Senin, 30 Oktober 2023

Mengawali dengan Khitbah

 

                                                                      Sumber: Dokumen Pribadi

Dalam Islam, prosesi pra-nikah dikenal dengan sebutan peminangan (khitbah) yang merupakan penyampaian kehendak seorang pria untuk menikahi seorang perempuan. Pada dasarnya semua perempuan yang bukan termasuk haram untuk dinikahi sah untuk dilamar. Pengecualian terdapat pada perempuan yang masih dalam masa iddah rujuk (raj’i) yang masih masuk dalam kategori haram untuk dilamar, baik melamar secara tegas maupun sindiran. Pelarangan tersebut dikarenakan perempuan tersebut masih terikat dengan suami yang menceraikannya dan dalam kondisi ini sang suami lebih berhak untuk rujuk (kembali) kepadanya dengan syarat mempunyai keinginan untuk perdamaian. 

Biasanya proses peminangan melibatkan keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Dalam prosesi ini, diharapkan terjadinya pengenalan dan penyesuaian bagi kedua calon pengantin dan juga keluarga besar kedua belah pihak. Pada tahapan ini, kedua calon pengantin masuk dalam tahapan pra-nikah yang krusial dan akan sangat baik jika dipergunakan untuk mengenal perbedaan masingmasing dalam berbagai hal, mulai dari karakter, budaya, keluarga; termasuk visi tentang pernikahan dan keluarga yang hendak dibangun. Pengenalan yang lebih dalam terhadap sisi psikologi, karakter, keluarga, dan budaya calon pasangan hidup ini akan sangat berguna di masa yang akan datang; terutama meminimalisir konflik yang diakibatkan oleh perbedaan yang ada. 

Penting diperhatikan oleh kedua calon mempelai bahwa tahapan khitbah atau peminangan bukan akad pernikahan. Prosesi ini hanya merupakan pengikat pra-nikah dan karena itu hubungan pernikahan sama sekali belum terjadi. Dengan demikian, maka kedua calon pengantin tidak dihalalkan untuk melakukan hubungan suami istri hingga nanti akad nikah selesai dilaksanakan. Kalau pun ada adat yang membolehkan hubungan suami istri hanya karena telah melakukan lamaran, maka adat tersebut jelas bertentangan dengan syariat Islam dan tidak dibenarkan untuk diikuti. Karena jika diikuti, maka hubungan suami istri pada tahapan ini masuk dalam kategori perzinaan yang merupakan dosa besar dalam Islam. 

Hal lain yang patut mendapatkan perhatian adalah perempuan yang telah dilamar dan menerima lamaran dari satu pria tidak diperkenankan untuk menerima lamaran dari pria lain. Pria lain juga tidak diperkenankan untuk mengajukan lamaran kepada perempuan yang sudah menerima lamaran dari pria lain sampai perempuan membatalkan lamaran dari pihak sebelumnya. Pembatalan khitbah atau lamaran dapat dilakukan dan bukan dimasukkan dalam kategori bercerai karena hubungan pernikahan belum terjadi. Akan tetapi hendaknya pembatalan tersebut, jika memang harus terjadi, dilakukan dengan tetap mengindahkan hubungan baik dan dilakukan dengan cara yang baik.

Sumber rujukan:

Halaman 33-34 Buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2017.

Edisi Tujuh Belas

#penyuluhanagamaislam

Kamis, 26 Oktober 2023

Menikah Saat Dewasa

 

Sumber Gambar : Doukmen Pribadi

Dahulu, kedewasaan diukur dengan menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Saat ini kita menyadari bahwa kedua kondisi tersebut hanya menunjukkan kematangan biologis untuk urusan reproduksi secara fisik. Kedewasaan tentu saja bukan soal usia semata, tetapi juga soal kematangan bersikap dan berperilaku. Usia dibutuhkan sebagai batasan dan penanda kongkrit yang dapat dipergunakan sebagai standar bagi kedewasaan. Hal tersebut dikarenakan pernikahan tidak hanya soal pelampiasan hasrat seksual atau biologis semata. Pernikahan juga mengandung tanggung-jawab sosial yang besar dan mengemban visi sakinah, mawaddah wa rahhmah (mendatangkan ketentraman diri, kebahagiaan dan cinta kasih).

Demikian beratnya visi dan tanggungjawab yang dikandung dalam sebuah pernikahan, maka kedewasaan merupakan salah satu item yang memberikan pengaruh signifikan dalam kelanggengan rumah tangga di masa mendatang. Demikian pentingnya kedewasaan dalam pernikahan, Ibn Syubrumah, Abu Bakr al-Asham, dan Utsman al-Batti (Muhammad, 2007: 94) yang merupakan pakar hukum Islam klasik sampai mengeluarkan fatwa keabsahan sebuah pernikahan di bawah umur. Mereka mendasarkan pandangan ini kepada ayat Al-Qur’an yang mengaitkan waktu pernikahan seseorang dengan usia kematangan dan kedewasaan (rushd) sebagaimana diseburkan dalam QS. An-Nisa/4:6

Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai (usia) menikah. Ketika kamu sudah melihat mereka sudah cerdas, maka berikanlah harta-harta mereka kepada mereka.

Syarat kedewasaan ini menjadi semakin penting karena studi yang ada menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan di usia dini atau belia memiliki kecenderungan untuk bercerai. Kondisi tersebut terasa logis karena kesiapan mental pasangan yang belia belum cukup untuk mengarungi kehidupan rumah tangga di masa sekarang. Pendapat ini pula yang kemudian diadopsi oleh UU Perkawinan No.: 1 Tahun 1974 yang menyatakan batasan usia minimal yang diperbolehkan untuk melakukan pernikahan adalah 21 tahun. Di bawah usia tersebut diperlukan izin orangtua dengan syarat minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun.

Sumber rujukan:

Halaman 32-33 Buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2017.

Edisi Enam Belas

#penyuluhanagamaislam


Minggu, 22 Oktober 2023

Menikah dengan yang Setara

 

                                                    Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Dalam kehidupan sehari-hari kita temukan ada sekelompok orang yang memiliki penghasilan besar, ada yang berpengasilan sedang, berstatus sosial terhormat dan yang berstatus sosial kurang terhormat dan seterusnya. Dalam QS. Az-Zukhruf/43:32 disebutkan sebagai berikut:

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.

Karena itu topik kesepadanan dalam perkawinan antara satu individu dengan yang lain, antara satu keluarga dengan yang lain tetap menjadi relevan dari waktu ke waktu.

Hukum Islam juga mengakui dan memberikan perhatian khusus terhadap kondisi tersebut dengan menjadikannya sebagai salah satu kajian dalam hukum perkawinan. Fiqh menyebutnya dengan istilaah kafa’ah (kesepadanan) yang memiliki makna: kesepadanan antara calon pasangan suami istri dalam aspek tertentu sebagai usaha untuk menjaga kehormatan keduanya (Wahbah Zuhail, 1985). Kata “aspek tertentu” dalam definisi ini yang kemudian membuat para ulama klasik terbelah dalam dua pendapat besar. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan aspek tertentu dalam defini tersebut hanya kondisi fisik dan agama saja. Pendapat ini dikeluakan oleh Imam Malik. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud dengan aspek tertentu tersebut mencakup; keturunan, kemerdekaan, dan pekerjaan. Pendapat kedua ini dikeluarkan oleh Imam Syafi’i, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi yang kemudian juga menambahkan aspek kekayaan atau kekuatan finansial dalam aspek tersebut.

Para ulama klasik juga menekankan bahwa konsep ini diperlukan bukan hanya untuk menjaga kemaslahatan pihak perempuan tapi juga menjaga kehormatan keluarga mereka. Karena itu bukan hal yang mengejutkan jika di masa lalu pihak keluarga lebih ketat dalam isu ini dibandingkan dengan calon pengantin. Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman konsep kesepadanan tersebut cenderung didiskusikan dalam kerangka memfasilitasi kelangsungan ikatan pernikahan kedua mempelai ketimbang terlalu menitikberatkan pada penjagaan status sosial keluarga. Orientasi konsep tersebut perlahan bergerak kepada kesepadanan berbagai aspek yang memungkinkan kedua mempelai membangun dan mempertahankan keluarga yang mereka impikan seperti kesepadanan dalam hal cara berpikir, usia, pendidikan, keindahan fisik, dan tentu saja status sosial serta ekonomi.

Mereka yang hendak memasuki jenjang pernikahan sebaiknya memberikan perhatian yang cukup kepada isu kesepadanan ini. Sebab, semakin dekat titik kesepadanan antara kedua mempelai, maka akan semakin mudah mereka membangun kesepakatan di kemudian hari. Mereka juga akan semakin mudah untuk memahami perbedaan antara dirinya dan pasangannya serta mencari titik temu dan solusi untuk mengatasi berbagai masalah yang dapat ditimbulkan oleh perbedaan tersebut.

Kedua mempelai juga sebaiknya menyadari dan memahami bahwa kesepadanan, terutama yang berkaitan dengan status sosial, ekonomi, dan pendidikan, adalah kondisi yang dapat diwujudkan melalui perjalanan waktu. Kondisi tersebut berproses mengikuti perkembangan dan dapat diupayakan bersama selama ada kesiapan dan komitmen dari pasangan yang hendak menikah tersebut plus keyakinan bahwa semua orang muslim itu sepadan satu dengan yang lain.

Dalam kasus terjadinya gesekan akibat perbedaan pemahaman antara keluarga dan calon pengantin, pemahaman di atas dapat disampaikan kepada keluarga besar masing-masing mempelai. Dengan demikian, keluarga diharapkan dapat memahami bahwa dalam isu kesepadanan ini yang menjadi kunci adalah kerelaan, kemauan, dan komitmen kedua calon pengantin. Ketiga kata tadi dapat menjadi kunci pernikahan dan rumah tangga yang bahagia, saling memahami, dan saling bekerjasama satu dengan yang lain sehingga kesepadanan dalam rumah tangga dapat tercapai.

Sumber rujukan:

Halaman 30-32 Buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2017.

Edisi Lima Belas

#penyuluhanagamaislam

Senin, 16 Oktober 2023

Persetujuan Kedua Mempelai

 

Sumber gambar : Dokumen Pribadi

“Hari gini masih dijodohkan…!!”. Begitu kelakar anak-anak muda sekarang. Mungkin bagi sebagian orang, perjodohan menjadi momok. Tetapi tidak sedikit yang justru hanya bisa menikah lewat perjodohan, baik oleh keluarga, teman dekat, maupun komunitas organisasi. Tidak sedikit pula mereka yang dijodohkan berada dalam perkawinan yang bahagia dan langeng. Karena itu, perjodohan bukanlah pangkal masalah. Yang menjadi pangkal masalahnya adalah pemaksaan yang mungkin terkandung dalam perjodohan tersebut.

Pemaksaan, baik pada satu pihak atau kepada kedua belah pihak, merupakan awal yang buruk untuk memulai sebuah pernikahan. Karena lazimnya, sesuatu yang diawali dengan paksaan tidak akan berujung kepada kebaikan. Mereka yang dipaksa akan mengalami siksaan batin yang lama dan terus menerus, hidupnya tertekan, sikap dan perilakunya menjadi tidak tulus, dan sangat mungkin menjadi pelaku atau, malah, korban kekerasan dalam rumah tangga.

Pemaksaan dalam perkawinan sama sekali bukan tindakan yang islami, apalagi terpuji. Islam mengajarkan bahwa siapa pun yang dipaksa berhak menolak. Dan apabila pernikahan tersebut tetap dipaksa untuk dilangsungkan, pihak yang dipaksa berhak melaporkan kondisi tersebut ke pihak berwenang dan membatalkannya. Hal seperti ini terjadi pada zaman Rasulullah SAW, sebagaimana kasus Khansa binti Khida. Kasus ini direkam dalam sebuah hadis sebagai berikut:

Dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya. Sang ayah berkata: Ada seorang perempuan muda datang ke Nabi Saw, dan bercerita: “Ayah saya menikahkan saya dengan anak saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui saya”. Nabi Saw memberikan keputusan akhir di tangan sang perempuan. Kemudian perempuan itu berkata: “Ya Rasulullah, saya rela dengan yang dilakukan ayah saya, tetapi saya ingin mengumumkan kepada para perempuan bahwa ayah-ayah tidak memiliki hak untuk urusan ini”. (HR. Ibnu Majah)

Untuk sebuah pernikahan yang kokoh, kedua calon mempelai harus benar-benar memiliki kemauan yang paripurna. Tanpa paksaan siapapun. Dalam bahasa fiqh disebut sebagai kerelaan satu sama lain (taradlin). Untuk situasi saat ini, kisah-kisah pemaksaan pernikahan seperti kasus Siti Nurbaya dulu sudah jarang terdengar lagi. Karena, sudah banyak perempuan yang mandiri, berpendidikan tinggi, memiliki penghasilan cukup, dan punya pengalaman sosial yang cukup untuk membuatnya tidak dapat dipaksa oleh keluarga dalam urusan pernikahan. Tetapi teks hadis ini masih sangat relevan untuk menegaskan kemandirian dalam pernikahan yang menyangkut nasib hidupnya ke depan. Hal tersebut dikarenakan tidak sedikit yang masih menganggap bahwa perempuan harus tunduk pada keputusan laki-laki; jika anak perempuan pada ayahnya, dan jika istri pada suaminya. Anggapan ini tentu saja menyalahi kemandirian perempuan sebagai manusia utuh yang terekam pada teks tersebut di atas.

Sedikit banyak urusan kerelaan antara calon pasangan suami istri untuk menikah ini seringkali berbenturan dengan kewenangan yang diberikan oleh Allah kepada wali pihak perempuan. Dalam berbagai kesempatan, yang terjadi adalah sang wali merasa berhak untuk menjodohkan anak gadis yang berada dalam perwaliannya kepada seseorang tanpa harus meminta kerelaan sang anak atau bahkan melakukan pemaksaan. Tentu hal ini bertentangan dengan hadis yang ada di atas. Namun, sebelum membahas kasus tersebut lebih jauh lagi, ada baiknya kita paparkan apa yang dimaksud dengan wali, bagaimana kewenangannya, dan bagaimana hubungannya dengan konsep ijbar dalam perwalian.

Dari segi bahasa, kata wali yang berasal dari bahasa arab berarti penolong atau pelindung atau penanggung jawab. Salah satu tujuan keberadaannya adalah untuk memastikan kebaikan dan menjauhkan segala keburukan bagi sang perempuan dalam urusan pernikahan ini. Dengan kata lain, keberadaan wali berguna untuk memastikan pihak perempuan memperoleh haknya dan pernikahan tersebut direstui dan diberkati. Sedangkan dalam konteks akad nikah, keberadaan wali dari pihak perempuan merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas imam (pakar) fiqh (hukum Islam). Pendapat pertama tadi yang diadopsi oleh UU Perkawinan tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam untuk kemudian menjadi prosedur baku bagi setiap pasangan yang hendak menikah di wilayah Indonesia.

Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan wali dalam pernikahan merupakan pelindung bagi kepentingan dan kebaikan pihak perempuan, memastikan pihak perempuan mendapatkan haknya sebagai pihak yang dilamar serta sebagai “penyaring” kepantasan dan kualitas calon pengantin pria yang hendak melamar. Terlepas dari kewenangan tersebut, wali tidak diperkenankan untuk bertindak di luar batas kemaslahatan perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Dalam hal sang perempuan telah memantapkan hatinya untuk menerima seorang pria sebagai calon suaminya, maka sang wali tidak dapat menghalanginya untuk menikah dengan pria tersebut, selama sang pria memenuhi persyaratan syariat seperti sudah dewasa, muslim, dan mampu memberikan nafkah baik lahir maupun batin. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah QS. Al-Baqarah/2:232.

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf...

Keberadaan wali sebagai pelindung itu dapat dicabut otoritasnya jika dia sudah bertindak tidak lagi atas kepentingan dan kebaikan sang perempuan yang berada dalam perwalianya. Seperti, sang wali berlaku kasar dan melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, menelantarkan keluarganya dengan pergi tanpa tahu rimbanya, atau menolak untuk menikahkan karena alasan di luar syarat yang ditetapkan syariat seperti karena tidak memiliki kekayaan luar biasa atau yang semisal. Dalam kasus seperti ini, perempuan dapat mengajukan perpindahan kewalian kepada pengadilan untuk kemudian, jika terbukti, dipindahkan kepada kerabat lain atau kepada wali hakim.

Sumber rujukan:

Halaman 26-29 Buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2017.

Edisi Empat Belas

#penyuluhanagamaislam


Senin, 09 Oktober 2023

Meluruskan Niat Menikah

 



Meluruskan Niat Menikah

Tiap orang yang ingin menikah mesti memiliki tujuan di balik keputusannya tersebut. Bagi sebagian orang, menikah merupakan sarana untuk menghindari hubungan seksual di luar nikah (perzinaan). Secara tidak langsung mereka yang menikah atas dasar pemikiran seperti ini hendak menyatakan bahwa menikah tak lebih dari persoalan pemuasan kebutuhan biologis semata. Ada pula yang menikah karena alasan finansial seperti mendapatkan kehidupan yang lebih layak, atau mengikuti arus semata.

Sebagian lain menikah karena tak dapat menolak desakan keluarga atau terpaksa mengikuti karena berbagai alasan lain. Sebagai bagian dari ibadah, pernikahan dalam Islam adalah media pengharapan untuk segala kebaikan dan kemaslahatan. Atas harapan ini, ia sering disebut sebagai ibadah dan sunnah. Untuk itu, pernikahan harus didasarkan pada visi spiritual sekaligus material. Visi inilah yang disebut Nabi Saw sebagai ‘din ’, untuk mengimbangi keinginan rendah pernikahan yang hanya sekedar perbaikan status keluarga (hasab), perolehan harta (mal), atau kepuasan biologis (jamal). Tujuan dan visi pernikahan ini terekam dalam sebuah teks hadis berikut ini: Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw, bersabda: “Seorang perempuan biasanya dinikahi karena empat hal; hartanya,statusnya, kecantikannya, dan agama (din)-nya. Maka pilihlah perempuan yang memiliki din agar kamu terbebas dari persoalan.” (HR. Bukhari).

Walaupun redaksi hadis ini berbicara tentang daya tarik perempuan yang hendak dinikahi, akan tetapi karakteristik dan daya tarik tersebut juga dapat diterapkan kepada pria. Dengan demikian, muara dari teks hadis ini adalah soal empat faktor yang menjadi motivasi pernikahan yaitu: harta, status sosial, keinginan biologis, dan din atau agama. Dalam konteks hadis ini, kata din adalah keimanan kepada Allah Swt yang dapat membentuk kepribadian yang stabil dalam segala keadaan. Jiwa yang tangguh, percaya diri, rendah hati, dan sabar. Dalam konteks Din sebagai ibadah ritual sehari-hari mulai dari ibadah wajib semisal salat, zakat, puasa, haji, hingga zikir harian, maka din tersebut menjadi media penguatan kepribadian yang dimaksud.

Kata Din ini juga bisa diartikan sebagai komitmen moral akan nilai-nilai kebaikan dan kebersamaan dalam berkeluarga. Komitmen ini yang akan menjadi pondasi dalam mengarungi kehidupan keluarga yang mungkin akan menghadapi berbagai gejolak dan masalah di kemudian hari. Jika dikaitkan dengan QS. ArRum/30:21, maka din adalah komitmen dua calon mempelai untuk selalu menghadirkan ketentraman (sakinah) dan menghidupkan cinta kasih dalam berumah tangga (mawaddah wa rahmah). Visi mawaddah wa rahmah (ketentraman batin dan cinta kasih) ini harus menjadi niat yang paling fundamental.

Oleh karena itu, pasangan yang hendak menikah seharusnya kembali memeriksa niat masing-masing, membetulkan dan meluruskan niat agar pernikahan yang dilakukan tidak hanya bersifat pelampiasan kebutuhan biologis semata, tapi juga merupakan ibadah karena Allah SWT. Pasangan yang meluruskan niatnya untuk menikah karena Allah semata diharapkan akan memahami bahwa visi pernikahan yang memberikan ketentraman pada diri dan keluarga serta penuh cinta kasih tersebut, tidak akan dapat dicapai tanpa komitmen bersama menjaga diri dan pasangan untuk berbuat aniaya. Tanpa pemahaman yang benar akan esensi pernikahan dan dilandaskan pada niat yang tulus karena Allah SWT, potensi tindakan aniaya kepada pasangan menjadi semakin besar.

Misalnya, jika pernikahan tersebut hanya dilandaskan pada keinginan menghalalkan pelampiasan kebutuhan biologis, maka penurunan pemenuhan kebutuhan tersebut dapat mengarah kepada tindakan negatif dan juga merusak. Perselingkuhan dan pernikahan kedua (poligami) tanpa sepengetahuan istri pertama dan dilakukan secara sembunyi menjadi contoh kasus yang kerap diawali oleh hal ini. Tindakan ini bukan hanya menghancurkan hubungan pernikahan yang telah dibina, tapi juga melukai pasangan dan berpotensi merusak kondisi kejiwaan anak di masa yang akan datang.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa hanya dengan meluruskan niat yang dimulai dengan instropeksi ke niat masingmasing, maka sebuah pernikahan dapat menghadirkan kebaikan kepada pasangan yang hendak menikah dan juga menjadi aktivitas yang bernilai ibadah.

Sumber rujukan:

Halaman 24-26 Buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2017.

Edisi Ketiga belas

#penyuluhanagamaislam

Minggu, 08 Oktober 2023

Merencanakan Perkawinan yang Kokoh Menuju Keluarga Sakinah

 


Menikah itu tak hanya suka dan gembira, tapi juga harus kokoh dan mulia. Pernikahan dapat disebut sebagai pernikahan yang kokoh apabila ikatan hidup tersebut dapat mengantarkan kedua mempelai pada kebahagian dan cinta kasih. Pernikahan yang kokoh juga merupakan ikatan yang dapat memenuhi kebutuhan keduanya, baik kebutuhan lahiriyah maupun batiniyah, yang dapat melejitkan fungsi keluarga baik spiritual, psikologi, sosial budaya, pendidikan, reproduksi, lingkungan, maupun ekonomi. Keseluruhan fungsi tersebut yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No: 21 tahun 1994 (pasal 4) dirangkum dalam bahasa Al-Qur’an dalam 3 kata kunci sakinah, mawaddah, dan rahmah .

Agar sebuah pernikahan dapat menjadi pernikahan yang kokoh, kedua calon pengantin harus melakukan persiapan yang cermat dan matang. Cermat berarti keduanya memiliki pengatahuan untuk dapat mengantisipasi berbagai hal yang akan timbul dari pernikahan tersebut. Matang dalam arti keduanya bersedia berusaha bersama dalam menumbuhkan semangat, nyaman, rela, dan tanpa paksaan sama sekali dalam memasuki gerbang pernikahan. Dan dalam rangka menumbuhkan kenyamanan tersebut maka kedua belah pihak, harus berusaha semakin mengenal calon pasangan hidupnya, termasuk mengenal keluarga masing-masing. Dalam Islam, semua proses pra-nikah—mulai dari niat menikah, khitbah, perwalian, mahar, saksi, akad menikah, dan walimah—merupakan pengkondisian agar pernikahan yang terjadi kelak benar-benar menjadi sebuah pernikahan kokoh dan bermuara kepada keluarga yang harmonis dan penuh cinta kasih

Sumber rujukan:

Halaman 23-24 Buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2017.

Edisi Kedua belas

#penyuluhanagamaislam

Rabu, 04 Oktober 2023

Keluarga Sakinah III Plus

 


Keluarga Sakinah III Plus : yaitu keluarga-keluarga yang telah
dapat memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan
dan akhlakul karimah secara sempurna, kebutuhan sosial
psikologis, dan pengembangannya serta dapat menjadi suri
tauladan bagi lingkungannya.

Tolok-ukur tambahannya:

a. Keluarga yang telah melaksanakan ibadah haji dan dapat
memenuhi kriteria haji yang mabrur
b. Menjadi tokoh agama, tokoh masyaraat dan tokoh
organisasi yang dicintai oleh masyarakat dan keluarganya
c. Mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah, jariyah, wakaf
meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif
d. Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat
sekelilingnya dalam memenuhi ajaran agama
e. Keluarga mampu mengembangkan ajaran agama
f. Rata-rata anggota keluarga memiliki ijazah sarjana
g. Nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah
tertanam dalam kehidupan pribadi dan keluarganya
h. Tumbuh berkembang perasaan cinta kasih sayang secara
selaras, serasi dan seimbang dalam anggota keluarga dan
lingkungannya
i. Mampu menjadi suri tauladan masyarakat sekitarnya

Sumber rujukan:
Halaman 19 Buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2017.

Edisi Kesebelas

Selasa, 03 Oktober 2023

Keluarga Sakinah III

 


Keluarga Sakinah III : yaitu keluarga-keluarga yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan, akhlakul karimah sosial psikologis, dan pengembangan keluarganya tetapi belum mampu menjadi suri-tauladan bagi lingkungannya.

Tolok Ukur tambahannya:

a. Aktif dalam upaya meningkatkan kegiatan dan gairah keagamaan di masjid-masjid maupun dalam keluarga
b. Keluarga aktif dalam pengurus kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakata
c. Aktif memberikan dorongan dan motifasi untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta kesehatan masyarakat pada umumnya
d. Rata-rata keluarga memiliki ijazah SMA ke atas
e. Mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf senantiasa menigkat
f. Meningkatkan pengeluaran qurban
g. Melaksanakan ibadah haji secara baik dan benar, sesuai tuntunan agama dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

Sumber rujukan:

Halaman 18-19 Buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2017.

Edisi Kesepuluh


Keluarga Sakinah II


Keluarga Sakinah II : yaitu keluarga-keluarga yang dibangun atas perkawinan yang saah dan selain telah dapat memenuhi kebutuhan kehidupannya juga telah mampu memahami pentingnya pelaksanaan ajaran agama serta bimbingan keagamaan dalam keluarga. Keluarga ini juga mampu mengadakan interaksi sosial keagamaan dengan lingkungannya, tetapi belum mampu menghayati serta mengembangkan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah, infaq, zakat, amal jariyah menabung dan sebagainya.

Tolok-ukur tambahannya:

a. Tidak terjadi perceraian, kecuali sebab kematian atau hal sejenis lainnya yang mengharuskan terjadinya perceraian itu

b. Penghasilan keluarga melebihi kebutuhan pokok, sehingga bisa menabung

c. Rata-rata keluarga memiliki ijazah SLTP

d. Memiliki rumah sendiri meskipun sederhana

e. Keluarga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan sosial keagamaan

f. Mampu memenuhi standar makanan yang sehat serta memenuhi empat sehat lima sempurna

g. Tidak terlibat perkara kriminal, judi, mabuk, prostitusi dan perbuatan amoral lainnya.

Sumber rujukan:

Halaman 18 Buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2017.

Edisi Kesembilan

#penyuluhanagamaislam

Minggu, 01 Oktober 2023

Keluarga Sakinah I

 



Keluarga Sakinah I yaitu keluarga-keluarga yang dibangun atas perkawinan sah dan telah dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan material secara minimal, tetapi masih belum dapat memenuhi kebutuhan social-psikisnya, seperti kebutuhan pendidikan, bimbingan keagamaan keluarga, mengikuti interaksi social keagamaan di lingkungan.


Tolok ukurnya:

a. Perkawinan sesuai dengan peraturan syariat dan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
b. Keluarga memiliki surat nikah atau bukti lain, sebagai bukti perkawinan yang sah.
c. Mempunyai perangkat solat, sebagai bukti melaksanakan ibadah.
d. Terpenuhi kebutuhan makanan pokok, sebagai tanda bukan tergolong fakir dan miskin.
e. Masih sering meninggalkan solat.
f. Jika sakit sering pergi ke dukun.
g. Percaya terhadap takhayul.
h. Tidak datang di pengajian atau majlis taklim.
i. Rata-rata keluarga tamat atau memiliki ijazah SD.

Sumber rujukan:
Halaman 17-18 Buku Fondasi Keluarga Sakinah (Bacaan Mandiri Calon Pengantin) Penulis Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2017.