PENGARUH KONSEP THALAQ TERHADAP ILA’, DZIHAR, DAN NUSYUZ, SERTA STABILITAS DAN KONTINUITAS HUKUM PERKAWINAN ISLAM DALAM MASALAH PERCERAIAN
BAB
I
PENDAHULUAN
Secara umum, hukum islam terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi
syariat dan fiqih. Syariat bersifat transendental, global, universal, normatif
dan tekstual, sehingga tidak dimungkinkan untuk direinterpretasi. Adapun fiqih
bersifat lokal, kontekstual, elastis, dan fleksibel selalu mengikuti
perkembangan zaman.
Dalam konsepnya, Syahrur membagi sifat hukum islam ada dua macam.
Pertama, Mustaqimun. Artinya disatu sisi hukum islam itu bersifat lurus tanpa
ada bengkokan sedikitpun terhadap ajarannya. Kedua, Hanafiyyun. Artinya ada
kalanya disatu sisi hukum islam bersifat lurus, tetapi tidak selalu lurus
dimungkinkan terdapat bengkokan pada bagian ujung ataupun tengahnya, sehingga
diasana terdapat perubahan-perubahan konsep, tetapi masih tetap berpegang pada
dasar yang sama.
Permasalahan pernikahan, khususnya konsep thalaq merupakan konsep
yang sering dijumpai dalam permasalahan rumah tangga. Permasalahan tersebut
juga telah dilegalkan dalam al-Quran maupun as-Sunnah yang secara nyata
terbungkus oleh hasil interpretasi para ulama terdahulu. Dengan adanya asumsi
demikian, maka sangat dimungkinkan konsep pernikahan, khususnya konsep thalaq
mengalami rekonstruksi secara radikal dengan mengikuti isu HAM dan gender,
namun demikian bukan berarti segala nash yang terkait dengan konsep thalaq
diabaikan dan dibuang begitu saja tanpa merujuk kembali padanya. Nash yang
terkait tersebut tetap dipakai sebagai acuan dan dasar dalam melakukan
interpretasi, tetapi pada kenyataannya dapat dilakukan reinterpretasi terhadap
nash yang mungkin menghasilkan pendapat baru mengenai konsep thalaq yang
berbeda dengan pendapat sebelumnya.
Dengan adanya maind set tersebut dapat diketahui bahwa dalam
melakukan proses interpretasi tidak semata-mata mengacu pada dzahir nash, namun
yang terlebih penting mengacu pada esensi, tujuan, dan semangat yang ada pada
nash tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Thalaq
Secara etimologi Thalaq (الطلاق) berasal dari kata (طلق-يطلق-طلقا) yang bermakna ارسال
و الترك yaitu melepas,
mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali
pengikat perkawinan.[1]
Dihubungkannya arti ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan
istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas.[2]
Dalam mengemukakan kata thalaq secara terminologi, terdapat perbedaan secara
lafdiyah, namun pada substansinya sama.
Secara
terminologi ada rumusan yang dipakai oleh para ulama, antara lain:
Menurut
As-Sayid Sabiq:
حل
رابطة الزواج وانها العلاقة الزوجية
“Melepas
tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.”
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri:
ازالة
النكاح نقصان حله بلفظ مخصوص
“Menghilangkan tali perkawinan atau mengurangi
tali pelepasan ikatannya dengan lafadz khusus.”
Menghilangkan akad perkawinan
maksudnya mengangkat akad perkawinan sehingga setelah diangkat akad perkawinan
tersebut istri tidak halal bagi suami, seperti thalaq yang sudah tiga kali.
Mengurangi pelepasan ikatan perkawinan maksudnya berkurangnya hak thalaq yang
berakibat berkurangnya pelepasan istri , yaitu thalaq raj’i, karena thalaq
raj’i mengurangi pelepasan istri.[3]
Menurut
Al-Mahalli:
حل
قيد النكاح بلفظ طلاق و نحوه
“Melepas hubungan pernikahan dengan
menggunakan lafadz tahalaq dan sejenisnya.”
Dalam
rumusan yang lebih sederhana dikatakan:
حل
عقد الكاح
“Melepaskan ikatan perkawinan.”
Tertulis dalam
pasal 38 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian, dan putusan pengadilan.[4]
Kemudian telah dijelaskan pula pada pasal 114 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menegaskan bahwa:
“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena thalaq atau berdasarkan gugatan perceraian.”
Pasal 113 dijelaskan lebih lanjut pada pasal 117 KHI yang
menyebutkan bahwa definisi thalaq adalah:
“Thalaq adalah
ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan sebagiamana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 139.”
Berdasakan
macam-macam definisi thalaq secara terminologi diatas, dapat difahami bahwa
pada intinya, thalaq itu merupakan suatu perkataan secara langsung atau majazi
(kiasan) dari suami kepada istrinya yang menyatakan bahwa dengan jatuhnya
perkataan tersebut, maka tidak berlaku lagi hubungan suami istri bagi keduanya.
Adapun perkataan
thalaq secara langsung dapat berupa “anti thaaliq” (engkau telah
tertalak), “Muthallaqah” (engkau wanita yang tertalak), atau Kamu saya
cerai, sedangkan perkataan thalaq secara tidak langsung dapat berupa “Alhiqi
bi ahliki” (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya.
B.
Prinsip dan Hukum Thalaq
Pada dasarnya, islam membolehkan thalaq tetapi islam juga tidak
serta-merta meperbolehkannya, tetapi terdapat syarat-syarat yang dapat
mempersulit terjadinya perceraian. Dalam istilah lain, thalaq disebut sebagai emergency
exit atas problematika yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Artinya,
thalaq itu diperbolehkan oleh agama islam tetapi hal itu dilakukan karena
sebagai alternatif terkahir dan tidak ada solusi lain yang dapat merukunkan
kembali kehidupan rumah tangga. Sehingga dapat ditetapkan bahwa thalaq itu
adalah perbuatan yang diperbolehkan agama, namun sangat dibenci (dimakruhkan)
oleh Allah sebagaimana sabda Nabi SAW yang tertera pada hadist Ibnu Umar
riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim:[5]
ابغض الحلال علي الله الطلاق
“Perbuatan halal yang paling
dibenci Allah adalah thalaq”
Nabi SAW bersabda pula:[6]
ليس منا من خبب
امرئة علي زوجها او عبدا علي سيده (رواه ابو داود) :عن ابي هريرة قال رسول الله ص.م
“Tidak termasuk golonganku orang yang merusak hubungan seorang
istri dengan suaminya atau merusak hubungan seorang hamba dengan tuannya.”
عن ثوبان, قال
رسول الله ص.م: لا يحل تسئل طلق اختها لتستفرغ صحفتها....(رواه البخاري)
“Tidak halal seorang wanita meminta saudarinya diceraikan untuk
dapat menggantikan kedudukannya (sebagai istri)...”(H.R Bukhari)
ايما ائمرئة
سئلت زوجها طلقا من غير بئس فحرام عليها رائحة الجنة (رواه الترمذي)
“Siapa saja wanita yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan
maka haram baginya bau sorga.”
(H.R At-Tirmidzi)
لعن الله كل
ذواق مطلاق
“Allah
melaknat suami yang suka mencicipi wanita dan suka menthalaq istrinya”
Apabila ditelaah lebih lanjut, thalaq dapat berdampak buruk bagi
kehidupan keluarga, terutama bagi keturunan, anak, dan para kerabat suami atau
istri. Maka, dengan adanya hadist-hadist diatas dapat disimpulkan bahwa thalaq
itu sebisa mungkin harus dijauhi karena memiliki dampak yang negatif bagi
keluarga besar (extended family) maupun kelurga kecil (nuclear family). Islam
memperbolehkan thalaq jika kehidupan antara suami dan istri tidak dapat dipertahankan
lagi.
Seorang pria yang menikahi perempuan pada dasarnya ingin agar
pernikahannya dapat bersifat kekal dan abadi. Oleh karena itu, stabilitas rumah
tangga dan kontinuitas kehidupan suami istri adalah tujuan utama dari perkawinan.
Dalam rumah tangga suami istri dapat menikmati khidupannya, keduanya dapat
menciptakan rumah tangga yang memungkinkan terpeliharanya keturunan dengan baik.
Untuk itu islam menjadikan ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan
kokoh, seperti yang disebutkan dalam Q.S An-Nisa ayat 21:[7]
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan
mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.
Hal senada juga dapat dijumpai dalam pasal 1 UU No 1
Tahun 1974 bahwa perkawinan didefisikan sebagai berikut:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[8]
Apabila pertalian suami istri sedemikian kokoh dan
kuat, maka tidak baik dan tidak selayaknya merusak tali perkawinan. Hal-hal
yang bersifat meremehkan hubungan suami istri, melemahkan kedudukannya,
semuanya itu dibenci oleh hukum islam. Sekalipun suami diberi hak menjatuhkan
thalaq, tetapi tidak dibenarkan menggunakan haknya itu dengan gegabah dan
sesuka hati, apalagi kalau hanya menurutkan hawa nafsu.[9]
Menjatuhkan thalaq tanpa alasan dan sebab yang
dibenarkan adalah termasuk perbuatan tercela dan dibenci Allah dan Rasulullah
SAW. Perceraian dengan ada alasanpun sedapat mungkin dihindari.[10]
Pada dasarnya perceraian atau thalaq adalah sesuatu yang tidak
disenangi, dalam istilah ushul fiqih disebut makruh. Walaupun hukum asal thalaq adalah makruh, namun
melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum thalaq itu adalah
sebagai berikut:[11]
a.
Nadab atau sunnah, yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat
dilanjutkan dan seandainya dipertahankan akan terjadi kemadaratan yang lebih
banyak, dimungkinkan pula ketika perempuan teledor terhadap hak Allah SWT atau
ia membenci suaminya dengan meminta khulu’.[12]
b.
Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan
tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya
juga terlihat. Hal ini terjadi apabila suami istri melihat diri mereka sudah
tidak bisa saling memahami dan mencintai, dan masing-masing takut melalaikan
hak pasangannya, sedangkan keduanya tidak punya kesiapan untuk berusaha mencari
solusi, atau sudah berusaha tapi usahanya tidak bermanfaat[13]
c.
Wajib atau mesti dilakukan. Yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh
hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya
sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarah sumpah agar
ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakan itu memudaratkan istrinya.
d.
Haram. Pertama, apabila menjatuhkan thalaq tanpa adanya alasan,
sedangkan istri dalam keadaan haid. Kedua, menjatuhkan thalaq sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.[14]
C.
Hikmah Disyariatkannya Thalaq
Pada dasanya, thalaq itu sangat dibenci Allah, namun sebagai jalan
terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh dilakukan.
Hikmah dibolehkannya thalaq itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang
menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah
tangga. Dalam keadaan seperti ini, apabila kehidupan rumah tangga tetap
dikukuhkan akan menimbulkan madharat kepada kedua belah pihak dan orang
disekitarnya. Dalam rangka menolak madharat yang lebih jauh, lebih baik
ditempuh perceraian dalam bentuk thalaq. Dengan demikian, thalaq dalam islam
hanyalah untuk satu tujuan atau maslahat.[15]
Syaikh Ahmad Al-Jarjawi menyebutkan bahwa thalaq itu terjadi
dikarenakan dua sebab: Pertama, dikarenakan suami impotensi atau pihak istri
tidak bisa melahirkan. Pada kenyataannya memang banyak orang yang bisa bertahan
dalam menghadapi situasi rumah tangga yang seperti ini, tapi umumnya mereka
merasakan kegelisahan karena tujuan awal pernikahan salah satunya untuk
melestarikan keturunan. Dengan adanya syariat thalaq, maka pihak suami atau
istri diberikan pilihan untuk melanjutkan atau memutus tali pernikahan. Sebab
terjadinya perceraian yang kedua yaitu, adanya pertengkaran suami istri yang tidak
berujung pada penyelesaian dan berujung pada rasa benci. Sering terjadi kasus
yang menceritakan bahwa banyak individu yang tidak bisa melaksanakan perceraian
dikarenakan alasan agama maupun alasan lainnya, sehingga ia mencari jalan
keluar dengan cara pindah keluar negeri demi meninggalkan pasangannya yang
tidak lagi sepaham dengannya. Atau ada pula yang memilih untuk bunuh diri,
bahkan pindah agama atau keyakinan ia lakukan sebagai bentuk pelarian dari
rumah tangganya yang sangat kacau dan bisa berdampak buruk bagi keturunan
mereka.[16]
Patut disyukuri bahwa islam mengakui dan melegalkan tentang adanya
syariat thalaq, walaupun itu merupakan emergency exit. Masyarakat Barat
yang notabenenya adalah negara maju
telah mengakui adanya hikmah yang terdapat dalam syariat thalaq. Terbukti
dengan adanya pelegalan status perceraian yang dipelopori oleh Negara Amerika
Serikat.[17]
D.
Aplikasi Thalaq pada Ila’, Dzihar, dan Nusyuz
1.
Ila’ (الايلاء)
Ila’ adalah sumpah, mashdar dari kata kerja الي-يولي-ايلاء dan
kata الالية
yang berarti اليمين ‘sumpah’. Sebagaima bila dikatakan, الي
من امرئته ايلاء yaitu, ‘jika
bersumpah untuk tidak menggauli istrinya’ karena arti ungkapan tersebut ialah,
“Dia bersumpah dengan benar-benar untuk tidak menyetubuhi istrinya.”[18]
Oleh karena itu, didefinisikan oleh para ahli fiqih bahwa ila’
adalah sumpah seorang suami yang memungkinkannya melakukan persetubuhan, dengan
nama Allah atau dengan salah satu dari sifat-sifat-Nya untuk tidak menyetubuhi
istri pada kemaluan untuk selamanya atau lebih dari empat bulan.[19]
Dari definisi tersebut dapat difahami bahwa thalaq karena Ila’
terjadi apabila suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya jika dalam masa
lebih dari 4 bulan si suami tidak memberikan kepastian apakah kembali dengan
istrinya atau menthalaq, maka menurut Hanafiyah, terjadi thalaq bain, tetapi
jika suami kembali pada istrinya dan membayar kaffarah ila’ yang disandarkan
pada Q.S Al-Maidah ayat 89 berupa menjamu makan 10 orang miskin, atau memberi
pakaian kepada 10 orang miskin, atau membebaskan budak, tidaklah terjadi
thalaq.[20]
2.
Dzihar (ظهار)
Kata dzihar berasal dari kata “dzahr” yang berarti “punggung”.[21]Maksudnya
ketika suami berkata kepada istrinya ketika enggan menyetubuhinya, “Engkau
bagiku seperti punggung ibuku, atau saudara perempuanku”, atau siapa saja
perempuan yang haram baginya karena hubungan nasab, susuan, atau karena
pernikahan. Kapan saja suami menyerupakan istrinya dengan perempuan mana saja
yang haram dinikahi, maka ia telah melakukan dzihar.[22]
Adapun
implikasi thalaq terhadap konsep dzihar apabila suami yang mendzihar istrinya
dalam jangka waktu 120 hari atau 4 bulan tidak menceraikan atau merujuk kepada
istrinya maka hakim berhak menceraikan
keduanya dan perceraian keduanya adalah thalaq bain.
Apabila
suami yang mendzihar istrinya kembali dan membayar kaffarah dzihar sebagimana
yang ditetapkan Q.S Al-Mujadalah ayat 4, kaffarah tersebut berupa:
a.
Memerdekakan
seorang budak sahaya yang beriman. Apabila ia tidak bisa melakukannya, maka is
harus
b.
Puasa
dua bulan berturut-turut, tanpa diselingi berbuka dalam satu haripun. Apabila
suami tidak mampu melakukannya, maka ia harus
c.
Memberi
makana secukupnya kepada 60 orang miskin.[23]
Jika kaffarah tsersebut telah dilaksanakan, maka tidaklah terjadi
thalaq.
3.
Nusyuz (نشوز)
Nusyuz berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti ارتفاع yang
berarti meninggi atau terangkat,[24]
membangkang.[25]
Menurut Slamet Abidin dan H. Aminudin, nusyuz berarti durhaka. Maksudnya,
seorang istri melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang dapat
diterima oleh syara’. Ia tidak menaati suaminya atau menolak diajak ke tempat
tidurnya.[26]
Dalam Kitab Fath Al-Mu’in disebutkan termasuk perbuatan nusyuz,
jika istri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami, sekalipun ia sedang
sibuk mengerjakan sesuatu.[27]
Definisi secara terminologi diatas menujukan bahwa nusyuz adalah
suatu perbuatan dari istri menentang suaminya tanpa ada penjelasan bahwa pihak
suami juga bisa melakukan tindakan nusyuz, tetapi Amir Syarifudin membagi
nusyuz menjadi dua kategori yaitu nusyuz yang dilakukan istri dan nusyuz yang
dilakukan suami.
a.
Nusyuz Istri:
Apabila
istri melakukan suatu pembangkangan, terdapat cara untuk meghilangkan nusyuz
istri berdasarkan Q.S An-Nisa: 34 yaitu dengan cara:
Pertama,
memberikan pengajaran dan peringatan terhadap mereka bahwa tindakan mereka itu
adalah salah menurut agama dan berisiko dapat menghilangkan haknya.
Kedua,
apabila istri tidak mengalami perubahan dalam sikapnya, maka suami
diperbolehkan melakukan pisah ranjang terhadapnya dalam artian tidak melakukan
hubungan suami istri dan memutuskan komunikasi dengannya. Dengan adanya hal
itu, diharapkan istri akan melakukan muhasabah dan memperbaiki akhlaqnya.
Ketiga,
apabila pisah ranjang tidak mengalami perbaikan, dan istri masih tetap dalam
keadaan nusyuz, maka suami diperbolehkan memukul istri pada bagian-bagian yang
tidak vital. Tentunya tidak menimbulkan istri luka-luka demi kebaikan sang
istri.
Keempat,
jika dengan pukulan istri masih melakukan pembangkangan, maka dalam hal ini
suami diperbolehkan untuk melakukan menempuh jalan lain berupa penjatuhan
thalaq kepada istri dan menjelaskan sebab-sebab terjadinya perceraian dihadapan
hakim.[28]
b.
Nusyuz Suami
Nusyuz
suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meniggalkan
kewajiban terhadap istrinya.
Nusyuz
suami terjadi apabila suami tidak melaksanakan kewajiban terhadap istrinya,
baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah dan meninggalkan
kewajiban yang bersifat non materi diantaranya muasyarah bil ma’ruf,
seperti berkata kasar, menggauli istri dengan cara yang buruk, meyakiti fisik
dan mental istri, dan sebagainya. Tindakan suami yang nusyuz tertera dalam Q.S
An-Nisa ayat 128.
Apabila
terjadi tindakan nusyuz terhadap suami, maka pihak istri dianjurkan untuk
melakukan shulh (perundingan) yang akan menciptakan perdamaian antara
suami dan istri agar tidak menyakiti istri secara permanen. Diantaranya dengan
kesedian istri untuk dikurangi hak materi dalam bentuk nafqah atau dalam bentuk
non materi seperti kesedian untuk memberikan giliran bermalamnya untuk suami
kepada istrinya yang lain.
Jika
nusyuz suami masih berkelanjutan, maka dapat dimungkinkan untuk meminta khulu’
(thalaq tebus) kepada suami dengan disertai iwadh (ganti rugi) yang akan
berakibat pada perceraian dimana suami tidak diperbolehkan rujuk kembali.[29]
E.
Perbedaan Fasakh dan Thalaq
Secara etimologi fasakh ialah seperti yang dikemukakan oleh Al-Abu
Luwi Ma’lufi:
الفسخ هو نقض
الامر او العقد
“Fasakh
adalah merusakkan pekerjaan atau aqad”[30]
Menurut terminologi Fasakh berarti:
فسخ العقد نقضه
و حل الربطة التي تربط بين الزوجين
“Fasakh aqad (perkawinan) adalah membatalkan aqad perkawinan dan
memutuskan tali perhubungan yang mengikat tali penghubungan yang mengikat
antara suami istri”[31]
Dalam KHI fasakh disebut sebagai batalnya perkawinan yang diatur
dalam pasal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 37, 38, 73, 74, 75, dan pasal 76.
Secara sepintas fasakh mirip dengan thalaq karena sama-sama
berimplikasi pada putusnya hubungan kekeluargaan antara suami-istri, namun
sebenarnya terdapat beberapa hal yang mendasar pada keduanya. Adapun perbedaan
tersebut adalah:
a.
Fasakh
tidak mengurangi jatah jumlah thalaq, seandainya fasakh satu kali lalu akad
lagi, fasakh lagi kedua kalinya dan seterusnya maka ia tidak akan mendapati
haram kubra. Berbeda jika ia menthalaq sampai tiga kali maka ia akan mendapati haram
kubra dan tidak bisa halal kecuali dengan perantaraan muhallil.”
b.
Fasakh ketika dilakukan sebelum disetubuhi
tidak berdampak apapun. Berbeda dengan thalaq yang berakibat hukum separuh
mahar.
c.
Fasakh ketika dilakukan setelah disetubuhi
dikarenakan dijumpainya aib akan berdampak kewajiban mahar mitsli. Berbeda
dengan thalaq yang berakibat mahar musamma.[32]
d.
Fasakh ketika dilakukan bersamaan dengan
akad maka tidak ada hak nafkah untuk pihak wanita meskipun sedang hamil.
Berbeda dengan thalaq yang mewajibkan nafkah. Adapun hak tempat tinggal maka
wajib adanya entah pada fasakh maupun thalaq ketika dilakukan setelah
disetubuhi.
e.
Berdasarkan
konsep fiqh klasik, proses penjatuhan thalaq tidak harus diadakan di
pengadilan, sedangkan fasakh harus diadakan di pengadilan.[33]
f.
Thalaq
terjadi atas inisiatif suami, sedangkan fasakh terjadi atas inisiatif pihak
ketiga yaitu hakim.[34]
g.
Thalaq
terjadi karena sudah tidak dimungkinkan lagi tercipta kerukunan antara suami
dan istri,[35]
sedangkan fasakh terjadi karena terdapat sesuatu yang dapat merusak aqad
perkawinan mungkin karena syarat dan rukun tidak terpenuhi pada saat aqad atau
mungkin pula ada perbuatan yang diharamkan oleh agama.[36]
F.
Khulu’ Termasuk Fasakh atau Thalaq?
Khulu’ berasal dari kata “khul’ Al-Tsawb” yang berarti melepaskan
atau mengganti pakaian dari badan (pakaian yang dipakai), karena perempuan
merupakan pakaian bagi laki-laki, dan sebaliknya, sebagaimana yang dinyatakan
dalam Q.S Al-Baqarah: 187[37]
“Mereka
itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”
Secara istilah khulu’ adalah suami berpisah dengan
istrinya dengan memberikan ganti rugi kepadanya dan menggunakan lafadz-lafadz
khusus.[38]
Menurut KHI pasal 1 ayat (I) mendefinisikan khulu
sebagai berikut:
“Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan
istri dengan memberikan tebus atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.”
Terdapat perbedaan pendapat mengenai khulu’ apakah
sebagai thalaq ataukah sebagai fasakh.
Pendapat yang menyatakan bahwa kuhlu’ adalah adalah
thalaq dikemukakan oleh Said bin al-Musayab, al-Hasan, ‘Atha’, Qubaishah,
Syureih, Mujahid, al-Nakhaiy, al-Sya’biy, Malik, al-Awzaiy’, al-Tsaury,
Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa perceraian dengan
khulu’ itu adalah thalaq dan diucapkan oleh suami, meskipun atas permintaan
istri dengan memberikan iwadh.[39]
Sementara pendapat yang menyatakan bahwa khulu’ itu adalah fasakh
dikemukakan Ahmad bin Hanbal, Dawud ad-Dahiri, Thawus, Ikrimah, Ishaq, Abu
Tsaur, Imam Syafii dan dari kalangan sahabat seperti: Abu Bakar, Utsman bin
Affan, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar.
Menurut
Ibnul Qayim ada tiga lasan yang menunjukkan khulu’ itu bukan thalaq:
Pertama, dalam thalaq,
suami berhak merujuk istrinya, sementara dalam khulu’ suami tidak boleh merujuk
istrinya.
Kedua, Jika suami
menjatuhkan thalaq yang ketiga kalinya ia tidak boleh kembali pada istrinya,
kecuali setelah istri nikah dengan laki-laki lain. Menurut nash bahwa khulu’
boleh dilakukan setelah thalaq yang kedua kali dan sesudah itu masih bisa
menjatuhkan thalaq yang ketiga. Dengan demikian khulu’ bukanlah thalaq.
Ketiga, iddah thalaq
itu tiga kali quru’, sementara iddah khulu’ adalah satu kali haid.[40]
Lebih
lanjut, Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan bahwa ayat tentang khulu’ bersamaan
datangnya dengan ayat tentang thalaq dua kali dan kemudian disusul dengan
perceraian. Bila khulu’ diartikan dengan thalaq perceraiannya menjadi empat
kali. Hal itu tidaklah mungkin.[41]
Sangat
jelas bahwa khulu’ itu adalah fasakh bukan thalaq karena pendapat yang
menyatakan bahwa khulu’ adalah fasakh itu lebih rajih dari pada khulu’ adalah
thalaq.
Adanya
perbedaan diatas yang cukup kontras
antara khulu’ dan thalaq membawa akibat hukum yang berbeda, misalnya
akibat hukum dalam hal berapa kali boleh dilakukan khulu’. Atas dasar pendapat
yang mengatakan bahwa khulu’ itu adalah fasakh, boleh melakukan khulu’ berapa
kalipun tanpa memerlukan muhallil. Sedangkan menurut pendapat yang menyatakan
khulu, itu adalah thalaq, khulu’ tidak boleh lebih dari tiga kali. Bila suami
yang melakukan khulu’ sebanyak tiga kali, ia baru dapat kembali pada istrinya
itu setelah adanya muhallil sebagaimana yang berlaku dalam thalaq.[42]
G.
Rekonstruksi dalam Hukum Perceraian Islam
Sesuai dengan majunya perkembangan zaman, konsep perceraian bisa
berubah karena adanya perbedaan konteks dan budaya. Masalah perceraian
merupakan permasalahan yang bersifat dzanni bukan qath’i sehingga dimungkinkan
untuk mengalami perubahan.
Dapat diketahui bahwa dalam al-Quran dan al-Hadist terdapat
nash yang bersifat normatif-universal dan praktis temporal. Maksud dari nash
normatif universal adalah nash yang memuat prinsip-prinsip atau nash yang
memuat aturan yang bersifat umum, yang dalam aplikasinya perlu diformatkan
dalam bentuk nash praktis-temporal. Adapun nash praktis-temporal, sebagian
orang menyebutnya sebagai nash kontekstual, adalah nash yang turun (diwahyukan)
untuk menjawab secara langsung (respon) terhadap persoalan-persoalan yang
dihadapi masyarakat muslim Arab pada saat masa pewahyuan. Pada kelompok ini
islam dapat menjadi fenomena sosial atau islam aplikatif atau islam praktis.
Dengan ungkapan lain, sebagian dari syariat islam (teks nash) adalah ajaran
yang berlaku sepanjang masa (nash prinsip atau normatif-universal), misalnya
syariat tentang shalat, zakat, puasa, dan haji. Adapun sebagian lain yang
merupakan respon terhadap fenomena sosial Arab di masa pewahyuan. Nash
praktis-temporal ini dapat pula disebut nash normatif yang sudah diformatkan/dipraktiskan
di zaman Nabi Muhammad SAW. Misalnya konsep tentang thalaq, ruju’, fasakh,
iddah, dan sebagainya.[43]
Adapun ciri dari nash normatif-universal adalah mempunyai
sifat:
a.
Universal,
b.
Prinsip,
c.
Fundamental,
d.
Tidak
terikat dengan konteks; konteks wahyu, tempat, situasi dan semacamnya.[44]
Sementara
ciri nash praktis-temporal mempunyai sifat:
a.
Detail,
b.
Rinci,
c.
Bersifat
terapan,
d.
Terikat
dengan konteks; konteks ruang, waktu, kondisi, dan budaya.[45]
Dengan maksud
yang sama, tapi diungkapkan dalam bahasa yang berbeda Nasr Hamid Abu Zaid
membagi nash menjadi dua yaitu pertama,
text asli sumber ajaran islam berupa al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad
SAW. Kedua, islam pada level praktek yang dilakukan kaum Muslim dalam berbagai
macam latar belakang, sosial, budaya, dan tradisi.[46]
Dengan adanya
pembagian nash diatas dapat difahami bahwa tidak semua nash baik yang ada pada
al-Quran dan as-Sunnah harus diterapkan secara tekstual begitu saja tanpa
melihat latar belakang kondisi sosial dan budaya. Pada dasarnya memang ada ayat
yang harus diterapkan secara tekstual dan berlaku secara universal tanpa
terikat dengan perubahan zaman dan tempat, seperti yang telah dikemukakan
diatas, tetapi tidak dipungkiri pula bahwa terdapat beberapa ayat yang perlu
direinterpretasi agar dapat mengikuti perkembangan zaman dan tempat, terutama
dalam bidang muammalah duniawiyah yang bersifat dinamis, karena sifat itulah
sehingga umat islam selalalu merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah tanpa harus
sibuk mencari hukum dan aturan lain yang berasal dari agama yang berbeda.
BAB III
PENUTUP
Sebagaiamana yang telah dipaparkan diatas, bahwa hukum-hukum dalam
masalah perkawinan umumnya merupakan hasil ijtihad yang bisa direkonstruksi
sesuai dengan kebutuhan manusia.
Sebagai contoh dalam permasalahan ini adalah jumlah bilangan dalam
menjatuhkan thalaq. Pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khalifah Abu Bakar, ketika
ada seseorang yang menjatuhkan bilangan thalaq sekaligus tiga dalam satu waktu,
maka thalaq tersebut sudah dianggap thalaq yang ketiga. Lain halnya pada saat
Umar bin Khatab menjadi khalifah, beliau menetapkan bahwa bilangan thalaq yang
dijatuhkan seseorang tiga kali sekaligus, maka thalaqnya dianggap satu.
Adanya perbedaan jumlah thalaq pada masa Nabi dan Umar menandakan
bahwa hukum itu berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Sebagaimana
yang termaktub dalam qaidah fiqih ”تغير الاحكام بتغير
الازمنة والاكنة “. Oleh karena
itu dimungkinkan dalam masalah hukum perkawinan lain seperti masalah wali,
mahar, iddah bagi wanita yang ditinggal
mati suami atau karena dicerai, dan sebagainya mengalami perubahan yang sangat
berbeda dengan konsep fiqih yang sebelumnya.
Pada intinya, dalam melaksanakan hukum muammalah duniawiyah tidak
harus mengambil bentuk yang mirip sebagaimana yang terjadi di Arab, namun yang
terpenting adalah bagaimana caranya mengambil semangat suatu dalil dalam
melakukan proses ijtihad dari waktu ke waktu agar tercipta kemaslahatan bagi
para manusia yang hidup di bumi-Nya ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mun’im Salim, Amru, Fikih
Thalak: Berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2005)
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan, Ringkasan
Fikih Lengkap, Terj. Asmuni, (Jakarta: PT Darul Falah, 2008)
Al-Jarjawi, Syaikh Ali
Ahmad, Indahnya Syariat Islam, Terj. Faisal Saleh, (Jakarta: Gema
Insani, 2006)
Firdaweri, Hukum Islam Tentang
Fasakh Perkawinan: Karena Ketidak-Mampuan Suami Menunaikan Kewajibannya,
(Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989)
Hadikusuma, Hilman, Pengantar
Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003)
Kompilasi Hukum Islam
M. Tihami, A, dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2010)
Nasution, Khoiruddin, Hukum
Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer,
(Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2005)
Nasution, Khoiruddin, Pengantar
dan Pemikiran: Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta:
ACAdeMIA + TAZZAFA, 2007)
Nasution, Khoiruddin, Pengantar
Studi Islam, (Yogykarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009)
Rahman Doi, A, Karakteristik
Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam,
(Jakarta: Attahiriyah, 1954)
Supriatna, Fatma Amilia, dan Yasin
Baidi, Fiqh Munakahat II: Dilengkapi dengan UU No. 1/1974 dan Kompilasi
Hukum Islam, (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2008)
Syarifudin, Amir, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006)
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974
[1] Supriatna,
Fatma Amilia, dan Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II: Dilengkapi dengan UU No.
1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2008)., hlm
19
[2] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara
Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006)., hlm
198
[8] Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan
UU Negara Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2005)., hlm 18
[12] Amru Abdul Mun’im Salim, Fikih Thalak: Berdasarkan Al-Quran dan
Sunnah, (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2005)., hlm 116
[16] Syaikh Ali Ahmad
Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, Terj. Faisal Saleh, (Jakarta: Gema
Insani, 2006)., hlm 353-354
[18] Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Ringkasan Fikih Lengkap, Terj.
Asmuni, (Jakarta: PT Darul Falah, 2008)., hlm 904
[21] A. Rahman Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)., hlm 334
[25] M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih
Nikah Lengkap, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2010)., hlm 185
[30] Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan: Karena
Ketidak-Mampuan Suami Menunaikan Kewajibannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu
Jaya, 1989)., hlm 52
[32] http://www.piss-ktb.com/2012/04/1459-perbedaan-fasakh-nikah-dengan.html diakses pada tangga l 8 November 2012 pada pukul 12.01 WIB
[43] Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran: Hukum Keluarga (Perdata)
Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2007)., hlm 112-113
[46] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam,
(Yogykarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009)., hlm 19