sebutan raja-raja Jawa seperti Hamengku Buwono (Penguasa Bumi), Paku Buwono (Pengendali Bumi), Paku Alam (Pengendali Jagat), dan Mangku Alam (Pemangku Jagat) adalah wacana permakluman kepada rakyat bahwa raja bukanlah manusia biasa, melainkan Maha Manusia yang hadir atas mandat Tuhan yang harus ditunduki oleh segenap rakyatnya. Konsep kekuasaan raja yang absolut ini tidak saja diabsahkan oleh pujangga dan agamawan keraton, tetapi juga para filosof terkemuka Abad Pencerahan, seperti Thomas Hobes (1588-1679 M) dengan konsep Leviathan-nya dan Geoerge Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1813) dengan konsep Roh Absolut-nya      
Dengan demikian, ketundukan rakyat kepada raja dengan bukti material berupa pajak dibangun atas dua alasan. Pertama, alasan metafisis bahwa raja adalah titisan Dewa/Tuhan atau, dalam bahasa Paulus, hadir atas penunjukkan langsung oleh Allah dan bertindak untuk kepentingan-kepentingan Allah. Kedua, alasan sosiologis bahwa rakyat hidup dari hasil bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya yang adalah milik raja atau ada dalam kekuasaannya. Kepatuhan rakyat kepada raja tidak cukup pada kesadaran yang abstrak dan simbolik sebagai abdi dalem, tetapi juga harus diaktualisaikan dalam bentuk pajak-upeti, sekaligus simbol ungkapan rasa syukur dari rakyat kepada raja atas rizki yang mereka terima dari buminya.
Berbicara masalah upeti, haruslah ditengok sejenak tentang konsep “sesaji”, yang dari sini konsep upeti berkembang. Seperti halnya upeti, sesaji (offering) juga merupakan suatu konsep yang berangkat dari keyakinan bahwa segala sesuatu berpusat pada Tuhan/Dewa, maka segala sesuatu juga harus diurus langsung dengan Tuhan/Dewa itu, melalui cara-cara tertentu yang dikenal dengan “doa”. Pada mulanya, Tuhan dan doa merupakan dua perkara yang bersifat ruhani. Akan tetapi, akibat pengaratan budaya di mana Tuhan/Dewa yang ruhani itu dimaterilalisasi dalam wujud benda yang disebut “sesaji”.
Proses pun terus berlanjut. Setelah dimaterialisasi dan diberi kebaktian sesaji, maka selanjutnya Tuhan ditransformasikan dalam sosok yang lebih nyata lagi, yaitu “manusia-dewa” yang mengklaim kekuasaan atas namanya. Ia bisa disebut raja, kaisar, dan sebagainya. Pada tahap ini, sesaji sebagai upaya individual untuk mengaruhi Tuhan boleh jadi masih terus dipertahankan. Akan tetapi, dalam konteks kehidupan kolektifnya sebagai makhluk sosial, masyarakat manusia masih harus membayar sesaji lain yang dibayarkan untuk Tuhan, tetapi kali ini Tuhan telah dipersonifikasikan pada diri raja. Keawajiban itu kemudian disebut pajak-upeti. Keduanya, sesaji dan pajak-upeti, dipersembahkan untuk memengaruhi keputusan Tuhan, baik dalam pengertiannya yang positif (mendorong keputusan yang menguntungkan) dan terutama dalam pengertian yang negatif (mencegah keputusan yang merugikan). Bedanya, sesaji dpersembahkan kepada Tuhan sebagai kekuatan yang bersemayam di balik kepentingan seorang manusia yang berkuasa.
  B.     Kemudian Sebagai Imbal Jasa Dengan Penguasa (Jizyah)
Tidak selamanya rakyat bisa di bodohi dan diintimidasi oleh penguasa sekalipun atas nama Tuhan atau Dewa. Sejalan dengan tumbuhnya kedewasaan umat manusia, pemberontakan demi pemberontakan akhirnya meletus di mana-mana demi menolak pemajakan yang semakin semena-mena. Rakyat akhirnya mulai menyadari bahwa selama berabad-abad telah terjadi ketidakadilan yang sangat tidak masuk akal dalam hubungan antara rakyat dan penguasa. Penguasa bisa hidup mewah (dengan sandang, pangan, papan, dan segala kenikmatan serta kekuasaan yang berlimpah) atas dukungan pajak dari rakyat, tetapi pada saat yang sama dengan kemewahan dan kekuasaan itu, mereka justru menindas rakyat yang menghadapinya.
Pemaknaan pajak sebagai jizyah (kontra-prestasi) merupakan satu langkah maju dibandingkan dengan pemaknaan pajak sebagai upeti. Dalam kesadaran jizyah ini, rakyat mulai membuat perhitungan dengan negara atau penguasa yang menerimanya; “ Pajak boleh dipungut, tetapi negara/pemerintah harus membayar balik kepada rakyat berupa perlindungan dan pelayanan umum (publik services) yang diperlukan”. Oleh sebab itu, berbarengan dengan atau akibat langsung dari kesadaran jizyah ini muncul kesadaran derivatif (lanjut) bahwa uang pajak yang dibayarkan oleh rakyat tidak lagi dipandang sebagai persembahan cuma-cuma untuk penguasa.
Artinya kini uang pajak bukan lagi merupakan milik mutlak penguasa, melainkan merupakan sesuatu yang harus diperhitungkan dengan rakyat yang membayarnya. Akibat nya, muncul kebutuhan untuk membentuk lembaga yang secara formal menyuarakan aspirasi rakyat pembayar pajak dalam menuntut hak-hak pengimbang dari penguasa/pemerinah. Dengan semangat memperhitungkan imbangan dari penguasa/pemerintah inilah, kemudian lahir tradisi dan prantara-prantara kenegaraan baru yang dikemudian hari menjadi ciri khas sistem pemerintahan modern. Diantara yang terpenting adalah lahirnya lembaga perlemen sebagai penyuara kepentingan rakyat pembayar pajak yang anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
Muncul juga kemudian lembaga audit (seperti BPK) yang berfungsi melakukan pemantauan apakah uang negara telah dibelanjakan sesuai dengan alokasi yang disepakati bersama dalam APBN/APBD. Pada era pajak-jizyah inilah mulai dikenal satu jenis pelanggaran hukum amat serius yang yang populer dengan sebutan Korupsi; suatu terminologi yang belum pernah dikenal ketika pajak masih dimaknai sebagai upeti.
Akan tetapi, pemaknaan pajak sebagai jizyah yang telah membawa banyak perubahan terhadap sistem pemerintahan/kenegaraan dari era tradisional-feodalistik ke era modern-“ demokratis” bukan berarti tidak menyisakan masalah. Masalah yang dimaksud pada dasarnya inheren dalam nalar jizyah (kontra-prestasi) sebagai sistem makna yang menjiwai pembayaran pajak warga kepada negara. Masalah yang disisakan ini bukan semata-mata menyangkut soal prosedur bagaimana kekuasaan negara dikelola, melainkan justru terkait erat dengan tujuan dari kekuasaan negara itu sendiri. Cacat yang menyangkut tujuan ini merupakan cacat yang sungguh tidak bisa diampuni. Dalam kaidah fiqih dikatakan,
يُغْتَفرُ في الوسا ئل ما لا يغتفر في المقاصد
“ Kesalahan dalam cara bagaimanapuun masih bisa diampuni, tetapi tidak dalam tujuan..”
Tujuan mulia memang tidak bisa menghalalkan segala cara, seperti doktrin Machiavelli; tetapi tujuan yang salah akan membuat segala upaya menjadi percuma. Kesadaran moral tertinggi umat manusia mengatakan bahwa tujuan utama negara adalah melindungi dan memenuhi hak-hak rakyat warganya, terutama rakyat lemah (Mustadh’fin) justru karena mereka terbukti tidak mampu melindungi sendiri hak-haknya. Negara dalam era pajak-upeti, disamping secara spiritual  telah mempersekutukan Tuhsn dengan raja, secara moral juga cacat karena telah membolehkan negara menjadi alat penguasa. 
Sementara itu, negara modern dengan pajak-jizyah-nya, disamping secara spiritual mengingkari kehadiran tuhan, secara moral juga tidak bisa diterima karena cenderung menjadikan negara lebih sebagai alat dari kaum elite semata, elite politik dan elite ekonomi. Pada tahun (1818-1883) Karl Marx mengklaim bahwa negara ini pada dasarnya hanya instrumen para Kapitalisme dalam mengakumulasi kekayaan mereka semata sepenuhnya mengena pada negara modern yang notabene bertumpu pada basis material pajak-jizyah. Dengan nalar jizyah-nya, negara modern mendefinisikan dirinya lebih sebagai penjual jasa kepada para pembayar pajak (tax payers)-nya.
Sepintas posisi ini terasa wajar dan rasional. Akan tetapi negara dengan nalar jizyah ini di bawah sadarnya menggarisbawahi sebuah prinsip yang secara struktural melanggengkan ketimpangan sosial. Kalangan kaya yang membayar pajak besar merasa berhak mendapatkan imbal-jasa kenegaraan yang besar, kalangan lain yang membayar pajak kecil harus puas dengan jasa kenegaraan yang kecil. Sementara itu, rakyat miskin yang tidak mamapu membyar pajak karena kemiskinannya harus menerima nasib untuk tidak di pedulikan oleh negara, kecuali sekedar tetesan berkah (trickle down-effect) dari kedermawaan belaka. Seperti disebutkan di atas, pada era jizyah ini, masyarakat memang mulai mengenal kejahatan baru yang di sebut Korupsi. Akan tetapi, parameter kejahatan inni sifatnya sangat formalistik-legalistik, hanya mengacu pada kesepakatan formal pengangguran belaka. Untuk keperluan apa pun dan siapa pun sejauh masih mengacu pada alokasi anggaran yang ditetapkan secara resmi oleh elite politik, maka hal itu dinilai sah-sah aja.
Bahkan, sekiranya anggaran itu sebagai besar dihabiskan untuk keperluan para pejabatnya dan hanya sedikit yang dialokasikan untuk keperluan rakyat kecil (Buruh, Tani, Nelayan, Orang-orang tunakerjja, tunawisma, tunakesehatan, dan tuna pendidikan ) yang notabene merupakan mayoritas yang sangat memerlukan, maka sekali lagi hal itu pun dipandang seperti tidak ada masalah apa-apa. Dalam negara  jizyah ini, kolusi antara penguasa dan penguasa merupakan fenomena yang lumrah di hampir semua tingkatan, mulai dari pusat sampai ke desa-desa, seolah negara (terutama uang dan fasilitas lainnya) merupakan milik mereka.
 Bedanya, di negara jizyah yang lebih maju, kolusi antara penguasa dan pengusaha terjalin secara sangat halus dan pernuh sopan santun, sedangkan di negara jizyah yang baru berkembang, seperti Indonesia, kolusi terjadi begitu kasar dan telanjang. Benar, bahwa dengan pajak-jizyah-nya negara-negara modern kapitalis berusaha menjadi pembela hak-hak manusia yang paling terkemuka. Dengan konsep wellfare state yang dianutnya, negara-negara kapitalisme telah berbuat banyak untuk memenuhi hak-hak warganya yang tidak punya melalui program jaminan sosial (social security). Akan tetapi, karena konsep dasar yang dianut dalam perpajakan mereka adalah kontra-prestasi (jizyah), maka prioritas utama dari keseluruhan kerja negara (dengan dana pajaknya itu) adalah kepentingan kelas kaya (aghniya) dan kebesaran kuasa negara.
Inilah mengapa di negara-negara jizyah meskipun dengan pendapatan per kapita yang demikian tinggi seperti Amerika, Jepang, Jerman-jumlah penduduk miskinnya tetap signifikasnsi. Yang tidak boleh dilupakan bahwa pada hakikatnya kemakmuran yang begitu tinggi hanya mungkin mereka raih dengan proses pemiskinan di negara-negara lain melalui dominasi ekonomi sejagat yang disebut globalisasi. Globalisasi pemiskinan ini dilakukan  oleh negara-negara kapitalisme atas dukungan politik dan militer yang dibiayai dengan pajak- jizyah ini. Lagi pula, program jaminan sosial di negara-negara tersebut hanya bisa di jalanlkan setelah mereka mendapatkan tingkat kemakmuran.
  C.      Akhirnya Pajak Sebagai Sedekah Untuk Kemaslahatan Rakyat (zakat)
Evolusi pemaknaan pajak : udhiyah (upeti) à jizyah (kontra-prestasi) à zakat (sedekah karena Allah untuk rakyat).
Kehadiran Islam 14 abad yang lalu Islam menggunakan pemaknaan pajak sebagai upeti / persembahan kepada Raja karena bumi tempat rakyat hidup dan menggantungkan rejekinya merupakan milik Raja. Tetapi ini salah  karena  dalam ajaran Islam bumi bukanlah milik Raja melainkan ciptaan Allah, yang telah dijelaskan pada ayat-ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 102, al-Imran ayat 189 dan at-Taubah ayat 104.
Pada ayat tersebut penyatuan pengingkarannya terhadap feodalisme keagamaan dan feodalisme seluler.
Feodalisme keagamaan adalah feodalisme yang dibangun atas hak pengampunan dosa yang lazim diklaim oleh para pemimpin agama. Feodalisme seluler adalah feodalisme yang dibangun atas hak pengenaan pajak, upeti yang lazim diklaim oleh para raja.
Dan Rasulullah memandang bahwa pemajakan yang dilakukan itu sebagai amanah dari Allah dan telah ditegaskan dan suratut-taubah ayat 105.
Dan karena pemajakan sebagai amanah dari Allah maka pajak yang dihimpun pemerintah harus digunakan untuk kepentingan yang diizinkan Allah yaitu untuk kemaslahatan segenap rakyat, dan yang dimaksud rakyat yang menerima pajak ini telah dijelaskan dalam surat at-Taubah ayat 60.
Dalam konteks administrasi Negara modern. 8 asnaf (sektor)  inilah yang seharusnya menjadi patokan dalam penyusunan anggaran belanja Negara baik di pusat maupun daerah.
Kontra sosial terhadap Negara sebagai pengelola uang pajak dan pengelola kekuasaan yang ditimbulkan oleh uang itu dan dengan itu telah dikatakan uang pajak adalah uang Allah dan rakyat.
Kontrol sosial  menjadi kuat dengan argument ganda yaitu :
  1. Argument transendental à teologis  karena uang yang di tangannya secara hakiki milik Allah
  2. Argument  material à sosiologis karena uang yang ditangannya secara faktual sosiologis merupakan amal dari rakyat yang harus diperuntukkan untuk kepentingan segenap rakyat.
Dengan spirit zakat ini maka sistem perpajakan yang diajarkan Islam adalah sistem sejenis yang pertama kali dalam sejarah yang menetapkan aturan-aturan teknis operasional yang benar-benar adil.
Pada 14 abad yang lalu pertama-tama menetapkan konsep nishab (batas minimal terkena pajak), miqdar (tariff), mal zakawi (objek pajak) dan haul (jatuh tempo) sebagai ketentuan yang bersifat pasti, obyektif dan berlaku umum.

                                                  BAB III                                              
                                                  Penutup
Tiga fase pajak:
      Pertama, pajak sebagai upeti dari rakyat kepada raja. Pada zaman dahulu rakyat yang tinggal di suatu tempat diwajibkan untuk membayar upeti kepada raja sebagai ungkapan rasa syukur, karena telah mengambil dan mengolah sumber daya yang ada di bumi. Anggapan masyarakat pada saat itu, bahwa sumber daya alam itu milik raja, sehingga ketika masyarakat mengambilnya, maka harus ada timbal balik dari masyarakat ke raja. Pada saat itu, raja dianggap sebagai wakil atau jelmaan dari Tuhan, sehingga ketika masyarakat membayar upeti kepada raja, maka hal itu dianggap pembayaran kepada Tuhan.
Kedua, pajak sebagai kontra prestasi. Pada fase ini pajak tidak lagi pemberian dari masyarakat kepada raja, melainkan pembayaran dari masyarakat kepada pemimpin negara digunakan untuk kepentingan mereka. Pada fase ini terdapat suatu kesalahan berfikir dari masyarakat. Bagi mereka yang membayar pajak kepada pemerintah, mereka menuntut fasilitas yang lebih dari negara. Akibatnya, bagi orang yang membayar pajak tinggi, mereka menharapkan fasilitas yang lebih dari orang-orang yang membayar pajakanya tidak setinggi mereka, dan bagi orang yang tidak membayar pajak, maka mereka tidak akan mendapatkan fasilitas dari negara.
Ketiga, pajak sebagai ruh zakat. Pada fase ini, pajak bukanlah harta raja atau harta masyarakat, tetapi pajak merupakan hak Allah dan hak masyarakat miskin. Masyarakat membayar pajak kepada pemerintah bukan untuk pemerintah atau masyarakat, tetapi digunakan untuk kepentingan orang-orang kelas bawah. Pemerintah hanyalah sebagai pengelola harta pajak dan tidak punya hak sedikitpun terhadap harta tersebut begitu pula dengan masyarakat yang membayarnya. Pajak pada konsep ini bukan saja amanah yang akan dipartanggungjawabkan di dunia saja, melainkan akan dipertanggungjawabkan di akherat kelak.   

Waris Menurut Hukum Adat


                                                                    BAB I
                                               Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, diantaranya waris menurut hukum BW, hukum islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain.
Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Sistem waris kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara bersam-sama, dan ahli waris tidak diprbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik perempuan atau laki-lak sampai merka dewasa dan mampu mengurus dirinya saendiri. Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa dimliki secara pribadi oleh ahli waris, dan kepemilikkan mutlak ditangannya.
Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing pihak. Hal ini sangat berbeda dengan kewarisan hukum BW dan hukum islam yang mana harta warisan harus dibagikan pada saat ahli waris telah telah meninggal dunia. Apabila harta warisan diberikan pada saat pewaris belum meninggal dunia, maka itu disebut pemberian biasa atau dalam hukum islam bias disebut sebagai hibah.        
          Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut.

                                                BAB II
                                           Pembahasan
  A.   Pengertian Hukum Waris Adat
          Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut:
      1.      Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
     2.      Kewajiban dan hak yang timbul  dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal.
      3.      Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.
   4.      Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan pula bentuk perkawinan turut bentuk dan isi perkawinan.
    5.      Perbuatan-perbuatan hukum seperti adpsi, perkawinan ambil anak, pemebrian bekal/modal berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat pila dipandang sebagai perbuatan dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu penyelenggaraan, pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.[1]
            Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris islam, hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau, hukum waris Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris adat atau bisa disebut hukum adat waris tidak ada bedanya.[2]
            Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.[3]  
            Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekeyaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini dapat diperhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum waris adat.[4]
            Ter Haar menyatakan:
            “...het adaterfrecht de rechtsregelen, welke betrekking hebben op het boeinde, eeuwige proces van doorgeven en overgaan van het materiele en immateriele vermogen van generatie op generatie.”
            “...hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.”[5]
            Dengan demikian  hukum waris  itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.[6]
            Soepomo menyatakan:
            “ Hukum adat waris membuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.”[7]    
            Dengan demikian hukum waris iyu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Jadi bukanlah sebagaimana yang diungkapkan Wirjono:
            “...pengertian “warisan” ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.”[8]
            Jadi, warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam masyrakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, dimana manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan pada bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akbat dari kematian seorang, sedangkan Hilman Hadikusuma mengartikan warisan itu adalah bendanya dan penyelesaian harta bemda seseorang kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat.[9]
            Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah yang dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi jika dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa, lintiran) dapat terjadi dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan kepemikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.[10]
            Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup.[11]
            Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: “Hukum waris adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral, walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.[12]
            Bangsa Indonesia yang murni alam fikirannya berazas kekeluargaan dimana kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini nampak sudah banyak kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan kebendaan dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan maka hal itu merupakan suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan asing yang menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.[13]

  B.     Sifat Hukum Waris Adat
            Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau hukum waris atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH Perdata, maka nampak perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang berlainan.
            Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.
            Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi:
“Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat  digadai jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.[14]

  C.    Sistem Keturunan
            Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut  berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini nampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat.
            Secara teoritis sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:
a.       Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).
b.      Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minang kabau, Enggano, Timor).
c.       Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain).[15]

  D.    Sistem Kewarisan
            Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan individual. Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran.
a.    Sistem Kolektif
Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: “ganggam bauntui”). Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut “harta pusaka”, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.

b.   Sistem Mayorat
        Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut “kewarisan mayorat”. Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh harta peninggalan dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak punyimbang” sebagai “mayorat pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura. Sedangkan di daerah Semendo Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak wanita yang disebut “tunggu tubing” (penunggu harta) yang didampingi “paying jurai, sebagai “mayorat wanita”.

c.    Sistem Individual
        Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan “hak milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum Waris Islam.[16]

BAB III
Penutup
Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Ter Haar menyatakan:
“...hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi
Dengan demikian  hukum waris  itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.
Sisitem hukum waris adat:
1.      Sistem mayorat
2.      Sistem kolektif
3.      Sistem idividual
Sistem keturunan menurut hukum adat:
1.      Sistem patrilineal
2.      Sitem matrilineal
3.      Sistem bilateral/parental

Daftar Pustaka
Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 1993
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983




[1]  Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm 151
[2]  Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: P.T Citra Aditya Bakti 1993), hlm 7
[3]  Ibid., hlm 7
[4]  Ibid., hlm 7
[5]  Ibid., hlm 7
[6]  Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm 211
[7]  Hilman Hadikusuma, Hukum Waris...., hlm 8
[8]  Ibid., hlm 8

[9]  Ibid., hlm 8
[10]  Ibid., hlm 8-9
[11]  Ibid., hlm 9
[12] Hilman Hadikusuma, Pengantar....., hlm 211
[13] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris...., hlm 9
[14] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 19-20.
[15] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris……, hlm. 23.
[16] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat…., hlm. 212-213.