Iddah dan Thalaq
IDDAH
وَعَنْ اُمُّ سَلَمَةَ
عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ اَلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: المُتَوَفَّى فِى
عَنْهَا زَوْجُهَا, لَا تَلْبَسُ المُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ, وَلَا المَمْشَقَةَ,
وَلَا الحُلِّى, وَلَا تَخْتَضِبُ , وَلَا تَكْتَحِلُ. (رواه احمد و ابو داود و النسائى
Nabi SAW bersabda: “wanita yang suaminya meninggal tidak boleh memakai
pakaian(kain yang dicelup) dengan celupan kunin, tidak boleh pula memakai
pakaian yang dicelub dengan tanah yang berwarna merah dan tidak boleh memakai
perhiasan emas, tidak boleh memakai inai dan tidak boleh memakai celak”. HR
Ahmad , Abu Daud dan An Nisaa’i.
Hukum
yang berkaitan dengan wanita yang ditinggal mati suaminya adalah :
1. Ia harus tetap tinggal di rumahnya di mana suaminya meninggal, tidak
keluar dari rumah kecuali karena ada suatu urusan dan kepentingan yang
mendesak; seperti, berobat ke dokter ketika sakit, membeli kebutuhan rumah
tangganya seperti makanan dan semacamnya bila ia tidak menemukan orang lain
yang melakukan itu, hingga ia melahirkan bila ia tengah mengandung atau
menyempurnakan 4 bulan 10 hari masa iddah-nya kalau ia tidak dalam keadaan
hamil. Adapun kalau talak atau perceraian jatuh pada saat dia tidak berada di
rumah suaminya, maka begitu mendengar dia diceraikan, langsung ia wajib kembali
ke rumah suaminya. Sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam surat Ath-thalaq ayat 1,
yang artinya berbunyi ;
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan
isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar)[1481] dan hitunglah waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang[1482]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya
Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui
barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru[1483].”
[1481]
Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri.
tentang masa iddah Lihat surat Al Baqarah ayat 228, 234 dan surat Ath Thalaaq
ayat 4.
[1482]
Yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini ialah mengerjakan
perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar,
besan dan sebagainya.
[1483] Suatu hal yang baru Maksudnya ialah keinginan dari suami untuk rujuk
kembali apabila talaqnya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.
2.
Menghindari penggunaan pakaian yang indah (dan menarik perhatian) dan
menggunakan pakaian yang selain itu.
3. Menghindari penggunaan wangi-wangian, kecuali bila ia telah bersih dari
haid atau nifas, maka ia boleh menggunakan asap kayu bakhur (yang mengandung
aroma harum) atau wangi-wangian lain.
4. Menghindari
penggunaan perhiasan emas, perak dan berbagai macam bentuk perhiasan lainnya,
baik itu berbentuk cincin, kalung dan sebagainya.
5.
Menghindari pewarna rambut dan celak; karena Rasulullah Shollallahu ‘Alahi wa
Sallam melarang wanita yang ditinggal mati suaminya menggunakan benda-benda
tersebut.
Ia boleh mandi
dengan air, sabun dan daun bidara bila ia mau. Iapun boleh berbicara dengan
siapa saja yang ia kehendaki dari kaum kerabatnya atau orang lain.Ia juga boleh
duduk bersama muhrimnya, menyuguhkan kopi, makanan dan sebagainya.
Ia juga boleh bekerja di rumah, di kebun rumah atau atapnya (khususnya
untuk rumah-rumah model orang Saudi) siang dan malam pada segala bentuk-bentuk
pekerjaan rumah, seperti memasak, menjahit, menyapu rumah, mencuci pakaian,
memerah susu ternak dan berbagai macam pekerjaan yang biasa dilakukan oleh
wanita-wanita lain. Iapun boleh berjalan di waktu malam dengan wajah terbuka
sebagaimana wanita lainnya.
Dan
ia juga dapat menggunakan cadar (hanya menampakkan kedua mata) bila tidak ada
orang lain di sisinya kecuali muhrimnya.
THALAQ
وَفِي لَفْظٍ لِأَحْمَدَ
: ( طَلَّقَ أَبُو رُكَانَةَ اِمْرَأَتَهُ فِي مَجْلِسٍ وَاحِدٍ ثَلَاثًا , فَحَزِنَ
عَلَيْهَا , فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنَّهَا وَاحِدَةٌ
) وَفِي سَنَدِهَا اِبْنُ إِسْحَاقَ , وَفِيهِ
مَقَالٌ
وَقَدْ رَوَى أَبُو
دَاوُدَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ أَحْسَنَ مِنْهُ : ( أَنَّ رُكَانَةَ طَلَّقَ اِمْرَأَتَهُ
سُهَيْمَةَ اَلْبَتَّةَ , فَقَالَ : وَاَللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِهَا إِلَّا وَاحِدَةً,
فَرَدَّهَا إِلَيْهِ اَلنَّبِيُّ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ )
Dalam
suatu lafadz riwayat Ahmad: Abu Rakanah menceraikan istrinya dalam satu tempat
tiga talak, lalu ia kasihan padanya. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda kepadanya: "Yang demikian itu satu talak." Dalam dua
sanadnya ada Ibnu Ishaq yang masih dipertentangkan.
Abu
Dawud meriwayatkan dari jalan lain yang lebih baik dari hadits tersebut: Bahwa
Rakanah menceraikan istrinya, Suhaimah, dengan talak putus (talak tiga). Lalu
berkata: Demi Allah, aku tidak memaksudkannya kecuali satu talak. Maka Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengembalikan istrinya kepadanya.
Kualitas Hadits
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hadits ini; ada yang menilainya shahih dan
menjadikannya sebagai hujjah dan ada pula yang menilainya lemah (Dla’if) dan
berhujjah dengan hadits yang bertentangan dengannya. Dari perbedaan ini timbul
perbedaan para ulama mengenai hukum masalah yang ada di dalam hadits ini.
Bagi para ulama yang menilainya shahih, mereka berargumentasi: Abu Daud
berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dari hadits Ibn Juraij
yang didalamnya berbunyi, ‘Sesungguhnya Rukanah telah menalak isterinya dengan
talak tiga (sekaligus).’”
Ibn
Majah berkata, “Aku mendengar ath-Thanaafisi berkata, ‘Alangkah mulianya hadits
ini.’ Ini menjelaskan betapa sanadnya begitu mulia dan banyak faedahnya.”
Sementara
para ulama yang menilainya lemah, termasuk di antaranya Ibn al-Qayyim
berargumentasi: hadits tersebut dinilai lemah oleh Imam Ahmad. Syaikh kami
(maksudnya, Ibn Taimiyyah-red) berkata, ‘Para ulama tokoh dan besar yang sangat
mengenali ‘illat-‘illat hadits seperti Imam Ahmad, al-Bukhary, Ibn ‘Uyainah dan
ulama lainnya menilai lemah hadits Rukanah tersebut. Demikian juga, Ibn Hazm.
Mereka mengetakan, ‘Para periwayatnya adalah sekelompok orang yang masih anonim
(tidak diketahui), tidak dikenal keadilan dan kekuatan hafalan mereka. Imam Ahmad
berkata, ‘Hadits Rukanah tidak valid.’”
Imam
at-Turmudzy berkata, “Hadits ini tidak dikenal kecuali dari jalur ini saja. Aku
pernah menanyakan kepada al-Bukhari mengenainya, maka ia berkata, ‘Itu hadits
Muththarib.’ (bagian dari hadits Dla’if/lemah-red).
Syaikh
al-Albani berkata, “Alhasil, hadits tersebut Dla’if sedangkan hadits Ibn ‘Abbas
lainnya yang bertentangan dengan makna hadits tersebut lebih kuat darinya,
wallahu a’lam.”
Tarjamah
(Biografi) Singkat Abu Rukanah Dan Ummu Rukanah
Sesuai dengan yang dikenal dalam buku-buku Taraajum, buku hadits dan
lainnya, bahwa Abu Rukanah adalah Rukanah bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin
la-Muththalib, al-Qurasyi al-Muththalibi.
Syaikh al-Bassam, pengarang buku syarah Bulughul Maram yang kita bahas ini
mengomentari: “Demikian tertera namanya (Abu Rukanah) seperti yang saya
dapatkan di dalam kitab Bulughul Maram…Saya juga merujuk beberapa kitab induk,
termasuk di antaranya kitab al-Ishabah karya pengarang sendiri (yakni pengarang
bulugh al-Maram, Ibn Hajar-red), saya hanya menemukan kata ‘Rukanah’ (tanpa
Abu-red). Menurut saya adanya tambahan “Abu” ini hanya kerjaan Nussaakh (para
penyalin tulisan dari teks asli ke buku berikutnya, dalam istilah sekarang:
tukang Copy –red)
Sedangkan Suhaimah adalah Suhaimah binti ‘Umair al-Muzainah dari Bani
Muzainah, sebuah kabilah Mudlar, sekarang bersekutu dengan kabilah Harb dan
mendiami bagian barat kawasan al-Qashim (Arab Saudi-red).
PESAN-PESAN HADITS
1. Hadits pertama menginformasikan bahwa tiga kali talak dengan satu kalimat
(lafazh) tidak dihitung (dinilai) selain sebagai satu kali talak saja; jika ia
bukan merupakan talak yang ketiga (terakhir), maka masih boleh rujuk. Hadits
ini merupakan rujukan inti bagi pendapat yang mengatakan demikian.
2. Hadits ke-dua menunjukkan bahwa tiga kali talak yang tidak diiringi
rujuk dan nikah (langsung talak tiga sekaligus-red), maka ia merupakan talak
bid’ah yang diharamkan.
3.
Bahwa bermain-main dengan hukum-hukum Allah dan melanggar aturan-Nya termasuk
dosa besar sebab Nabi SAW tidak marah kecuali terhadap kemaksiatan yang besar.
4.
Bermain-main dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya adalah haram sekali pun
dilakukan sepeninggal Rasulullah SAW. Beliau mengucapkan kata-kata seperti itu
tidak lain karena merasa aneh dengan sangat cepatnya perubahan yang melanda
berbagai perkara.
5. Indikasi dua riwayat Abu Daud dan Ahmad pada hadits ketiga adalah sama
dengan hadits pertama dari sisi penilaian bahwa tiga kali talak itu terhitung
satu kali talak saja dan bahwa seorang suami yang menalak isterinya boleh rujuk
kepada isterinya selama talak itu bukan merupakan akhir dari angka talak yang
masih dimilikinya (talak ini bukan terhitung yang ketiga kalinya dari talak
yang pernah dilakukannya).
6. Sementara riwayat kedua dari Abu Daud di atas menunjukkan bahwa talak
tiga sekaligus berlaku sesuai dengan niat orang yang menalak; jika ia meniatkan
tiga, maka ia jadi tiga dan jika ia meniatkan hanya satu, maka ia jadi satu,
yang memungkinkan untuk rujuk.
7. Riwayat talak tiga sekaligus dalam hadits Rukanah merupakan dalil Jumhur
bahwa tiga talak itu merupakan ucapan talak Ba’in Bainuunah Kubro yang tidak
bisa lagi dirujuk kecuali setelah si isteri yang ditalak itu menikah lagi
dengan laki-laki lain (lalu bercerai lagi-red.).
Perbedaan
Pendapat Para Ulama
Para
ulama berbeda pendapat mengenai orang yang menalak dengan talak tiga sekaligus
atau mengucapkannya dengan tanpa diselingi rujuk dan nikah.
Artinya, apakah talak tiga itu harus dikomitmeninya sehingga isterinya
menjadi tidak halal lagi baginya kecuali setelah ia menikah lagi dengan
laki-laki lain (lalu bercerai) dan menjalani masa ‘iddah darinya? Atau kah ia
hanya terhitung satu kali talak saja sehingga ia boleh rujuk dengan isterinya
selama masih dalam ‘iddah, lalu setelah ‘iddah ia melakukan ‘aqad baru sekali
pun isterinya tersebut belum lagi menikah dengan laki-laki lain.?
Masalah ini menjadi ajang perdebatan panjang para ulama, bahkan gara-gara
mengatakan boleh rujuk (dengan talak tiga sekaligus karena mengganggapnya
terhitung satu kali talak-red) ada beberapa ulama yang disiksa, di antaranya
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya.
Ringkasan
Dari Perselisihan Dan Perdebatan Panjang Itu Adalah:
1. Jumhur Ulama, di antaranya empat imam madzhab, jumhur shahabat dan
tabi’in berpendapat bahwa tiga talak dengan satu kata (lafazh) adalah berlaku
bila seorang suami berkata, “Kamu saya talak (tiga kali)!” dan semisalnya atau
dengan beberapa kata (kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya
talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak) sekali pun sebelumnya belum
terjadi rujuk dan nikah.
Dalil
a. Hadits Rukanah bin ‘Abdullah bahwasanya ia telah menalak isterinya
secara pasti (talak tiga sekaligus), lalu ia memberitahukan hal itu kepada Nabi
SAW, lantas beliau berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya
satu kali saja.?”
Hadits
ini dikeluarkan oleh asy-Syafi’i, Abu Daud, at-Turmudzy, Ibn Hibban (dia
menilainya shahih) dan al-Hakim.
Sisi Pendalilan
Di dalam hadits tersebut, Rasulullah meminta
kepada suami yang menceraikan itu agar bersumpah bahwa ia tidak menginginkan
dari ucapannya “putus” (talak tiga) tersebut kecuali hanya satu kali saja. Ini
menandakan bahwa seandainya ia (suami) menghendaki lebih banyak dari itu (lebih
dari satu kali) niscaya terjadilah apa yang diinginkannya.
b.
Amalan para shahabat, di antaranya ‘Umar bin al-Khaththab RA yang menilai talak
tiga dalam satu kata (lafazh) berlaku tiga seperti yang diucapkan suami yang
menalak. Tentunya, mereka cukup sebagai panutan.
Selain
dalil di atas, masih banyak lagi dalil yang dikemukakan pendapat ini namun apa
yang kami sebutkan tersebut merupakan dalil yang lebih jelas dan secara
terang-terangan.
2. Sekelompok ulama berpendapat tiga talak dalam satu kata (lafazh), atau
tiga talak dalam beberapa kata yang tidak diiringi rujuk dan nikah, tidak jatuh
kecuali hanya satu kali saja (satu talak). Pendapat ini
didukung oleh riwayat dari beberapa shahabat, tabi’in dan para tokoh madzhab.
Dari kalangan shahabat terdapat Abu Musa al-Asy’ari, Ibnu ‘Abbas, Ibn Mas’ud,
‘Ali, ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan az-Zubair bin al-‘Awwam. Dari kalangan tabi’in
terdapat Thawus, ‘Atha’, Jabir bin Zaid dan mayoritas pengikut Ibn ‘Abbas,
Abdullah bin Musa dan Muhammad bin Ishaq. Dan dari kalangan para tokoh madzhab
terdapat Daud azh-Zhahiri dan kebanyakan sahabatnya, sebagian sahabat Abu
Hanifah, sebagian sahabat Imam Malik, sebagian sahabat Imam Ahmad seperti
al-Majd bin ‘Abdussalam bin Taimiyyah yang memfatwakan hal itu secara
sembunyi-sembunyi dan cucunya, Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah yang
memfatwakannya secara terang-terangan dengan memfatwakannya di majlis-majlisnya
serta kebanyakan pengikutnya, di antaranya Ibn al-Qayyim yang membela
mati-matian pendapat ini di dalam kitabnya al-Hadyu dan Ighaatsah al-Lahafaan.
Di dalam kedua kitabnya tersebut, beliau memaparkannya secara panjang lebar,
menukil berbagai nash-nash dan membantah pendapat para penentangnya dengan
bantahan yang cukup dan memuaskan.
Dalil
pendapat ini terdiri dari nash-nash dan qiyas.
Dari nash, di antaranya:
Hadits yang diriwayatkan Muslim, bahwasanya Abu ash-Shahba’ berkata kepada
Ibn ‘Abbas, “Tahukah kamu bahwa yang tiga itu dulu dijadikan satu talak saja
pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan permulaan masa ‘Umar.? Ia
menjawab, “Ya.” Di dalam lafazh yang lain, “dikembalikan kepada satu talak.?”,
ia mejawab, “Ya.”
Ini merupakan
nash yang shahih dan sangat jelas sekali, tidak bisa ditakwil-takwil atau pun
dirubah.
Sedangkan dari Qiyas:
Mengumpulkan tiga sekaligus adalah diharamkan dan merupakan bid’ah sebab
Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (dalam agama) yang
bukan berasal dari kami, maka ia tertolak.” Jadi,
menjatuhkan (talak) tiga sekaligus bukan termasuk perkara yang berasal dari
Rasulullah SAW sehingga ia tertolak.
Bantahan
Terhadap Pendapat Pertama
Pendapat
ke-dua ini membantah dalil-dalil pendapat pertama sbb:
Mengenai
hadits Rukanah; di dalam sebagian lafazhnya terdapat, “Ia menalaknya tiga
kali.” Dan di dalam lafazh yang lain, “Satu kali.” Sementara di dalam riwayat
lain lagi terdapat lafazh, “al-Battah.” (putus). Oleh karena itu, al-Bukhari
berkata mengenainya, “Ia hadits Muththarib.” (merupakan jenis hadits
Dla’if/lemah-red)
Imam
Ahmad mengatakan, “semua jalur periwayatannya lemah. Sebagian mereka (ulama)
mengatakan, di dalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak dikenal (majhul),
di dalamnya terdapat orang yang lemah dan ditinggalkan (periwayatannya tidak
digubris).”
Syaikhul
Islam, Ibn Taimiyyah berkata, “Kualitas hadits Rukanah menurut para imam
hadits, lemah. Dinilai lemah oleh Ahmad, al-Bukhari, Abu ‘Ubaid dan Ibn Hazm
sebab para periwayatnya bukanlah orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang
yang adil dan kuat hafalannya (Dhabith).”
Sedangkan hadits ‘Aisyah RHA tidak tepat untuk dijadikan dasar berdalil
sebab bisa jadi yang dimaksud dengan tiga tersebut adalah urutan terakhir bagi
seorang suami yang manalak, dari tiga talak yang dimilikinya. Manakala
ada kemungkinan seperti itu, maka berdalil dengannya pun menjadi batal. Hadits
itu masih bersifat global (mujmal) sehingga dapat diarahkan kepada hadits Ibn
‘Abbas yang sudah dijelaskan (mubayyan) sebagaimana yang berlaku dalam ilmu
ushul fiqih.
Adapun
berdalil dengan amalan para shahabat, maka perlu dipertanyakan; siapa di antara
mereka yang patut dan lebih utama untuk diikuti?
Kami
katakan: bahwa jumlah mereka itu (para shahabat) lebih dari ratusan ribu.
Bilangan orang yang banyak ini di mana orang nomor satu mereka adalah nabi
mereka sendiri, yakni Rasulullah SAW menilai tiga talak tersebut sebagai jatuh
satu kali. Hingga akhir hayat Rasulullah, kondisinya tetap seperti itu;
khalifah beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq RA memberlakukan hal itu hingga wafat,
lalu ia digantikan khalifah ‘Umar RA. Di awal pemerintahannya, kondisi tersebut
pun masih berlaku sebagai yang berlaku pada masa Rasulullah SAW. Setelah itu
lah baru tiga talak itu dijadikan tiga seperti angkanya sebagaimana telah kami
jelaskan sebabnya.
Jadi,
mayoritas shahabat yang wafat sebelum kekhalifahan ‘Umar tetap menjalankan dan
memberlakukan tiga talak itu dianggap satu kali saja.
Dengan
begitu, kita ketahui bahwa berdalil dengan amalan para shahabat RA telah
dibatalkan dengan semi ijma’ mereka (para shahabat) pada masa Abu Bakar
ash-Shiddiq RA.
Tentunya,
‘Umar bin al-Khaththab amat jauh dari melakukan suatu amalan yang bertentangan
dengan amalan yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Yang ia lakukan,
bahwa ia melihat banyak orang yang terburu-buru dan sering sekali melakukan
talak tiga padahal ini merupakan perbuatan bid’ah yang diharamkan. Karena itu,
ia melihat perlunya memberikan pelajaran atas ucapan mereka tersebut sekaligus
sebagai sanksi atas dosa yang mereka lakukan. Demikian pula, atas tindakan
mereka yang sengaja ingin menyulitkan diri sendiri padahal sudah mendapat
kelapangan dan toleransi yang tinggi. Apa yang dilakukan ‘Umar ini semata
adalah sebuah ijtihad layaknya ijtihad yang dilakukan para ulama tokoh di mana
bisa berbeda seiring dengan perbedaan zaman dan tidak akan tetap sebagai sebuah
produk syari’at yang mengikat, yang tidak dapat berubah. Yang tetap dan
mengikat itu hanya syari’at pokok dari masalah ini (masalah talak-red).
Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah RAH berkata, “Jika ia (suami) menalaknya
(isterinya) dengan talak tiga dalam masa suci baik satu kata atau beberapa kata
seperti ‘Kamu ditalak, kamu ditalak, kamu ditalak’ atau ‘kamu ditalak’ kemudian
berkata lagi, ‘kamu ditalak’, kemudian berkata lagi, ‘kamu ditalak’, menurut
para ulama baik Salaf mau pun khalaf terdapat tiga pendapat dalam hal ini, baik
wanita yang ditalak itu sudah disetubuhi mau pun belum:
Pertama, Bahwa hal itu merupakan talak yang dibolehkan dan mengikat; ini
adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat lamanya (dipilih oleh
al-Kharqy)
Ke-dua, Bahwa hal itu merupakan talak yang diharamkan dan mengikat; ini
adalah pendapat Malik, Abu Hanifah dan Ahmad (yang dipilih oleh kebanyakan
sahabatnya). Pendapat ini juga dinukil dari kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf
dari kalangan para shahabat dan Tabi’in.
Ke-tiga, Bahwa ia merupakan talak yang diharamkan dan hanya berlaku satu
kali talak saja; ini pendapat yang dinukil dari sekelompok ulama Salaf dan
Khalaf dari kalangan para shahabat. Pendapat ini juga diambil kebanyakan
Tabi’in dan generasi setelah mereka. Juga, merupakan pendapat sebagian sahabat
Abu Hanifah, Malik dan Ahmad.
Tarjih
Pendapat
ke-tiga inilah yang didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Di
dalam Kitabullah atau pun as-Sunnah tidak terdapat hal yang mengharuskan
berlakunya talak tiga bagi orang yang menjatuhkannya sekaligus baik dalam satu
kata atau beberapa kata tanpa diiringi dengan rujuk atau pun akad.
Bahkan,
di dalam Kitabullah dan as-Sunnah keharusan itu hanya berlaku bagi suami yang
menalak hal yang dibolehkan Allah dan Rasul-Nya. Ini didukung oleh Qiyas dan
penilaian dengan seluruh prinsip-prinsip syari’at.
Tidak terjadi pertentangan di kalangan kaum Muslimin bahwa Rasulullah SAW
adalah orang yang terjaga dari kesalahan (ma’shum) dalam apa yang
disampaikannya dari Allah (wahyu). Beliau ma’shum dalam hal yang
disyari’atkannya kepada umatnya menurut ijma’ kaum Muslimin. Demikian pula,
umat Islam terjaga dari berkumpul di dalam kesesatan.
Ada
pun masalah ‘bersumpah dengan talak’, Ibn Taimiyyah berkata, “Perbedaan antara
talak dan bersumpah dengannya amat kentara, juga antara nadzar dan bersumpah
dengan nadzar. Bila seseorang meminta hajat kepada Allah seraya berkata, ‘Jika
Allah menyembuhkan penyakitku, melunasi hutangku atau menyelamatkanku dari
kesulitan ini, maka aku bersumpah demi Allah akan bersedekah sebanyak seribu
dirham, atau berpuasa selama sebulan atau membebaskan budak.’ Ini adalah
mengaitkan nadzar (mensyaratkannya) di mana wajib menepatinya berdasarkan
Kitabullah, as-Sunnah dan Ijma’.
Bila seseorang mengaitkan (mensyaratkan) nadzar dalam redaksi sumpah,
dengan tujuan untuk menganjurkan atau melarang, seperti “Jika aku bepergian
bersama kalian, atau jika aku mengawini si fulan, maka aku akan berhaji, atau
hartaku akan aku sedekahkan’; kondisi orang tersebut menurut para shahabat dan
jumhur ulama adalah sebagai seorang yang bersumpah dengan nadzar bukan hanya
sebagai orang yang bernadzar. Bila ia tidak menepati apa yang telah dikomitmeninya, maka boleh ia
menggantikannya dengan kafarat (tebusan) sumpah. WALLAHU A’LAM
KEPUTUSAN
MAJELIS KIBAR ULAMA (DEWAN ULAMA-ULAMA BESAR)
Mengenai
Masalah Talak Tiga Sekaligus (Dengan satu lafazh)
No.18, tanggal
12-11-1393 H
Majelis
Hai’ah Kibar ulama mengatakan: Pembahasan masalah talak tiga dengan satu
lafazh. Setelah melakukan pengkajian, urun rembug dan pemaparan
pendapat-pendapat yang berbicara tentang hal itu serta mendiskusikan setiap
pendapat tersebut; dengan mayoritas suara, majelis memilih pendapat yang
menyatakan jatuhnya talak tiga dengan satu lafazh sebagai talak tiga. Ada pun
para anggota yang berbeda pendapat mengenai hal ini ada 5 orang, yaitu:
1. Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baz
2. Syaikh
‘Abdurrazzaq ‘Afifi
3. Syaikh
‘Abdullah Khayyath
4. Syaikh
Rasyid bin Hanin
5. Syaikh
Muhammad bin Jubair
Mereka berlima
memiliki pandangan lain, redaksinya sebagai berikut:
Alhamdulillah,
shalawat dan salam atas Rasul-Nya dan keluarga besarnya, wa ba’du:
Kami memandang
bahwa talak tiga dengan satu lafazh berlaku hanya satu kali talak saja.
(masing-masing
dari kedua belah pihak ini mengemukakan dalil-dalil yang mendukung
pandangan-pandangan mereka)
(SUMBER:
Tawdhiih al-Ahkam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman
al-Bassam, Jld.V, hal.14-21)