Warisan Bagi Saudara/i Sekandung, Seayah, & Seibu
BAB I
Pendahuluan
Ilmu
waris adalah suatu ilmu yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan
dari pewaris kepada para ahli waris yang ditinggalkannya, dan proses
pembagiannya dilakukan setelah pewaris meninggal. Konsep waris yang masyhur
dikalangan masyarakat Indonesia yaitu: kewarisan menurut golongan Sunni, Syiah,
dan konsep waris menurut Hazairin.
Golongan
ahli waris dibagi menjadi tiga, yaitu ahli waris Ashab al-Furud, Ashabah, dan
Dzawil Arham. Golongan Ashab al-Furud adalah ahli waris yang sudah ditetapkan
pembagiannya dalam nash Quran atau Hadist. Golongan Ashabah adalah ahli waris yang
baru mendapatkan harta warisan apabila terdapat kelebihan harta, sedangkan
golongan Dzawil Arham adalah hukum kerabat yang lain dari pada Ashab al-Furud
dan Ashabah, yaitu anggota keluarga perempuan dari garis bapak dan anggota
keluarga dari garis ibu, baik laki-laki maupun perempuan.
Salah satu golongan Ashabul Furud
adalah saudara-saudari seibu. Mereka mempunyai dua bagian dalam hal pewarisan
menurut Ulama Sunni. Apabila saudara-saudari seibu sendiri, maka baginya
mendapat 1/6 dari harta warisan, tetapi apabila mereka mewarisi secara bersama
baik laki-laki atau perempuan maka mereka mendapatkan 1/3 dari harta warisan.
Hazairin dan Ulama Syiah mempunyai pendapat
yang berbeda dari Ulama Sunni yang mana konsep kewarisannya dipakai oleh
mayoritas umat islam di berbagai negara. Maka, dalam konsep kewarisan di
Indonesia hendaknya bisa mengambil konsep yang bisa membawa kemaslahatan bagi
seluruh masyarakat muslim di seluruh wilayah Indonesia, tanpa harus melihat
dari golongan mana pendapat tersebut diambil.
BAB
II
Pembahasan
A.
Definisi
Saudara-saudari
tunggal seibu adalah anak-anak ibu si mati. Jika dinisbatkan kepada si mati,
mereka itu sebagai saudara tiri si mati yang lahir (bawaan) dari ibu. Mereka
mempunyai 2 macam bagian dalam hal pewarisan harta yakni:
1. Seperenam,
bila mereka tunggal, baik laki-laki maupun perempuan.
2. Sepertiga,
bila mereka banyak, baik laki-laki maupun perempuan ataupun campuran.
Mereka
tidak dapat memiliki dua ketentuan ini bila si mati yang diwarisi tidak dalam
keadaan kalalah, yakni tidak beranak turun yang berhak mewarisi (far’u warits)
baik laki-laki maupun perempuan dan tidak mempunyai leluhur laki-laki yang
berhak waris (ashlu warits mudzakkar). Jika mereka tidak mewarisi dalam keadaan
kalalah , mereka terhijab oleh far’u warits, dan ashlu warits mudzakkar.[1]
B.
Dasar
Hukum
Saudara
laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu, masing-masing mendapatkan bagian
seperenam dengan ketentuan jumlahnya
tidak lebih dari satu orang (tunggal). Firman Allah SWT:
“Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta” (An Nisa:12)
Syarat bagi mereka untuk mendapatkan hak pewarisan sebesar
seperenam bagian dari harta peninggalan adalah jika tidak ada orang tua
laki-laki (bapak) dan anak (baik laki-laki maupun perempuan).[2]
Beberapa saudara (baik laki-laki maupun perempuan) seibu dapat
memperoleh warisan sebesar sepertiga bagian dengan syarat-syarat:
a.
Tidak ada “asal” atau “fara” (orang tua atau anak) yaitu kalalah.
b.
Jumlahnya harus dua
atau lebih, baik terdiri dari laki-laki maupun perempuan atau gabungan antara
laki-laki dan perempuan.
Firman
Allah SWT yang melandasi ketentuan tersebut adalah:
“Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta” (An Nisa:12)
Sebagai
peringatan dapat dike mukakan bahwa yang dimaksud di dalam firman Allah: ”dan ia mempunyai saudara” adalah
saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan). Sebab di akhir surat An Nisa,
Allah telah meyebutkan secara terpisah mengenai ketentuan hukum saudara sekandung dan saudara seayah.
Peringatan
kedua, tentang firman Allah SWT: “Maka
mereka bersekutu di dalam memperoleh bagian sepertiga”Kata”bersekutu
(bersama-sama)” dalam ayat ini menunjukkan adanya persamaan. Oleh karena itu,
bagian sepertiga ini dibagikan secara sama berdasarkan jumlah orang, tanpa
membedakan antara yang laki-laki dan
perempuan. Telah diketahui, bahwasannya lafadz anak melengkapi anak laki-laki
dan perempuan, sebagai mana lafadz ayah (walid) mencakup ayah dan kakek.[3]
Dalam hal ini, bagian antara saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan
seibu adalah sama. Ketentuan ini berbeda dengan hukum pembagian waris untuk
beberapa saudara sekandung atau seayah (baik laki-laki maupun perempuan),
dimana bagian saudara laki-laki dua kali lipat dibandingkan saudara perempuan.[4]
Kata
kalalah pada ayat diatas banyak artinya. Yang dimaksud dengan kalalah menurut
jumhur ulama ialah orang meninggal yang tidak meninggalkan ayah dan tidak pula
meninggalkan anak.[5]
Perkataan
anak mencakup anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana perkataan ayah
(walid) mencakup ayah dan kakek.[6]
Dalam
kitab An-Nihayah karya Ibnu Katsir menerangkan bahwa ayah dan anak laki-laki,
adalah dua tepi dari seseorang. Maka apabila seorang meninggal dengan tidak
meninggalkan ayah dan anak, maka berarti orang itu meninggal tanpa meninggalkan
ahli waris. Karena itu dinamakan “kalalah”. [7]
Ada
yang mengatakan, bahwasannya kalalah itu adalah nama bagi waris-waris selain
dari ayah dan anak, yang mengelilingi si yang meninggal itu. Apabila si yang
meninggal tidak meninggalkan ayah dan anak, maka keluarga-keluarga yang lainnya
dinamakan “kalalah”.[8]
C.
Bagian
Waris Saudara Atau Saudari Seibu
Saudara
laki-laki dan perempuan seibu tidak mendapat mewarisi bersama bapak, ibu, kakek
sebapak, anak laki-laki dan perempuan dan anak perempuan dari anak laki-laki-Menurut
golongan Sunni, anak perempuan menghijab saudara laki-laki dan perempuan seibu,
tetapi ia tidak menghijab saudara laki-laki dan perempuan sekandung atau
sebapak. Hanya saja mereka berpendapat, jika berkumpul antara ashabul furud dan
ashobah, maka didahulukan ashabul furud, sisanya untuk ashabah. Anak ibu adalah
termasuk dzawul wurud, sedang anak kandung atau bapak termasuk ashabah. Oleh
karena itu, anak perempuan tidak menghijab anak ibu, atau ia menghijab anak ibu
dan bapak, sebagaimana pendapat golongan Syiah Imamiyah-. [9]
Maksudnya,
saudara laki-laki dan perempuan seibu gugur untuk mendapatkan harta warisan,
karena adanya ibu, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki.
Sebagaimana yang tertera dalam warisan ibu dan warisan anak perempuan, bahwa
saudara laki-laki dan perempuan kandung, atau sebapak berhak mewarisi bersama
ibu dan anak perempuan, tetapi seandainya saudara laki-laki dan perempuan
sekandung atau sebapak itu berkumpul dengan anak laki-laki dari anak perempuan
(cucu laki-laki dari anak perempuan), maka saudara laki-laki dan perempuan
sekandung tersebut mewarisi dengan sendirinya, dan anak laki-laki dari anak
perempuan menjadi terhalang untuk mendapatkan harta warisan , sehingga ada
orang laki-laki diantara mereka. Demikian menurut golongan Sunni. Saudara
laki-laki dan perempuan seibu tidak bisa gugur untuk mendapatkan warisan karena
adanya saudara laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak. Untuk seorang
diantara mereka mendapatkan 1/6, baik ia laki-laki atau perempuan. Untuk yang
lebih dari satu mendapat 1/3, baik mereka itu laki-laki atau perempuan. Atau
mereka itu bersama-sama, ( maksudnya, ada pada keduanya antara yang laki-laki
dan perempuan) maka mereka membagi seluruh harta sama rata, yaitu perempuan
mendapat bagisan yang sama dengan bagian yang laki-laki. Demikian menurut ijma’
ulama.[10]
Pengarang
kitab “Al-Mughni” berkata: ”Jika ada seorang saudara perempuan sekandung saudara perempuan sebapak dan saudara seibu,
maka saudara perempuan sekandung mendapat 1/2, saudara perempuan sebapak
mendapat 1/6. Sisanya diradkan kepada mereka menurut besar kecilnya saham
mereka masing-masing. Maka jadilah bagian itu menjadi lima bagian. 3/5 untuk
saudara perempuan sekandung, 1/5 untuk saudara perempuan sebapak dan 1/5 untuk
saudara perempuan seibu.”[11]
Untuk
mempermudah pemahaman sistem pewarisan saudara-saudari seibu (anak-anak ibu),
maka T.M Hasbi Ash Shiddieqy membaginya dalam tiga keadaan, yaitu:[12]
Pertama,
seperenam untuk seorang saudara-saudari seibu. Maka jika seorang laki-laki
meninggal dengan meninggalkan: seorang saudara laki-laki sekandung dan seorang
saudara laki-laki seibu, atau seorang saudara perempuan seibu, maka saudara
laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu mendapat seperenam dengan jalan
ashabul furud. Sedang sisa harta, diambil oleh saudara laki-laki sekandung
dengan jalan ashabah.
Kedua, sepertiga bagi dua orang atau lebih saudara
atau saudari seibu. Mereka bersekutu dalam hal pewarisan tersebut dan
membaginya sama rata, tidak ada kelebihan bagi saudara laki-laki atas saudari
perempuan ketika mewarisi bersama, sebagaimana tidak ada kelebihan bagi
laki-laki apabila mewarisi secara sendiri.
Ketiga,
saudara-saudari seibu tidak mendapat warisan atau terhijab ketika ada anak
laki-laki atau perempuan, ayah, kakek, dan cucu. Terhijab disini artinya mereka
tidak mendapatkan sama sekali dari harta warisan, baik saudara seibu sendiri
ataupun berkumpul bersama.
Golongan
Syiah Imamiyah berpendapat: ”saudara perempuan sekandung mendapat ½, saudara
perempuan sebapak mendapat 1/6. Sedangkan saudara perempuan seibu tidak
mendapat apa-apa sebab ia digugurkan oleh saudara perempuan sebapak. Mengenai
sisanya diradkan kepada saudara perempuan sebapak-Golongan Syiah Imamiyah tidak
menradkan kepada anak ibu, jika ia berkumpul bersama dengan anak sekandung atau
anak bapak. Mereka menradkan kepada anak sekandung atau sebapak saja-. Maka
masalah menjadi enam bagian, 5 untuk saudara perempuan sekandung dan yang 1
untuk saudara perempuan sebapak. Secara global maka saudara laki-laki dan
perempuan dari berbagai jurusan, tidak mewarisi jika ada bapak dan anak
laki-laki. Saudara perempuan seibu juga tidak mewarisi jika ada anak perempuan.
Saudara laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak mewarisi jika ada anak
perempuan. Dan mereka mendapatkan sisa dari baguian anka perempuan. Begitu juga
mereka bersama beberapa anaka perempuan.[13]
D.
Pendapat
Ulama
Imam
Syafii berpendapat:[14]
1. Saudara
perempuan seibu mendapat bagian 1/6 apabila ia sendirian (termasuk apabila ia
laki-laki) tanpa meninggalkan far’u
warits mudzakkar atau mu’annats ataupun leluhur pewaris (ayah, kakek dan
seterusnya).
2. Saudara
perempuan seibu mendapat 1/3 apabila ia dua orang atau lebih (termasuk yang
laki-laki) tanpa meninggalkan far’u warits mudzakkar/ mu’annats maupun leluhur
pewaris (ayah, kakek, dan seterusnya).
3. Saudara
perempuan terhijab oleh:
a. Anak-anak
pewaris baik laki-laki maupun perempuan.
b. Cucu
laki-laki dan perempuan garis laki-laki.
c. Ayah.
d. Kakek
Shahih.
Hazairin
berpendapat:[15]
1. Saudara
perempuan seibu sebagaimana halnya saudara perempuan shahihah, atau saudara perempuan seayah.
2. Saudara
perempuan seibu memperoleh dzu al-faraidh dan sebagai dzu al-qarabat.
3. Saudara
perempuan seibu berada dalam martabat para saudara tanpa dibedakan dari jurusan
manappun shahih, seayah, dan seibu, hanya antara laki-laki dan perempuan
berbanding 2:1.
4. Ayah
mempengaruhi perolehan mereka dari saham 2/3 menjadi 1/3 jika berbilang.
5. Ia
terhijab oleh far’u warits mudakkar
dan muannats sterusnya kebawah.
Pada
masa kepemimpinan Khalifah Umar terdapat kasus musyarakah (himariyah,
hajariyah, atau jammiyah). Saat itu terdapat ahli waris seorang saudara
laki-laki sekandung, seorang saudara laki-laki seibu, dan saudara perempuan
sebapak. Berdasarkan keputusan hukum waris islam pada saat itu (golongan ahlu
sunnah wal jamaah), maka saudara laki-laki sekandung tidak mendapat bagian
sedikitpun. Akhirnya Umar memberi keputusan yang berbeda dari keputusan
sebelumnya, yaitu saudara laki-laki kandung mendapatkan bagian bersama-sama
dengan saudara seibu dan dibagi pula sama rata. Keputusan Umar diikuti oleh
Zaid, Usman, Imam Syafii, dan Malik.[16]
Dalam
masalah musyarakkah dapat diketahui bahwa Umar memasukkan saudara laki-laki
kandung dalam pengertian saudara diayat 12 dan dengan demikian cara berpikirnya
sudah ke arah sistem bilateral. Sedangkan Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Abbas, dan Ibnu Mus’ud berpendapat tidak turut mendapat pusaka bersama-sama dengan
saudara seibu; yang dapat hanya saudara seibu saja, sesuai dengan peraturan
yang bisa dilakukan. Pendapat yang terakhir ini diikuti oleh Madzhab Hanafi dan
Hanbali.[17]
E.
Contoh
Pembagian
Seorang
ibu terlah meninggal dunia dengan ahli waris istri A, seorang saudara perempuan
seibu B, seorang saudara laki-laki sayah C
Pembagian menurut Hazairin:
A= L’ x hp
B= dq = 1/3 x I’
C= 2/3 x I’
Jumlah : A + BC = L’ + I’ + 4/4= 1
(seluruh harta)
B dan C memperoleh I’ berbagai
dengan perbadingan 2:1, sebagai berikut:
B = 1/3 x I’ = 3/12
C = 2/3 x I’ = 6/12
Jumlah A+B+C = L’ + 3/12 + 6/12
= 3+3+6 = 12/12 = 1
(seluruh harta)
12
Seorang telah meninggal dunia dengan
ahli waris dua orang saudara perempuan shahihah (A dan B), dua orang
saudara perempuan seayah (C dan D), dan dua orang saudara perempuan seibu (E
dan F).
Pembagian menurut Hazairin:
A =
dq 1/6 x hp
B =
dq 1/6 x hp
C =
dq 1/6 x hp
D =
dq 1/6 x hp
E =
dq 1/6 x hp
F =
dq 1/6 x hp
Jumlah
seluruh : A + B + C + D + E + F = 1/6 + 1/6 +1/6 +1/6 +1/6 +1/6
=
6/6 = 1 (seluruh harta)
Menurut Ulama Sunni:
a.
Penerimaannya
1/6
1.
Harta
peninggalan si mati berupa sawah 12 ha. Ahli warisnya terdiri dari: isteri,
saudara seibu dan saudara seayah, maka:
Ahli waris : fardh : dari a.m 2: dari peninggalan
seluas 12 ha. Sahamnya: penerimanya
1.
Isteri : 1/4 ; ¼ x 12 = 3 ; 3 x 12
ha : 3 ha
12
2.
Saudara seibu : 1/6 ; 1/6 x 12= 2 ; 2 x 12 ha : 2 ha
12
3.
Saudara seyah : ‘u ;
12 – 5 = 7 ; 7 x 12 ha : 7 ha
12
b.
Penerimaannya
1/3
2.
Harta
peninggalan si mati sejumlah Rp
120.000,-
Ahli warisnya
terdiri dari : isteri dan saudara-saudaara seibu, maka:
Ahli waris =
fardl : dari a.m 12 ; dari peninggalan sejumlah Rp 120.000,-
Sahamnya : penerimanya.
1.
Isteri : ¼ ; ¼ x 12 = 3 ; 3 x Rp
120.000,- = Rp 30.000,-
12
2.
Saudara seibu : 1/3 + rd ; 4 + 5 = 9 ; 9 x Rp
120.000,- = Rp 90.000,-
12
BAB
III
Penutup
Pembagian
waris saudara-saudari seibu yaitu:
Pertama,
seperenam untuk seorang saudara-saudari seibu. Maka jika seorang laki-laki
meninggal dengan meninggalkan: seorang saudara laki-laki sekandung dan seorang
saudara laki-laki seibu, atau seorang saudara perempuan seibu, maka saudara
laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu mendapat seperenam dengan jalan
ashabul furud. Sedang sisa harta, diambil oleh saudara laki-laki sekandung
dengan jalan ashabah.
Kedua, sepertiga bagi dua orang atau lebih saudara
atau saudari seibu. Mereka bersekutu dalam hal pewarisan tersebut dan
membaginya sama rata, tidak ada kelebihan bagi saudara laki-laki atas saudari
perempuan ketika mewarisi bersama, sebagaimana tidak ada kelebihan bagi
laki-laki apabila mewarisi secara sendiri.
Ketiga,
saudara-saudari seibu tidak mendapat warisan atau terhijab ketika ada anak
laki-laki atau perempuan, ayah, kakek, dan cucu. Terhijab disini artinya mereka
tidak mendapatkan sama sekali dari harta warisan, baik saudara seibu sendiri ataupun
berkumpul bersama.
Dasar
dari pewarisan saudara-saudari seibu yaitu Q.S An-Nisa:12 yang berbunyi:
“Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta” (An Nisa:12)
Golongan
Syiah Imamiyah berpendapat: ”saudara perempuan sekandung mendapat ½, saudara
perempuan sebapak mendapat 1/6. Sedangkan saudara perempuan seibu tidak
mendapat apa-apa sebab ia digugurkan oleh saudara perempuan sebapak. Mengenai
sisanya diradkan kepada saudara perempuan sebapak-Golongan Syiah Imamiyah tidak
menradkan kepada anak ibu, jika ia berkumpul bersama dengan anak sekandung atau
anak bapak. Mereka menradkan kepada anak sekandung atau sebapak saja-. Secara
global maka saudara laki-laki dan perempuan dari berbagai jurusan, tidak
mewarisi jika ada bapak dan anak laki-laki. Saudara perempuan seibu juga tidak
mewarisi jika ada anak perempuan
Sedangkan pembagian menurut Hazairin
yaitu:
6. Saudara
perempuan seibu sebagaimana halnya saudara perempuan shahihah, atau saudara perempuan seayah.
7. Saudara
perempuan seibu memperoleh dzu al-faraidh dan sebagai dzu al-qarabat.
8. Saudara
perempuan seibu berada dalam martabat para saudara tanpa dibedakan dari jurusan
manappun shahih, seayah, dan seibu, hanya antara laki-laki dan perempuan
berbanding 2:1.
9. Ayah
mempengaruhi perolehan mereka dari saham 2/3 menjadi 1/3 jika berbilang.
10. Ia
terhijab oleh far’u warits mudakkar
dan muannats sterusnya kebawah.
Daftar
Pustaka
Rahman,
Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT Al
Maarif, 1971
Mughniyah,
Jawad, Perbandingan Hukum Waris Syiah Dan
Sunnah, terj. Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Surabaya: Al-Ikhlas, 1988
Ali Ash-Shabuni,
Muhammad, Hukum Waris, terj. Abdul
Hamid Zahwan. Solo: CV Pustaka Mantiq, 1994
Anshori, Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta:
UII Press, 2005
Ash Shiddieqy, T.M.
Hasbi, Fiqhul Mawaris, Jakarta: Bulan
Bintang, 1973
Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam, Jakarta: Widjaya,
1984
[1] Fatchur
Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al
Maarif, 1971), hlm 320-321
[2] Muhammad
Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris,
Diterjemahkan oleh Abdul Hamid Zahwan, (Solo: CV Pustaka Mantiq, 1994), hlm 58-59
[3] T.M.
Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm 118
[4] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum..., hlm 52-53
[9] Jawad
Mughniyah, Perbandingan Hukum Waris Syiah
Dan Sunnah, Diterjemahkan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1988), hlm 89
[12] T.M.
Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul....., hlm
114-115
[13] Jawad
Mughniyah, Perbandingan Hukum ....., hlm
90-90
[14] Abdul
Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan
Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm 121
[16] Abdullah
Siddik, Hukum Waris Islam, (Jakarta:
Widjaya, 1984), hlm 95