BANTAHAN TERHADAP FAHAM PLURALISME
“Manusia tidak hidup sendirian di
dunia ini.
Dia memilih jalan setapak masing-masing.
Semua
jalan setapak itu berbeda-beda,
Namun menuju satu jalan yang sama
Dan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan.”
(Fritjof Schouon, 1932)
Istilah pluralisme agama sudah tidak asing lagi di
telinga masyarakat, dan istilah ini merupakan simbol bagi mereka untuk
menjalin, serta menyatukan agama-agama yang berbeda. Menurut Ninian Smart dalam
bukunya yang berjudul The Religious Experience of Mankind faham
ini muncul karena terjadi pergesekan antara agama-agama, maka terjadilah
sinkretisme yang pada akhirnya menjadi pluralisme.[1]
Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua
kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi التعددية الدنية (al-ta’addudiyyah al-diniyah) dan dalam
bahasa Inggris “religious pluralism”. Oleh karena itu pluralisme agama berasal
dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikan secara akurat harus merujuk
kepada kamus bahasa tersebut. Pluralisme berarti “jama’ ” atau lebih dari satu.
Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama,
pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk
orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang
dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun
non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran
yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu.
Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang
mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran
maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat
karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut
sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai
kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya
perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.[2]
Sedangkan secara terminologi, pluralisme agama
menurut john Hick adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar di dunia
merupakan konsepsi dan persepsi yang berbeda, dan secara bertepatan merupakan
respon yang beragam terhadap, Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata
kultural menusia yang bervariasi, dan bahwa wujud manusia dari pemusatan-diri
menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing
pranata kultural manusia tersebut-- dan terjadi, sejauh yang dapat diamati,
sampai pada batas yang sama.[3]
Sedangkan definisi pluralisme agama yang cukup
populer di tengah masyarakat, adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh MUI:
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama setiap agama
adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim
bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain adalah salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di surga.[4]
Gagasan pluralisme ini banyak disuarakan oleh
masyarakat yang kagum dengan istilah toleransi beragama. Yang lebih
mengherankan lagi, yang menyuarakan gagasan ini adalah orang-orang yang
dianggap mapan dalam urusan agama. Mereka berdalil dengan Quran dan Sunnah didampingi
dengan penafsiran yang terlalu dipaksakan.
Banyak
kalangan ulama yang mencoba menggunakan lidah mereka untuk memutar balikkan
pilar-pilar agama islam. Mereka berkata tentang agama dengan berpijak pada hawa nafsu yang mereka inginkan.
Mereka mencoba menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal sehingga
perkataan mereka banyak menyesatkan umat islam sendiri. Tidak hanya itu,
perkataan mereka terkadang bernada melecehkan agama islam.
Orang-orang seperti ini sudah membuang jauh-jauh
rasa keimanan dan ketundukkan mereka kepada Allah SWT. Mereka hanya mengikuti
akal dan hawa nafsu mereka sebagai Tuhan. Kebenaran yang mereka dapat adalah
kebenaran yang sifatnya semu, yang mana kebenaran tersebut hanya bisa dinikmati
sementara waktu, dan untuk selanjutnya kebenaran tersebut akan membawa
kehampaan pada diri mereka terutama dalam masalah spiritual. Allah
menggambarkan sifat mereka dalam Q.S Al-Jatsiyah ayat 23 yang berbunyi:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ
عَلَىعِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ
وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ
اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُون (الجاثيه:23)
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
Ketika banyak ulama yang menyuarakan gagasan-gagasan yang
bertentangan dengan konsep islam, maka seketika itu pula banyak umat islam yang
menentang gagasan tersebut dan tidak segan-segan memberikan bantahan yang cukup
kuat. Sangat disayangkan bantahan tersebut tidak didengarkan oleh para
cendikiawan yang menyuarakan gagasan tersebut. Apa yang disampaikan oleh umat
islam seolah hanyalah angin lalu yang tidak perlu ditanggapi secara serius.
Padahal seharusnya umat islam itu saling menasihati di dalam kebenaran dan
kesabaran, ketika terjadi suatu tindakan yang tidak terpuji agar tidak menjadi
orang yang merugi di dunia atau pun di akherat akibat perbuatannya sendiri.
Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Q.S Al-‘Ashr: 3:
إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menaatai
kesabaran.” (Al-‘Ashr: 3).
Para
ulama adalah pewaris para Nabi, sehingga perlu menyampaikan sesuatu yang haq
dan sesuatu yang dianggap bathil. Ketika ulama tidak menyampaikan sesuatu yang
haq dan sesuatu yang bathil, maka ketika terjadi kerusakan di lingkungan
masyarakat yang paling bertanggungjawab adalah ulama.
Tidak
hanya itu, ulama juga berperan merusak umat ketika dia memberikan fatwa yang
bertentangan dengan islam karena haus akan kekuasaan dan cinta dunia. Mereka
memperjual belikan ayat-ayat Allah demi mendapatkan harta, kekuasaan, dan
tahta. Maka, tidak diragukan lagi bahwa ulama seperti ini adalah ulama buruk
yang akan menyesatkan dan memecah umat
islam, pada akhirnya umat islam akan mengalami kehancuran di dunia dan akherat.
Seperti yang disabdakan oleh Nabi SAW:
“Yang merusak
umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk
manusia adalah ulama yang buruk, dan sebaik-baik manusia adalah manusia yang
baik.” (H.R Ad-Darimi).
Beliau juga bersabda: “Termasuk di antara perkara
yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam
kesalahan) dan silat lidahnya orang munafiq tentang Al-Quran.” (H.R Thabarani
dan Ibn Hiban).
Nabi tidak segan-segan memberikan julukan kepada
orang yang memainkan agama sebagai orang yang munafiq. Hal itu menunjukan bahwa
dalam memutuskan hukum islam tidak bisa dilakukan dengan serampangan karena
menyangkut persoalan aqidah, dan ibadah yang berhubungan dengan Allah SWT, dan
hadist diatas juga memberikan petunjuk kepada umat muslim agar berhati-hati
dalam memutuskan permasalahan agama.
Di bawah ini terdapat beberapa perkataan ulama
(karena beberapa orang menganggapnya demikian) yang dianggap oleh masyarakat
sebagai perkataan yang menyimpang karena menyatakan semua agama itu benar, dan
menuju pada Tuhan Yang Esa. Beberapa ulama itu adalah:[5]
Ulil
Abshar Abdalla mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran.
Jadi islam bukan yang paling benar.” (Majalah Gatra, 21 Desember 2002)
Budhy Munawar Rahman menawarkan teologi
pluralis sebagai berikut: “Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi
kepada kebenaran semua agama, bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai
orang yang beriman, dengan makana orang yang percaya dan menaruh percaya kepada
Tuhan. Karena itu sesuai dengan Q.S 49: 10-12, mereka semua adalah bersaudara
dalam iman.” Budhy menyimpulkan: “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam
penghayatan masalah pluralisme antar-agama yakni pandangan bahwa siapa pun yang
beriman-tanpa harus melihat agamanya apa- adalah sama dihadapan Allah.
Karenanya, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu (Lihat artikel Budhy Munawar
Rahman berjudul “Basis Teologi Persaudaraan antar-agama”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia
[Jakarta: JIL, 2002], hlm 51-53).
Prof.
Dr. Abdul Munir Mulkhan berpendat: “Jika semua agama memang benar sendiri,
penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri dari banyak
pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar
surganya. Syarat memasuki surga adalah keikhlasan pembebasan manusia dari
kelaparan, penderitaan, kekerasan, dan ketaukutan, tanpa melihat agamanya.
Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini keja sama dan dialog
pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”
Pror.
Dr. Nurcholish Majid menulis: “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada
dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirnya ke arah yang
semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak
dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan
pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi
keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan,
dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama”.
Dr.
Alwi Shihab menulis: “Prinsip lain yang digariskan oleh Al-Quran adalah
pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat dalam setiap komunitas beragama
dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini
memperkokoh ide mengenai Pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam
pengertian lain, eksklusivisme kegamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Quran.
Sebab, Al-Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari
lainnya.”
Sukidi
(alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan paham
Pluralisme Agama) Ia menulis di koran Jawa
Pos (11/1/2004): “Dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzche
menegasikan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap
banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua
agama-entah hiduisme, Budhaisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun
lainnya-adalah benar. Dan konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada
semua agama.”
Dr.
Luthfie Assyaukani menulis: “Seorang fideis Muslim misalnya, bisa merasa dekat
kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat
meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dikukan dalam persemedian spiritual.
Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari
aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkap dan konsep-konsep agama
seperti kitab suci, Nabi, Malaikat, dll tak terlalu penting lagi karena yang lebih
penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan
mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.”
Nuryamin
Aini (dosen Fak. Syariah UIN Jakarta) menulis: “Tapi ketika saya mengatakan
agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain
salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki.”
Jurnal
Tashwirul Afkar edisi no. 11, tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul
“Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Ditulis sebagai berikut:
“Filosofi
pendidikan islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima
kebenaran agama lain mesti mendapat kritik, untuk selanjutnya dilakukan reorientasi.
Konsep iman-kafir, muslim-non muslim, dan
baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang
islam terhadap agama lain mesti dibongkar agar umat islam tidak lagi menganggap
agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan kselamatan. Jika cara
pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah
teologi-eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi
agama lain. Kegagalan dalam mngembangkan semangat toleransi dan pluralisme
agama dalam pendidikan islam akan mengembangkan sayap radikal islam”.
Tanggapan
Pernyataan diatas:
الاسلام ان تعبد الله ولا تشرك به
وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة المفرروضة وتصوم رمضان .رواه البخار و مسلم
“Islam, ialah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
Engkau mengerjakan shalat, membayar zakat yang wajib, dan puasa pada bulan
Ramadhan”. [6]
Agama islam itu meyakini hanya Allah sajalah Dzat yang patut
disembah, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, serta menjalankan syariat islam yang
telah ditentukan oleh Quran dan Sunnah Shahihah. Hadist ini merupakan bantahan
telak bagi orang-orang yang mendukung faham pluralisme. Menurut mereka, bahwa
yang namanya beragama islam itu yang tepenting meyakini secara hati dan lisan,
tanpa harus mengamalkan ibadah yang sudah diwajibkan Allah, sehingga orang
bergama Kristen, Yahudi, dan sebagainya
bisa disebut beragama islam ketika sudah yakin kepada Allah tanpa mengamalkan
ajaran islam.
Para pengusung faham pluralisme telah telah memberikan doktrin
bahwa islam itu penyerehan diri pada Tuhan, tidak lebih dari itu. Maka siapapun
yang menyerahkan diri kepada Tuhan meskipun secara formal ia berada di luar
agama islam, boleh disebut muslim.[7]
Lebih jauh lagi Nurcholis Majid menulis bahwa dalam menjalani
kehidupan beragama terbagi dalam level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir).
Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama
dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.[8] Pernyataan
Cak Nur terlihat menekankan pada aspek batin saja, dan tidak mementingkan pada
dimensi lahir (amal shalih) seseorang.
Pada kenyataannya, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan sebagianya yang
mengaku beriman kepada Allah, tetapi mempersekutukan-Nya tidak akan berhasil
membawa keimanannya kepada Allah. Lebih jauh lagi ketika di akherat akan
dijerumuskan ke dalam lembah kehancuran.[9]
Dalam ajaran agama islam,
antara iman dan amal itu tidak ada pemisahan. Apabila seseorang disebut
beriman, seharusnya ia melakukan amal shalih. Karena pembeda antara orang
muslim dan orang non muslim dari aspek dzahir adalah amalannya.
Faham beiman tanpa mengamalkan sebenarnya telah diusung pada
zaman-zaman terdahulu melalui sekte Murjiah. Doktrin yang paling terkenal dari
sekte ini adalah, seseorang tetap disebut beriman apabila ia mengucapkan dua
kalimat syahadat tetapi tidak pernah melakukan perbuatan kebajikan. Lebih
ekstrim lagi bahwa orang yang mengatakan dirinya kafir secara lisan, belum
tentu disebut kafir. Karena masalah iman dan kafir adalah urusan hatinya
sendiri, maka yang bisa mengklaim kafir atau tidaknya seseorang adalah dirinya
sendiri. Faham ini sudah tidak ada lagi pada zaman ini karena pendapatnya
dianggap menyimpang dari ajaran agama islam oleh jumhur ulama, bahkan telah
dianggap sesat.
Faham Pluralisme juga telah dainggap menyimpang oleh mayoritas
ulama di dudunia, sehingga faham ini dicap sebagai pendapat yang sesat.
Dalam
ajaran agama islam telah dijelaskan pula bahwa agama yang diterima oleh Allah
adalah agama islam sebagaimana yang tertulis dalam Surah Ali Imran: 19
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ وَمَا اخْتَلَف َالَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ
وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya
agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Ali Imran:
19).
Dalam tafsir Al Maraghi dijelaskan bahwa:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلام
“Sesungguhnya, agama dan syariat yang didatangkan oleh para Nabi,
ruh atau intinya adalah islam (menyerahkan diri), tunduk, dan menurut. Meskipun
dalam beberapa kewajiban dan bentuk amal agak berbeda, hal ini pulalah yang
selalu diwasiatkan oleh para Nabi. Orang muslim hakiki adalah orang yang bersih
dari kotoran syirik, berlaku ikhlas dalam amalnya, dan disertai keimanan, tanpa
memandang dari agama mana dan dalam zaman apa ia berada.”[10]
Jadi, yang dimaksud agama islam adalah agama
sejak dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW walau syariat dan amal berbeda,
tetapi sama-sama mengajak untuk menyembah pada Allah SWT. Tidak berlaku agama
selain islam, karena didalamnya terdapat penyimpangan oleh kaumnya.
Ibnu
Jarir meriwayatkan sebuah hadist dari Qatadah, Rasulullah SAW mengatakan:
الاسلام
شهاده ان لا اله الا الله و الاقرار بما جاء من عند الله, وهو دين
الله
تعا لي شرع لنفسه وبعث به رسله ودل عليه اولياءه لا يقبل غيره, ولا يجري
الا به
“Yang dinamakan islam adalah
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan mengakui apa-apa yang datang dari
sisi Allah. Islam merupakan agama Allah SWT yang disyariatkan oleh diri-Nya, ia
juga mengutus para Rasul, dibuktikan oleh kekasih-kekasih-Nya, dan Allah tidak
akan menerima agama selain islam, serta tidaklah memberi agama kecuali
melaluinya.”
Ali
R.A juga pernah berkhutbah:
“Agama
islam adalah menyerahkan diri, menyerahkan diri adalah keyakinan, dan keyakinan
adalah percaya. Percaya ialah berikrar, berikrar adalah melaksanakan, dan
melaksanakan adalah mengamalkan.” Selanjutnya beliau mengatakan: “Sesungguhnya
orang mukmin mengambil agama dari Tuhan-Nya, bukan mengambil dari pendapatnya
sendiri. Orang yang beriman diketahui keimanannya dari amal perbuatannya, dan
orang kafir diketahui kekafirannya dari keingkarannya. Wahai umat manusia,
berhati-hatilah terhadap agamamu, sesungguhnya kejelekan di dalam agama ini
(islam) adalah lebih baik daripada kebaikan yang lainnya. Sebab kejelekan di
dalamnya akan diampuni, sedang kebaikan selain di dalamnya tidak akan
diterima.”[11]
Sedangkan
Imam Syafi’ menafsirkan Surat Ali Imran ayat 19 sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ar-rabi’ bin Suliaman: “Ini adalah surat ditulis oleh Muhammad bin Idris
bin Abbas asy-Syafi’ pada bulan Sya’ban tahun 203 H.”
“Aku
bersaksi kepada Allah Yang Mengetahui segala pandangan yang berkhianat dan
segala sesuatu yang disembunyikan hati. Cukuplah Dia Yang Maha Mulia sebagai
saksi. Kemudian orang yang memperdengarkan bahwa dia bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba sekaligus
utusan-Nya, maka dia tetap beragama demikian sampai Allah mewafatkan dan
membangkitkannya, Insya Allah”[12]
Imam
Syafii memberi nasehat kepada umat islam, apabila mereka sudah mengucapkan dua
kalimat Syahadat hendaknya mereka senantiasa menjaga keimanan mereka kepada
Allah dari berbagai macam tipuan yang ada di dunia sampai malaikat maut
mencabut nyawanya. Dapat difahami bahwa ketika orang sudah memeluk agama islam,
ia harus mengingkari berbagai macam sesembahan selain Allah.
Jalaludin
Al-Mahalli dan Jalaludin Al-Suyuti memberikan penfasiran bahwa kata islam pada
Surat Ali Imran ayat 19 adalah syariat yang dibawa oleh para Rasul dan dibina
atas dasar ketauhidan.[13] Tauhid
yang dimaksud disini adalah mengesakan Allah, tanpa ada keinginan untuk
menduakannya dalam masalah kepercayaan.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)
Menurut
Al-Maraghi, kata ‘Al-Islam’ pada ayat diatas maksudnya adalah tauhid kepada
Allah dan ikhlas dalam beribadah. Juga membenarkan apa yang disampaikan oleh
lisan para Rasul-Nya.[14]
Sehingga ketika seseorang menyekutukan, bahkan mengingkari Allah, maka amalannya tidak bisa diterima oleh Allah SWT.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
Mujahid As-Sudi mengatakan bahwa ayat ini turun
menceritakan tentang Harits bin Suwaid, saudara Al Julas bin Suwaid yang
termasuk kaum Ashar. Dia bersama dua belas orang lainnya murtad dari islam dan
menjadi orang-orang kafir di Makkah. Lantas, turunlah firman Allah tersebut.
Kemudian, dia pergi menemui saudaranya untuk meminta taubat. Riwayat itu
diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan yang lainnya. Ibnu Abbas mengatakan bahwa
selanjutnya orang itu (Harits) kembali memeluk islam setelah turun ayat yang
berbunyi: “Dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi.” Hisyam
mengatakan bahwa dia merugi di akherat dan tergolong orang yang merugi.[15]
Al-Maraghi berpendapat:
“Sesungguhnya, agama itu bila tidak mengantarkan
pemeluknya pada ketaatan dan menurut kepada Allah, maka agama itu hanyalah gambaran
dan tradisi yang tidak berarti. Bahkan, bisa menambah rusaknya jiwa dan
menambah gelapnya hati. Kala itu, agama bisa jadi sumber pertikaian dan
permusuhan antara umat manusia dunia, dan merupakan sumber kerugian di akherat
kelak, dengan terhalangnya orang yang bersangkutan dari mereguk kenikmatan yang
abadi, dan mendapatkan siksaan yang pedih”[16]
Agama yang seperti ini tidak didapati di dalam ajaran
islam, karena islam dibentuk oleh Allah dan dibagun bukan berdasarkan tradisi
yang ada di masyarakat. Selain islam, semuanya dibangun berdasarkan tradisi
yang berlangsung di masyarakat atau mungkin penuh dengan perubahan ajaran yang
dilakukan oleh petinggi-petinggi agama.
Imam Syafii’ mengatakan: “Orang baligh yang yang
beralih dari kemusyrikan kepada keimanan, kemudian berpindah dari keimanan
kembali pada kemusyrikan, baik laki-laki maupun perempuan, hendaknya dihimbau
untuk bertaubat. Jika dia mau bertaubat, maka taubatnya diterima. Jika ia tidak
mau bertaubat, dia dihukum mati berdasarkan ayat diatas.[17]
Ketika orang
islam murtad, dan ia enggan untuk bertaubat dan kembali pada agama islam, maka
ia wajib untuk dibunuh karena termasuk perbuatan yang melanggar hukum Allah.
Imam Syafii’ berkata: “Sufyan bin Uyainah menyampaikan
hadist kepada kami dari Ibnu Abi Najih dari Ikrimah, dia berkata:
‘Ketika ayat وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ (Siapa yang mencari agama selain islam, dia tidak akan diterima).
Orang-orang Yahudi berkata: “Kami adalah orang-orang islam”. Allah berfirman
kepada Nabi-Nya agar beliau menyuruh mereka menunaikan haji.
Nabi bersabda kepada mereka: “Tunaikan haji”. Mereka
menjawab: “Kami tidak diwajibkan untuk itu”. Mereka pun menolak untuk
menunaikan ibadah haji. Allah berfirman: وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (Siapa mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya [tidak memerlukan sesuatu] dari semesta alam).[18]
Riwayat Ibnu Abi
Najih menjelaskan bahwa orang islam dan orang yahudi tidaklah sama. Ketika ada
yang mengatakan antara islam dan yahudi itu sama, maka dapat dipastikan itu
hanyalah ucapan belaka karena pada ranah ibadah antara satu agama dengan agama
yang lain tidak bisa dicampur adukkan seperti halnya riwayat diatas.
Sedangkan kalimat,
وَهُوَ فِي الآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
Ditafsirkan sebagai berikut:
“Sebab,
ia telah menyia-nyiakan fitrah yang telah diberikan padanya, yakni fitrah sehat
yang mengarah kepada tauhid dan meyakini pada Allah,[19]
karena tidak bertauhid pula ia diberi tempat tinggal di neraka di mana ia akan
menetap disana untuk selamanya.”[20]
Pada
dasarnya manusia itu hatinya selalu tertuju pada agama islam, namun karena
pengaruh lingkungan yang buruk dan kurangnya bimbingan rohani,[21]
akhirnya merubah kecenderungan hatinya pada selain agama islam. Maka orang yang
seperti ini akan merugi di akhirat akibat berpaling dari agama islam, padahal
Allah SWT telah memberikan akal untuk membedakan mana yang haq dan mana yang
bathil. Tidak hanya itu, bagi siapa saja yang beragama selain islam, maka
amalannya sia-sia karena Allah tidak menerima amalannya disebabkan ia
mengingkari atau menyekutukan Allah. Rasulullah SAW bersabda:
كل مولود يولد علي الفطره فا بواه يهودا نه او ينصرا نه او ىمجسانه
“Setiap
bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang
(kemudian) membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R Al-Bukhari)[22]
Berdasarkan
uraian hadist diatas, merupakan bukti ilmiah dari kebenaran aqidah dan ajaran
islam. Empat-belas abad yang lalu Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada manusia
bahwa kepercayaan dasar manusia adalah Tauhid kepada Allah (monotheisme).
Aqidah tauhid itulah yang menjadi fitrah manusia, sampai-sampai ketika manusia
berada di dalam kandungan ibunya sudah mengucapkan dua kalimat syahadat dan
terlahir secara suci. Maka risalah Nabi ialah memperbaiki dan meluruskan
penyelewengan manusia dalam aqidah itu agar kehidupan manusia tetap serasi
dengan fitrahnya.[23]
Nabi Muhammad diutus oleh Allah kepada umat manusia agar mereka kembali kepada
fitrah agama yang dahulu. Jangan sampai manusia memeluk agama yang bukan
fitrahnya (agama selain islam).
Jadi
menurut islam, kepercayaan asli manusia ialah tauhid. Ajaran tauhidlah yang
yang menjadi aqidah manusia pertama (Adam A.S) yang diterimanya dari Tuhan
mulai saat penciptaannya, dan aqidah itulah yang kemudian diajarkan kepada anak
cucunya. Kemudian diantara anak cucunya itu ada yang menyimpang dari ajaran
tauhid sehingga timbul keonaran dan kemaksiatan.[24]
Dalam
surat Al-Baqarah ayat 213 Allah menjelaskan bahwa manusia itu semuanya adalah
kesatuan umat, sebagaimana firman-Nya:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Manusia
itu adalah umat yang satu” (Al-Baqarah: 213).
Maksud
umat yang satu dalam ayat ini adalah pada dasarnya manusia itu satu dalam
masalah aqidah, namun pada realitasnya berpecah belah dalam beragama. Maka,
dengan adanya ayat ini diharapkan antara satu manusia dengan manusia lain
saling mendakwahkan ajaran agama islam agar orang yang belum memeluk agama
islam bisa segera memeluknya demi mewujudkan ketentraman dan kesatuan umat.
Tidak
hanya itu, Allah juga berfirman dalam ayat lain:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujarat: 13).
Allah
menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar manusia bisa
bersatu. Ketika manusia ingin bersatu, maka ia harus memeluk agama islam.
Sangat mustahil jika manusia ingin bersatu tetapi tidak memeluk agama islam.
Jadi, ayat ini menjelaskan bahwa berbangsa dan bersuku itu sangat dianjurkan
jika sama-sama beragama islam, karena dengan keduanya manusia bisa saling
tolong-menolong dalam kebaikan, dan dengan kebaikan itu sehingga manusia bisa
masuk ke dalam surga.
Semua
dalil diatas menunjukan bahwa hanya agama islam yang diterima di sisi Allah
SWT, sedangkan agama lain tidak bisa disamakan dengan agama islam karena
berbeda dari aspek historis maupun tata cara beribadah.
Munculnya
faham pluralisme di Indonesia, telah banyak membuat sebagaian umat islam secara
terang-terangan menyatakan bahwa agama islam itu bukan satu-satunya agama yang
haq. Agama lain seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, Konghucu, dan sebagainya juga
layak disebut agama yang benar karena sama-sama mengajak pada kebaikan. Faham
pluralisme juga syarat dengan isu toleransi dan HAM yang terlalu berlebihan,
dimana ketika ada orang yang pindah agama harus dilindungi, orang yang tidak
menjalankan ajaran islam tidak boleh dinasehati dengan alasan kebebasan
berekpresi dan urusan individu yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah
publik.
Umat islam bisa hidup berdampingan dengan
orang non muslim tanpa harus melepaskan doktrin kebenaran yang ada pada diri
mereka sebagaimana yang dikatakan oleh K.H Kholil Ridwan Ketua MUI Pusat Bidang
Budaya:
“Toleransi tetap bisa terjalin tanpa harus
mengorbankan keyakinan agama masing-masing, karena kerukunan umat beragama
dapat terwujud bila masing-masing pemeluk agama tetap pada klaimnya
masing-masing.”[25]
Selain
itu, beliau juga menambahkan bahwa faham pluralisme ini juga bertentangan
dengan cara pandang Nabi Muhammad SAW: “Saat
Rasulullah SAW diutus (menyampaikan wahyu) sudah ada orang-orang Yahudi,
Nasrani, Majusi, dan kaum Musyrik Arab. Tapi Nabi menyeru mereka semua agar
kembali pada prisnsip yang sama (Kalimatin Sawa), yaitu prinsip Tauhid hanya
menyembah Allah semata.” Ia mengutip Surat Ali Imran: 64, Maryam: 88-91,
Al-Maidah: 73, dan Al-Shaff: 6).[26]
Sangat jelas bahwa kerukunan umat antar agama itu bisa
dibangun dalam hal muamalah duniawiyah, sedangkan pada permasalahan tauhid dan
aqidah umat islam tidak ada kata toleransi, apalagi menyatakan bahwa agama lain
juga menuju surga yang satu dengan jalan yang berbeda-beda. Q.S Ali Imran ayat
19 dan 85 sudah cukup jelas bahwa hanya agama islamlah yang haq. Apabila dua
ayat ini bertentangan dengan logika kerukunan umat beragama dan semangat
toleransi, maka hal itu tidak perlu dipertentangkan. Karena tidak semua ayat di
dalam Quran itu harus disesuaikan dengan akal manusia. Ada beberapa hal yang
hanya bisa diketahui oleh Allas semata, tetapi mungkin hikmahnya bisa diketahui
oleh manusia di waktu mendatang. Tidak dipungkiri juga ketika seseorang melepas
klaim kebenaran agamanya, maka akan tercipta konflik baru yang lebih merisaukan
dari pada seseorang tidak melepaskan klaim kebenarannya.
Oleh karena itu, berdasarkan musyawarah MUI Pusat Nomor:
7/ Munas VII/ MUI/ II/ 2005, memutuskan bahwa haram bagi umat islam untuk
mempelajari dan menganut faham pluralisme karena bisa merusak ajaran agama
islam. MUI Pusat juga menghimbau kepada umat islam yang telah membenarkan dan
menganut faham ini agar segera bertaubat kepada Allah serta meniggalkannya.
Untuk itu, sebagai penerus ajaran agama islam, sudah
selayaknya bagi kita untuk terus mempelajari ajaran agama islam sesuai dengan
Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Karena dengan mempelajari keduanya, maka
kita akan selamat baik itu di dunia, maupun di akhirat. Dengan berpegang pada keduanya pula kita bisa
terhindar dari perpecahan yang diakibatkan karena sudut pandang manusia yang
berbeda-beda. Semoga Allah SWT selalu memeberi taufiq dan hidayahnya kepada
kita sehingga kita bisa tetap teguh menegakkan kalimat tauhid hingga maut
datang mencabut roh kita, serta terhindar dari syirik akbar yang bisa
menjerumuskan ke dalam neraka.
الهم انى اعوذ بك ان اشرك بك وانا اعلم
واستغفرك لما لا اعلم
“Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu, agar tidak menyekutukan kepada-Mu, sedang aku
mengetahuinya dan minta ampun terhadap apa yang tidak aku ketahui.”[27]
Wallahu a’lam bisshawab.
[1] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan
Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005)., hlm 102
[4]
Mahmud Sutarwan Waffa, Menguak Pluralisme dan Komunisme Di Balik
Film-Film Hanung Bramantyo, (Sarang Rembang: Toko Kitab Al-Anwar I)., hlm
173
[6] Nasrudin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT Al
Maarif, 1982)., hlm 76
[7] Syamsudin Arif, Orientalis dan
Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008)., hlm 83
[8] Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008)., hlm 271)
[9] Departemen Agama, Al-Quran
dan Tafsirnya Jilid 1, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990).,
hlm 535. Lihat pula Departemen Agama, Al-Quran dan Tafsirnya: Edisi yang
Disempurnakan, (Jakarta: Departemen Agama, 2009)., hlm 472
[10] Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Jilid 3 , Penerjemah
Bahrun Abubakar, (Semarang: CV Toha Putra)., hlm 214-215. Lihat pula Departemen
Agama, Al-Quran......., hlm 535. Departemen Agama, Al-Quran dan
Tafsirnya: Edisi yang......., hlm 472
[12] Syaikh Ahmad Mustafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafii Jilid 1, Penerjemah:
Ali sultan, dan Fedrian Hasmand, (Jakarta:
Almahira, 2007)., hlm 539).
[13] Jalaludin Al-Mahalli dan Jalaludin Al-Suyuti, Terjemah Tafsir
Jalalain Jilid 1, Penerjemah Mahyudin Syaf, dan Bahrun Abubakar, (Bandung:
Sinar Baru, 1990)., hlm 225
[15]
Syaikh Imam Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi Jilid 4,
Penerjemah: Dudi Rosyadi, Nashirul Haq,dan
Fathurrahman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008)., hlm 336-337
[20] Jalaludin Al-Mahalli dan Jalaludin Al-Suyuti, Terjemah......, hlm
252
[21] Nasrudin Razak, Dienul...., hlm 75-76
[22] (Lihat Shalih bin Fauzan
bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid I, Penerjemah Agus Hasan Bashari (Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia)., hlm 13. Lihat pula Abdullah Al-Muslih dan Salah
Al-Sawi, Untuk Setiap Muslim: Memahami Aqidah, Syariat dan Adab,
penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Amir Hamzah, dan Hanif Yahya (Yogyakarta: Islamic
Fondation, 2009)., hlm 21)
[23] Nasrudin Razak, Dienul...., hlm 76
[25] Mahmud Sutarwan Waffa, Menguak......, hlm 44
[26] Ibid., hlm 44
[27] Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Hisnul Muslim: Panduan Doa
dan Dzikir dari Al-Quran dan Sunnah, Penerjemah Qosdi Ridlwanullah, (Solo:
Pustaka Arafah, 2007)., hlm 191